Sub Topik 1
Hari 1: 30 November 2022
Kesiapan Transformasi Layanan Rujukan
Indonesian Healthcare Quality Network (IHQN) bekerja sama dengan universitas mitra Co-Host, serta didukung oleh Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM telah menyelenggarakan Forum Mutu IHQN Ke-18, pada Rabu (30/11/22). Forum mutu tahun ini mengangkat tema “Meningkatkan Kesiapan Adaptasi dalam Transformasi Layanan Kesehatan untuk Mutu dan Keselamatan Pasien yang Lebih Baik”. Subtopik pertama membahas tentang Kesiapan Transformasi Layanan Rujukan dengan menghadirkan tiga narasumber, yaitu Prof. dr. Adi Utarini, M.Sc., MPH., Ph.D; drg. Iing Ichsan Hanafi, MARS, MH; Dr. dr. Hanevi Djasri, MARS, FISQua; dan dimoderatori oleh Ibu Lucia Evi Indriarini, SE., MPH.
Kegiatan dibuka dengan sambutan dari Dr. dr. Hanevi Djasri, MARS, FISQua selaku Ketua IHQN. Dalam sambutannya, Hanevi berharap dengan adanya forum mutu IHQN tahun ini, para peserta dapat mengambil pembelajaran untuk perencanaan transformasi layanan kesehatan tahun 2023 sehingga mutu pelayanan kesehatan di fasyankes primer ataupun di rumah sakit seluruh Indonesia dapat meningkat.
Pembelajaran Mengenai Peningkatan Mutu oleh Prof. dr. Adi Utarini, M.Sc., MPH., Ph.D
Pada sesi pertama, Prof. dr. Adi Utarini, M.Sc., MPH., Ph.D membuka materi dengan menyampaikan bahwa dalam pekerjaan apapun ada dua tugas utama yang harus dilakukan, yaitu beban pekerjaan itu sendiri, serta pekerjaan untuk meningkatkan kualitas atau mutu dari pekerjaan tersebut, termasuk dalam penyediaan layanan kesehatan. Prof. Adi Utarini mengungkapkan, peningkatan mutu bukan semata-mata mengenai tentang model yang digunakan (misalnya ISO, gugus kendali mutu, atau Plan-Do-Study-Act (PDSA)), namun bagaimana kita dapat secara konsisten dan kontinyu menerapkan model tersebut.
Berbicara mengenai learning health system, penerapan sistem pembelajaran diharapkan dapat memberikan dorongan untuk melakukan peningkatan mutu. Dalam learning health system, ilmu pengetahuan, informatics (data-data), pola pemberian insentif, dan pembangunan budaya perlu diselaraskan untuk mencapai perbaikan dan inovasi yang berkelanjutan. Sistem pembelajaran juga harus menyediakan peluang, keamanan, serta mekanisme-mekanisme sehingga orang-orang dapat menyampaikan opini dan kreativitasnya secara bebas untuk memecahkan persoalan-persoalan terkait peningkatan mutu layanan kesehatan.
Pengalaman Persiapan dan Penilaian Akreditasi Rumah Sakit oleh drg. Iing Ichsan Hanafi, MARS, MH.
Pada sesi kedua, drg. Iing Ichsan Hanafi, MARS selaku Direktur Regional PT. Medikaloka Hermina Tbk. sekaligus Ketua Umum Asosiasi RS Swasta Indonesia membagikan pengalamannya dalam persiapan dan penilaian akreditasi rumah sakit. Akreditasi rumah sakit dilaksanakan dengan mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ada enam (6) tahap yang dilakukan oleh Drg. Iing dan tim dalam persiapan akreditasi rumah sakit. Pada tahap pertama, dilakukan workshop STARKES dan workshop asesor internal. Pada tahap kedua, dilakukan bimbingan akreditasi oleh LIPA dan bimbingan akreditasi rumah sakit. Di tahap ketiga, dilakukan self-assesment dan telusur lapangan oleh rumah sakit; di tahap keempat, dilakukan monitoring progress skor SISMADAK oleh peer group yang berasal dari kepala-kepala departemen di korporat dan pemenuhan fasilitas daring. Memasuki tahap lima, dilakukan survei simulasi oleh surveyor internal, pengajuan survei, serta gladi resik dan technical meeting. Dan pada tahap terakhir, tentunya dilakukan survei akreditasi.
