Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Rujukan merupakan pemindahan tanggung jawab penanganan/perawatan pasien dari pemberi rujukan/provider ke penerima rujukan/provider yang berada diatasnya, yang mana biasanya pasien membutuhkan pelayanan yang lebih kompleks untuk penyakit yang dideritanya. Suksesnya proses rujukan pasien sangat ditentukan oleh proses komunikasi antara provider yang terlibat, yang mana proses ini seringkali diabaikan yang berimbas pada mutu rujukan.

Untuk mengatasi masalah komunikasi ini, di negara-negara maju sudah dikembangkan rujukan berbasis electronik salah satunya adalah yang dikembangkan oleh Health Information Technology for Economic and Clinical Health Act (HITECH) yang berbasis Electronic Health Records (EHRs). Walaupun sudah didukung dengan teknologi bukan berarti rujukan elektronik ini sudah sempurna, ada beberapa hal yang masih harus diperhatikan sebelum menerapkan sistem ini, terutama pada aspek komunikasi, bagaimana teknologi yang diterapkan ini bisa bersinergi dengan lingkungan sosial di sarana pelayanan kesehatan, yang mana hal ini memerlukan pendekatan "socio-techical".

Tidak ada standar yang baku penggunaan sistem elektronik untuk proses rujukan dan penelitian di bidang ini juga masih minim. Selain itu rujukan yang kompleks dan bervariasi antara sarana pelayanan kesehatan yang satu dengan yang lain juga menjadi pertimbangan untuk penerapan sistem elektonik ini. Sebagai negara berkembang yang masih berkutat dengan berbagai permasalah termasuk sistem rujukan, yang tentunya cepat atau lambat akan menerapkan rujukan berbasis EHR atau sejenisnya, kita perlu mempelajari beberapa hal.

Berikut adalah 10 rekomendasi berdasarkan studi yang dilakukan oleh Esquivel, et all, yang mungkin bisa dipelajari sebelum kita mendesign sistem rujukan elektonik atau yang berbasis EHR:

1. Memasukan fitur komunikasi langsung/real-time yang bisa diakses oleh pemberi dan penerima rujukan secara mudah.

Beberapa sistem rujukan elektronik yang dikembangkan mungkin mengesampingkan fitur ini, namun justru beberapa tindakan medis membutuhkan komunikasi langsung antara pemberi dan penerima rujukan. Beberapa penelitian menunjukan bahwa lebih dari 60% provider, lebih memilih menggunakan komunikasi langsung terutama untuk rujukan yang bersifat urgent. Specialist/penerima rujukan lebih memilih untuk berkomunikasi langsung dengan pemberi rujukan apabila ada keraguan dengan diagnosa yang diberikan atau berhadapan dengan kasus-kasus urgent. Sistem rujukan elektronik yang didesign harus menambahkan fitur real-time communication baik melalui telepon, skype, atau text yang bisa diakses dengan mudah pada interface system.

2. Menggunakan template rujukan yang sesuai standar dengan struktur yang baik dan menambahkan free-text kolom.

Konten, bentuk, dan struktur dari surat rujukan mempengaruhi proses rujukan karena surat ini merupakan media komunikasi yang paling banyak dipakai untuk merujuk. Beberapa penelitian menunjukan tingkat kepuasan yang tinggi dari provider dengan surat rujukan yang sudah distandarisasi. Sistem rujukan elektronik harus didesign agar lebih mudah bagi kita untuk membuat, memaintain dan mendiseminasikan surat rujukan yang sesuai standar. Namun demikian yang perlu diperhatikan dalam interface template suratnya adalah perlu memasukan free-text kolom untuk memudahkan pemberi dan penerima rujukan memberikan penjelasan atau informasi tambahan terkait diagnosa pasien.

