Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Saat ini, kualitas mutu kesehatan mental merupakan isu yang sangat penting, khususnya bagi kelompok dewasa muda seperti mahasiswa. Mahasiswa adalah kelompok yang sangat aktif mengakses informasi kesehatan mental baik melalui media sosial maupun platform digital lain. Studi oleh Ismail, Kusumaningtyas, dan Kanapsijah Firngadi (2023) di Yogyakarta telah mengungkap fenomena menarik sekaligus mengkhawatirkan, yakni sebagian mahasiswa cenderung melakukan self-diagnose atau menilai kondisi psikologis mereka sendiri tanpa berkonsultasi dengan tenaga profesional. Penelitian ini melibatkan 402 mahasiswa dan menunjukkan bahwa sekitar 12,9% responden pernah melakukan self-diagnose. Self-diagnose berkaitan dengan pengetahuan yang kurang tepat serta sikap yang kurang mendukung isu kesehatan mental. Mahasiswa yang melakukan self-diagnose memiliki kemungkinan dua kali lebih besar memiliki pengetahuan rendah (AOR 2,31) dan sikap yang kurang positif (AOR 2,12) terhadap kesehatan mental.

Penelitian ini juga mencatat bahwa hanya sekitar separuh mahasiswa yang memiliki pengetahuan baik mengenai gangguan mental dan 53% menunjukkan sikap positif terhadap individu dengan kondisi tersebut. Faktor pendidikan diketahui merupakan pengaruh sangat menentukan pengatahuan dan sikap positif. Mahasiswa yang tidak pernah mendapatkan materi psikologi atau psikiatri memiliki risiko lebih tinggi memiliki pengetahuan yang kurang memadai. Menariknya, anggota keluarga mahasiswa dengan riwayat gangguan mental tidak selalu meningkatkan pemahaman tetapi justru menjadi faktor risiko pengetahuan rendah dalam studi ini. Hal tersebut berkaitan dengan kuatnya stigma keluarga dan budaya. Misalnya seperti praktik pasung yang masih terjadi di sebagian wilayah Indonesia sehingga pengalaman personal belum tentu diiringi dengan pemahaman yang tepat terhadap kesehatan mental.

Selain temuan di atas, hubungan antara pengetahuan dan sikap juga ditemukan. Meskipun sangat lemah tetapi tetap menunjukkan arah yang jelas, yaitu semakin baik pemahaman seseorang tentang kesehatan mental maka semakin positif juga sikapnya. Berdasarkan temuan ini, literasi kesehatan mental disarankan dapat menjadi fondasi penting dalam mendorong penerimaan dan mengurangi stigma. Dalam konteks mahasiswa yang sedang membangun pola pikir jangka panjang, peneliti mempertegas perlunya pendidikan literasi kesehatan mental yang terstruktur, sistematis, dan mudah diakses. Program kampus yang menyediakan edukasi formal, modul konseling, atau kampanye kesehatan mental dapat berperan besar dalam membentuk sikap inklusif di masa depan.

Bagi praktisi kesehatan dan pengelola layanan kesehatan mental, temuan ini memberi implikasi kuat bahwa tren self-diagnose perlu dipandang sebagai tantangan baru. Praktisi perlu memperkuat edukasi berbasis bukti serta memberikan layanan konsultasi yang lebih ramah, cepat, dan mudah diakses agar mahasiswa tidak bergantung pada informasi daring yang sering kali bias atau tidak akurat. Sementara itu, pengelola layanan dan manajemen mutu kesehatan mental dapat memanfaatkan temuan ini untuk merancang intervensi yang menekan stigma, memperluas literasi, serta mengurangi kesenjangan antara kebutuhan dan akses layanan. Melalui optimalisasi pendekatan promotif-preventif serta mengintegrasikan edukasi di lingkungan kampus, upaya peningkatan kualitas layanan kesehatan mental dapat berjalan lebih efektif dan relevan bagi mahasiswa di Indonesia.

Disarikan oleh:
Nikita Widya Permata Sari, S. Gz., MPH
(Peneliti Divisi Mutu PKMK FK-KMK UGM)

Selengkapnya: https://link.springer.com/article/10.1186/s41983-023-00760-1 

 

 

Seiring perkembangan teknologi, praktik penggunaan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) sudah banyak mulai mengubah pendekatan peningkatan mutu di rumah sakit. Perubahan pendekatan khususnya terjadi dalam dua level utama, yakni diagnosis terapi dan operasi klinis. Berdasarkan review artikel Abu Khadijah dan Nashwan (2024), AI terbukti berperan penting dalam menekan kesalahan medis yang memiliki dampak merugikan pada level klinis. Misalnya seperti dalam deteksi dini sepsis yang mampu mengurangi lama rawat inap hingga 2,7 hari dan menurunkan angka kematian sebesar 12,4%. AI juga membantu tenaga kesehatan menginterpretasi citra medis, mengidentifikasi interaksi obat yang berbahaya, dan mengenali pola risiko dalam catatan medis elektronik yang terlewat. Contoh lain penggunaan AI terdapat dalam bidang kesehatan mental dan manajemen kondisi kritis.