Drg. Iing menuturkan, peningkatan mutu rumah sakit merupakan tugas setiap individu sesuai dengan lingkup kerjanya masing-masing, dan hal ini masuk dalam penilaian kinerja. Setelah survei akreditasi selesai dilaksanakan, fase yang tak kalah penting adalah pasca akreditasi. Pada fase ini tetap dilakukan pengawasan dan pengendalian mutu secara rutin untuk mempertahankan apa yang telah dicapai saat akreditasi, guna menjaga sustainability mutu dan keselamatan pasien.
Strategi Meningkatkan Efektivitas Akreditasi RS bagi Pengelola RS dan Regulator RS oleh Dr. dr. Hanevi Djasri, MARS, FISQua
Pada sesi terakhir, Dr. dr. Hanevi Djasri, MARS, FISQua menyampaikan mengenai strategi untuk meningkatkan efektivitas akreditasi rumah sakit. Beberapa penelitian menunjukan bahwa akreditasi adalah metode yang efektif untuk meningkatkan mutu, namun sebagian penelitian lainnya mengatakan tidak. Meskipun begitu, para peneliti sepakat bahwa akreditasi merupakan salah satu intervensi yang paling berpotensi dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Pada pelaksanaan akreditasi, terdapat beberapa tantangan yang dihadapi oleh regulator ataupun pengelola rumah sakit. Tantangan bagi regulator seperti instansi pemerintah, BPJS Kesehatan, atau organisasi profesi berkaitan dengan standar akreditasi, lembaga penyelenggara akreditasi, serta program pelatihan bagi tim surveyor. Sementara itu, tantangan bagi pengelola rumah sakit di antaranya adalah bagaimana membangun budaya mutu agar seluruh pimpinan dan staf selalu siap dinilai kapan saja, tidak hanya pada jadwal akreditasi.
Dr. Hanevi menjelaskan bahwa strategi keberhasilan akreditasi rumah sakit dalam meningkatkan mutu dan keselamatan pasien bergantung pada staf, oleh karena itu diperlukan optimalisasi sumber daya manusia. Staf perlu memahami filosofi dan pendekatan akreditasi sebagai strategi peningkatan mutu dan penurunan risiko, memahami dan mampu menerapkan berbagai standar mutu dan keselamatan pasien sesuai akreditasi, serta mampu meningkatkan penerapan berbagai standar mutu dan keselamatan pasien.
Reporter: Salwa Kamilia C. H, S.Gz
Sub Topik 2
Hari 1: 30 November 2022
Kesiapan Transformasi Layanan Primer
Pada Rabu (30/11/2022), diselenggarakan Forum Mutu Indonesian Healthcare Quality Network Forum (IHQN) ke-18 dengan tema “Meningkatkan Kesiapan Adaptasi Alam Transformasi Layanan Kesehatan untuk Mutu dan Keselamatan Pasien yang Lebih Baik”. Mengangkat subtopik “Kesiapan Transformasi Layanan Primer”, sesi ke-2 dimoderatori oleh Eva Tirtabayu Hasri, S.Kep., MPH selaku peneliti Divisi Manajemen Mutu PKMK FK-KMK UGM.
Integrasi Pelayanan Kesehatan Primer Melalui Penerapan Care Pathway oleh dr. Wing Irawati (Direktorat Pelayanan Kesehatan Primer Kementerian Kesehatan RI)
Indonesia masih menghadapi berbagai masalah kesehatan persisten, capaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang kesehatan 2021 yang masih jauh dari target, dan adanya disrupsi layanan kesehatan akibat pandemi COVID-19. Berbagai masalah tersebut melatarbelakangi komitmen pemerintah untuk melakukan transformasi sistem kesehatan dimana salah satu upaya yang diperlukan adalah penguatan peran layanan kesehatan primer. Pelayanan kesehatan primer meliputi 3 komponen, yakni pelayanan kesehatan terintegrasi, pemberdayaan masyarakat, kebijakan dan aksi multisektoral.
