Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

art-26meiResume pasien pulang/RPP (discharge summary) adalah laporan klinis dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) pada akhir perawatan di rumah sakit atau pelayanan medis. Resume pasien pulang memuat keluhan utama, temuan diagnosis, terapi, perkembangan pasien, dan rekomendasi saat pasien pulang. Pada saat perampingan berkas rekam medis, RPP adalah salah satu berkas yang tetap disimpan. Saat ini, RPP mempunyai nilai ekonomis sebagai sarana utama penagihan kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS-Kes) dan penanggung biaya lain.

Kelengkapan RPP juga menjadi salah satu indikator mutu pelayanan medis di rumah sakit. Dokumen RPP yang lengkap akan merampingkan rangkaian prosedur sehingga meningkatkan efisiensi. Namun demikian, dokumen RPP sangat jarang terisi dengan lengkap sehingga informasi bermanfaat rawan terbuang. Dokumen RPP yang tidak lengkap ini sering disebut RPP defisien. Dalam kerangka pikir penagihan BPJS-Kes, RPP defisien mengakibatkan pemborosan waktu dan sumber daya. Selain itu, RPP sebenarnya merupakan dokumen yang penting untuk kontinuitas pelayanan antar penyedia layanan kesehatan.

Penelitian di berbagai negara menemukan masalah yang melatarbelakangi kurangnya mutu RPP (1–7). Sebagian besar masalah ini berkaitan dengan pengisian oleh DPJP, baik karena kurangnya waktu sampai dengan kurangnya kemauan. Dokumen RPP defisien dikembalikan kepada DPJP yang bersangkutan oleh petugas rekam medis, sekali atau lebih, sampai dengan lengkap dan bisa dikoding dalam sistem pelaporan maupun sistem penagihan pihak pembayar (8,9).

Inefisiensi ini sebenarnya tidak perlu terjadi apabila faktor-faktor yang melandasi RPP defisien bisa dikenali dan diintervensi. Sebuah penelitian di Afrika (1) menemukan DPJP kompeten dalam mengisi, hanya tidak mempunyai cukup kemauan. Prosedur evaluasi kelengkapan RPP pada beberapa rumah sakit di Thailand cukup bervariasi (8) namun sepakat mengembalikan RPP dengan data klinis yang tidak lengkap kepada DPJP. Prosedur pengembalian RPP kepada DPJP memperlama proses penagihan kepada pihak pembayar sehingga rumah sakit di Thailand merasa perlu untuk melakukan audit kelengkapan RPP ini.

Hampir dua dekade lalu, Kanada meneliti defisiensi RPP ini pada dua rumah sakit pendidikan besar. Defisiensi RPP yang terjadi mirip dengan apa yang sering ditemukan pada RPP di Indonesia, yaitu ketidaklengkapan penulisan diagnosis masuk, diagnosis, keluar, hasil laboratorium yang penting, pengobatan, dan lain-lain. Walaupun penelitian ini memakai sampel yang cukup kecil, namun memberikan pemahaman mengenai tata cara pengisian RPP pada rumah sakit pendidikan. Hirarki yang ada pada rumah sakit pendidikan menyisakan pengisian RPP pada dokter magang atau residen yunior.

Pada pengisian oleh dokter yunior/residen, defisiensi RPP dikaitkan dengan tingginya beban kerja (2) dan ketiadaan pemberian materi spesifik mengenai pengisian RPP (6). Tingginya beban kerja sering dijadikan alasan bagi para DPJP tidak melengkapi RPP. Dalam konteks pelayanan murni, perlu diteliti dengan objektif apakah pengurangan beban kerja DPJP berkontribusi dalam pengurangan defisiensi RPP. Ini penting, karena dalam berbagai diskusi, defisiensi isi berkas rekam medis selain RPP menjadi masalah di banyak tempat.

Ketiadaan rasionalisasi yang adekuat mengenai RPP lebih menarik dibahas. Selama pendidikan dokter dan dokter spesialis, tidak ada alokasi khusus pemberian materi yang spesifik mengenai RPP. Selama ini, dokter yunior mengisi RPP karena penugasan dan cara pengisiannya secara "turun temurun" diberikan oleh seniornya. Ada ide menarik untuk menjadikan pengisian RPP ini sebagai proses reflektif sebagai bagian dari pembelajaran. Proses ini diharapkan menjadi awal sintesis pengetahuan baru dan dapat menambah kualitas dan kepedulian dalam kontinuitas pelayanan pasien (2).