3. Menjamin pelaksanaan rujukan berdasarkan alasan yang tepat untuk merujuk.

Banyak penelitian menemukan bahwa penjelasan tentang alasan merujuk masih menjadi faktor yang menjadi penghalang terciptanya komunikasi yang baik antara pemberi dan penerima rujukan. Penjelasan yang detail tentang alasan merujuk tidak hanya sebatas profesionalitas namun untuk mempercepat proses rujukan yang dibuat. Sistem rujukan elektonik yang didesign harus bisa mencegah/membatasi rujukan yang tidak perlu atau dengan alasan yang tidak jelas, dengan memberikan ruang kepada pemberi rujukan untuk menambahkan penjelasan untuk dipertimbangkan.

4. Melibatkan Primary Care Practitioner (PCP) dan Spesialist dalam mengembangkan guidelines proses rujukan.

Sistem rujukan elektronik yang dikembangkan harus mengintegrasikan guidelines yang terstandar untuk semua provider yang terlibat didalamnya dengan melibatkan PCP dan specialist sehingga apa yang menjadi kebutuhan dari masing-masing provider bisa terakomodir dalam guidelines tersebut. Dengan adanya guidelines yang terstandarisasi ini, semua proses rujukan akan berjalan sesuai dengan langkah-langkah yang sudah ditetapkan, selain itu juga memberikan akses yang lebih mudah pada specialist dan alternative untuk menentukan tempat rujukan. Namun demikian sistem rujukan elektronik ini juga harus memberikan fleksibilitas kepada pemberi rujukan bila diperlukan untuk keluar dari guidelines yang telah ditetapkan dengan justifikasi yang bisa diterima berdasarkan urgensi dan kebutuhan medis.

5. Mengintegrasikan kebutuhan komunikasi pasien.

Salah satu hal yang luput dari perhatian adalah keterlibatan pasien dalam menentukan proses rujukan. Padahal faktor ini berpengaruh pada besarnya proses rujukan yang tidak tuntas diantaranya pembatalan rujukan yang berakibat pada penundaan perawatan. Sistem rujukan yang didesign harus memberikan pasien ruang untuk menerima informasi yang dibutuhkan terkait rujukan, memberikan pilihan untuk mengatur jadwal kunjungan dan membatalkannya, memilih tempat rujukan, dan memberikan pertanyaan. Fitur tersebut bisa diintegrasikan dalam bentuk smartphone application, social media, atau program lain berbasis web. Dengan begitu, pasien bisa mendapatkan akses yang mudah untuk status pengobataan, reminder, dan tools lain untuk berkomunikasi dengan dokter/specialist.

6. Menggunakan pre-populate secara otomatis berbasis pada data pasien sebelumnya.

Penggunaan pre-populate sangat berguna untuk meningkatkan kinerja dari provider, dengan demikian provider tidak perlu mengulang pengisian untuk beberapa kolom isian umum yang apabila secara manual harus diisi satu per satu. Selain itu hal ini juga mempersingkat waktu tunggu dan meningkatkan effisiensi pada saat pasien berkonsultasi. Sistem rujukan elektronik harus bisa melakukan pre-populate misalnya untuk beberapa item seperti data demografi, pengobatan yang sudah diperoleh, dan tes laboratorium yang sudah dilakukan. Lebih jauh lagi pre-populate bisa memberikan gambaran singkat mengenai pasien yang dirujuk, seperti diagnosa pasien atau data berdasarkan kelompok umur.

7. Mengintegrasikan konsultasi secara elektronik.

Untuk beberapa kasus rujukan sebenarnya pemberi rujukan hanya perlu berkonsultasi dengan specialist/penerima rujukan tanpa perlu kunjungan dari pasien. Oleh karena itu sistem rujukan elektronik harus bisa menyediakan fitur ini, misalnya melalui telemedicine, pemberi rujukan bisa melakukan konsultasi secara berkelanjutan dengan specialist terkait dengan penanganan pasien sehingga pasien bisa ditangani oleh pemberi rujukan tanpa harus pergi ke specialist. Hal ini bila diterapkan secara tepat maka bisa mencegah inefisiensi dan penundaan pelayanan yang berhubungan dengan rujukan yang tidak perlu.