Sebagai tindak lanjut dari pra uji coba rancangan konsep integrasi pelayanan kesehatan primer, pemerintah saat ini menyusun care pathway yang akan menjadi acuan intervensi pelayanan kesehatan yang komprehensif bagi daerah. Konsep care pathway mencakup keterlibatan FKTP dan jejaring puskesmas dengan alur yang terdiri dari 5 tahap, yakni promotif dan preventif, diagnosis, tata laksana komprehensif, pemantauan pengobatan, dan pelaporan. Harapannya integrasi pelayanan kesehatan melalui penerapan care pathway dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat dan mendukung pencapaian target prioritas dengan sinergi seluruh pihak.
Edukasi Publik yang Efisien, Efektif, dan Tepat Sasaran di Layanan Primer oleh Wicaksono (Konsultan Komunikasi dan Media Sosial Independen)
Edukasi kepada publik penting dilakukan untuk memberi pengetahuan dan pemahaman yang jelas dan lengkap dalam rangka mengubah opini dan perilaku masyarakat. Tahapan dalam edukasi publik diawali dengan menetapkan 5W + 1 H yaitu what, when, where, why, who dan how, membangun narasi dan pesan kunci, merancang strategi, dan memilih platform. Edukasi yang dilakukan melalui komunikasi publik diidentifikasi sebagai penyampaian pesan secara berkesinambungan dan membutuhkan persiapan. Proses komunikasi publik perlu memperhatikan ekosistem informasi atau sumber informasi yang biasa diakses individu. Harapannya, edukasi yang dilakukan melalui platform yang tepat dapat menghasilkan outcome yang optimal. Wicaksono menambahkan, di era media sosial seperti sekarang, komunikasi publik dapat dilakukan secara lebih luas. Namun, tantangan yang dihadapi adalah memastikan pesan yang disampaikan dapat dipahami oleh semua kalangan dan menghindari adanya disinformasi.
Tata Kelola dan Sistem Pelaporan Puskesmas oleh dr. Sapta Eka Putra., MH.Kes (Asosiasi Puskesmas Indonesia)
Sistem pencatatan dan pelaporan di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) saat ini dikenal sebagai Sistem Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Puskesmas (SP2TP). Permasalahan implementasi SP2TP diantaranya sistem informasi puskesmas yang dirasa sangat kurang karena keterbatasan tenaga non kesehatan (informasi teknologi), kesenjangan sarana prasarana antar puskesmas, kesenjangan pembiayaan karena perbedaan regulasi antardaerah, dan pengelolaan dana yang dipengaruhi pola pengelolaan keuangan puskesmas. Selain itu, tersedianya aplikasi pelaporan yang berbagai macam mirip namun menyulitkan proses pelaporan. Upaya perbaikan SP2TP yang diperlukan meliputi pemenuhan sumber daya manusia non kesehatan yang kompeten untuk menunjang pelaporan yang efektif, pemenuhan sarana prasarana di puskesmas sesuai aturan hukum yang berlaku, penetapan pembiayaan dengan integrasi sistem yang ada di puskesmas, integrasi sistem pelaporan, dan penyusunan regulasi yang baik dan tegas.
Eva menutup kegiatan sesi ke-2 dengan memaparkan bahwa dalam proses integrasi pelayanan kesehatan terdapat faktor-faktor fundamental yang mendasari seperti pembiayaan, visi misi, kepemimpinan, regulasi, dan sumber daya. Dari faktor-faktor tersebut, terdapat proses yang harus dilalui yakni dengan membangun jejaring dan kolaborasi interprofesional yang dituangkan dalam care pathway serta edukasi publik yang efektif dan tepat sasaran sehingga tercipta mutu pelayanan kesehatan yang optimal.