Dalam level operasional, AI menawarkan solusi untuk tantangan efisiensi yang selama ini membebani rumah sakit. Tantangan efisiensi diketahui didominasi oleh porsi waktu kerja klinisi yang tersita oleh tugas administratif. Teknologi AI dapat membantu untuk memperkirakan volume kunjungan pasien, mengotomatisasi penjadwalan, menyeimbangkan beban kerja staf, serta memberikan sistem pengingat otomatis untuk kunjungan tindak lanjut atau imunisasi. Melalui bantuan AI, alur kerja yang disusun menjadi lebih ringkas, penggunaan sumber daya lebih tepat, dan waktu layanan klinis dapat kembali terfokus pada interaksi langsung dengan pasien.

Selain itu, artikel ini menyoroti bagaimana AI memperkuat proses penilaian risiko seperti Failure Modes and Effects Analysis (FMEA) dan Root Cause Analysis (RCA). Dalam studi kasus yang dibahas, AI GPT-4 mampu mengidentifikasi berbagai failure modes secara cepat dibandingkan proses manual yang memakan waktu hingga berbulan-bulan. Meskipun praktis, masih terdapat catatan bahwa penilaian akhir tetap harus dilakukan oleh tenaga ahli yang memahami konteks klinis. Pada saat yang sama, AI meningkatkan pelaporan indikator mutu melalui analisis pola tersembunyi dalam Electronic Health Record (EHR) secara real-time. Inovasi lain seperti augmented reality juga membuka cara baru dalam pelatihan staf mutu dengan simulasi yang aman dan interaktif tanpa risiko terhadap pasien.

Meskipun potensinya besar, penulis menekankan adanya tantangan yang wajib dikelola seperti kualitas dan akses data, interoperabilitas sistem, isu privasi dan etika, bias algoritma, dan resistensi pengguna. Oleh karena itu, integrasi AI memerlukan tata kelola yang kuat dan kerangka regulasi yang jelas. Secara praktis, artikel ini menegaskan bahwa AI bukan pengganti tenaga kesehatan melainkan alat strategis bagi praktisi dan manajemen rumah sakit untuk memperkuat keselamatan, mempercepat analisis mutu, meningkatkan efisiensi operasional, dan memperkaya pelatihan staf. Melalui penggunaan AI yang bijak, layanan kesehatan dapat bergerak menuju sistem yang lebih aman, efektif, efisien, berpusat pada pasien, dan responsif.

Disarikan oleh:
Nikita Widya Permata Sari, S. Gz., MPH (Peneliti Divisi Mutu PKMK FK-KMK UGM)

Selengkapnya: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/39104802/ 

 

 

Meningkatnya tekanan terhadap sistem kesehatan, rumah sakit di seluruh dunia berada pada titik kritis. Banyak negara masih mengandalkan model rumah sakit yang dirancang puluhan tahun lalu, padahal kompleksitas kebutuhan saat ini telah melampaui batas sistem tradisional. Pertanyaannya bukan lagi sekadar berapa banyak tempat tidur atau tenaga medis yang harus ditambah, tetapi bagaimana seluruh ekosistem rumah sakit dapat bergerak secara dinamis, responsif, dan berkelanjutan. Tantangan ini menjadi dasar pembentukan systems thinking dengan membentuk tim pemodelan lintas-profesi dan melakukan 20 sesi diskusi dalam penelitian yang dilakukan Kumar et al. (2025). Hasilnya adalah tujuh causal loop diagrams (CLD) komprehensif yang menggambarkan hubungan sebab-akibat di seluruh sistem rumah sakit, mulai dari sistem kesehatan nasional, layanan rawat jalan, IGD, rawat inap, bedah/prosedur, hingga perencanaan kluster rumah sakit. CLD ini berfungsi sebagai “bahasa bersama” yang memudahkan berbagai pemangku kepentingan memahami bagaimana variabel-variabel seperti permintaan, kapasitas, alur pasien, dan sumber daya saling memengaruhi.

Salah satu penemuan penting adalah adanya banyak positive feedback loops dalam berbagai layanan inti. Sebagai contoh, ketika permintaan meningkat, rumah sakit biasanya merespons dengan menambah tempat tidur atau tenaga kesehatan. Namun penambahan kapasitas ini justru dapat memicu peningkatan permintaan lebih lanjut, yakni fenomena yang dikenal sebagai supplier-induced demand. Dengan memahami pola umpan balik seperti ini, rumah sakit dapat menghindari solusi jangka pendek yang hanya memperbesar masalah dalam jangka panjang.

Analisis causal loop juga membantu mengidentifikasi 15 titik intervensi potensial yang dapat mengubah perilaku sistem secara signifikan. Beberapa di antaranya meliputi right-siting pasien ke layanan primer atau telehealth, pemanfaatan teknologi untuk mempercepat length of stay, peningkatan efisiensi operasional, serta penguatan layanan pencegahan dan berbasis komunitas untuk menurunkan angka kunjungan. Intervensi ini dirancang untuk memutus siklus tekanan permintaan yang berulang dan menciptakan sistem rumah sakit yang lebih berkelanjutan.

