Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Setiap tanggal 29 September, dunia memperingati Hari Jantung Sedunia (World Heart Day). Peringatan ini menjadi momentum global untuk mengingatkan akan pentingnya menjaga kesehatan jantung. Penyakit jantung dan pembuluh darah atau penyakit kardiovaskular (CVD) masih menjadi penyebab kematian tertinggi di dunia. Menurut data WHO, penyakit kardiovaskular menyebabkan sekitar 19,8 juta kematian pada tahun 2022, atau sekitar 32% dari seluruh kematian global. Dari angka tersebut, 85% di antaranya disebabkan oleh serangan jantung (Ischemic Heart Disease) dan stroke. Yang lebih mengkhawatirkan, lebih dari 75% kematian akibat CVD terjadi di negara berpenghasilan menengah dan rendah, termasuk Indonesia.

Penelitian telaah literatur yang dilakukan oleh Abouzid et al. (2024) menyoroti bahwa kesenjangan dalam pelayanan jantung kritis tetap menjadi tantangan besar bagi sistem kesehatan global. Dalam literatur ini, penulis mengumpulkan bukti dari studi antara Januari 2000 hingga Mei 2023 untuk mengidentifikasi disparitas akses dan hasil dari intervensi jantung kritis di berbagai populasi. Mereka menemukan bahwa faktor sosial ekonomi, asuransi, akses geografis, ras dan etnis, hambatan bahasa dan budaya, serta kesenjangan literasi kesehatan berkontribusi signifikan terhadap ketidaksetaraan tersebut.

Salah satu hambatan utama yang diungkap adalah aspek pembiayaan kesehatan: populasi tanpa asuransi atau dengan cakupan asuransi terbatas sering mengalami penundaan diagnosis maupun keterbatasan akses ke tindakan lanjutan. Tercatat bahwa kelompok masyarakat berpenghasilan rendah atau tinggal di daerah terpencil cenderung sulit menjangkau fasilitas kardiologi khusus atau pusat jantung. Hambatan geografis, termasuk jarak, transportasi, dan infrastruktur yang buruk, juga menjadi penghambat akses terhadap layanan kritis jantung.

Penelitian menunjukkan bahwa variabel ras dan etnis mempengaruhi akses dan hasil perawatan jantung kritis. Beberapa populasi etnis atau ras minoritas dilaporkan memiliki angka mortalitas lebih tinggi atau komplikasi lebih besar dibanding kelompok mayoritas, yang disinyalir karena kombinasi hambatan sistemik dan determinan sosial. Di samping itu, hambatan budaya dan bahasa memperparah situasi ketika pasien atau keluarga tidak memahami bahasa medis atau tidak merasa nyaman berkomunikasi dengan petugas kesehatan.

Disparitas dalam hasil klinis juga menemukan bahwa pasien dari kelompok rentan ini lebih mungkin mengalami hasil yang kurang baik, seperti komplikasi pasca operasi, durasi rawat inap lebih lama, atau kematian yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa bukan hanya akses yang timpang, tapi kualitas dan keberlanjutan layanan juga berbeda menurut latar belakang sosial dan kondisi pasien.

Untuk mengatasi ketidaksetaraan tersebut, para peneliti merekomendasikan intervensi lintas sektor yang mencakup perluasan akses layanan, pengurangan hambatan finansial, dan perluasan cakupan asuransi kesehatan. Pendekatan pelayanan yang berfokus pada pasien (patient-centered) juga dianggap vital, termasuk mendengarkan kebutuhan dan preferensi pasien, serta memperkuat sistem komunikasi antara pasien dan penyedia layanan.

Teknologi juga dianggap sebagai bagian dari solusi, seperti telemedicine dan teknologi jarak jauh, bisa menjembatani kesenjangan akses, terutama bagi pasien yang tinggal jauh dari pusat layanan. Namun, penggunaan teknologi ini harus disesuaikan dengan kondisi lokal dan mempertimbangkan tantangan seperti akses internet, kemampuan menggunakan perangkat, dan kesiapan sistem kesehatan setempat.

Penulis juga menekankan perlunya penelitian lebih lanjut, khususnya studi longitudinal dan riset implementasi, untuk mengevaluasi strategi intervensi yang sudah diterapkan serta dampaknya dalam jangka panjang. Selain itu, keterlibatan pasien dan advokasi kebijakan menjadi penting agar suara kelompok rentan bisa terwakili dalam perumusan strategi pelayanan jantung.

Secara keseluruhan, penelitian ini memperingatkan bahwa meskipun kemajuan teknologi dan medis telah membuka banyak kemungkinan dalam pelayanan jantung kritis, tanpa tindakan proaktif untuk mengatasi hambatan sosial dan sistemik, kemajuan tersebut bisa memperlebar jurang ketidaksetaraan dalam kesehatan jantung di masyarakat global.