8. Menyediakan dan mengintegerasikan status rujukan dan feedback pada alur kerja provider..

Proses rujukan akan berjalan sukses apabila pemberi dan penerima rujukan mendapatkan pemberitahuan mengenai perkembangan rujukan pasien. Pemberi rujukan mengharapkan kepastian apakah rujukannya sudah diterima atau belum, sementara penerima rujukan juga perlu berkonsultasi sewaktu-waktu kepada pemberi rujukan untuk penanganan pasien yang dirujuk. Sistem rujukan elektronik harus bisa menginformasikan perkembangan status pasien yang dirujuk apakah sudah diterima atau belum, apakah membutuhakan dokumen atau penjelasan tambahan atau tidak. Namun demikian pemberitahuan yang diberikan jangan sampai membebani kerja dari pemberi maupun penerima rujukan.

9. Memasukan sistem rujukan elektronik ke dalam kebijakan dan peraturan daerah.

Pemerintah daerah atau dalam hal ini pengguna sistem rujukan elektronik harus mengupdate kebijakan dan peraturan yang berhubungan dengan rujukan sesuai dengan guidelines dari sistem rujukan elektronik tersebut, misalnya terkait tugas dan tanggung jawab dari pemberi dan penerima rujukan, informasi yang harus disertakan dalam rujukan, pertukaran informasi dan data antar provider, dan prosedur penggunaan teknologi untuk rujukan.

10. Pengawasan terhadap system rujukan elektronik.

Organisasi atau pengguna sistem rujukan elektronik harus mengawasi dan mengevaluasi secara berkala penggunaan, performance, keuntungan, dan kelemahan dari sistem rujukan yang digunakan dan perlu melibatkan semua stakeholder yang terlibat. Hal ini dilakukan agar semua kebutuhan dari stakeholder yang terlibat didalamnya bisa terakomodir.
Melihat kondisi yang ada saat ini ditengah keterbatasan dan masalah lain memang membutuhkan waktu lama untuk negara kita menerapkan sistem rujukan elektronik ini, namun tidak ada salahnya untuk kita mempelajari dan mengantisipasi masalah yang ditimbulkan nantinya agar sistem yang diterapkan bisa berjalan dengan baik dan menjamin rujukan yang berkualitas.

Sumber : Esquivel, et all. 2012. Improving the Effectiveness of Electronic Health Record-Based Referral Processes. BMC Medical Informatics & Decision Making

Oleh: Stevie Ardianto Nappoe, SKM-Pusat Penelitian Kebijakan Kesehatan dan Kedokteran

Surabaya Health Season (SHS) 2014 - sebagai acara tahunan dalam memperingati hari jadi kota Surabaya – berakhir. Acara yang berlangsung sekitar 1,5 bulan ini sejak 13 April lalu menyebutkan bahwa sejumlah fasilitas kesehatan seperti 58 rumah sakit (RS), klinik kesehatan, 62 puskesmas dan laboratorium ikut mensukseskan acara yang juga bertujuan menjadikan Surabaya sebagai Kota Wisata Kesehatan.

Selama ini kota wisata kesehatan biasanya identik dengan Singapura maupun Penang di Malaysia. Berbagai RS dan Klinik kesehatan dari LN itu bahkan seringkali mengiklankan diri di media massa besar di Indonesia dengan orang-orang kaya kita yang menjadi pasar potensial mereka. Jutaan orang kaya Indonesia yang berobat ke LN setiap tahunnya memang potensi luar biasa yang belum tergarap oleh kita sendiri.