Selain itu, salah satu variabel terpenting yang ditemukan adalah “agilitas”, yaitu kemampuan rumah sakit untuk mengalihkan atau menambah sumber daya secara cepat dalam menghadapi krisis. Dalam analisis jaringan dari seluruh CLD, agilitas menempati posisi pusat, menunjukkan bahwa fleksibilitas dalam penempatan staf, alokasi tempat tidur, dan pengaturan alur layanan adalah komponen kunci bagi rumah sakit masa depan yang mampu beradaptasi dengan cepat.

CLD dan peta logika yang dihasilkan dalam penelitian ini dipublikasikan secara terbuka sehingga dapat digunakan oleh perencana rumah sakit di berbagai negara. Dengan pendekatan ini, keputusan strategis dapat diambil secara lebih holistik dan berbasis bukti, bukan reaktif atau parsial karena semua variabel dalam sistem dilihat sebagai satu kesatuan yang saling terkait. Secara keseluruhan, penggunaan causal loop dan systems thinking memberikan cara baru untuk memahami dinamika kompleks permintaan dan kapasitas rumah sakit. Pendekatan ini dapat mencegah perangkap ekspansi kapasitas tanpa arah, mengungkap intervensi strategis yang lebih efektif, memperkuat fleksibilitas rumah sakit, serta membantu merancang sistem layanan kesehatan yang tangguh dan berkelanjutan untuk kebutuhan masa depan.

Selengkapnya dapat diakses melalui:
https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC12107927/ 

 

Tuberkulosis (TB) diketahui sering berhubungan dengan gejala batuk, demam, atau penurunan berat badan. Namun, studi Emery et. al (2022) melalui analisis empat survei prevalensi di Asia dan Afrika menemukan bahwa penularan TB justru banyak terjadi pada individu yang tidak menunjukkan gejala apapun. Studi ini menggunakan pendekatan pemodelan berbasis Bayesian yang mengintegrasikan data household contacts, tingkat hasil uji lab smear-positivity, dan estimasi durasi penyakit untuk menghitung kontribusi relatif setiap fase TB terhadap penularan. Hasilnya ditemukan bahwa durasi TB subklinis cenderung lebih panjang daripada fase klinis sehingga akumulasi penularan tetap lebih besar meskipun infektivitas per hari sedikit lebih rendah.

Analisis terhadap 414 pasien TB dan 789 kontak serumah menunjukkan bahwa pasien dengan TB subklinis memiliki tingkat infektivitas yang hampir setara dengan pasien TB klinis. Pasien tersebut bahkan berpotensi dua kali lebih tinggi per satuan waktu karena fase subklinis dapat berlangsung lebih lama. Ketika dipadukan dengan data dari 14 survei prevalensi nasional, model menyimpulkan bahwa sekitar 68% penularan TB global berasal dari kasus subklinis dengan variasi 45–84% antarnegara. Penelitian Emery et. al (2022) juga menyoroti bahwa sepertiga pasien subklinis ternyata memiliki smear-positif. Hal ini menunjukkan bahwa kapasitas penularan tinggi dan banyak pasien yang tidak mampu menghasilkan sputum sehingga tidak terdeteksi melalui metode konvensional.

Selain itu, penelitian membandingkan pola antarnegara dan menemukan bahwa negara dengan proporsi TB subklinis tinggi memiliki beban ancaman tersembunyi yang jauh lebih besar. Temuan tersebut terutama terjadi di kawasan dengan akses skrining rendah atau ketergantungan tinggi pada deteksi berbasis gejala. Studi ini juga menggarisbawahi bahwa skrining gejala, termasuk algoritma “batuk ≥2 minggu”, melewatkan banyak kasus yang secara bakteriologis sudah positif dan berpotensi menular. Peneliti menekankan perlunya strategi skrining aktif berbasis populasi, penggunaan pemeriksaan radiologi dan alat deteksi molekuler yang tidak bergantung pada sputum, serta integrasi skrining TB pada pelayanan rawat jalan atau pemeriksaan rutin bagi kelompok berisiko tinggi.

Implikasi penelitian ini bagi praktik pelayanan mutu kesehatan tentunya sangat luas. Bagi manajemen rumah sakit dan pembuat kebijakan, temuan ini dapat mendorong upaya investasi perencanaan deteksi dini. Upaya misalnya dapat dilakukan melalui pemanfaatan artificial intelligence untuk pembacaan foto toraks dan pergeseran paradigma dari deteksi pasif ke pencarian aktif kasus. Kesimpulan utama penelitian ini jelas, yakni kasus subklinis TB adalah sumber penularan terbesar yang selama ini terabaikan. Strategi eliminasi TB global tidak akan tercapai tanpa melibatkan prioritas fase subklinis sebagai prioritas utama dalam kebijakan, program, dan intervensi di tingkat layanan maupun komunitas.

Disarikan oleh:

Nikita Widya Permata Sari, S. Gz., MPH
(Peneliti Divisi Mutu PKMK FK-KMK UGM)

Selengkapnya: https://elifesciences.org/articles/82469