Temuan lain yang juga berpengaruh pada RPP defisien adalah waktu pengisian RPP. Semakin besar jarak waktu pasien pulang dan pengisian berkontribusi pada peningkatan defisiensi RPP (4,6). Beberapa rumah sakit telah berupaya mengurangi jeda waktu pengisian ini dengan mengimplementasikan sistem pengisian RPP secara elektronik. Pengisian dilakukan oleh DPJP secara mandiri atau dibantu staf lain memakai sistem rekam medis elektronik ini.

Sebuah randomized controlled trial di Kanada mengukur implementasi pengisian RPP secara elektronik ini, bukan dari sisi kelengkapan namun dari sisi kepuasan dokter layanan primer (10). Kepuasan dokter layanan primer terhadap RPP penting dinilai dalam skema kontinuitas pelayanan antar pelayanan kesehatan. Informasi klinis dalam RPP sangat diperlukan oleh dokter layanan primer untuk mengintegrasikan pelayanannya dengan kondisi klinis pasien paska pelayanan di rumah sakit.

Penelitian di Kanada tersebut membuktikan bahwa pengisian RPP secara elektronik tidak meningkatkan kepuasan dokter layanan primer terhadap kelengkapan, kualitas, dan ketepatan waktu datangnya RPP. Walau demikian, kemudahan dan kepuasan justru lebih tergambar di sisi dokter yang menuliskan RPP. Sebagian besar RPP dalam penelitian ini ditulis oleh residen atau dokter magang. Cara elektronik dianggap lebih mudah walaupun tidak mempersingkat durasi pengisiannya (10).

Sistem RPP elektronik juga mempunyai manfaat lain seperti penyimpanan basis data yang bisa dicari, integrasi dengan sistem pengingat, dan sarana transfer pasien (10). Pengembangan sistem penulisan RPP elektronik dapat menjadi bagian dari pengembangan sistem rekam medis elektronik. Alternatif lain, program RPP elektronik dapat difinalisasi terlebih dahulu untuk memudahkan DPJP mengisi RPP sambil mengembangkan sistem rekam medis elektroniknya.

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa walaupun sistem RPP elektronik tidak mengubah kualitas RPP, namun memungkinkan staf untuk mempunyai persiapan yang lebih baik ketika akan menerima pasien (11). Ini menunjukkan bahwa sistem RPP elektronik menjanjikan integrasi yang lebih tinggi dalam kontinuitas pelayanan pasien.

Apakah sistem RPP elektronik akan membawa manfaat di rumah sakit mungkin masih akan diperdebatkan. Nampaknya, tetap lebih baik untuk memastikan dulu bahwa para DPJP merasa perlu untuk mengisi RPP dengan baik dan lengkap.

Sebagai penutup, perlu disepakati bahwa RPP defisien menghambat peningkatan mutu dan mengurangi efisiensi. Perlu dicari faktor yang menyebabkan RPP defisien untuk diintervensi dengan strategi yang tepat. Tidak perlu terburu-buru berpindah ke RPP elektronik bila selama kemanfaatannya untuk rumah sakit belum terlalu jelas. Sebagai sarana standar, penyelenggaraan audit dan pemberian umpan balik terhadap DPJP dengan RPP defisien dapat dilakukan. Dengan RPP yang berkualitas, lebih banyak keuntungan dari sisi klinis dan manajemen rumah sakit.

