Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

agenda

Oleh : Raihan /18/433534/PKU/17447/ Minat SIMKES

Pertengahan bulan Maret tahun 2019, teman saya membawa saudaranya untuk berobat ke Rumah Sakit tipe C di Kabupaten X. Pada saat tiba dirumah sakit sekitar jam 8.40, kawan tersebut antri diloket dengan pasien lainnya untuk melakukan pendaftaran. Proses pendaftaran memakan waktu cukup lama karena loket pendaftaran hanya ada tiga, 1 Loket untuk pasien umum dan 2 Loket untuk pasien BPJS dengan jumlah pasien yang mengantri cukup banyak. Hal ini tentunya membuat pasien dan keluarga pasien tidak nyaman ditambah lagi dengan ruang tunggu yang tidak nyaman dan panas. Kurang lebih sekitar jam 10 baru dipanggil dan kemudian mengantri ke poli yang dituju, saat mendapat giliran pemeriksaan oleh dokter, kondisi pasien sudah sangat lemas dan dokter menyarankan untuk dilakukan rawat inap.

Kemudian pasien dibawa ke ruang rawat inap Rumah Sakit dengan fasilitas yang diberikan Rumah Sakit yang menurut kawan saya belum maksimal, Mulai dari pendingin ruangan yangg tidak berfungsi dengan baik, kamar mandi yang airnya kotor dan pintunya rusak tentu membuat pasien dan keluarga menjadi sangat tidak nyaman. Pelayanan kesehatan yang bermutu menjadi kebutuhan dasar bagi setiap orang, Rumah Sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan harus berupaya untuk melakukan perbaikan dan meningkatkan mutu agar dapat memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat (Hidayat, 2009).

Selama beberapa hari dirawat di Rumah Sakit Kabupaten X, pelayanan yang diberikan tidak memuaskan, makanan yang diberikan untuk pasien menunya juga sama dari pagi sampai sore selama beberapa hari berturut-turut. Belum lagi jika ada keluhan dari pasien, misalnya selang infus macet, pasien merasa demam dan menggigil, tapi perawat yang menjaga malah menyuruh kepada siswa magang untuk mengecek tanpa adanya pengawasan dan pembinaan dari perawat senior. Dokter yang menangani pasien juga tidak memberikan penjelasan mengenai penyakit yang diderita pasien dengan baik. Saat pasien mengatakan keluhan, pihak keluarga merasa dokter terkesan tidak terlalu memperdulikan, dokter hanya bilang “itu karna efek dari obat yang diminum”. Selama berada di Rumah Sakit pasien tidak ada nafsu makan sama sekali, bahkan untuk minum pun pasien merasa sangat mual. Akhirnya keluarga yang merasa pasien semakin lemah dan tidak menunjukkan perubahan meminta dirujuk ke Rumah Sakit Provinsi.

Di Rumah Sakit Provinsi, pelayanan yang diberikan sangat memuaskan, setelah beberapa hari dirawat kondisi pasien semakin membaik, pasien sudah mulai mau makan, dokter dan perawat sangat ramah terhadap pasien maupun kepada keluarga pasien. Saat melakukan visit dokter menjelaskan dengan baik akan kondisi pasien. Ahli gizi setiap hari masuk ke ruangan pasien untuk menanyakan menu makan yang diinginkan, dan boleh di ganti jika pasien sudah mulai merasa bosan. Semuanya terasa lebih baik setelah pasien di rujuk ke Rumah Sakit Provinsi. Untuk mendapatkan keberhasilan dalam pelayanan dan keselamatan bagi pasien, diperlukan tenaga medis yang terampil, sarana prasarana yang mendukung dan dilakukan monitoring serta evaluasi secara berkala (Gulo, Adventy Riang Bevy, Saragih, 2018).