Reporter: Mashita Inayah (PKMK UGM)
Sub Topik 3
1 Desember 2022
Kesiapan Transformasi Sistem Ketahanan Kesehatan
PKMK-Yogya. Pada Kamis (1/12/22) diselenggarakan Forum Nasional Indonesian Healthcare Quality Network (IHQN) ke-18 dengan tema “Meningkatkan Kesiapan Adaptasi Dalam Transformasi Layanan Kesehatan Untuk Mutu dan Keselamatan Pasien Yang Lebih Baik”. Pada sesi pagi pukul 09.00-12.00 WIB ini mengangkat sub topik “Kesiapan Transformasi Sistem Ketahanan Kesehatan” yang menghadirkan tiga narasumber, yaitu dr. Indra Kurnia Sari Usman, M.Kes, dr. Dwi Oktavia T.L Handayani, M. Epid dan Prof. Dr. drh. I Wayan Tunas Artama serta moderator diskusi yaitu dr. Muh. Hardhantyo, MPH, Ph.D., FRSPH
Kebijakan Deteksi Cepat Infeksi Emerging oleh dr. Indra Kurnia Sari Usman, M.Kes (Surveilans dan Karantina Kemenkes RI)
Mobilitasi penduduk, perubahan iklim, dan perkembangan teknologi merupakan beberapa hal yang menjadi risiko munculnya ancaman penyakit infeksi emerging. Tujuh puluh lima persen acaman penyakit infeksi emerging berasal dari zoonosis. Hal ini menimbulkan dampak tidak hanya pada sektor kesehatan, tetapi juga pada sektor ekonomi maupun sosial. Pada tahun 2022, ditemukan penyakit infeksi emerging di Indonesia, antara lain COVID-19, Acute hepatitis of uknown aetilogy, Monkeypox, dan muncul kembali penyakit polio. Prinsip dasar penanggulanan penyakit emerging ini menggunakan prinsip one health, yaitu dari kesehatan manusia, kesehatan hewan, dan kesehatan lingkungan.
Untuk penguatan deteksi, telah dikembangkan PHEOC di daerah yang mendapatkan laporan kasus penyakit infeksi dari pintu masuk negara dan fasilitas pelayanan kesehatan. Selain menggunakan sistem kewaspadaan dini dan respon (SKDR) dan senitel surveilans sindrom, telah tersedia real time surveillance yang merupakan surveilans berbasis laboratorium dan kejadian dengan memanfaatkan teknologi digital. Setiap kabupaten/ kota wajib menyusun peta risiko penyakit infeksi emerging untuk memantau kerentanan dan kapasitas pada wilayahnya. Beberapa laboratorium di daerah telah ditujuk sebagai laboratorium rujukan nasional untuk penyakit infeksi emerging, antara lain untuk COVID-19, hepatitis unknown, dan Monkeypox.
Best Practice dalam Penanganan Infeksi Emerging Oleh dr. Dwi Oktavia T.L Handayani, M. Epid (Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan DKI Jakarta)
Narasumber kedua melanjutkan penjelasan mengenai infeksi emerging melalui pengalaman penanganan infeksi emerging yaitu COVID-19 di DKI Jakarta. Selama 2,5 tahun telah dikembangkan berbagai strategi dalam merespon penyakit ini, dimulai dari respon berita di dunia, respon saat masuknya kasus di Indonesia, dan respon setelah terserbarnya COVID-19 ke daerah lain.
Dalam menangani COVID-19 ini dibutuhkan refungsi-redistribusi-rekrutmen dokter yang melayani COVID-19. Disiapkan juga petugas lapis kedua dari tenaga kesehatan lainnya yang diambil dari unit keperawatan yang mampu mengelola pasien COVID-19. Selain sumber daya manusia, terjadi keterbatasan kapasitas fasilitas diawal pandemi. Beberapa cara untuk penguatan kapasitas faslitias kesehatan adalah dengan pengembangan hospital disaster plan (HDP) yang tidak hanya karena bencana alam tetapi juga oleh karena penyakit, penetapan Rumah Sakit Rujukan, dan persiapan Rumah Sakit lapis kedua. Adanya regulasi dari pemerintah seperti penetapan jumlah tempat tidur Rumah Sakit untuk penangan COVID-19 ikut membantu penguatan kapasitas fasilitas kesehatan.
Pelayanan kesehatan primer juga dipersiapan agar tetap dapat melayani layanan baik covid dan penyakit lainnya. Persiapan dimulai dari pengembangan pendaftaran online, telemedicine, serta modifikasi ruang pelayanan yang aman bagi petugas dan pasien. Kemampuan pemeriksaan COVID-19 untuk mempercepat pemeriksaan dan pengembangan laboratorium mobile menggunakan kontainer menjadi cara meningkatkan kapasitas. Sistem surveilans juga perlu dibangun dalam penanganan infeksi emerging. Dari pengalaman COVID-19 ini memperlihatkan kemandirian produk dalam negeri masih rendah sehingga perbekalan kesehatan seperti reagen, alat kesehatan, oksigen, dan obat, APD sangat susah didapatkan.
