Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Perjuangan Pasien BPJS Kesehatan Lawan Osteoporosis

Screen Shot 2019 10 08 at 1.34.26 PMKBRN, Depok: Aliyah adalah penderita pengapuran tulang. Tiga bulan terakhir.

Ia harus bolak balik untuk mendapat perawatan karena rasa nyeri di pangkal kaki yang ia rasakan sebagai efek dari osteoporosis.

Kondisi tulang Aliyah yang telah rapuh membuatnya datang sebelum adzan Subuh berkumandang setiap kali ke rumah sakit agar mendapat nomor antrean layanan.

Ia mengaku sering berdiri di Kereta Rel Listrik (KRL) ketika masih aktif bekerja, ditambah karena faktor usia hingga memerlukan perawatan. Kepada Rido Lingga, wartawan Radio Republik Indonesia, Aliyah berbagi cerita tentang perjuangan atas penyakitnya dan layanan BPJS Kesehatan yang sangat membantunya.

Aliyah yang warga kampung Lio, Depok memilih RS Bhakti Yudha dengan fasilitas BPJS untuk mengobati penyakitnya atas saran temannya.

"Enak aja ko disini yang penting kita tahu data-datanya apa yang diajukan dan kita harus persiapkan foto copy. Biar ngga mondar-mandir," tutur Aliyah (60).

Oleh dokter di faskes I Aliyah dirujuk ke salah satu rumah sakit yang bekerjasama dengan BPJS untuk dilakukan tindakan lanjutan. Berdasarkan rekomendasi teman, Aliyah akhirnya memilih di rujuk ke RS Bhakti Yuda.

Datang jam 04:00 WIB Subuh, Aliyah sudah mendapat antrian nomor 20. Kunjungan ini merupakan yang ke 3 kalinya dilakukan Aliyah selama 3 bulan terakhir.

"Kita kan maklumi, dimana-mana BPJS pasti antri, ngga apa-apa," tuturnya.

Aliyah merasa terbantu dengan adanya BPJS. Mulai dari rontgen, dokter, obat hingga terapi di cover oleh BPJS.

Janda 3 anak ini tak dapat membayangkan kalau setiap kunjungan rawat jalan harus bayar uang tunai.

"Saya sudah 3 kali rawat jalan disini. Kalau pakai bayar tunai setiap rawat jalan minimal harus bawa uang Rp1 juta. Pasti kerepotan, Alhamdulilah ada BPJS bersukurlah, diringankan jadinya," ucapnya.

Mantan pegawai di RS Harapan, Jakarta ini dulu sering naik commuterline berangkat kerja. Menurut keterangan dokter yang memeriksa Aliyah, pengapuran tulang yang dialaminya karena sering berdiri dan faktor umur.

"Jadi kata dokter kasus pengapuran tulang saya ini bukan penyakit tapi karena faktor umur dan karena saya juga terlalu banyak berdiri di commuterline dulunya," kisah Aliyah.

Hal senada dialami Muhammad Fajri (49) warga Mampang, Kecamatan Pancoranmas, Depok. Keputusannya memasukkan semua anggota keluarga sebagai peserta BPJS Mandiri berbuah manis.

"Kemarin pas Mudik Lebaran ke Sumedang, pas istri saya sakit, trus saya bawa ke UGD di salah satu rumah sakit disana, kita dilayani dengan baik," ujar Fajri.

Dirinya yang berprofesi sebagai wira usaha sadar, dengan kondisi keuangan yang tidak stabil akan menyulitkan apabila ada anggota keluarga sewaktu-waktu jatuh sakit.

"Sederhana aja, kalau suatu saat kita sakit atau mau ke dokter, kita ngga panik atau was was, karena ada BPJS," ujarnya.

Direktur Utama Rumah Sakit Bhakti Yudha Depok drg. Sjahrul Amri menegaskan semua Dokter, Perawat dan Bidan di RS Bhakti Yudha berkomitmen dalam melayani pasien BPJS JKN-KIS. Manajemen dan dokter dalam lingkup internal RS Bhakti Yudha pun sudah berkomitmen tidak membedakan pelayanan terhadap pasien BPJS dengan pasien pembiayaan sendiri.

"Kalau ada dokter individu itu sedang cuti, sakit, kita teman sejawat itu saling cover dan tidak boleh membeda-bedakan pasien. Kita sudah berkomitmen seperti itu kepada manajemen," kata Amri kepada RRI di RS Bhakti Yudha, Rabu (26/06/2019).

Begitu juga dengan perawat. Perawat bahkan ada Standar Asuhan Keperawatan (SAK). Kalau perawat dalam melayani keperawatan, tidak membedakan pelayanan antar pasien BPJS, pasien asuransi komersial, pasien miskin atau pasien bayar mandiri.

