Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Full pages

PKMK-Yogyakarta. Indonesian Healthcare Quality Network (IHQN) bekerja sama dengan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM menyelenggarakan Forum Mutu IHQN ke-21. Tahun ini, Forum Mutu mengangkat tema besar "Strengthening Health Quality Management Systems For Better Patient Outcome". Kegiatan ini menjadi wadah bagi para praktisi dan pemangku kepentingan untuk mendiskusikan implementasi kebijakan mutu kesehatan terbaru di Indonesia dan menghasilkan perspektif untuk mendukung transformasi sistem kesehatan.

Acara yang diselenggarakan di Yogyakarta pada Rabu (10/12/2025) ini dihadiri oleh 30 peserta luring dan 120 peserta daring melalui Zoom Meeting, menunjukkan tingginya minat terhadap isu kualitas pelayanan kesehatan.

fm 1Dalam sambutan pembuka, Ketua PKMK FK-KMK UGM, Dr. dr. Andreasta Meliala, M.Kes., MAS, menekankan pergeseran fokus mutu menuju Patient Outcome. “Tujuan akhir dari peningkatan kualitas pelayanan adalah seberapa baik pasien merasakan peningkatan kualitas hidup setelah dilakukan perawatan, baik untuk penyakit akut maupun penanganan canggih seperti stem cell," ujar Dr. Andreasta. Andre menegaskan perlunya sistem pelaporan mutu yang kuat dan akuntabel, sehingga dinas kesehatan dapat memastikan protokol daerah berjalan konsisten dan laporan mutu disampaikan secara berkala.

Senada dengan hal tersebut, Ketua IHQN, Dr. dr. Hanevi Djasri, MARS, FISQua, mengutip Donald Berwick bahwa tujuan akhir dari setiap microsystem organisasi adalah menciptakan outcome klinis dan experience yang baik. Ia juga menyinggung pentingnya peran generasi muda, berharap "Gen Z diharapkan menjadi pemimpin di RS dan fasyankes dengan mutu yang kuat." Hanevi juga menyoroti peran sistem informasi dan pemanfaatan aspek klinis digital dalam mendukung mutu, seperti penggunaan digital tower untuk kasus stroke.

TOPIK 1

Sinergi Kebijakan Menuju Mutu Kesehatan

fm 2Sesi pertama menghadirkan Prof. dr. Adi Utarini, MSc, MPH, Ph.D, yang memaparkan materi "Mewujudkan Pelayanan Kesehatan Bermutu melalui Sinergi Kebijakan dan Implementasi Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 Tahun 2025".

Prof. Adi menyoroti bahwa Indonesia sedang berada di tengah perubahan besar. Adi berharap Indonesia dapat segera membuat Annual Report Mutu bukan sekadar laporan burden penyakit atau cakupan program tetapi laporan yang menunjukkan perbaikan kualitas dari waktu ke waktu berdasarkan apa yang dirasakan pasien. Adi memaparkan Rencana Strategis (Renstra) Kemenkes 2025-2029 yang memiliki enam tujuan, dimana Tujuan ke-2 secara spesifik terkait dengan mutu. Namun, pihaknya mengakui adanya kelemahan implementasi yang berfokus di internal Kemenkes serta tantangan dalam kuantitas dan kualitas data. Diharapkan, Rencana Aksi Nasional (RAN) Mutu Pelayanan Kesehatan 2025 dapat mendukung Renstra ini, khususnya dalam aspek mutu klinis dan keselamatan pasien. Adi menjelaskan bahwa Rencana Strategi Nasional (Strategi) terdiri dari tiga poin besar memahami strategi itu sendiri, aksi implementasi (yang tercantum dalam Renstra Kemenkes), dan pendukung analisis ekonomi serta proses penyusunan strategi yang melibatkan banyak pihak.

Proses pengembangan strategi nasional (Strategy Developing National Program) melibatkan enam fase, termasuk monitoring, evaluasi, dan review. Poin penting lain yang disoroti adalah Contingency Measure, dimana bencana (seperti di Sumatera) atau pandemi global dapat menyebabkan kemunduran signifikan bahkan hingga lima tahun dari capaian yang sudah diraih.