Selengkapnya dapat diakses melalui:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/39119413/ 

 

Hari Kesehatan Mental Sedunia yang diperingati setiap 10 Oktober merupakan momen untuk meningkatkan kesadaran terhadap pentingnya kesehatan jiwa, perlawanan stigma, dan mendorong terciptanya akses layanan kesehatan mental yang merata. Tema yang diangkat pada 2025 adalah “Access to Services – Mental Health in Catastrophes and Emergencies” atau “Akses Layanan Kesehatan Mental dalam Bencana dan Keadaan Darurat”. Tema ini menegaskan bahwa kesehatan mental harus diprioritaskan pada kondisi krisis seperti bencana alam, konflik, pandemi, maupun situasi darurat lainnya. Dalam beberapa kasus pada kondisi tersebut, kesehatan mental diketahui masih sering diabaikan.

Kondisi bencana dan krisis terbukti memberikan dampak besar terhadap kondisi psikologis individu maupun komunitas. Rasa takut, cemas, trauma, dan depresi sering muncul sebagai konsekuensi dari situasi darurat. Kelompok yang sebelumnya sudah memiliki kerentanan kesehatan mental bahkan dapat mengalami tekanan yang lebih berat ketika akses layanan terganggu. Pada saat yang sama, ketidaksetaraan dalam distribusi tenaga profesional kesehatan jiwa juga membuat dukungan psikososial tidak merata terutama di wilayah terpencil atau daerah terdampak.

Melalui peringatan tahun ini, pemerintah, organisasi kesehatan, dan masyarakat disarankan dan didorong untuk lebih siap dengan sistem tanggap darurat. Sistem tanggap darurat khususnya berfokus pada aspek fisik dan psikososial. Meskipun dalam kondisi sulit, layanan konseling krisis dan pertolongan pertama psikologis perlu dipastikan tetap berjalan secara berkelanjutan. Hal ini penting agar masyarakat selamat secara fisik dan mampu pulih secara mental setelah melewati masa krisis. Partisipasi masyarakat juga sangat dibutuhkan dalam mendukung kampanye ini. Contoh kegiatan yang dapat dilakukan diantaranya adalah seminar, diskusi publik, kampanye perlawanan stigma kondisi mental di media sosial, dan advokasi kebijakan. Selain itu, komunitas lokal dapat berperan untuk saling mendukung, berbagi cerita, dan membangun ketahanan bersama.

Peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia 2025 menjadi pengingat bahwa kesehatan mental adalah hak dasar manusia terutama dalam kondisi bencana atau keadaan darurat. Kesehatan mental yang komprehensif dapat diwujudkan dengan penguatan akses layanan kesehatan mental, peningkatan kesadaran publik, dan kebijakan yang berpihak pada kesehatan mental. Melalui kesehatan mental yang komprehensif masyarakat yang lebih tangguh dan berdaya dapat terwujud.

Selengkapnya:
https://www.mentalhealth.org.uk/our-work/public-engagement/world-mental-health-day 

 

Kondisi kesehatan mental anak dan remaja kini telah menjadi perhatian besar di banyak negara. Sayangnya, pengetahuan tentang kualitas layanan kesehatan mental dan pengalaman keluarga dalam perawatan selama periode perawatan masih terbatas. Peningkatan kasus krisis kesehatan mental anak faktanya tidak selalu sejalan dengan ketersediaan tempat perawatan di rumah sakit jiwa. Akibatnya, banyak anak dan remaja yang harus menunggu di unit gawat darurat atau ruang rawat inap rumah sakit umum. Kondisi kekosongan menunggu di unit gawat darurat tersebut disebut mental health boarding. Sebuah penelitian kualitatif oleh McCarty et al. (2022) menyoroti pengalaman orang tua dan tenaga kesehatan dalam menghadapi situasi ini.

Penelitian ini menemukan bahwa masa “boarding” sering kali tidak memberi lingkungan yang benar-benar mendukung pemulihan anak. Seluruh informan baik orang tua maupun dokter memiliki pendapat bahwa pengalaman ini mirip seperti berada di ruang tahanan. Persepsi ini muncul karena informan mengungkapkan bahwa kondisi boarding hanya diisi dengan aktivitas yang terbatas sehingga justru memperburuk kecemasan maupun depresi anak. Penelitian ini juga mengidentifikasi tiga aspek penting yang mempengaruhi kualitas layanan: (1) infrastruktur pelayanan seperti pelatihan tenaga kesehatan, komposisi tim, dan kondisi fisik ruang rawat; (2) proses pelayanan mencakup komunikasi, pembagian peran, serta prosedur yang jelas; dan (3) luaran yang terukur, seperti keselamatan pasien, pengalaman keluarga, status kesehatan mental, kecepatan penanganan, dan beban emosional tenaga kesehatan.