Ternyata pernyataan Wagub Jatim dalam sebuah acara di Malang pada 27 September 2010, yang mengungkapkan bahwa larinya dana dari orang kaya di Jawa Timur ke luar negeri (LN) sebesar Rp 2 trilyun per tahunnya masih cukup relevan. Dengan beragamnya alasan mengakses pelayanan kesehatan atau berobat ke LN bagi setiap orang maka dapat diprediksi secara kasar bahwa ada kemungkinan puluhan triliun rupiah dari seluruh negara ini yang lari ke berbagai negara lain.

Langkah Berani

Di tengah masih banyaknya komplain terhadap mutu pelayanan kesehatan yang dianggap masih belum baik serta adanya ketidakpercayaan (distrust) terhadap kemampuan RS dan dokter bangsa sendiri maka keberanian Surabaya yang mendeklarasikankan sebagai kota wisata kesehatan menjadi sebuah langkah yang pantas diacungi jempol.

Menurut hemat penulis, SHS menjadi salah satu cara menterjemahkan mimpi besar untuk menjadikan layanan kesehatan khususnya di Surabaya menjadi layanan kelas dunia (the world class health care) yang sampai sekarang belum banyak digagas oleh pemerintah daerah lainnya. Apalagi pada momen SHS tahun 2012 lalu juga sudah dicanangkan kota yang banyak meraih pengharagaan ini sebagai barometer kesehatan nasional. Sebuah langkah yang sangat strategis.

Apalagi konsep yang ditawarkan adalah pemberian pelayanan prima untuk pasien dan keluarga mulai dari bandara sampai dengan menyediakan fasilitas hotel yang terintegrasi dengan bangunan RS bahkan layanan sarana transportasi bagi keluarga yang hendak berbelanja. Sehingga bukan hanya infrastruktur kesehatan saja yang dipersiapkan tetapi infrastruktur pendukung juga harus memenuhi syarat. Selain transportasi publik, destinasi di dalam kota juga harus menarik, bersih dan nyaman.

Konsep ini juga menjadi out of the box karena selama ini Si sakit dan keluarganya yang sedang mencari pengobatan - biasanya cenderung bersedih dan tidak bersemangat – justru diperlakukan sebagaimana mereka sedang berwisata, supaya tetap bergembira. Tentu saja pada akhirnya konsep yang sebenarnya menyasar orang berduit yang biasa berobat di luar negeri ini diharapkan akan cukup efektif mencegah larinya dana kesehatan masyarakat bahkan bisa juga akan meningkatkan penghasilan asli daerah (PAD) maupun menarik devisa untuk level negara.

Satu hal yang juga harus mulai dipikirkan adalah bagaimana menterjemahkan arti kota wisata kesehatan bagi masyarakat miskin dan pas-pasan yang berobat menggunakan fasilitas asuransi sosial misalnya. Dalam era Jaminan Kesehatan seperti sekarang ini maka mempunyai konsekuensi bahwa orang miskin juga "boleh" sakit. Maka kehadiran ide yang sangat baik tadi tetap harus dapat menjamin perlakukan medis yang sama pada orang sakit dengan status sosial yang berbeda. Jika dulu ada guyonan khas Suroboyoan "murah kok njaluk slamet!" yang seringkali diidentikkan dengan komentar dari para pelaku jasa -tukang becak- saat ditegur oleh pengguna jasanya ketika sembarangan dalam mengemudikan becaknya, maka momentum ini adalah bisa sebagai pembuktian program ini tidak akan makin membedakan pelayanan yang kaya dan yang miskin.

Dalam hal ini maka harus kembali ditegaskan bahwa yang boleh berbeda hanyalah sesuatu yang tidak berhubungan dengan keputusan medis yang berhubungan langsung dengan keselamatan pasien. Dalam arti yang lebih luas maka kualitas yang baik untuk semua kalangan (good quality for all people).