Selama seminggu pasien dirawat, kondisinya sudah kelihatan bugar dan pasien sudah diperboleh pulang dengan tetap melakukan kontrol ke Rumah Sakit. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Smith dan Metner pada tahun 1970, mengatakan bahwa mutu pelayanan kesehatan yang dipandang penting bagi pasien yaitu; (1). Efisiensi pelayanan kesehatan; (2). Perhatian dokter/tenaga kesehatan, dan (3). Kenyamanan yang dirasakan pasien. Kesembuhan yang didapat oleh pasien bukan hanya semata-mata dari obat yang dikonsumsi, akan tetapi segi pelayanan kesehatan yang lainnya seperti sikap ramah tamah dan rasa empathy tenaga kesehatan yang diberikan kepada pasien.

REFERENSI

  • Gulo, Adventy Riang Bevy, Saragih, M. (2018) ‘HUBUNGAN FUNGSI MANAJEMEN KEPALA RUANG DENGAN PENERAPAN PATIENT SAFETY DI RSUD. Dr. PIRNGADI KOTA MEDAN’, 1(2).
  • Hidayat, A. A. A. (2009) Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika.

Oleh : Yosalli /18/433583/PKU/17496 , PEMINATAN KP-MAK

Pada tahun 2018 lalu sekitar akhir bulan juli, adik sepupu saya megalami kecelakaan lalu lintas di daerah Jalan Lingkar Utara, Yogyakarta. Kejadian itu ketika dia sedang dalam perjalanan menuju kampusnya untuk mengikuti perkuliahan, belum sampai di kampus, sebuah mobil pick up tiba-tiba keluar dari salah satu gang di daerah tersebut, nasib buruk menimpanya, kecelakaan pun tidak bisa dihindarinya, sepeda motor yang dikendarainya menabrak mobil tersebut, dia terlempar dari motor dan mengalami benturan di daerah pipi kiri. Kepalanya pusing dan tidak berdaya untuk bangkit, hingga beberapa menit setelah itu datanglah pengendara lain untuk membantunya. Perasaanya hanya pusing, dia menyadari bahwa daerah pipinya terluka setelah dia merasa ada yang aneh dengan geraham bawahnya. Setelah bercermin ke spion motor pengendara lain yang menolongnya, ternyata mulut, pipi lebam hingga lehernya sudah berdarah, walaupun tidak ada luka lain yang dideritanya selain itu. Setelah didatangi oleh pegemudi mobil pick up dan ditanyai keadaannya, dia menjelaskan kalau dia tidak terlalu parah, pengemudi mobil melanjutkan perjalanannya.

Akhirnya dia berangkat ke sebuah klinik di daerah itu dengan pertolongan salah satu pengendara disana, di klinik hanya tersedia dokter umum waktu itu, lalu dia mendapat penanganan pembersihan luka dan area luka ditutupi kasa dan perban. Pihak klinik menyarankan agar segera berangkat ke Puskesmas, dia mengikuti saran itu dan bergerak ke Puskesmas bersama kakaknya yang sudah dihubungi melalui telepon genggam dari klinik tersebut.

Sampai di Puskesmas, yang sudah tersedia dokter umum dan dokter gigi, dia mendapat penanganan lebih lanjut, disinilah awal penderitaannya dimulai. Dokter di Puskesmas tersebut melakukan pemrikasaan dengan melihat luka yang tadinya ditutupi oleh pihak klinik, lalu melihat rongga mulut dan menyarankan agar adik sepupu saya ini berkumur dengan air untuk membersihkan darah yang ada dalam rongga mulutnya. Setelah dilihat oleh dokter di Puskesmas tersebut dokter mengatakan bahwa gigi geraham bawahnya harus dicabut karena sudah goyang, tetapi tindakan pencabutan tidak bisa dilakukan waktu itu, karena dokter berpendapat bahwa bengkak di daerah pipinya harus dipulihkan dulu hingga menyusut. Dia mengikuti saran dokter, lalu pulang dengan obat penghilang nyeri.