Bagi praktisi kesehatan, temuan ini menjadi pengingat penting untuk menyeimbangkan aspek keselamatan dalam kondisi gawat darurat secara komprehensif. Implikasinya, rumah sakit perlu berinovasi dalam menciptakan lingkungan boarding yang lebih ramah dan terapeutik. Contohnya dapat dilakukan dengan menyediakan ruang aktivitas fisik sederhana yang nyaman serta memperkuat koordinasi antar profesi. Selain itu, komunikasi yang jelas dan konsisten antara tenaga kesehatan dengan keluarga pasien penting dipertimbangkan. Dukungan kebijakan publik dan peningkatan sumber daya di komunitas juga penting agar anak-anak tidak berlarut-larut menunggu perawatan. Penelitian ini memberi pesan jelas: boarding bukan sekadar waktu tunggu melainkan periode kritis yang harus dikelola dengan bijak agar tidak memperburuk kondisi mental anak. Melalui perbaikan kualitas layanan pada masa tunggu, generasi muda dapat terlindungi dari dampak jangka panjang krisis kesehatan mental.

Disarikan oleh:
Nikita Widya Permata Sari, S. Gz., MPH (Peneliti Divisi Mutu PKMK FK-KMK UGM)

Selengkapnya:
https://shmpublications.onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1002/jhm.12906 

 

Penyakit kolera diketahui masih menjadi ancaman besar secara global dengan adanya jutaan kasus dan ribuan kematian setiap tahun. Penyakit kolera banyak ditemukan di wilayah Sub-Sahara seperti Afrika. Umumnya, wilayah ini tidak memiliki sarana air bersih, sanitasi, dan layanan kesehatan yang memadai. Berdasarkan Global Task Force on Cholera Control (GTFCC) Roadmap 2030, target pengurangan kematian akibat kolera adalah minimal mencapai 90% sehingga diperlukan strategi yang komprehensif. Sebuah studi terbaru oleh Baličević et al. (2023) menekankan bahwa pemberdayaan komunitas dan penguatan sistem kesehatan merupakan dua kunci utama yang harus berjalan beriringan.

Penelitian ini meninjau pengendalian kolera di negara terdampak dan menemukan bahwa tata kelola yang baik dan kerja sama lintas sektor berperan meningkatkan keberhasilan pengendalian wabah. Kekuatan dukungan politik, koordinasi antar lembaga, dan kemitraan dengan organisasi lokal maupun internasional terbukti mempercepat respon wabah. Faktor lain yang tidak kalah penting adalah kepercayaan masyarakat terhadap sistem kesehatan. Keterlibatan tokoh masyarakat, ketepatan penggunaan bahasa, dan ketepatan strategi komunikasi dengan budaya setempat diketahui mampu membangun hubungan yang lebih baik. Selain itu, kohesi sosial juga muncul sebagai elemen penting. Aktivitas kolektif seperti musik, tari, atau pertemuan komunitas dapat memperkuat partisipasi masyarakat dalam kampanye kesehatan, menciptakan rasa kebersamaan, dan meningkatkan antusiasme dalam mendukung intervensi.

Sebaliknya, konflik, birokrasi yang rumit dan lemahnya kepemimpinan justru menjadi hambatan. Stigma dan marginalisasi melemahkan keterlibatan komunitas bahkan dapat membuat kelompok tertentu enggan mencari pertolongan atau melaporkan kasus. Pesan kesehatan yang bersifat menyalahkan atau menimbulkan stigma dalam suatu komunitas diketahui dapat menimbulkan dampak negatif dengan kemunculan penolakan dan kurangnya kepercayaan masyarakat.

Titik temu antara sistem kesehatan dan masyarakat yang disebut sebagai community health system interface menjadi arena paling krusial. Community health system interface berperan sebagai penentu keberhasilan atau kegagalan program pengendalian kolera. Faktor keamanan, kerja sama antara petugas dan warga, serta dinamika sosial-politik menjadi penentu apakah intervensi dapat diterima atau justru ditolak.

Temuan ini membuktikan bahwa membangun kepercayaan masyarakat lebih penting daripada hanya sekadar memberikan instruksi medis. Tenaga kesehatan perlu melibatkan tokoh masyarakat, memperhatikan kesesuaian bahasa, dan menghindari narasi negatif pada pasien atau kelompok tertentu. Konteks sosial-politik juga tidak boleh diabaikan karena intervensi yang tidak peka terhadap dinamika kekuasaan atau ketidaksetaraan justru dapat memperburuk stigma dan menimbulkan konflik. Selain itu, kolaborasi lintas sektor menjadi mutlak. Peran lintas sektor sangat dibutuhkan untuk perbaikan dalam bidang sanitasi, pendidikan, dan keamanan. Melalui penguatan sistem kesehatan sekaligus pemberdayaan masyarakat, target eliminasi kolera pada 2030 bukanlah mimpi kosong melainkan tujuan yang dapat dicapai jika kolaborasi dan komitmen terus diperkuat.

Dirangkum oleh:
Nikita Widya Permata Sari, S. Gz., MPH
(Peneliti Divisi Mutu PKMK FK-KMK UGM)

Selengkapnya: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/38084475/