Penulis

dr. Robertus Arian Datusanantyo (Wakil Ketua Tim Akreditasi RS Panti Rapih)
Tulisan ini adalah opini pribadi

Daftar Pustaka

  1. Adeleke IT, Adekanye AO, Onawola KA, Okuku AG, Adefemi SA, Erinle SA, et al. Data quality assessment in healthcare: a 365-day chart review of inpatients' health records at a Nigerian tertiary hospital. J Am Med Inform Assoc [Internet]. 2012 [cited 2014 May 22];19(6):1039–42. Available from: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3534461&tool=pmcentrez&rendertype=abstract 
  2. Coit MH, Katz JT, McMahon GT. The effect of workload reduction on the quality of residents' discharge summaries. J Gen Intern Med [Internet]. 2011 Jan [cited 2014 May 21];26(1):28–32. Available from: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3024111&tool=pmcentrez&rendertype=abstract 
  3. Dinescu A, Fernandez H. Audit and feedback: an intervention to improve discharge summary completion. J Hosp ... [Internet]. 2011 [cited 2014 May 21];6(1):28–32. Available from: http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/jhm.831/full 
  4. Kind AJH, Thorpe CT, Sattin J a, Walz SE, Smith M a. Provider characteristics, clinical-work processes and their relationship to discharge summary quality for sub-acute care patients. J Gen Intern Med [Internet]. 2012 Jan [cited 2014 May 21];27(1):78–84. Available from: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3250552&tool=pmcentrez&rendertype=abstract 
  5. Harel Z, Wald R, Perl J, Schwartz D, Bell CM. Evaluation of deficiencies in current discharge summaries for dialysis patients in Canada. J Multidiscip Healthc [Internet]. 2012 Jan;5:77–84. Available from: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3333802&tool=pmcentrez&rendertype=abstract 
  6. Legault K, Ostro J, Khalid Z, Wasi P, You JJ. Quality of discharge summaries prepared by first year internal medicine residents. BMC Med Educ [Internet]. BMC Medical Education; 2012 Jan [cited 2014 May 13];12(1):77. Available from: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3532338&tool=pmcentrez&rendertype=abstract 
  7. Van Walraven C, Weinberg a L. Quality assessment of a discharge summary system. CMAJ [Internet]. 1995 May 1;152(9):1437–42. Available from: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=1337907&tool=pmcentrez&rendertype=abstract 
  8. Pongpirul K, Walker DG, Winch PJ, Robinson C. A qualitative study of DRG coding practice in hospitals under the Thai Universal Coverage scheme. BMC Health Serv Res [Internet]. BioMed Central Ltd; 2011 Jan [cited 2014 Apr 29];11(1):71. Available from: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3083332&tool=pmcentrez&rendertype=abstract 
  9. Pongpirul K, Walker DG, Rahman H, Robinson C. DRG coding practice: a nationwide hospital survey in Thailand. BMC Health Serv Res [Internet]. BioMed Central Ltd; 2011 Jan [cited 2014 May 21];11(1):290. Available from: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3213673&tool=pmcentrez&rendertype=abstract 
  10. Maslove DM, Leiter RE, Griesman J, Arnott C, Mourad O, Chow C-M, et al. Electronic versus dictated hospital discharge summaries: a randomized controlled trial. J Gen Intern Med [Internet]. 2009 Sep [cited 2014 May 15];24(9):995–1001. Available from: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=2726886&tool=pmcentrez&rendertype=abstract 
  11. Melby L, Helleso R. Electronic exchange of discharge summaries between hospital and municipal care from health personnel ' s perspectives. Int J Integr Care. 2010;10(April).

Sebagai bagian persiapan akreditasi versi baru, rumah sakit memperbaiki sistem triase di instalasi gawat darurat (IGD). Kondisi IGD yang padat dan tidak terprediksi kerap menjadikan sumber daya yang ada terbenam dalam kepadatan pasien yang masuk (1). Kepadatan ini menurut Institute of Medicine (IOM) di Amerika Serikat dianggap sebagai krisis nasional. Kepadatan pasien IGD selain mengupayakan keselamatan pasien, juga mengancam privasi pasien, dan membuat frustasi staf IGD (2) sehingga proses triase dirasa sebagai kebutuhan dan bukan sekedar pemenuhan standar.

Triase adalah tingkatan klasifikasi pasien berdasarkan penyakit, keparahan, prognosis, dan ketersediaan sumber daya (3). Definisi ini lebih tepat diaplikasikan pada keadaan bencana atau korban masal. Dalam kegawatdaruratan sehari-hari, triase lebih tepat dikatakan sebagai metode untuk secara cepat menilai keparahan kondisi, menetapkan prioritas, dan memindahkan pasien ke tempat yang paling tepat untuk perawatan (1).