Setelah seminggu kejadian itu, bengkak di daerah pipinya tak kunjung reda, yang ada mulutnya semakin sulit dibuka, sekitar seukuran jari telunjuk orang dewasa saja yang bisa masuk kedalam rongga mulutnya, disamping itu dia juga merasakan nyeri skala 4 dari 1 sampai 5. Dia tida berbuat apa-apa selain menunggu bengkak pipinya menyusut. Kegiatan makan minum dilakukan dengan usaha yang luar biasa, karena setiap upaya pembukaan rongga mulut, itu membuat dia merasakan sakit yang juga luar biasa.

Setelah dua minggu berjalan, perubahan tak kunjung datang, yang ada malahan dia semakin sulit berbicara. Sampai pada waktu dia menghubungi orang tuanya di kampung dan menceritakan keadaannya. Kemudian orangtuanya menyarankan agar dia segera berangkat saja ke Rumah Sakit, setelah berangkat ke salah satu Rumah Sakit di Kota Yogyakarta, seorang dokter menanganinya kembali, melihat ke dalam rongga mulutnya hingga meraba kedua pipinya, kemudian menanyakan apakah dia merasakan nyeri atau tidak.

Setelah pemeriksaan dilakukan, dokter berpendapat bahwa kemungkinan tulang rahang sebelah kiri bagian bawahnya mengalami fraktur, dan dokter pihak rumah sait menyarankan untuk segera di rontgen, dia menuruti saran dokter, dan ternyata memang dia mengalami patah tulang rahang kiri bagian bawahnya.

Setelah melakukan beberapa pengurusan administrasi, dan memberikan kabar ke orangtuanya, dia di operasi di Rumah Sakit tersebut.

Beberapa bulan setelah masa penyembuhan, dia mengalami mati rasa di daerah bibir kiri bagian bawah, hingga dagu bagian kiri dan pipi bawah arah dagunya. Saat kontrol kembali dengan dokter, dia menyampaikan keluhannya tersebut, dan dokter mengakatan bahwa itu mungkin efek dari operasinya, kemudian dokter memberikan beberapa obat lagi. Namun, sampai hari ini, dia masih tidak merasakan rangsangan pada bagian yang mati rasa tersebut.

Kepuasan pasien merupakan kunci penting meningkatkan quality care dalam pelayanan kesehatan, health care provider perlu menyadari bahwa keuntungan utama sistem pelayanan kesehatan adalah pasien. Pasien yang puas akan selalu nyaman di rumah sakit dalam waktu lama, selalu kembali dan merekomendasikan kepada orang lain. 3 hal yang merupakan bagian dari indikator pengukuran kepuasan pasien dalam penilaian pemberian pelayanan kesehatan adalah dengan meningkatnya pertumbuhan rumah sakit yang berbanding lurus dengan peningkatan pengetahuan pasien tentang apa yang seharusnya didapatkan, maka pasien membutuhkan rumah sakit yang menyediakan semua yang dibutuhkan (A. Dedison, 2015).

Selain 3 indikator diatas, ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi kepuasan pasien antara lain: prosedur administrasi, pelayanan diagnosis, perilaku staff, kebersihan, kepedulian perawat, makanan, komunikasi, kedekatan psikologi, housekeeping, pelayanan teknis, akses dan alat yang memadai. Jika semua ini berjalan baik maka akan meningkatkan jumlah pasien dan tentu meningkatkan pendapatan rumah sakit (A. Dedison, 2015)

Pada aspek pelayanan diagnosis, dalam kasus ini, kita melihat bahwa di bagian ini, seharusnya pasien kecelakaan lalu lintas dalam hal ini adalah adik sepupu saya, seharusnya mendapatkan pelayanan diagnosis yang tepat dari awal, baiklah kalau itu tidak didapatkan di klinik tempat awal dia mendapat pengobatan karena hanya ditangani oleh dokter umum yang berjaga disana. Tetapi, di fasilitas kesehatan tingkat pertama/FKTP yang notabene sudah memiliki dokter umum dan juga dokter gigi, pelayanan diagnosis yang dia dapatkan seharusnya sesuai dengan standar, atau sesuai dengan harapan yang diinginkannya, bukan seperti yang dialaminya.

