Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Pekan Peduli Hepatitis B berlangsung mulai tanggal 4 hingga 12 September 2025. Kegiatan ini bertujuan untuk mendukung upaya pencegahan dan penanganan Hepatitis B, yang menjadi salah satu penyakit menular serius di Indonesia. Tema tahun 2025 “Hepatitis: Let's Break It Down" mengajak tindakan segera untuk menghilangkan hambatan finansial, sosial, dan sistemik guna memberantas hepatitis. Dalam praktiknya, masyarakat miskin dan marjinal menghadapi tantangan besar dalam mengakses layanan kesehatan hepatitis B, mulai dari skrining, vaksinasi, pengobatan hingga tindak lanjut klinis, yang menyebabkan kesenjangan sehat yang signifikan di banyak negara.

Penelitian yang dilakukan oleh LI et al. (2024) membahas kesenjangan akses layanan hepatitis B di kalangan masyarakat miskin dan marjinal, seperti migran tidak resmi, tunawisma, pekerja seks, serta kelompok dengan status sosial ekonomi rendah. Studi ini merupakan tinjauan sistematis metode campuran (mixed-method) dari 21 penelitian yang melibatkan lebih dari 13 ribu orang. Hasilnya menunjukkan cakupan vaksinasi hepatitis B minimal satu dosis hanya sekitar 37%, sedangkan angka skrining, pengobatan, dan keterhubungan dengan layanan perawatan (linkage-to-care) bahkan lebih rendah, yakni di bawah 30%. Hal ini menegaskan bahwa kelompok paling rentan justru masih jauh tertinggal dalam upaya pencegahan dan penanganan hepatitis B.

Analisis mendalam mengidentifikasi 51 faktor yang memengaruhi akses layanan, yang dikategorikan dalam beberapa domain: biologis, lingkungan fisik, perilaku, sosial-budaya, dan sistem layanan kesehatan. Faktor biologis mencakup riwayat penyakit menular lain seperti HIV atau sifilis yang mendorong individu untuk lebih waspada sehingga cenderung mencari vaksinasi atau pengobatan. Sementara itu, faktor lingkungan fisik antara lain mobilitas kerja musiman, kondisi tempat tinggal yang tidak menetap, serta keterbatasan fasilitas kesehatan di daerah terpencil yang menghambat kesinambungan layanan.

Dalam domain perilaku, pengalaman pribadi dengan skrining penyakit menular sebelumnya serta keyakinan akan risiko terinfeksi terbukti meningkatkan motivasi untuk mengakses layanan hepatitis B. Sebaliknya, strategi koping negatif seperti sikap tidak percaya pada sistem kesehatan atau keyakinan bahwa kondisi tanpa gejala tidak memerlukan perawatan justru menghambat penyelesaian vaksinasi maupun pengobatan. Persepsi yang keliru, seperti anggapan penggunaan kondom sudah cukup melindungi, juga memperlemah partisipasi dalam layanan.

Faktor sosial-budaya memainkan peran besar dalam memperparah hambatan. Status imigrasi, riwayat pemenjaraan, stigma terhadap hepatitis B, diskriminasi, dan rendahnya tingkat pendidikan menjadi kendala utama. Populasi dengan status hukum tidak jelas sering takut mengakses layanan karena khawatir dilaporkan ke otoritas, sementara stigma dari masyarakat bahkan tenaga kesehatan membuat penderita enggan menjalani skrining atau terapi. Ketidaksetaraan gender pun berperan, misalnya perempuan pekerja seks dengan pengalaman kerja singkat cenderung menyelesaikan vaksinasi lebih rendah dibandingkan yang lebih lama bekerja.

Pada level sistem kesehatan, tantangan yang ditemukan antara lain rendahnya literasi tentang hepatitis B, biaya langsung maupun tidak langsung, kurangnya layanan yang ramah bagi kelompok marjinal, jadwal layanan yang kaku, serta minimnya rekomendasi aktif dari tenaga medis. Hambatan biaya seringkali membuat pasien tidak mampu melanjutkan pengobatan, sementara keterbatasan pengetahuan menyebabkan banyak orang tidak menyadari pentingnya vaksinasi atau lokasi layanan yang tersedia.

Sebagai kesimpulan, studi ini menekankan bahwa kesenjangan layanan hepatitis B bagi populasi miskin dan marjinal masih sangat besar, padahal mereka merupakan kelompok berisiko tinggi. Untuk menutup jurang ini, diperlukan intervensi terintegrasi seperti penyediaan layanan mobile di komunitas, penyuluhan yang sesuai konteks budaya, penghapusan hambatan biaya, serta kebijakan berbasis hak asasi agar status hukum maupun kondisi sosial tidak menjadi penghalang. Upaya semacam ini tidak hanya akan meningkatkan cakupan skrining dan vaksinasi, tetapi juga memperkuat retensi dalam pengobatan hepatitis B di kelompok yang paling membutuhkan.

sumber: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/40709345/

 

Kecerdasan buatan kini semakin dekat dan banyak digunakan dalam dunia medis. Penerapan kecerdasan buatan yang telah masif digunakan salah satunya melalui Chat GPT, sebuah platform dari OpenAI yang mampu menghasilkan jawaban menyerupai manusia. Studi terbaru oleh Javaid, Haleem, dan Singh (2023) menegaskan bahwa teknologi Chat GPT menawarkan peluang besar dalam perkembangan transformasi layanan kesehatan. Chat GPT dapat dimanfaatkan mulai dari edukasi pasien, pendukung keputusan klinis, dan otomatisasi administrasi yang selama ini menyita banyak waktu tenaga medis. Chat GPT juga dapat membantu pasien memahami penyakit, obat, atau prosedur medis melalui penjelasan sederhana. Apabila dilihat dari sisi keselamatan, sistem ChatGPT mampu menurunkan risiko kesalahan medis karena dapat menyediakan informasi berbasis bukti dengan cepat.