Sebagian besar rumah sakit di Indonesia masih menggunakan sistem triase "klasik". Sistem triase ini sebenarnya mengadaptasi sistem triase bencana, dengan membuat kategori cepat dengan warna hitam, merah, kuning, dan hijau. Hitam untuk pasien meninggal, merah untuk pasien gawat (ada gangguan jalan nafas, pernafasan, atau sirkulasi), kuning untuk pasien darurat, dan sisanya hijau. Sistem tiga level ini tidak cocok bagi IGD rumah sakit modern yang perlu mempertimbangkan evidence-based medicine atau kedokteran berbasis bukti.

Sejauh penelusuran yang bisa dilakukan penulis, ada beberapa sistem triase berbasis bukti yang bisa diacu. Sistem tersebut antara lain Canadian Triage and Acuity Scale (CTAS) dari Canada, Manchester Triage Scale (MTS) dari Inggris, Austraian Triage Scale (ATS) dari Australia, dan Emergency Severity Index (ESI) dari Amerika Serikat. Berbeda dengan sistem triase "klasik", sistem-sistem ini mengelompokkan pasien ke dalam lima level berjenjang. Sistem penjenjangan lima level ini lebih terpercaya dibanding dengan pengelompokan tiga level seperti pada sistem triase "klasik" (1,3).

Emergency Severity Index (ESI) dikembangkan sejak akhir tahun sembilan puluhan di Amerika Serikat. Sistem ESI bersandar pada perawat dengan pelatihan triase secara spesifik. Pasien yang masuk digolongkan dalam ESI 1 sampai ESI 5 sesuai pada kondisi pasien dan sumber daya rumah sakit yang diperlukan oleh pasien (1,3,4). ESI tidak secara spesifik mempertimbangkan diagnosis untuk penentuan level triase dan tidak memberikan batas waktu tegas kapan pasien harus ditemui dokter.

Menarik untuk membahas ESI dalam konteks IGD rumah sakit di Indonesia. Ada sedikitnya tiga alasan mengapa ESI lebih cocok diterapkan di sebagian besar IGD di Indonesia. Pertama, perawat triase dipandu untuk melihat kondisi dan keparahan tanpa harus menunggu intervensi dokter. Alasan kedua, pertimbangan pemakaian sumber daya memungkinkan IGD memperkirakan utilisasi tempat tidur. Ketiga, sistem triase ESI menggunakan skala nyeri 1-10 dan pengukuran tanda vital yang secara umum dipakai di Indonesia.

Triase ESI bersandar pada empat pertanyaan dasar (4) algoritme pada gambar 1. Kategorisasi ESI 1, ESI 2, dan ESI 5 telah jelas. Kategori ESI 2 dan ESI 3 mensyaratkan perawat triase mengetahui secara tepat sumber daya yang diperlukan. Contoh sumber daya adalah pemeriksaan laboratorium, pencitraan, pemberian cairan intravena, nebulisasi, pemasangan kateter urine, dan penjahitan luka laserasi. Pemeriksaan darah, urine, dan sputum yang dilakukan bersamaan dihitung satu sumber daya. Demikian pula CT Scan kepala, foto polos thorax, dan foto polos ekstremitas bersamaan dihitung sebagai satu sumber daya.

art-20mei-3

Anak-anak adalah populasi yang perlu mendapatkan perhatian dalam triase. Bila pada sistem yang lain belum jelas mengenai kriteria triase pasien pediatri, ESI mempunyai satu bagian tersendiri mengenai triase pada anak-anak. Bagian ini memberikan petunjuk yang jelas mengenai apa saja yang harus diperiksa ketika melakukan triase pasien anak-anak. Inilah yang tidak dijumpai pada sistem triase yang lain.

Aslinya, ESI dibuat dalam konteks IGD sebagai antar muka EMS dan pelayanan rumah sakit. Sebuah penelitian di Eropa (5) juga menambahkan fakta menarik mengenai ESI pada pasien yang datang sendiri ke IGD, kondisi yang lebih mirip dengan Indonesia. Penelitian ini menemukan bahwa sistem triase ESI ini dapat dipercaya dan diandalkan pada pasien-pasien yang datang sendiri ke IGD. Tidak ada modifikasi yang perlu dilakukan pada algoritme sistem triase ESI untuk pasien-pasien yang datang sendiri ke IGD.