Di akhir sesinya, pihaknya mengajak para calon pemimpin dan stakeholder dari tingkat dinas kabupaten, provinsi, hingga kementerian untuk bergerak bersama-sama mempelajari dan mengimplementasikan Renstra Kemenkes demi perbaikan mutu pelayanan kesehatan.

fm 3Sesi berikutnya menghadirkan Kepala Dinas Kesehatan DIY, dr. Gregorius Anung Trihadi, MPH, yang membahas aspek mutu dalam implementasi PMK Nomor 11 Tahun 2025 di Provinsi Yogyakarta. Anung menyebut dinamika regulasi beberapa tahun terakhir sebagai “badai regulasi” yang memaksa institusi pelayanan kesehatan melakukan penyesuaian secara cepat. Pihaknya menguraikan implikasi kebijakan baru, termasuk perubahan perizinan berusaha yang kini berlaku sepanjang institusi beroperasi, perubahan definisi rumah sakit menjadi berbasis kompetensi dengan minimal 50 tempat tidur, serta pelimpahan kewenangan perizinan kepada Bupati dan Wali Kota dengan batas waktu 28 hari.

Anung menyampaikan bahwa "badai regulasi" yang terjadi beberapa tahun terakhir menantang institusi pelayanan kesehatan untuk terus melakukan penyesuaian. Narasumber juga membahas PMK Nomor 11 Tahun 2025 dan kaitannya dengan PMK Nomor 5 Tahun 2025 yang salah satunya mengatur perizinan berusaha berbasis Online Single Submission (OSS).

Implikasi signifikan dari regulasi baru ini meliputi Perizinan berusaha berlaku sepanjang pelaku usaha menjalankan kegiatan, berbeda dengan lisensi 5 tahun sebelumnya. Rumah Sakit kini berbasis kompetensi dengan minimal 50 tempat tidur, bukan lagi berbasis kelas. Perizinan saat ini menjadi kewenangan Bupati dan Walikota, dengan batas waktu 28 hari sejak berkas masuk. Anung mengakui tantangan di lapangan, terutama terkait pemetaan monitoring Fasyankes dan permintaan panduan jelas mengenai sanksi administratif bagi Fasyankes yang gagal meningkatkan mutu. Pihaknya juga menegaskan bahwa, di DIY yang mencapai hampir 100% coverage JKN, Akreditasi tetap menjadi komponen penting sebagai standar kerjasama BPJS.

Reporter :

Salwa Nada Agfi Arofah
(Divisi Mutu PKMK FK-KMK UGM)

 

 

 

Rekaman video dan materi dapat diakses melalui link berikut

FORUM MUTU IHQN xxi

 

 

Bagian 1

DISCO with Patients, Patient Advocates, and Healthcare Teams – A Healthcare Improvement Collaboration Platform

Presentasi ini oleh Keith Heng dari SingHealth, memperkenalkan platform kolaborasi DISCO (Design, Ideate, Sustain, Change for Organisation) yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas perawatan pasien dengan melibatkan pasien, advokat, dan tim kesehatan. Presentasi ini menyoroti bagaimana DISCO Café menjadi platform inovatif yang menggabungkan ide-ide dari berbagai pihak untuk meningkatkan perawatan kesehatan yang lebih berpusat pada pasien.

Poin-poin utama:

  1. Tentang SingHealth dan IPSQ:
    • SingHealth adalah kelompok institusi kesehatan terbesar di Singapura, mencakup 4 rumah sakit umum, 3 rumah sakit komunitas, 5 pusat spesialis nasional, dan 8 poliklinik.
    • Institut Keselamatan Pasien & Kualitas (IPSQ) di bawah SingHealth didirikan pada 2017 dan berperan dalam mengintegrasikan usaha keselamatan dan kualitas pasien di Singapura melalui program pendidikan berkelanjutan yang berfokus pada peningkatan kualitas perawatan dan inovasi.
  2. Masalah dalam Upaya Peningkatan Kesehatan Tradisional:
    • Sebelum adanya DISCO Café, upaya peningkatan kualitas kesehatan sering kali terhambat oleh adanya silo antar departemen, kurangnya visi bersama, dan komunikasi yang terbatas antara pasien dan penyedia layanan kesehatan.
  3. DISCO Café:
    • Diluncurkan pada Maret 2023, DISCO Café adalah platform kolaboratif yang mempertemukan tim proyek, advokat pasien, dan ahli materi untuk bertukar ide melalui proses ideasi terstruktur.
    • Acara ini melibatkan sesi "table hopping" di mana berbagai ide dikembangkan dengan bimbingan ahli dari SingHealth dan jaringan institusi lainnya.
    • DISCO Café bertujuan untuk memperkuat ide proyek, memfasilitasi kolaborasi antar-disiplin, dan memperkuat fokus pada perawatan yang berpusat pada pasien.
  4. Co-creation dengan Pasien:
    • DISCO Café menekankan pentingnya co-creation, di mana pasien dan tim kesehatan bekerja bersama untuk menemukan solusi yang relevan dan efektif. Ini menciptakan pemahaman yang lebih baik tentang perjalanan pasien dan menghasilkan solusi yang lebih berpusat pada pasien.
    • SingHealth Patient Advocacy Network (SPAN), yang terdiri dari pasien dan keluarga, berkolaborasi erat dengan tim kesehatan untuk memberikan perspektif berharga dan meningkatkan pengalaman perawatan.
  5. Hasil dan Umpan Balik:
    • Dari tiga sesi DISCO Café yang telah dilaksanakan, sebanyak 94% peserta menyatakan manfaat dari sesi tersebut, dan 88% merasa konten relevan dengan proyek mereka.
    • Umpan balik menunjukkan bahwa peserta dapat memperoleh perspektif yang beragam dan ide-ide baru yang bermanfaat bagi proyek mereka.
  6. Tema DISCO Café:
    • Sesi pertama pada Maret 2023 berfokus pada "Membangun Layanan Digital untuk Meningkatkan Pengalaman Pasien".
    • Sesi kedua pada September 2023 mengangkat tema "Meningkatkan Keterlibatan dan Pemberdayaan Pasien & Pengasuh".
    • Sesi ketiga yang direncanakan pada April 2024 akan membahas "Transportasi Aman Pasien di Fasilitas Kesehatan".

Penulis: dr. Eka Viora, SpKJ, FISQua

 

 

  Ke halaman utama

 

 

Bagian 1

Can ‘Living’ Guidelines Be Made and If So Will They Be Used? An Evaluation of the Australian Living Stroke Guidelines

Presentasi ini oleh Prof. Peter Hibbert dan timnya dari Australian Institute of Health Innovation mengevaluasi Living Stroke Guidelines (LSGs) di Australia, yang berfokus pada penerapan panduan klinis yang diperbarui secara berkala untuk perawatan stroke. Presentasi ini menyimpulkan bahwa panduan ‘living’ seperti LSGs dapat meningkatkan kualitas perawatan dengan memastikan panduan yang selalu diperbarui dan relevan dengan perkembangan bukti terbaru.

Poin-poin utama:

  1. Panduan Praktik Klinis (CPGs):
    • CPGs adalah pernyataan yang mencakup rekomendasi untuk mengoptimalkan perawatan pasien, berdasarkan tinjauan sistematis bukti dan penilaian manfaat serta risiko pilihan perawatan.
    • Panduan ini telah menjadi bagian dari sistem kesehatan sejak 1990-an untuk meningkatkan kualitas perawatan pasien. Namun, masalah seperti duplikasi, ukuran dokumen yang besar, dan keterlambatan pembaruan sering terjadi.
  2. Masalah dengan Panduan yang Usang:
    • Satu dari lima rekomendasi dalam panduan klinis menjadi usang dalam waktu tiga tahun. Hal ini menekankan pentingnya pembaruan yang lebih cepat.
  3. Panduan ‘Living’ (LSGs):
    • LSGs adalah pendekatan baru di mana panduan diperbarui secara berkala berdasarkan bukti terbaru, sehingga rekomendasi dapat diubah seiring dengan munculnya data baru. Panduan ini berbeda dari pendekatan tradisional yang merevisi seluruh dokumen sekaligus.
    • Stroke Foundation Australia, bekerja sama dengan Cochrane Australia, mulai menerapkan metode pengembangan panduan ‘living’ ini pada 2017, termasuk lebih dari 300 rekomendasi yang mencakup 80 topik klinis.
  4. Evaluasi LSGs:
    • Evaluasi dilakukan untuk memahami dampak LSGs terhadap beban kerja, efisiensi produksi panduan, dan penerimaan di antara pengguna akhir. Evaluasi menggunakan metode survei kuantitatif dan wawancara kualitatif, serta data Google Analytics untuk mengukur akses panduan selama lima tahun.
    • Hasil survei menunjukkan bahwa 69% pengguna memiliki kepercayaan yang lebih besar pada LSGs dibandingkan versi statis sebelumnya, dan 66% mengikuti rekomendasi panduan.
  5. Hambatan dan Fasilitator dalam Pengembangan LSGs:
    • Hambatan termasuk kurangnya integrasi antara platform perangkat lunak dan alat kolaboratif serta beban kerja yang tidak dapat diprediksi. Namun, kolaborasi antara pemangku kepentingan dan pengakuan kontribusi menjadi fasilitator utama.
    • Meskipun panduan ini meningkatkan kepercayaan dan kredibilitas, ada kekhawatiran tentang kesinambungan dan pendanaan yang berkelanjutan.
  6. Kesimpulan:
    • LSGs dapat diimplementasikan secara berkelanjutan dalam lembaga yang memiliki sumber daya yang baik. Panduan ini memungkinkan pembaruan rekomendasi yang terus menerus sesuai dengan bukti baru.
    • Ke depan, fokus harus diarahkan pada kondisi dengan beban penyakit yang tinggi dan perubahan bukti yang cepat, serta pentingnya komunikasi yang efektif dan penyediaan sumber daya untuk mendukung adopsi panduan yang terus berubah.

