Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Penerapan Surgical Safety Checklist dan Tantangannya

Penulis: dr. Robertus Arian Datusanantyo, M.P.H., M.Ked.Klin., SpBP-RE

Ceklis keselamatan pembedahan atau surgical safety checklist (SSC) diluncurkan World Health Organization (WHO) tahun 2008 dalam the second global patient safety challenge: safe surgery saves lives. Panduan lengkapnya diterbitkan WHO tahun 2009 dan memuat sepuluh tujuan esensial keselamatan pembedahan, ceklis standar, dan manual pelaksanaan bagi rumah sakit. Dokumen-dokumen ini dapat diakses secara daring dan gratis di situs WHO.

Pelaksanaan SSC di Indonesia sendiri diperkenalkan oleh Komisi Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKP-RS) dalam rangkaian dengan six goals gerakan keselamatan pasien. Lebih lanjut, implementasi SSC diformalkan dalam standar nasional akreditasi rumah sakit sejak tahun 2012. Seluruh rumah sakit di Indonesia yang telah terakreditasi hampir pasti telah menerapkan SSC pada saat persiapan survei akreditasi.

Namun demikian, apakah penerapan tersebut menjadi bagian dari gaya hidup sehari-hari tetap menjadi pertanyaan besar tidak hanya di Indonesia namun juga di seluruh dunia. Hal ini menjadi penting karena usia SSC sudah melampaui satu dekade. Sebuah survei yang mencakup 94 negara di tahun 2014-2016 menemukan bahwa SSC diterapkan pada hampir 80% pembedahan dengan berbagai variasi berdasarkan human development index (HDI) dan macam pembedahan (Delisle et al., 2020). Survei ini menemukan bahwa HDI memainkan peranan penting dalam variasi penerapan SSC. Pada negara dengan HDI yang tinggi dan sangat tinggi, SSC lebih sering diterapkan dan berimbang baik pada operasi elektif maupun urgent. Pada negara dengan HDI sedang dan rendah, penerapan SSC lebih jarang. Penerapan di negara dengan HDI sedang dan rendah juga lebih jarang pada pembedahan urgen dibanding elektif.

Temuan mengenai korelasi penerapan SSC dengan HDI menunjukkan bahwa SSC sebenarnya dikenal pada negara-negara dengan HDI sedang dan rendah namun penerapannya tidak konsisten. Walaupun dirancang untuk dapat digunakan secara universal, diduga penerapannya tidak konsisten pada saat sumber daya yang diperlukan untuk penerapannya secara penuh tidak tersedia (Delisle et al., 2020). Dalam konteks sehari-hari, infrastruktur yang tersedia dan keberadaan peralatan dan tenaga terlatih menjadikan penerapan SSC adalah tantangan unik di banyak tempat (Weiser & Haynes, 2018). Menurut daftar HDI 2017 yang menjadi acuan penelitian ini, Indonesia memiliki HDI 0,694 (medium/sedang).

Sekelompok dokter anestesi di India juga pernah melakukan telaah pustaka mengenai kendala penerapan SSC. Telaah ini menyebut masalah hirarki, penundaan pelayanan, penambahan beban kerja, situasi darurat, kecemasan pasien, kurangnya pemahaman terhadap esensi, dan masalah saat operasi selesai sebagai kendala dalam penerapan SSC (Jain, Sharma & Reddy, 2018). Telaah ini menarik karena masalah-masalah ini dalam praktik sehari-hari di Indonesia kerap kita jumpai.
Pertama mengenai hirarki. Dalam berbagai pertemuan mengenai keselamatan pasien di berbagai tingkat dan oleh berbagai pihak, komunikasi selalu ditekankan sebagai salah satu hal penting yang perlu diintervensi. Salah satu unsur dalam komunikasi ini adalah hirarki. Tidak jarang kita jumpai tenaga kesehatan yang lebih junior atau lebih sedikit jumlah tahun pelatihannya tidak memiliki keberanian untuk mengutarakan suatu usulan atau peringatan di kamar bedah. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memperpendek jeda hirarki ini (Green et al., 2017).

Kedua mengenai keluhan dari kru kamar bedah. Keluhan-keluhan penerapan SSC sama saja dijumpai di berbagai tempat: menunda mulai operasi, menambah beban kerja, dan sekedar dianggap sebagai tugas mengisi ceklis. Penundaan mulai operasi tentu berkaitan dengan time out. Diperlukan suatu kerja sama yang baik antara perawat kamar bedah, dokter bedah, dan dokter anestesi. Berbagai penelitian telah menunjukkan manfaat dilakukannya time out dan salah satunya adalah menghindari sentinel event (Papadakis, Meiwandi & Grzybowski, 2019).