Berbagai fakta di atas meyakinkan kita bahwa sistem triase ESI berpotensi diaplikasi di IGD rumah sakit di Indonesia untuk meningkatkan keselamatan pasien dan efisiensi pelayanan. Kepala IGD perlu merencanakan waktu dan strategi untuk dapat berpindah dari sistem triase "klasik" menjadi sistem triase ESI ini. Namun, alasan efisiensi sumber daya dan keselamatan pasien sudah cukup bagi IGD rumah sakit untuk merencanakan sistem yang lebih baik. Salam!

Penyusun
Robertus Arian Datusananatyo (Kepala Instalasi Gawat Darurat RS Panti Rapih)
Tulisan ini adalah opini pribadi.

Daftar Pustaka

  1. Christ M, Grossmann F, Winter D, Bingisser R, Platz E. Modern triage in the emergency department. Dtsch Arztebl Int [Internet]. 2010 Dec [cited 2013 Aug 8];107(50):892–8. Available from: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3021905&tool=pmcentrez&rendertype=abstract 
  2. Oredsson S, Jonsson H, Rognes J, Lind L, Göransson KE, Ehrenberg A, et al. A systematic review of triage-related interventions to improve patient flow in emergency departments. Scand J Trauma Resusc Emerg Med [Internet]. 2011 Jan [cited 2013 Aug 16];19:43. Available from: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3152510&tool=pmcentrez&rendertype=abstract 
  3. Mace SE, Mayer TA. Chapter 155 Triage. In: Jill M. Baren, Rothrock SG, Brennan JA, Brown L, editors. Pediatric Emergency Medicine. 1st ed. Philadephia: Elsevier Health Sciences; 2008. p. 1087–96.
  4. Gilboy N, Tanabe P, Debbie T, Rosenau AM. Emergency Severity Index (ESI): A Triage Tool for Emergency Department Care Version 4 Implementation Handbook 2012 Edition. AHRQ Publi. Rockville, MD: Agency for Healthcare Research and Quality; 2011.
  5. Elshove-Bolk J, Mencl F, van Rijswijck BTF, Simons MP, van Vugt AB. Validation of the Emergency Severity Index (ESI) in self-referred patients in a European emergency department. Emerg Med J [Internet]. 2007 Mar [cited 2013 Sep 12];24(3):170–4. Available from: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=2660021&tool=pmcentrez&rendertype=abstract 

 

Rumah sakit yang sedang berproses untuk menyiapkan akreditasi mengenal prinsip koordinasi pelayanan yang diterjemahkan dalam peran case manager. Alangkah lebih baik jika kita mencari istilah bahasa Indonesia saja, yaitu pengelola kasus. Pembimbing akreditasi menyukai definisi pengelola kasus menurut American Case Management Association (AMCA) ialah:

Pengelolaan kasus di rumah sakit dan sistem pelayanan kesehatan adalah model praktek kolaboratif yang mencakup pasien, perawat, pekerja sosial, dokter, tenaga kesehatan lain, pemberi pelayanan, dan komunitas. Pengelolaan kasus ini mencakup komunikasi dan memfasilitasi pelayanan menjadi satu kontinuum melalui koordinasi sumber daya yang efektif. Tujuan pengelolaan kasus mencakup pencapaian kesehatan yang optimal, akses ke pelayanan kesehatan, dan utilisasi sumber daya yang tepat, seimbang dengan hak pasien untuk menentukan nasibnya sendiri (1).

Di Indonesia, pengelolaan kasus mulai diperkenalkan pada program pemberantasan penyakit menular seperti HIV/AIDS dan tuberkulosis. Berbagai rumah sakit yang mengelola penyakit kronis maupun keganasan memperkenalkan konsep integrasi perawatan dengan komunitas penyakit sejenis untuk memberikan daya dukung bagi pasien. Contoh komunitas ini adalah komunitas penderita kanker pada anak, komunitas lupus, klub diabetes melitus, komunitas stroke, dan lain-lain.

Sebagian besar contoh yang disebutkan di atas melibatkan pelayanan di rawat jalan dan sebagian rawat inap. Penekanan peran lebih pada koordinasi antar pelayanan kesehatan dan komunitas. Dalam akreditasi, pengelola kasus memegang peran penting dalam koordinasi antara dokter penanggung jawab pasien (DPJP), profesional pemberi asuhan (PPA) lainnya, pasien, keluarga, dan pihak lain yang berkepentingan.

