Ruang Laktasi yang Kerap Terabaikan
Tanggal 1 sampai 7 Agustus lalu diperingati sebagai World Breastfeeding Week atau Pekan Menyusui Sedunia.
Tahun ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, isu ketiadaan ruang laktasi di perkantoran bagi pekerja wanita masih mengemuka.
Tak bisa dipungkiri sampai saat ini masih banyak kantor atau perusahaan yang mengabaikan keberadaan ruang laktasi. Padahal kewajiban penyelenggara kerja untuk menyediakan ruang laktasi sudah diatur dalam Permenkes RI Nomor 15 Tahun 2013.
Beleid itu telah mengatur secara rinci kewajiban penyelenggara kerja untuk menyediakan ruang laktasi beserta fasilitas apa saja yang harus tersedia dalam ruang laktasi. Lemari pendingin dan wastafel menjadi beberapa fasilitas yang disebut mutlak ada dalam ruang laktasi.
Pengaturan tata cara penyediaan ruang ASI bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada ibu dalam memberikan ASI eksklusif dan memenuhi hak anak untuk mendapatkan ASI eksklusif. Selain itu, ruang laktasi di kantor meningkatkan peran dan dukungan keluarga, masyarakat, pemerintah daerah, dan pemerintah terhadap pemberian ASI eksklusif.
Hak perempuan bekerja untuk menyusui juga tertuang dalam pasal 83 UU Nomor 13 Tahun 2003. Pekerja perempuan yang masih menyusui dipersilakan menyusui atau memerah ASI pada saat jam kerja. Pasal 10 konvensi ILO Nomor 183 Tahun 2000 bahkan mengatur durasi waktu dan pengurangan jam kerja yang diberikan untuk ibu menyusui. Ibu menyusui berhak mendapat jeda waktu untuk menyusui atau memerah susu saat jam kerja berlangsung.
Akan tetapi kenyataan di lapangan berkata lain. Kendati sudah ada sederet aturan namun masih saja banyak penyelenggara kerja yang bandel tak mau menyediakan ruang laktasi. Menurut penulis, saat ini di perkantoran atau fasilitas umum kita lebih mudah mencari ruang untuk merokok ketimbang mencari ruang laktasi.
Sebuah ironi yang entah sampai kapan akan dipelihara. Jika merokok yang membahayakan kesehatan saja diberi ruang, mengapa menyusui yang jelas-jelas membangun generasi sehat malah seperti tersingkirkan? Ingat bahwa nutrisi yang terkandung dalam ASI tak bisa digantikan oleh susu formula apapun.
Akibatnya, ibu menyusui pun harus putar otak mencari tempat untuk memerah susu. Kadang di mushola, toilet wanita, atau mencari tempat sepi yang tak mencolok mata.
Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek sempat mendapati adanya perusahaan yang hanya memberi waktu istirahat satu jam bagi pekerja perempuan. Waktu satu jam itu digunakan untuk makan, shalat, dan memerah susu. Tentu saja durasi itu sangat mepet apalagi ditambah dengan ketiadaan ruang laktasi. Nila pun menegur perusahaan tersebut dan mendorong dibukanya ruang laktasi.
Apa yang menjadi temuan Menkes seharusnya jadi tamparan bagi dunia usaha. Jangan hanya mau mengambil tenaga dan pikiran dari para pekerja perempuan tapi sudah sewajibnya perusahaan membuat mereka nyaman. Salah satunya dengan menyediakan ruang laktasi yang memadai.
Keberadaan ruang laktasi di perusahaan harus menjadi perhatian serius. Adanya ruang laktasi yang layak bukan hanya memenuhi kewajiban penyelenggara kerja. Akan tetapi juga membuat pekerja perempuan lebih nyaman dalam bekerja. Pada akhirnya, kenyamanan bekerja dapat meningkatkan loyalitas dan produktivitas para pekerja perempuan di perusahaan.
Oleh: Christia Ningsih, Joko Sadewo (Red)
Sumber: https://republika.co.id/berita/pw1d0p318/ruang-laktasi-yang-kerap-terabaikan