Harapan

Surabaya dengan banyak keunggulan di bidang kesehatan seperti hadirnya fasilitas kesehatan yang representatif baik milik pemerintah maupun swasta serta dokter-dokter sebagai pelaku pelayanann kesehatan yang tidak kalah dengan LN menjadi kekuatan daya saing tersendiri. Isu MEA dimana ada pasar tunggal regional ASEAN yang memungkinkan ada transportasi modal, jasa serta tenaga kerja yang akan bebas keluar masuk wilayah negara ASEAN justru menjadi pemacu semangat bagi seluruh stakeholder kesehatan yang ada untuk menatap AFTA (ASEAN Free Trade Area) sebagai sebuah peluang.

SHS dengan program yang mengutamakan kepuasan pelanggan, mutu pelayanan kesehatan dan budaya patient safety di berbagai fasilitas kesehatan kota Surabaya dapat menjadi "katalisator" untuk menciptakan keunggulan daya saing dalam menghadapi era perdagangan bebas di level ASEAN pada awal 2015 sebentar lagi. Karena disadari bahwa Masyarakat Ekonomi ASEAN nantinya apakah memang dapat digolongkan sebagai peluang ataupun justru ancaman bagi semua fasilitas kesehatan dan SDM tergantung dari kesiapan untuk menghadapinya.

Menjelang berakhirnya SHS maka dengan harapan jangan hanya menjadikan SHS hanya agenda rutin dan bussiness as usual untuk memperingati hari jadi kota Surabaya dan setelahnya kembali menjadi "biasa-biasa saja". Menjelang 1 Januari 2015 dimulainya pasar bebas ASEAN, maka tetap ditunggu kehadiran Surabaya Health Season berikutnya...................

Oleh : Tri Astuti Sugiyatmi (Dinas Kesehatan Kota Tarakan)

Audit rujukan yang berkualitas tidak kalah pentingnya seperti tindakan klinik dan merupakan hal yang esensial dari good clinical care karena merupakan hubungan antara healthcare professionals di primary dan secondary environments. Melalui audit rujukan, informasi dikumpulkan dan digunakan sebagai prioritas kedepan, memberikan rekomendasi sebagai tindakan selanjutnya selain itu banyak hal dapat dikaji, dikenali, dievaluasi sehingga menghasilkan tindakan yang efektif dan efisien.

Salah satu program yang dikembangkan untuk menghasilkan audit yang berkualitas adalah the eastern health GP Liaison, Program ini hasil kerja sama antara eastern health hospitals dan tree eastern melbourne divisions of general practice. Program ini fokus pada promosi kesehatan pasien dan penyerahan kembali informasi kesehatan pasien. Sejak tahun 2003, eastern health GPL team mengumpulkan, menganalisis, merekomendasikan informasi untuk digunakan di eastern hospital yang sudah bekerja sama.

Salah satu pendekatan yang digunakan untuk menghasilkan audit rujukan yang efektif dari eastern health GPL adalah assessment scala. Pendekatan ini dirancang oleh eastern health GPL team yang digunakan untuk meminimalisir perbedaan tafsiran. Dengan menggunakan assessment scala, dapat mereview tiap bagian pelayanan untuk merubah keefektifitasan dari hal-hal yang akan dilakukan kedepan. Assessment scala dipakai dan digunakan dalam mengaudit rujukan di 3 unit antara lain emergency department, outpatient department dan sub-acute ambulatory care services.

Hasil pencatatan audit rujukan dari eastern health GPL team di emergency department bervariasi, hal ini dipengaruhi status klinis pasien. Pada saat mencatat secara tiba-tiba keadaan pasien tidak stabil sehingga berdampak pada ketersediaan waktu pasien untuk penyelidikan dan perekaman informasi dari tim audit, oleh karena itu dalam melaksanakan proses ini tim harus menghampiri pasien sesegra mungkin.

Kalau hasil audit rujukan di emergency department dipengaruhi oleh status klinis pasien maka audit di outpatient deparment pada umumnya stabil secara klinis sehingga dapat diselidiki lebih dalam dan memperoleh banyak informasi dalam audit.