Pengelola kasus bisa berasal dari kalangan perawat senior, atau dokter, atau profesi lain. Dengan pola pendidikan dan budaya sistem kesehatan Indonesia, rasanya agak mustahil bila pengelola kasus ini non perawat atau non dokter. Profesi lain akan sulit berkomunikasi dengan tenaga kesehatan di dalam rumah sakit. Pengelola kasus bukan merupakan pemberi pelayanan langsung namun mengetahui dan menguasi proses pelayanan pada pasien dan dapat menjadi orang terdekat pasien selama perawatan di rumah sakit.

Lebih lanjut, ACMA menjelaskan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, pengelola kasus mempunyai lima kategori dalam ruang lingkup pelayanannya, meliputi pendidikan, koordinasi pelayanan, kepatuhan, pengelolaan transisi, dan pengelolaan utilisasi. Sementara itu, standar pelayanan pengelola kasus menurut ACMA adalah akuntabilitas, profesionalisme, kolaborasi, koordinasi pelayanan, advokasi, pengelolaan sumber daya, dan sertifikasi.

Pertanyaan yang relevan diajukan di Indonesia adalah: apakah pengelolaan kasus oleh pengelola kasus ini benar dapat meningkatkan mutu pelayanan? Jawabannya belum bisa disimpulkan pada saat ini, karena pengelolaan kasus belum dilakukan di sebagian besar rumah sakit Indonesia. Beberapa rumah sakit yang melakukannya terbatas pada kriteria yang khusus, misalnya pasien BPJS PBI, pasien kanker, dan pasien dengan kasus high risk, high cost, dan problem prone.

Beberapa studi pustaka memberikan variasi hasil pada penerapan pengelolaan kasus di rumah sakit. Sebagai contoh, penelitian Chen et al. (2013) di Taiwan menyimpulkan bahwa ada keuntungan melakukan pengelolaan kasus oleh perawat dibandingkan pemberian pelayanan reguler seperti biasa pada pasien kanker. Penelitian ini mengambil secara acak 600 pasien kanker yang dimasukkan ke dalam program pengelolaan kasus, dibandingkan dengan 600 pasien kanker lain dari register rawat inap yang diterapi dengan pelayanan reguler. Penelitian ini mengukur efektivitas pelayanan termasuk tingkat pasien yang melanjutkan pengobatan, tidak patuh pada pengobatan, perawatan inap yang panjang, readmisi tanpa rencana, dan admisi terencana untuk pengobatan aktif. Pada penelitian ini, proses pengeloaan kasus direduksi hanya pada faktor efektivitas saja.

Sebuah systematic review (3) yang dilakukan di Eropa beberapa tahun sebelumnya memberikan hasil yang berbeda. Systematic review terhadap tujuh penelitian berbasis pengelolaan kasus pada pasien-pasien kanker dan gagal menemukan manfaat pengelolaan kasus. Target populasi yang sangat heterogen dan metodologi penelitian yang sangat beragam dianggap sebagai kontributor gagalnya pengambilan kesimpulan manfaat pengelolaan kasus pada pasien-pasien kanker.

Tahun 2012 diwarnai dengan sebuah penelitian kualitatif menarik mengenai pengaruh pengelolaan kasus pada populasi tunawisma berpenyakit kronis (4). Wawancara mendalam dilakukan pada 14 tunawisma di Amerika Serikat. Kesimpulan penelitian ini mencengangkan, karena ditulis dengan memanfaatkan situasi emosional tunawisma yang bersyukur ada orang yang peduli pada mereka. Para subjek yang diwawancarai mengatakan dengan mantap bahwa keberadaan pengelola kasus yang mengelola penyakit kronis dan melakukan pendampingan yang menyeluruh sungguh meningkatkan derajat kesehatan mereka.

Menarik untuk mendalami penelitian tersebut. Para tunawisma yang menjadi subjek penelitian mengawali dengan menggambarkan keterasingan sebelum mereka bertemu dengan para pengelola kasus. Keterasingan atau isolasi ini ternyata bagi mereka membawa konsekuensi tingkat kesehatan yang lebih rendah. Kesendirian, mereka asosiasikan dengan rasa nyeri, tekanan darah yang naik, dan keluhan-keluhan lain.