Penulis: dr. Eka Viora, SpKJ, FISQua

 

 

  Ke halaman utama

Bagian 1

The Patient Engagement Puzzle

isq 6"Patient Engagement Puzzle" adalah sebuah konsep yang menggambarkan kompleksitas dalam melibatkan pasien dalam perawatan kesehatan sehingga kita dapat merancang kebutuhan pasien secara bersama dengan karakteristik atau kebutuhan yang berbeda, baik yang menghadapi berbagai jenis stigma atau yang mungkin menunjukkan kerentanan yang dinamis selama menjalani perawatan. Keterlibatan pasien melibatkan banyak aspek, mulai dari pemahaman pasien tentang kondisi mereka, komunikasi antara pasien dan penyedia layanan kesehatan, hingga dukungan sistem kesehatan yang memadai. Semua aspek ini saling terkait dan membentuk sebuah gambaran yang kompleks. Berikut ini terdapat 2 pemateri yang membahas secara detail mengenai Patient Engagement Puzzle yang dimoderatori oleh Anna Edwards seorang Associate Director Transformation and Change.

Nidhi Swarup adalah seorang Pendiri dan Presiden Crohn’s & Colitis Society of Singapore (CCSS) sejak 2012. Beliau telah memfasilitasi pembentukan Kelompok Dukungan Pasien IBD di Thailand, Malaysia, Filipina, dan India. Nidhi menyampaikan presentasi yang berjudul “Co- Design Healthcare Ecosystem Including Patient Experience”. dengan menggambarkan ketika seseorang mendapat diagnosis penyakit kronis seperti Crohn's Disease, hal ini bisa menjadi pengalaman yang sangat mengejutkan dan menimbulkan banyak pertanyaan. Beberapa pertanyaan umum yang sering muncul adalah: 1) Apakah ini kesalahan saya? Banyak orang merasa bersalah atau menyalahkan diri sendiri atas kondisi kesehatan mereka. 2) Bisakah saya mencegahnya? Mungkin akan mencari tahu apakah ada sesuatu yang bisa mereka lakukan untuk mencegah penyakit ini. 3) Apakah penyakit ini diturunkan? Mereka mungkin khawatir tentang risiko penyakit ini pada keluarga mereka. 4) Apakah penyakit ini menular? Mereka mungkin khawatir akan menularkan penyakit ini kepada orang lain. 5) Apakah saya perlu operasi? Mereka mungkin khawatir tentang prosedur medis yang mungkin diperlukan untuk mengobati penyakit mereka.

Setiap orang akan mengalami emosi yang berbeda-beda dan dengan intensitas yang berbeda pula. Nidhi juga menyampaikan kompleksitas hidup dengan penyakit kronis. Tidak hanya dampak fisik yang langsung terlihat, tetapi juga dampak emosional, finansial, dan sosial yang seringkali tidak terduga dan dapat sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien dan keluarganya. Penting untuk memahami kompleksitas penyakit kronis: Tidak hanya gejala fisik yang perlu diperhatikan, tetapi juga aspek emosional, finansial, dan social, dan Dukungan dari keluarga, teman, dan profesional kesehatan sangat penting: Dukungan ini dapat membantu pasien mengatasi tantangan yang mereka hadapi. Untuk melakukan analisis lebih dalam terkait Patient Engagement Puzzle, menurut Nidhi perlu melakukan SWOT Analisis untuk mengetahui Pendidikan, Pengalaman, Celah dalam pelayanan dan penyakit yang membutuhkan perhatian khusus. Analisis tersebut penting agar pasien dapat terlibat secara aktif dalam merencanakan, memberikan, dan mengevaluasi perawatan kesehatan mereka sendiri. Ini melibatkan kerja sama antara pasien, penyedia layanan kesehatan, dan pihak terkait lainnya untuk membuat keputusan yang berpusat pada pasien. Serta bagaimana setiap pemangku kepentingan dapat berperan dalam co-creating tersebut.