Unit terakhir dalam audit rujukan adalah di sub-acute ambulatory care services. Pada bagian ini dilakukan prospective dalam periode waktu yang berbeda. Dengan melihat follows up dari hasil auditan sebelumnya, apakah ada perubahan pelayanan kesehatan?

Kekurangan dari audit rujukan dengan pendekatan assessment scale antara lain: identitas pasien tercatat tidak lengkap dalam hasil auditan, dokumen audit tidak mudah dibaca dengan baik, validitas data tidak terjaga karena diukur dalam jangka pendek (3 bulan), tidak memberikan informasi klinik yang urgent karena tidak diselidiki secara mendalam status klinik pasien dan tidak memberikan informasi mengenai keadaan psikologi pasien secara mendalam.

The eastern health GP Liaison team merekomendasikan beberapa perbaikan antara lain:

  1. Memperbaiki GP referrals to eastern health yakni memasukan nomor handphone pasien, nama dokter yang merawat terutama pada pasien rawat jalan, durasi rujukan, tingkat kedaruratan, perjalanan psikologi pasien, format form audit.
  2. Memasukan informasi di eastern health wesite antara lain diskripsi klinik dan pelayanan dengan memasukan nama dokter yang merawat pada unit rawat jalan, syarat durasi waktu rujukan, keadaan psikologi pasien dan versi terbaru form audit rujukan.
  3. General practice training yakni easter health GP liaison team memberikan rekomendasi untuk pelatihan kepada staff general practice demi perubahan target area.
  4. Keterlibatan dari eastern hospital pada setiap perubahan pada GP auditan dan diinformasikan melalui diskusi sehingga relevan pada eastern health proses rujukan.
  5. Penyederhanaan audit assessment scale dengan binary responses.

Sumber : eastern health great health and wellbing, eastern ranges GP association, greater eastern primary health, medicare local inner east melbourne (2011). Eastern health GP Liaison program and 2011 eastern health GP referral audit

Oleh : Dedison Asanab S.KM

Penulis menempuh pendidikan dokter pada awal tahun 2000an. Masa itu, penulis mengenal tidak hanya pendidikan klinik, namun juga administrasi pasien. Istilah-istilah lokal juga mulai dikenali, dipahami, dan digunakan. Salah satu singkatan yang sering disebut dan ternyata dikenal luas di berbagai tempat di Indonesia adalah: "APS".
Berbeda dengan singkatan istilah klinis yang bisa berbeda antar pusat pendidikan, "APS" dikenal di seluruh Indonesia. Atas permintaan pasien adalah kepanjangan dari "APS". Istilah ini secara berbeda dipakai untuk menggambarkan pasien yang minta pulang paksa, minta dirujuk, minta dilakukan terapi tertentu, minta tidak dilakukan terapi tertentu, minta pindah rumah sakit, dan lain-lain. Satu hal yang pasti. Ketika label "APS" telah dilekatkan pada pasien, ada semacam pemahaman kolektif bahwa tanggung jawab rumah sakit telah selesai sampai di situ.

Bahkan sampai saat ini, pasien yang minta pindah ke pelayanan kesehatan lain sering kali tidak mendapatkan surat pengantar. Pasien yang "APS pulang" sering tidak mendapatkan obat pulang. Rumah sakit sering tidak mau mengantar pasien yang berisiko dalam transportasi bila pasien minta pindah ke rumah sakit lain. Pasien yang tidak mau dioperasi atau tidak mau dipindah ke perawatan intensif dianggap tidak kooperatif dan mendapat pelayanan seadanya.