Dua hal penting yang bisa dipelajari dari penelitian ini adalah keterikatan hubungan interpersonal yang erat antara pasien dan pengelola kasus dan bagaimana pengelola kasus dapat memfasilitasi peserta kepada pelayanan sosial dan pelayanan medis. Para subjek menyampaikan proses mengakses pelayanan kesehatan yang jauh lebih mudah dan tidak berbelit-belit ketika mereka mempunyai pengelola kasus.

Dalam era sistem jaminan sosial nasional, peran pengelola kasus ini tetap penting. Sistem rujukan berjenjang dan sistem rujukan balik mudah dipahami di kalangan pemberi layanan kesehatan, namun sulit diterima para penerima layanan kesehatan. Rujukan berjenjang dikeluhkan sebagai penyulit dalam mengakses pelayanan medis spesialistik. Peran pengelola kasus mulai diimplementasikan sehingga pasien setelah rawat inap lebih mudah mengakses pelayanan kesehatan dalam level yang tepat.

Fungsi inilah yang oleh ACMA digambarkan sebagai pengelolaan transisi dan utilisasi. Pengelolaan transisi dimulai ketika pasien berada dalam fase post akut. Dalam tahap ini, pengelola kasus mulai dapat berkontribusi untuk penempatan pasien sesuai dengan level kebutuhan mereka. Setelah pasien keluar dari rawat inap, pengelola kasus dapat berkomunikasi dengan komunitas dan masyarakat termasuk keluarga pasien mengenai hal-hal penting terkait kebutuhan kesehatan pasien. Koordinasi saat transisi ini juga dilengkapi dengan tindak lanjut, bila nanti pasien membutuhkan readmisi (1).

Pengelolaan utilisasi menjadi pekerjaan yang lebih teknis dan administratif bagi pengelola kasus. Pengelolaan ini mencakup cara pasien mengakses pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medisnya, namun juga memastikan bahwa pihak ketiga yang menanggung pembiayaan mengerti kebutuhan ini dan memberikan pembiayaan yang perlu. Semua hal ini akan menjadi tanggung jawab pengelola kasus, termasuk ketika pihak pembayar tidak dapat melaksanakan fungsinya dan terpaksa memakai sistem lain untuk pembiayaan pasien tersebut.

Dengan berbagai fungsi ini, jelaslah bahwa pengelolaan kasus di rumah sakit dapat berkontribusi pada keselamatan, efektivitas, dan efisiensi pelayanan. Dalam tugas dan wewenangnya, dapat pula ditambahkan peran sebagai penjaga mutu dan sebagai pengawas utilisasi layanan kesehatan. Tantangan yang dihadapi antara lain sertifikasi dan pendidikan berkala. Berbeda dengan profesi lain yang telah mempunyai asosiasi profesi, pengelola kasus sampai saat ini belum mempunyai organisasi profesi sehingga belum ada kesepakatan mengenai pendidikan dan sertifikasinya.

Daftar Pustaka
dr. Robertus Arian Datusanantyo
Wakil Ketua Tim Akreditasi RS Panti Rapih
Tulisan ini merupakan opini pribadi

Daftar Pustaka

  1. ACMA. Standards of Practice & Scope of Services for Health Care Delivery System Case Management and Transitions of Care (TOC) Professionals. Little Rock, AR: American Case Management Association; 2013.
  2. Chen Y-C, Chang Y-J, Tsou Y-C, Chen M-C, Pai Y-C. Effectiveness of nurse case management compared with usual care in cancer patients at a single medical center in Taiwan: a quasi-experimental study. BMC Health Serv Res [Internet]. BMC Health Services Research; 2013 Jan [cited 2013 Nov 1];13(1):202. Available from: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3673875&tool=pmcentrez&rendertype=abstract 
  3. Wulff CN, Thygesen M, Søndergaard J, Vedsted P. Case management used to optimize cancer care pathways: a systematic review. BMC Health Serv Res [Internet]. 2008 Jan [cited 2013 Nov 1];8:227. Available from: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=2596122&tool=pmcentrez&rendertype=abstract 
  4. Davis E, Tamayo A, Fernandez A. "Because somebody cared about me. That's how it changed things": homeless, chronically ill patients' perspectives on case management. PLoS One [Internet]. 2012 Jan [cited 2013 Nov 1];7(9):e45980. Available from: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3461032&tool=pmcentrez&rendertype=abstract 