Menurut Nidhi ada empat poin utama yang diharapkan oleh pasien pelayanan kesehatan di masa depan, yakni dari sisi Pasien & Dokter Umum (GP) yakni Bimbingan personal menggunakan aplikasi yang dapat dikenakan (misalnya wearable apps) dan perangkat medis, Fokus pada pengelolaan kondisi kronis. Sisi Spesialis & Pasien yakni dengan penggunaan kecerdasan buatan (AI) untuk diagnosis yang lebih awal dan akurat, Edukasi pasien yang terkurasi, Pengawasan melalui alat digital dan konsultasi jarak jauh (telekonsultasi), Ko-kreasi rencana perawatan yang dipersonalisasi, serta Kemitraan Spesialis-Pasien-Peneliti dengan meluangkan waktu untuk membangun hubungan saling percaya, Pengambilan keputusan bersama untuk perawatan holistic, Identifikasi kebutuhan pasien yang belum terpenuhi, Ko-kreasi penelitian dan pengembangan (R&D) serta uji klinis, dan Diskusi Tepat Waktu: Pedoman medis lanjutan, Pengambilan keputusan kritis dalam perawatan, Pembahasan tentang isu-isu update dan perawatan paliatif.

Arda Karapinar (alias Minas Panosian) adalah seorang aktivis pengobatan HIV global, penulis komunitas, dan pendiri Red Ribbon Istanbul Association, organisasi masyarakat sipil/penyedia informasi terkemuka di Turki yang berfokus pada HIV. Panosian memulai presentasinya dengan menyoroti bagaimana penyakit baru dapat membawa tantangan sekaligus peluang bagi pasien dan penyedia layanan kesehatan untuk melakukan perubahan positif. Dimulai dari awal dari perjalanan seseorang setelah didiagnosis dengan suatu penyakit baru, lalu muncul ketidakpastian atau kekurangan informasi mengenai penyakit tersebut, bahkan memanfaatkan kesempatan dalam menghadapi tantangan penyakit dengan cara-cara baru melalui pendekatan inovatif dalam perawatan atau pengobatan, dan sampai pada level menunjukkan bahwa ada peluang baru yang dapat diambil dari situasi yang dihadapi pasien, baik dalam hal perawatan kesehatan, teknologi, atau pendekatan hidup yang baru.

Panosian juga menekankan pentingnya pendekatan yang lebih manusiawi dan holistik dalam pelayanan kesehatan, seperti yang dicontohkan pada pelayanan HIV. Tidak hanya fokus pada penyakit, perawatan kesehatan harus juga memperhatikan aspek-aspek lain dari kehidupan seseorang bahwa setiap individu memiliki pengalaman dan kebutuhan yang unik, sehingga perawatan harus disesuaikan dengan kondisi masing-masing. Diagnosis penyakit seringkali membawa dampak psikologis yang besar, seperti stigma dan isolasi sosial, dan penting untuk diketahui bahwa komunitas memiliki peran penting dalam memberikan dukungan emosional dan sosial bagi individu yang sedang menjalani pengobatan sehingga pasien harus menjadi pusat dari semua keputusan perawatan, tenaga kesehatan memiliki tanggung jawab untuk memberikan perawatan yang komprehensif dan mendukung pasien secara holistic, serta komunitas harus terlibat dalam memberikan dukungan kepada individu yang sedang sakit.

Poin-poin utama:

  1. Pelayanan kesehatan harus dapat memberikan ekosistem perawatan yang lebih holistik, dengan pendekatan yang berpusat pada pasien.
  2. Pelayanan kesehatan sebaiknya memahami bahwa setiap pasien menghadapi pengalaman emosional yang berbeda-beda, yang memerlukan pendekatan individual dalam menangani kondisi mereka sehingga treatment dapat dilakukan sesuai dengan kondisi pasien.
  3. Penyakit baru tidak hanya membawa tantangan, tetapi juga peluang bagi pasien dan penyedia layanan kesehatan untuk melakukan perubahan positif.

Penulis: Penulis: Andriani Yulianti, SE MPH

 

 

  Ke halaman utama