Instalasi Gawat Darurat dan Etalase Rumah Sakit

Pendahuluan

Di berbagai tempat banyak disebutkan bahwa instalasi gawat darurat (IGD) adalah etalase pelayanan rumah sakit. Disebut demikian karena IGD dianggap sebagai paparan pertama pasien akut yang datang ke rumah sakit. Mereka yang percaya bahwa IGD adalah etalase rumah sakit mengatakan bahwa mutu rumah sakit dan bagaimana pelayanannya akan tergambar jelas dari bagaimana pasien di IGD diperlakukan. Sebagai etalase, IGD dianggap mewakili mutu rumah sakit. Dalam kerangka perbaikan mutu IGD, hal ini dapat diterima karena meningkatkan motivasi peningkatan kinerja staf IGD.

Sistem Mikro, Rantai Nilai, dan Regulasi

Meskipun demikian, dengan cara pandang bahwa IGD adalah salah satu sistem mikro di rumah sakit (Berwick 2002), sebutan ini perlu dievaluasi. Sistem mikro adalah sekumpulan orang yang secara teratur bekerja sama melayani suatu subpopulasi tertentu (Nelson et al. 2002). Sistem mikro biasanya merupakan bagian dalam suatu sistem makro tertentu dan saling terhubung dengan sistem-sistem mikro yang lain secara longgar maupun ketat. Secara umum, IGD sebagai sistem mikro merupakan bagian dari sistem makro yang disebut rumah sakit.

Di rumah sakit, sistem mikro tidak hanya IGD. Dengan batasan definisi longgar yang berubah dari waktu ke waktu, sistem mikro di rumah sakit bisa sangat bervariasi dalam hal jumlah dan bentuk. Konsep ini akan lebih menarik bila dilihat dari perspektif mutu. Faktanya, mutu rumah sakit tidak dapat melampaui mutu kumpulan sistem mikro yang ada di dalamnya. Mutu IGD, dengan demikian tidak otomatis menggambarkan mutu rumah sakit. Sebagai salah satu sistem mikro, IGD hanyalah salah satu bahan bangunan dalam mutu rumah sakit.

Pendekatan lain yang dapat dipakai mengevaluasi anggapan bahwa IGD adalah etalase rumah sakit adalah pendekatan rantai nilai dari Michael Porter. Dalam konsep rantai nilai ini, keseluruhan proses asupan sampai luaran pasien yang dilayani di IGD didukung oleh sistem pendukung yang berupa infrastruktur, kepemimpinan dan pengelolaan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, dan teknologi informasi (Acharyulu & Shekhar 2012).

Dalam konsep rantai nilai ini, keempat sistem pendukung tersebut menyangga aktivitas mulai dari asupan pasien sampai luaran pasien. Aktivitas tersebut dilakukan tidak hanya oleh IGD. Dengan demikian, paling tidak ada dua implikasi yang timbul. Implikasi pertama adalah kinerja yang tampak di IGD bukan hasil kerja staf IGD saja namun juga kinerja sistem pendukung. Kedua, kinerja sistem pendukung mempengaruhi semua pelayanan di rumah sakit. Dengan penjelasan kedua implikasi ini, semakin jelas bahwa pelayanan rumah sakit tidak dapat dilihat dari kinerja IGD saja.

Dari sisi regulasi di Indonesia, evaluasi juga dapat dilakukan terhadap anggapan bahwa IGD merupakan etalase rumah sakit. Undang-undang No. 44 Tahun 2009 dengan jelas menyatakan bahwa rumah sakit memiliki tiga macam layanan utama yaitu rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Konsep ini sejalan dengan akreditasi rumah sakit yang saat ini memiliki paradigma berpusat pada pasien, mutu, dan keselamatan pasien.

Lebih lanjut, pelayanan IGD diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 856 Tahun 2009. Dalam peraturan menteri tersebut, diatur berbagai standar mengenai IGD dalam empat tingkat pelayanan sesuai kelas rumah sakit. Ada beberapa kekhususan dalam pelayanan IGD menurut peraturan menteri ini, salah satunya mengenai indikator mutu pelayanan. Walaupun secara eksplisit tidak diatur dalam peraturan ini, salah satu tolok ukur pelayanan IGD yang baik adalah kecepatan pelayanan. Ketentuan ini berbeda dari pelayanan-pelayanan lain di rumah sakit yang lebih condong disebut sebagai pada waktu tertentu atau pada waktu yang tepat.

Dalam standar pelayanan minimal rumah sakit yang diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 129 tahun 2008 diatur bahwa IGD harus mampu memberikan pelayanan medis dalam waktu lima menit sejak pasien datang. Kecepatan dan keselamatan yang harus menjadi nafas pelayanan IGD tentu membawa konsekuensi khusus dalam pengelolaan kinerja IGD. Kekhususan ini menjadikan keterwakilan pelayanan rumah sakit tidak mungkin terjadi di IGD.

Ketiga pemikiran di atas semakin menguatkan prinsip bahwa IGD bukanlah etalase pelayanan rumah sakit. Namun demikian, sebuah penelitian pernah membandingkan data pelayanan IGD rumah sakit di Australia dan Cina. Data pasien IGD, cara masuknya, dan jenis kegawatan yang dilayani dapat membantu bagaimana rumah sakit dibandingkan satu dengan yang lainnya (Hou & Chu 2010). Beban yang diterima rumah sakit juga dapat dianalisis dari data-data tersebut. Dalam hal ini, IGD dapat menjadi tempat pengukuran yang baik bagi penilaian beban rumah sakit terhadap kasus-kasus penyakit trauma dan akut.

Penutup

Uraian di atas dapat memberikan gambaran mengapa IGD sebenarnya tidak tepat disebut sebagai etalase pelayanan rumah sakit. Dengan ketiga alasan di atas, nampak bahwa pelayanan IGD tidak mewakili pelayanan rumah sakit karena IGD menangani subpopulasi yang khusus dari populasi yang dilayani rumah sakit. Walau demikian, IGD sebagai salah satu pintu masuk rumah sakit memang perlu didukung karena penilaian customer rumah sakit dapat dimulai sejak di IGD.

Penulis

Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis: dr. Robertus Arian Datusanantyo, M.P.H.. Penulis adalah dokter, sedang melanjutkan pendidikan dokter spesialis, dan pernah memimpin instalasi gawat darurat rumah sakit tipe B.

Daftar Bacaan:

  • Acharyulu, G. & Shekhar, B.R., 2012. Role of Value Chain Strategy in Healthcare Supply Chain Management: An Empirical Study in India. International Journal of Management, 29(1), pp.91–98. [Accessed October 19, 2013] 
  • Berwick, D., 2002. A user's manual for the IOM's "Quality Chasm" report. Health Affairs, 21(3), pp.80–90. [Accessed October 19, 2013].
  • Hou, X. & Chu, K., 2010. Emergency department in hospitals , a window of the world : A preliminary comparison between Australia and China. World Journal of Emergency Medicine, 1(3), pp.180–184.
  • Nelson, E.C. et al., 2002. Microsystems in Health Care: Part 1. Learning from High-Performing Front-Line Clinical Units. The Joint Commission International Journal on Quality Improvement, 28(9), pp.472–493.