Seiring dengan diterapkannya undang-undang praktek kedokteran, undang-undang kesehatan yang baru, dan undang-undang mengenai rumah sakit, pemahaman mengenai hak pasien makin mengemuka. Dalam konteks akreditasi rumah sakit, hak pasien menempati satu bab tersendiri (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Kewajiban rumah sakit dalam hal pasien "pindah APS" juga diatur dalam satu bagian dalam bab akses ke pelayanan dan kontinuitas pelayanan (APK).

Dalam standar APK 4 diatur rujukan atau perpindahan pasien. Rujukan hampir selalu berasosiasi pada pemindahan pasien ke pelayanan yang secara vertikal lebih tinggi. Definisi ini agak berbeda dengan standar dalam APK 4 yang menyebut rujukan sebagai tanggapan atas kebutuhan pasien. Standar Joint Commission International edisi 2014 bicara hal serupa. Rujukan bahkan disebut bisa menuju ke pelayanan preventif atau bahkan perawatan di rumah, sesuai kebutuhan pasien (Joint Commission International, 2013).

Dengan demikian, pendapat tidak diperlukannya surat pengantar perpindahan pasien ke pelayanan yang secara vertikal sama atau lebih rendah adalah keliru. Pendapat ini lebih mengutamakan egoisme staf rumah sakit yang kurang berkenan karena pasien memilih dirawat di tempat lain yang secara vertikal sama tipe atau bahkan lebih rendah. Ketiadaan surat pengantar ini dapat menyulitkan, merugikan, bahkan membahayakan pasien.

Standar akreditasi rumah sakit menyebutkan bahwa rumah sakit perlu memastikan pelayanan kesehatan yang dituju dapat menyediakan pelayanan yang dibutuhkan pasien. Setelah itu, resume tertulis perlu dibuat untuk rumah sakit penerima dengan penekanan pada kebutuhan pasien dan pelayanan yang telah dilakukan. Surat pengantar ini disertakan pada pasien. Proses ini juga diikuti dengan pendampingan secara langsung oleh staf yang kompeten, pendokumentasian, dan pengawasan saat transportasi.

Khusus mengenai surat pengantar, Whitney Berta dkk (2008) pernah melakukan penelitian dan merekomendasikan 24 elemen informasi yang harus ada dalam surat pengantar. Dikembangkan dari sistem rujukan primer ke spesialistik untuk kasus asma, rekomendasi elemen informasi ini masih aktual dan penting untuk diperhatikan. Elemen-elemen tersebut dapat disimak dalam jurnal aslinya (lihat daftar pustaka).

Uraian-uraian tersebut menegaskan bahwa perlu ada komunikasi langsung antar rumah sakit pengirim dan penerima mengenai kondisi dan kebutuhan pasien. Kerendahan hati memang diperlukan dalam hal ini demi kepentingan pasien. Sesuatu yang agak sulit dipahami karena pelayanan kesehatan sering diasosiasikan dengan otonomi. Demi kepentingan pelayanan kepada pasien, egoisme ini harus sedikit demi sedikit dikikis. Komunikasi ke rumah sakit tujuan harus dilakukan, surat pengantar harus dibuat, hasil-hasil pemeriksaan perlu dilampirkan, dan transportasi dipastikan aman. Dengan demikian, pasien yang "pindah APS" tetap menerima perlakuan dan hak sebagai pasien.

Penulis: dr. Robertus Arian Datusanantyo
Kepala Instalasi Gawat Darurat RS Panti Rapih Yogyakarta
Tulisan ini adalah opini pribadi

Daftar Pustaka
Berta, W., Barnsley, J., Bloom, J., Cockerill, R., Davis, D., Jaakkimainen , L., et al. (2008). Enhancing continuity of information: Essential components of a referral document. Canadian Family Physician , 54, 1432-3.e1-6.
Joint Commission International. (2013). Joint Commission International Accreditation Standards for Hospitals (5 ed.). Oakbrook Terrace, Illinois, USA: Joint Commission Resources.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Standar Akreditasi Rumah Sakit. Jakarta, Indonesia: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.