Ketiga adalah kendala terbesar, yaitu mengenai sign out. Terdapat kendala yang unik pada saat pengisian ceklis untuk sign out karena adanya perbedaan persepsi waktu selesai operasi menurut dokter bedah, dokter anestesi, dan perawat (Jain, Sharma & Reddy, 2018). Pada saat “operasi selesai”, dokter bedah terkadang sudah meninggalkan kamar bedah untuk mengisi laporan di ruangan lain atau beristirahat sebelum operasi berikutnya. Pada saat bersamaan, perawat kamar bedah sibuk untuk mengurus sampel jaringan yang diambil, atau mengumpulkan dan menghitung kembali peralatan dan mulai membersihkannya. Sementara itu, dokter anestesi berada pada saat-saat yang kritis membangunkan pasien dan membuat asesmen untuk rencana pascaoperasi. Sign out, dengan demikian tidak mendapatkan perhatian penuh dari seluruh tim operasi.

Pertanyaan berikutnya adalah apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki kondisi ini? Jawabannya cukup sederhana, yaitu mengenali apa penyebab SSC yang tidak dapat dengan baik diterapkan dan mulai dari situ. Meski sederhana, hal ini tidak mudah dilaksanakan. Sebagai contoh mengenai hirarki. Perusahaan-perusahaan penerbangan telah berkutat dengan masalah ini untuk memperbaiki pola komunikasi antara pilot dan kopilot dengan tujuan utama meningkatkan keselamatan penerbangan (Green et al., 2017). Beberapa berhasil dengan baik. Dalam konteks di Indonesia, hirarki ini lebih menantang untuk diintervensi karena berkaitan erat dengan budaya setempat.

Berikutnya lebih teknis seperti memilih champion, meningkatkan pelatihan, mulai secara perlahan dengan target terukur, menyesuaikan format ceklis dengan muatan lokal, dan audit berkala (Jain, Sharma & Reddy, 2018). Penyesuaian format ceklis ini penting untuk meningkatkan cakupan keterlibatan personel kamar bedah sehingga ceklis bukan menjadi tanggung jawab satu orang. Satu inovasi yang kemungkinan belum dicoba di Indonesia adalah melibatkan pasien dalam proses time out. Cara ini membutuhkan kesadaran penuh dari pasien mengenai manfaat time out dalam pembedahannya dan terbukti tidak meningkatkan kecemasan pasien (Papadakis, Meiwandi & Grzybowski, 2019).

Uraian di atas diharapkan dapat membantu kita di Indonesia untuk menilik kembali bagaimana penerapan SSC di rumah sakit masing-masing. Mengingat bahwa SSC diciptakan untuk dapat diadaptasi secara universal dan telah terbukti bermanfaat, maka ada alasan signifikan penerapannya secara optimal di Indonesia. Perlu digarisbawahi, SSC harus menjadi gaya hidup yang disadari seluruh kru kamar operasi dan bukan sekedar tugas mengisi ceklis semata. Semoga tulisan ini dapat memantik perhatian lebih mengenai penerapan SSC di rumah sakit masing-masing. Salam sehat!

Penulis
Penulis adalah dokter spesialis alumni Universitas Gadjah Mada dan Universitas Airlangga, tinggal di Sidoarjo.

Kepustakaan

  • Delisle, M., Pradarelli, J. C., Panda, N., Koritsanszky, L., Sonnay, Y., Lipsitz, S., Pearse, R., Harrison, E. M., Biccard, B., Weiser, T. G. & Haynes, A. B. (2020) ‘Variation in global uptake of the Surgical Safety Checklist’, British Journal of Surgery, 107(2), pp. e151–e160. doi: 10.1002/bjs.11321.
  • Green, B., Oeppen, R. S., Smith, D. W. & Brennan, P. A. (2017) ‘Challenging hierarchy in healthcare teams – ways to flatten gradients to improve teamwork and patient care’, British Journal of Oral and Maxillofacial Surgery. British Association of Oral and Maxillofacial Surgeons, 55(5), pp. 449–453. doi: 10.1016/j.bjoms.2017.02.010.
  • Jain, D., Sharma, R. & Reddy, S. (2018) ‘WHO safe surgery checklist: Barriers to universal acceptance’, Journal of Anaesthesiology Clinical Pharmacology, 34(1), pp. 7–10. doi: 10.4103/joacp.JOACP_307_16.
  • Papadakis, M., Meiwandi, A. & Grzybowski, A. (2019) ‘The WHO safer surgery checklist time out procedure revisited: Strategies to optimise compliance and safety’, International Journal of Surgery. Elsevier, 69(May), pp. 19–22. doi: 10.1016/j.ijsu.2019.07.006.
  • Weiser, T. G. & Haynes, A. B. (2018) ‘Ten years of the Surgical Safety Checklist’, British Journal of Surgery, 105(8), pp. 927–929. doi: 10.1002/bjs.10907.