Selain itu, kualitas mutu pelayanan yang sangat jelas memberikan pengaruh besar terhadap kepuasan kita, seringkali seperti diabaikan oleh beberapa institusi yang belum menyadari arti pentingnya kualitas mutu pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pengguna layanan kesehatan. Banyak kejadian yang terlihat seperti dunia medis di Indonesia ini tidak serius menyikapi persoalan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan.

Seperti yang banyak terjadi dalam praktek pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat di Indonesia lainnya, banyak sekali yang menunjukkan bahwa kualitas mutu pelayanan masih belum menjadi prioritas di kalangan fasilitas pemberi pelayanan kesehatan.

Beberapa highlight berita dibawah ini misalnya, menunjukkan beberapa kasus yang merupakan dampak buruk dari pemberi pelayan kesehatan yang tidak mengedepankan mutu pelayanan mereka, bahkan mungkin sampai berakibat fatal, seperti kecacatan dan kehilangan nyawa para pengguna pelayanan kesehatan ini.

24

Walaupun demikian, perubahan harus terus tetap dilakukan, evaluasi, monitoring dan kajian-kajian tentang mutu pelayanan kesehatan fasilitas kesehatan harus terus diperhatikan. Karena tidak sedikit juga para dokter dan tenaga medis lainnya harus berurusan melalui jalur hukum, dikarenakan oleh tindakan yang mereka lakukan kepada pasien, walaupun kadang mereka tidak berniat melakukannya dan atau mungkin dikarenakan oleh beban kerja yang terlalu tinggi.

Semoga dengan berkembangnya teknologi dan ilmupengetahuan dapat memberikan dampak positif pada mutu pelayanan kesehatan yang diberikan kepada para pengguna pelayanan kesehatan agar masalah- seperti ini tdak terjadi lagi.

Sumber:

Penulis : Sajimin /18/433558/PKU/17471

Pertama kali melakukan pendaftaran di loket BPJS rumah sakit, datang sekitar jam 8.30, dimana kondisi antrian sudah begitu panjang. Ternyata dalam antrian juga terdapat orang yang sedang memiliki agenda lainnya, sehingga pada jam 09.00 ia keluar dari antrian. Sebelum keluar memanggil saya dan memberikan kartu antriannya. Banyak orang-orang baik disekitar kita, ini bisa menjadi refleksi bagi diri dan keluarga, dengan hal-hal kecil dan sederhana bisa dilakukan.

Banyak orang di sekitar kita, dalam penantian antrian seperti ini ada pelajaran bagi saya khususnya untuk belajar bersosialisasi dengan berbagai status social yang ada, pada kesempatan seperti ini bisa berdiskusi tentang berbagai hal. Akhirnya Jam 09.00 pendaftaran diloket mulai di proses beberapa menit selanjutnya dilanjutkan untuk pemeriksaan poli gigi. Sesampai di poli gigi, sudah ada beberapa orang yang sedang mengantri. Ternyata disini juga ada loket antrian, bagi pasien lama perlu menyiapkan rekam medik yang harus dibawa saat pemeriksaan.

Kembali menunggu di poli, 15 menit pertama belum di panggil, 30 menit belum di panggil, kemudian tanya pada petugas. Petugas memberikan penjelasan masih sterilisasi alat, penjelasan ini juga agak aneh pelayanan pertama belum ada sterilasasi alat seharus sudah dilakukan sebelumnya, meskipun kami tahu bahwa dokternya belum datang, akhirnya juga menunggu.

Tibalah giliran untuk pemeriksaan pada jam 10.15, pertama ditanyakan keluhannya, oleh dokter diberikan nasehat untuk rutin melakukan pemeriksaan gigi, kebanyakan pasien seperti ini periksa setelah merasa benar-benar sakit. Selanjutnya diperiksa pada kursi pemeriksaan, karena perlu dilakukan foto pada rahang bagian untuk mendukung pemeriksaan.