"Perawat juga tidak boleh pilih kasih, karena ini standar. Apalagi rumah sakitnya sudah terakreditasi. Itu ngga mungkin, baik dokter, perawat maupun bidan pasti sudah berkomitmen dari semua sudut baik dari sudut manajemen maupun profesi," katanya.

Guna memastikan hal tersebut, manajemen terus mengawasi semua tenaga kesehatan yang terlibat dengan pelayanan. Karena ini berkaitan dengan penyakit yang beresiko dengan nyawa, kecacatan dan lain-lain.

"Secara pelayanan mendasar kami tidak ada membedakan pelayanan antara pasien BPJS dengan pasien bayar mandiri," kata pria yang juga menjabat sebagai Ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta Seluruh Indonesia (ARSSI) Cabang Kota Depok ini.

Cuman kita membedakan dari segi pembiayaan, lanjut Amri. Apa maksudnya? Pihaknya melayani pasien asuransi komersial yang ingin top-up. Contoh apabila pasien tersebut ingin obat yang ber merk, obat yang lebih familiar yang diluar standar asuransi BPJS.

"Tapi kalau pasien BPJS yang sudah di standarisasi baik obat maupun kelas perawatan sesuai premi yang dibayar, kita penuhi. Dari segi kendali mutu, kendali biaya kita bisa pertanggungjawabkan. Kadang-kadang pasien BPJS misalnya kelas 1 mau naik VIP, kita layani. Kelas II mau naik kelas I, kita layani," sambungnya.

Untuk pengalokasian dokter agar tidak terjadi tebang pilih pasien, RS Bhakti Yudha sudah menggunakan aplikasi HFIS (Hospital Facilities Information System) milik BPJS Kesehatan. Melalui aplikasi tersebut semua jadwal dokter RS Bhakti Yudha terekam, begitu juga di rumah sakit lainnya yang bekerjasama dengan BPJS.

"Misalnya dokter spesialis anak kami yang prakter 2, umpamanya dokter membatasi 6 atau 10 pasien dan sudah penuh. Faskes I bisa mengalihkan ke rumah sakit lain yang pararel melalui sistem ini," jelasnya.

Aspek lainnya yang membuktikan konsistensi komitmen RS Bhakti Yudha terhadap pasien BPJS, dapat dilihat di IGD rumah sakit. Kebanyakan pasien yang ditangani disana adalah pasien kelas 2 dan kelas 3 BPJS Kesehatan.

"Di IGD banyak kasus-kasus yang sebenarnya sudah harus masuk ICU kita layani disitu nunggu stabil. Dan itu banyak pasien-pasien BPJS," ujar Amri.

Pihaknya sadar betul setiap pelayanan yang diberikan dikawal oleh UU Kesehatan, UU Pemerintah yang berkaitan dengan Kesehatan dan UU Standar Mutu. Rumah sakit yang melanggar beresiko mendapat konsekuensi mulai dari teguran, peringatan, hingga ditutup dan sebagainya.

Apalagi BPJS telah mengultimatum semua rumah sakit yang bekerjasama, harus sudah terakreditasi hingga Juni 2019 atau beresiko di putus kerjasamanya. Hal ini memaksa semua rumah sakit harus menjaga mutu dan keselamatan pasien.

Sehingga apabila, ada kasus terkait pelayanan di rumah sakit jangan langsung menjustifikasi rumah sakit tersebut. Mengingat komitmen kerjasama Program JKN-KIS yang sangat kompleks melibatkan pemerintah, pasien, rumah sakit termasuk BPJS.

"Harus ditelusuri dan dilakukan check-ricek dulu. Apakah semua sudah berkomitmen?. Jadi kalau ada permasalahan dilapangan, harus diteliti penyebabnya," harap Amri.

Contoh kasus pasien tidak berkomitmen, dia tidak tahu prosedur atau memang dia melanggar prosedur. Prosedur kalau dilanggar rumah sakit beresiko tidak dibayar.

"Ini contoh pelanggaran prosedur oleh calon pasien. Mestinya dia harus ke FKTP, Klinik atau faskes I dulu, sedangkan pasien ini mau mengambil jalan pintas"

"Kalau kita layani, resikonya klaim kita tidak dibayar. Kalau kita tolak pasien ngamuk-ngamuk dan itu ter-ekspos dan viral, kemudian kita dianggap tidak mau melayani, apalagi kalau di provokasi oleh pihak lain yang tidak tahu aturan mainnya," kisah Amri.

Contoh lainnya, pemerintah bisa juga dibilang belum berkomitmen 100 persen. Salah satunya, tentang implementasi peninjauan ulang kebijakan tarif BPJS setiap 2 tahun sekali.