Dalam penanganan infeksi emerging, penting adanya leadership yang kuat dari pimpinan daerah sampai pada unit di fasilitas kesehatan. Selain itu juga komitmen yang kuat dalam bentuk regulasi dan anggaran, serta kolaborasi dari berbagai sektor, yaitu pemerintah, universitas, komunitas, sektor swasta, dan media. Kolaborasi bisa dalam bentuk kapasitas laboratorium, bantuan sosial, bantuan alkes, layanan jenazah, penanggulanan wilayah, pengawasan protokol, atau pengankatan isu-isu penting melalui media.
Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis melalui Pendekatan One Health oleh Prof. Dr. drh. I Wayan Tunas Artama, DVM (Dosen Fakultas Kedokteran Hewan, UGM)
Melanjutkan pembahasan dari narasumber pertama, bahwa prinsip dasar penanggulanan penyakit emerging menggunakan prinsip one health. One health menjadi salah satu side event yang diangkat di G20, selain permasalahan Tuberkulosis dan antimicrobial resistence (AMR). Pemicu adanya penyakit infeksi emerging adalah “human-animial-socio-ecosystem”. Setiap tahun terdapat 3 dari 5 penyakit infeksi emerging baru disebabkan oleh hewan (Zoonosis). Penularaan dapat melaui kontak langsung, kontak tidak langsung, melalui vector, makanan dan air. Peningkatan penyebaran zoonosis antara lain disebabkan oleh mobilisasi manusia yang tinggi, manajemen kesehatan yang kurang baik, dan perilaku manusia yang kurang baik. Terdapat perilaku manusia yang mengkonsumsi hewan yang dapat membawa patogen. Kalelawar, binatang yang memiliki manfaat dibididang pertanian ternyata menjadi reservoir utama penyakit infeksi emerging tiap tahunnya.
Untuk memutuskan rantai penyebaran secara menyeluruh dapat menggunakan pendekatan yang melibatkan sektor kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan secara bersamaan untu. Terdapat 4 area utama untuk mengantisipasi ancaman di masa depan, yaitu identifikasi patogen, penentuan resiko terhadap manusia, respon wabah, dan menurunkan resiko ke manusia. One health merupakan strategi dengan melakukan kolaborasi dan komunikasi interdisiplin untuk semua semua aspek, baik kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan. Hal yang penting untuk mencegah dan mengendalikan zoonosis dimulai dari pencegahan mobilisasi patogen, memperbaiki surveilans, meningkatkan respon dan adanya kebijakan dalam penanganan dengan pendekatan one health.
Reporter: Bernadeta Rachela A
Sub Topik 4
1 Desember 2022
Kesiapan Transformasi Digital Kesehatan
Pada Kamis (01/12/2022)diselenggarakan sesi keempat dari Forum Mutu Indonesian Healthcare Quality Network (IHQN) Ke-18. Masih berkaitan dengan tema besar “Meningkatkan Kesiapan Adaptasi dalam Transformasi Layanan Kesehatan untuk Mutu dan Keselamatan Pasien yang Lebih Baik”, sesi keempat ini membahas subtopik “Kesiapan Transformasi Digital Kesehatan”. Pembicara yang hadir adalah Patota Putra Tambunan (DTO Kementrian Kesehatan), Dr. dr. Sri Mulatsih, Sp.A(K), MPH (RSUP Dr. dr. Sardjito), serta Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., PhD, AAK (Direktur BPJS Kesehatan). Sesi keempat dipandu oleh dr. Aldilas Achmad N., MS selaku moderator.
Rekam Medis Elektronik dan Platform SatuSehat untuk Menunjang Mutu Pelayanan Kesehatan
Oleh Patota Tambunan (Head of Tribe Ekosistem Inovasi Kesehatan, Digital Transformation Office (DTO) Kementerian Kesehatan RI)
Besarnya data dan sumber data kesehatan di Indonesia masih menjadi beban bagi tenaga kesehatan, khususnya dalam hal pelaporan. Data pasien di-input dari berbagai layanan kesehatan dengan sistem serta aplikasi yang berbeda-beda. Selain itu, belum terjadi integrasi serta standarisasi data, sehingga kebijakan kesehatan berbasis data di Indonesia masih sulit untuk terwujud. Menyikapi persoalan tersebut, Kementerian Kesehatan RI berkomitmen menciptakan teknologi dan sistem yang memudahkan tenaga kesehatan agar fokus bukan pada pelaporan, melainkan memberikan pelayanan kepada masyarakat secara efisien.