Proses berikutnya foto ada rahang bagian belakang, pemotretan dilakukan pada ruang terpisah. Setelah diperoleh hasil maka dilanjutkan konsultasi bahwa giginya harus dicabut karena posisi gigi mendorong gigi yang lainnya. Untuk melakukan pencabutan kondisi gigi harus sehat,karena saat tersebut terasa ngilu,yang dilakukan penambalan sementara dan resep obat. Kemudian dijadwalkan seminggu ke depan dilakukan operasi pencabutan gigi.

Layanan dokter yang saya dapatkan memuaskan, terlebih saat ini ada aplikasi JKN sehingga pasien bisa melihat rekam mediknya sendiri. Tetapi ternyata pencatatan dilakukan secara manual terlebih dulu, sehingga semua data akan kembali disimpan pada rak-rak rekam medik. Rumah Sakit sebesar dan sudah tipe B Pendidikan belum melakukan rekam medik elektronik, sehingga saat pasien berkunjung berkutnya dipastikan akan menunggu karena ruang penyimpan rekam medik juga terpisah.

Meskipun masa-masa menunggu sangat tidak nyaman. Sejak datang hingga selesai layanan memerlukan waktu 2 jam, saya lupa berapa lamanya untuk proses pemeriksaan. Antrian obat di Apotik yang bisa mencapai 1-2 jam. Ternyata waktu yang diperlukan pasien sekali berobat bisa mencapai waktu 4 jam.

Setelah proses pemeriksaan selesai dilakukan, maka pasien kembalikan rekammedis di loket poli dan membawa resep. Kemudian disini dijelaskan bahwa untuk pemeriksaan berikutnya dapa menggunakan pendaftaran melalui layanan sms, pendaftaran dilakukan sehari sebelumnya dengan maksimal pendaftaran sebelum pukul 15.00. Melalui mekanisme ini dapat mengurangi bertumpuknya antrian loket umum, tetapi kenyataannya antrian juga masih banyak. Pendaftaran melalui jalur sms disediakan loket khusus, dan pendaftarannya cukup cepat.

Apalagi pendaftaran ini jika bisa dihubungkan dengan system informasi rumah sakit, maka tidak perlu ada antrian loket di poli. Jika diamati dari infrastruktur dan tenaga sebetulnya hal ini bisa dilaksanakan, tetapi sebagai pasien tidak dapat melihat kebijakan dalam rumah sakit. Harapan semua pasien tentunya antrian dan waktu yang digunakan untuk pemeriksaan tidak terlalu lama.

Semoga hal seperti dapat diperbaiki, sehingga dapat memberikan pelayanan yang memuaskan. Dari rekaman peristiwa seperti ini tentunya dapat dijadikan pembelajaran (lesson learnt) bagi rumah sakit atau pasien.

Yusrianti. KMPK/NIM. 18/433588/PKU/17501

Pengalaman saya mengenai waktu tunggu di poliklinik Rumah Sakit terjadi pada bulan April yang lalu, saya berobat ke poliklinik di RS X, pada saat tiba di RS pukul 09.00 wib, saya mendapatkan nomer antrian 39. Ada tiga loket pendaftaran pasien, satu untuk melayani pasien baru, satu untuk pasien lama dari pasien BPJS dan umum, dan satu lagi loket pendaftaran khusus untuk kalangan RS sendiri, pasien hemodialisa dan pasien poli mata. Sedangkan loket pendaftaran untuk pasien umum dan BPJS tersebut jumlah pasien nya lumayan banyak. Saya menunggu hingga jam 11.30 wib baru dipanggil untuk melakukan pendaftaran. Setelah menyerahkan berkas-berkas yang diperlukan untuk berobat, saya ke poliklinik.