Dari tahun 2016 sampai 2019 belum ada kenaikan atau penyesuaian tarif BPJS. Artinya ini bisa berpotensi resiko kelangsungan program JKN-KIS itu sendiri.

"Kita sama-sama introspeksi diri. Apakah kita masing-masing pihak yang terkait dengan program JKN-KIS ini sudah benar-benar berkomitmen?," tanya Amri.

Amri mengatakan, rasio pasien yang dirawat di RS Bhakti Yudha ada sebanyak 85 persen dari total jumlah pesien. Apalagi nanti di akhir tahun 2019, ketika pemerintah akan menetapkan Universal Health Coverage (UHC), otomatis rumah sakit yang pelayanannya secara umum pasti nanti bakal di dominasi oleh pasien BPJS.

"Kecuali rumah sakit yang punya unggulan untuk penyakit-penyakit tertentu atau rumah sakit spesialis," ujarnya.

Jenis penyakit yang paling banyak masuk ke RS Bhakti Yudha adalah penyakit infeksi seperti diare, tipus, DBD, Infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), mata. Kemudian bedah sedang dan ringan serta melahirkan.

Bagaimana dengan pasien BPJS yang nunggak, apakah mendapatkan pelayanan? Sebagai bentuk komitmen RS Bhakti Yudha terhadap BPJS Kesehatan pihaknya tetap melayani pasien BPJS tersebut seraya mengupayakan sounding ke BPJS dan ke peserta agar membayar iuran berikut denda.

"Kadang-kadang pasien ini ngga kooperatif, dia ngga mau ngurus sedangkan pelayanan berjalan. Kalau pasien yang kooperatif dia memberikan jaminan, setelah ada bukti bahwa dia sudah bayar iuran dan denda, uang jaminannya kita balikin tanpa kita potong se sen pun," ungkap Amri.

Berbeda dengan pasien emergency. Amri memastikan peserta BPJS nunggak sekalipun pun wajib dilayani sesuai kemampuan rumah sakit. karena itu menyangkut life saving dan itu diatur di undang-undang kesehatan.

"Kalau emergency misalnya pendarahan, nyeri yang hebat, sesak itu langsung kita tangani tanpa nanyain siapa yang bakal membayar. Kita berlomba dengan waktu disitu," ungkapnya.

Sebagai informasi ada 24 Rumah Sakit Se-Kota Depok. 3 rumah sakit pemerintah dan 21 rumah sakit swasta.

Kata dia, dari 21 RS Swasta di Kota Depok yang tergabung dalam ARSSI Cabang Kota Depok, 17 diantaranya sudah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.

"17 rumah sakit swasta sudah kerjasama dengan BPJS Kesehatan, 4 RS lainnya diharapkan segera menyusul," katanya.

Ditegaskan Amri, selama ini rumah sakit swasta di Kota Depok selalu berkomitmen dalam memberikan pelayanan terhadap pasien JKN-KIS. Sebagaimana yang telah dituangkan di Perjanjian Kerjasama (PKS) antar rumah sakit dengan institusi Kesehatan BPJS.

"Disitu ada hak dan kewajiban dan ada semacam sanksi-sanksi tertentu. Setiap beberapa bulan dalam setahun kalau ada kasus nanti di evaluasi," ungkapnya.

Berikut daftar dan tipe rumah sakit Se-Kota Depok.

RS Pemerintah:
1. RSUD Sawangan Depok (C) BPJS
2. RS Brimob Kelapa Dua (C) BPJS
3. RS UI Kampus Depok (B) Belum BPJS

RS Swasta
Bekerjasama dengan BPJS Kesehatan:
1. RS Bhakti Yuda (C)
2. RS Hermina (B)
3. RS Graha Permata Ibu (C)
4. RS HGA (C)
5. RS Harapan Depok (C)
6. RS Centra Medika (B)
7. RS Tugu Ibu (C)
8. RS Tumbuh Kembang (C)
9. RS Simpangan Depok (C)
10. RS Arafiq (C)
11. RS Mitra Keluarga (C)
12. RS Bunda Margonda (C)
13. RS Bunda Aliya (C)
14. RS Permata Depok (C)
15. RS Jantung Diagram (C)
16. RS Setya Bakti (C)
17. Melia Cibubur (B)

RS Swasta
Belum Bekerjasama dengan BPJS Kesehatan:
1. RS Asy-Syifa (C)
2. RS Cinere (B)
3. RSIA Brawijaya, Cinangka (C)
4. RS Citra Medika (C). (RL)

 

Oleh:Rido Lingga, S.Kom.
Sumber: http://rri.co.id/jakarta/post/berita/686843/layanan_publik/perjuangan_pasien_bpjs_kesehatan_lawan_osteoporosis.html