art-20meiTono Rustiono, Direktur Perencanaan dan Pengembangan BPJS Indonesia, dalam paparannya di Seminar Nasional Perumahsakitan Surabaya Hospital Expo "Perubahan Konsep Bisnis Pelayanan Rumah Sakit Setelah Pemberlakuan Akreditasi Versi 2012 dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)" menjelaskan progress pelaksanaan Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia. Menurut data terbaru Maret 2014 menunjukkan bahwa berdasarkan jenis kepesertaan, jumlah peserta aktif yang berasal dari Penerima Bantuan Iuran (PBI) adalah 91.405.279 dan peserta aktif Non PBI sebesar 27.402.580. Sementara peserta yang menunggak adalah 2.194.721 peserta, jadi total kepesertaan BPJS adalah 121.002.583 peserta.

Dari sisi tantangan kepesertaan, harapan pemerintah adalah penambahan peserta yang signifikan sebagai tanda suksesnya implementasi cakupan layanan kesehatan semesta, selain itu diharapkan juga terjadi risk pooling dan subsidi silang antar peserta. Data kepesertaan di atas menunjukkan adanya tingkat kepesertaan yang cukup tinggi pada triwulan 1 tahun 2014 sebagai awal berjalannya BPJS, dan ditengarai munculnya potensi Adverse Selection pada peserta mandiri. Untuk mengatasi hal itu, BPJS telah melakukan upaya-upaya berikut, pertama dengan memperbaiki risk pooling dengan mengadvokasi pendaftaran peserta mandiri sehat dan meningkatkan taraf kesehatan peserta existing dengan menggalakkan program promotif preventif selain dengan meningkatkan kualitas social marketing.

Terkait masalah distribusi serta kecukupan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan, hal yang menjadi harapan BPJS adalah tercukupinya fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan serta yang terpenting adalah terdistribusi merata sehingga diperoleh equity of access terhadap layanan kesehatan yang bermutu. Khusus untuk masalah fasilitas dan tenaga kesehatan, fakta yang dihadapi sekarang adalah peningkatan cakupan peserta yang tidak diimbangi dengan pemerataan peningkatan jumlah faskes dan distribusi tenaga kesehatan. Hal ini menjadi sorotan terutama di daerah perifer. Sementara ini menurut Tono, yang dilakukan adalah dengan meningkatkan kerjasama dengan dokter praktek perorangan sebagai PPK tingkat 1, pengaturan sistem rujukan, serta upaya peningkatan mutu pelayanan dengan kerjasama organisasi profesi.

Ketika disampaikan pertanyaan, apakah BPJS mempunyai upaya yang terstruktur dan sistematis terhadap pencegahan fraud dalam upaya kendali mutu dan kendali biaya, mengingat potensinya yang besar dalam implementasi JKN di Indonesia. Tono menjelaskan, bahwa upaya itu dilakukan dengan meneruskan kebijakan PT Askes dalam hal validitas peserta, pengendalian oleh Verifikator BPJS, dan saat ini sedang disusun pola baru kendali biaya BPJS.

BPJS terlihat belum mempunyai upaya khusus yang terstruktur dan sistematis dalam kendali biaya khususnya dalam pencegahan fraud. Faktanya, hal ini sudah menjadi tugas kita bersama dalam membantu dan mengingatkan stakeholder di dalam BPJS untuk meningkatkan kendali mutu dan kendali biaya dalam implementasi JKN di Indonesia.

Selain itu, sistem rujukan merupakan satu hal penting dimana saat ini masih terjadi kebingungan di kalangan fasilitas kesehatan karena tidak mempunyai pedoman yang jelas tentang mekanisme dan sistem rujukan, sehingga diperlukan penelitian, pengaturan, dan penerapan yang efisien sebagaimana diamanatkan Undang-Undang.

Oleh: Moh. Ainul Yaqin, dr, MARS (This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.)