Di poliklinik juga demikian, saya menunggu kembali selama satu jam. Setelah selesai diperiksa dan diberi resep obat saya bertanya ke petugas poliklinik mengenai lama waktu saya berobat. Padahal berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit terkait dengan waktu tunggu pasien di rawat jalan ≤ 60 menit(1). Petugas poliklinik berkata, “Jika ingin berobat harus daftar dahulu sehari sebelumnya supaya tidak terlalu lama mengantri di loket pendaftaran.” Bagaimana dengan pasien yang dari luar kota? Mereka tidak tahu mengenai hal ini, sudah datang jauh-jauh dalam keadaan sakit malah harus menunggu lama. Memang ada pemberitahuan mengenai pendaftaran lewat wa ditempel di meja pengambilan nomer pendaftaran, tapi tidak ada informasi atau pemberitahuan ke pasien dari bagian pendaftaran agar pasien bisa mendaftar lewat wa sehari sebelum berobat.

Waktu tunggu yang lama bagi pasien poliklinik akan mempengaruhi mutu pelayanan kesehatan dan tingkat kepuasan pasien di Rumah Sakit. Jika hal ini terjadi terus menerus mengakibatkan ketidakpuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan di rumah sakit (2,3).

Di loket pendaftaran untuk pasien baru di RS X tadi, saya diberikan inform consent untuk ditandatangani pasien oleh petugas loket pendaftaran, petugas meminta saya menandatangani informed consent tersebut, petugas memberikan informasi yang minimalis mengenai informed consent. Petugas hanya meminta saya untuk mengisi data dan menandatangani informed consent tersebut tanpa menjelaskan apa kegunaan informed consent tersebut bagi saya. Setelah saya baca dan menyetujui isi dari informed consent tersebut, saya menandatanganinya.

Lesson learn yang bisa saya ambil dari pengalaman saya mengenai waktu tunggu di poliklinik Rumah Sakit dan ketepatan waktu dalam pelayanan kesehatan adalah;

  • Sebaiknya loket pendaftaran untuk pasien ditambah, guna mengurangi waktu tunggu yang lama bagi pasien.
  • Sebagai petugas dalam memberikan pelayanan kesehatan hendaknya memberikan informasi yang lengkap dan akurat. Sebaiknya petugas kesehatan dalam melayani masyarakat harus menjelaskan mengenai informed consent dan kegunaan nya pada pasien. Bahwa dalam prosedur pelaksanaan pemberian informasi pada informed consent terdapat tujuan dari informed consent supaya pasien mendapat informasi yang cukup untuk mengambil keputusan atas tindakan yang akan dilaksanakan terhadap dirinya(4). Dan menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, yang mengatur mengenai Informed Consent bahwa Informed consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut(5).

Referensi

  1. Menteri Kesehatan RI. Menteri Kesehatan RI no 129 tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit. 2008. p. 1–55.
  2. Torry, Koeswo M, Sujianto D. Faktor yang Mempengaruhi Waktu Tunggu Pelayanan Kesehatan kaitannya dengan Kepuasan Pasien Rawat Jalan Klinik penyakit dalam RSUD Dr . Iskak Tulungagung. J Kedokt Brawijaya. 2016;29(3):252–7.
  3. Almomani I, AlSarheed A. Enhancing outpatient clinics management software by reducing patients’ waiting time. J Infect Public Health [Internet]. 2016;9(6):734–43. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.jiph.2016.09.005 
  4. Octaria H, Trisna WV. Pelaksanaan Pemberian Informasi dan Kelengkapan Informed Consent di Rumah Sakit Umum Daerah Bangkinang ( RSUD Bangkinang ). J Kesehat Komunitas. 2016;3(2):59–64.
  5. Kemenkes RI. Permenkes 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran [Internet]. 2008. p. 1–10. Available from: http://pelayanan.jakarta.go.id/download/regulasi/peraturan-menteri-kesehatan-nomor-290-tahun-2014-tentang-persetujuan-tindakan-kedokteran.pdf