Kementerian Kesehatan kemudian mengembangkan inovasi platform SatuSehat, yaitu sistem big data kesehatan yang terintegrasi untuk mendukung implementasi Rekam Medis Elektronik. Platform SatuSehat menghubungkan pasien atau pengguna dengan penyedia layanan kesehatan, yang terdiri atas 10.260 puskesmas, 11.347 klinik, 2.985 rumah sakit, 1.400 laboratorium, dan 30.199 apotek di seluruh Indonesia. Melalui platform SatuSehat, berbagai penyedia layanan kesehatan dapat melakukan input dan mengakses riwayat atau data kesehatan pasien secara terintegrasi. Sejauh ini, platform SatuSehat telah melalui tahap uji coba integrasi yang dilakukan dengan 600 puskesmas di Jawa Timur pada Juli 2022 serta ditargetkan akan mulai digunakan di seluruh layanan kesehatan pada Desember 2023.
Strategi Fasilitas Pelayanan Kesehatan dalam Menghadapi Transformasi Digital Kesehatan
Oleh Dr. dr. Sri Mulatsih, Sp.A(K). M.P.H (Direktur Medik, Keperawatan, dan Penunjang RSUP Dr Sardjito)
Kesehatan lahir batin, fisik, jasmani, rohani, serta pelayanan kesehatan yang berkualitas menjadi hak seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Menurut WHO, pelayanan kesehatan harus dilaksanakan secara terpadu dan berjalan sepanjang perjalanan hidup. Digitalisasi atau transformasi digital dalam sistem kesehatan menjadi salah satu kunci untuk mempermudah serta mendorong pelayanan yang berkualitas. Terdapat empat aspek penting digitalisasi sistem kesehatan, yaitu big data, keamanan data yang terjamin, regulasi, serta sumber daya manusia yang kompeten.
RSUP Dr Sarjito telah menerapkan strategi pelayanan kesehatan berbasis digital, diantaranya terwujud dalam e-office, electronic filing system untuk pengarsipan, presensi elektronik, penyimpanan berbagai dokumen regulasi dan edaran secara elektronik, pendaftaran online, electronic medical record, hasil radiologi dan hasil lab dengan sistem paperless, sistem notifikasi dan komunikasi menggunakan WhatsApp, layanan pembayaran cashless, hingga telemedicine. Selain itu, RSUP Dr. Sardjito juga mengembangkan aplikasi Klik Sardjito Aja untuk menyediakan informasi dan mendukung pemenuhan kebutuhan pasien secara praktis. Transformasi digital ini diharapkan dapat mendukung pelayanan yang fokus pada pelanggan, operasi produktif, peningkatan inovasi, keunggulan kompetitif, keberlanjutan pertumbuhan, serta peningkatan profitabilitas.
Transformasi Digital Pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional
Oleh Prof. dr. Ali Ghufrom Mukti, M.Sc. Ph.D, AAK (Direktur Utama BPJS Kesehatan)
Sebagai pemberi layanan Jaminan Kesehatan Nasional di Indonesia, BPJS Kesehatan turut melakukan transformasi digital untuk memberikan pelayanan yang lebih cepat dan lebih baik. BPJS Kesehatan berupaya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan di Indonesia. Inovasi serta transformasi digital yang diterapkan oleh BPJS meliputi beberapa hal, di antaranya inovasi produk untuk pembayaran, peningkatan layanan konsumen dengan adanya antrean online dan telekonsultasi, menerapkan artificial intillegence (AI) dan literasi digital dalam internal/operasional perusahaan, serta menjalin kerja sama dengan mitra-mitra perusahaan swasta.
BPJS Kesehatan membangun ekosistem digital yang melibatkan 240 juta jiwa penduduk, 243.000 Badan Usaha, 650.000 saluran pembayaran dan perbankan, 26.421 fasilitas kesehatan, 30 partner penyedia layanan, dan 15 kementerian di seluruh Indonesia. Dukungan dan komitmen kuat dari pemerintah serta seluruh stakeholder dibutuhkan untuk memastikan tercapainya Universal Health Coverage di Indonesia, keberlanjutan program JKN, dan menjamin pelayanan JKN yng berkualitas.
Reporter: Rizky Adinda, SIP (PKMK UGM)
Editor Konten : Aldilas AN