ChatGPT dapat berperan sebagai jembatan akses layanan dan sumber informasi medis awal sehingga berpotensi memperkecil kesenjangan pelayanan kesehatan. Dalam praktek praktisi kesehatan, dokter dapat menggunakan Chat GPT untuk membantu menyusun laporan medis, meringkas rekam medis, dan melakukan transkripsi dengan cepat dan akurat. Teknologi ini secara lebih lanjut dapat mendukung penelitian klinis dengan menganalisis data uji coba maupun literatur medis secara efisien. Chat GPT juga berpotensi menjadi asisten digital dokter untuk mengingatkan jadwal kontrol, menyusun rencana diet untuk pasien diabetes, atau memberikan rekomendasi awal berdasarkan riwayat medis. Selain manfaat tersebut, Chat GPT dapat mengurangi beban kerja administratif kesehatan. Melalui Chat GPT, beban kerja administratif dapat dikurangi sehingga tenaga medis memiliki lebih banyak waktu untuk berinteraksi langsung dengan pasien.

Meskipun memiliki banyak manfaat dalam mempermudah akses dan sumber informasi kesehatan, penelitian ini menegaskan bahwa ChatGPT memiliki keterbatasan. Chat GPT dapat menghasilkan informasi yang keliru atau bias jika data medisnya tidak diperbarui. Isu privasi dan etika medis juga perlu diwaspadai karena data pasien sangat sensitif. Selain itu, Chat GPT tidak bisa menggantikan tenaga medis. Keputusan klinis tetap membutuhkan penilaian, empati, serta pertimbangan etis yang hanya bisa dilakukan oleh manusia.

Penting digarisbawahi bahwa implikasi Chat GPT bagi praktisi kesehatan adalah memanfaatkan penggunaannya sebagai alat bantu bukan pengganti. Penggunaannya perlu dilengkapi dengan regulasi, standar etik, dan pembaruan data medis yang berkelanjutan. Jika dikelola dengan tepat, Chat GPT dapat menjadi mitra strategis dalam meningkatkan mutu layanan, memperluas akses, serta mendorong inovasi di dunia kesehatan

Dirangkum oleh:
Nikita Widya Permata Sari, S. Gz., MPH
(Peneliti Divisi Mutu PKMK FK-KMK UGM)

Selengkapnya:

https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2772485923000224?via%3Dihub 

 

Setiap tanggal 12 September, Hari Kesehatan Gigi dan Mulut Nasional diperingati untuk meningkatkan kepedulian masyarakat Indonesia terhadap pentingnya menjaga kesehatan gigi dan mulut. Momentum ini juga menjadi sarana untuk meningkatkan kesadaran, membangun kebiasaan hidup sehat, dan mendukung program kesehatan gigi di masyarakat. Penting dipahami bahwa menjaga kesehatan gigi dan mulut tidak hanya berkaitan dengan penampilan tetapi juga kesehatan tubuh secara menyeluruh.

Masalah seperti gigi berlubang, radang gusi, dan penyakit periodontal (peradangan atau infeksi gusi dan tulang penyangga gigi) dapat memengaruhi kualitas hidup. Contoh pengaruh masalah gigi dan mulut terhadap kualitas hidup adalah timbulnya nyeri berulang yang dapat mengganggu tidur hingga konsentrasi terhadap aktivitas tertentu. Selain itu, penyakit periodontal yang parah dapat menimbulkan bekurangnya kekokohan gigi sehingga menjadi goyang kemudian tanggal. Kondisi ini menimbulkan kesulitan mengunyah sehingga memengaruhi asupan gizi serta kesehatan tubuh secara umum.

Masalah gigi dan mulut sejatinya dapat dihindari dengan memulai langkah sederhana seperti menggosok gigi dua kali sehari dengan pasta gigi berfluoride, mengurangi konsumsi gula, rutin memeriksakan gigi setiap enam bulan sekali, serta menjaga pola makan sehat dan kebutuhan cairan tubuh. Langkah ini cukup mudah dilakukan dan harus dipertahankan dengan konsisten. Oleh karena itu, mari kita senantiasa menjaga kesehatan gigi dan mulut untuk mewujudkan hidup sehat dan produktif!

Selengkapnya: https://ayosehat.kemkes.go.id/

 

Hari buta warna sedunia yang diperingati setiap 6 September merupakan upaya kampanye untuk meningkatkan kesadaran terhadap penyandang buta warna. Tanggal 6 September dipilih menjadi hari buta warna sedunia sebagai penghormatan kepada John Dalton, ilmuwan yang meneliti dan menemukan kondisi buta warna pada dirinya sendiri. John Dalton adalah seorang ilmuwan yang lahir pada 6 September 1766. Dalton adalah orang pertama yang menyadari keberadaan buta warna. Sebagai seorang ilmuwan, ia menyadari bahwa baik ia maupun saudaranya tidak dapat melihat warna dengan cara yang sama seperti orang lain.

Kondisi buta warna atau colour vision deficiency (CVD) diketahui diderita oleh 1 dari 12 laki-laki (8%) dan 1 dari 200 oleh perempuan di seluruh dunia. Secara keseluruhan, sekitar 300 juta orang di seluruh dunia, diperkirakan menderita buta warna yang jumlahnya hampir sama dengan seluruh populasi di Amerika Serikat. Umumnya, buta warna ditandai dengan gejala tidak dapat membedakan warna merah atau hijau. Kondisi buta warna mayoritas bersifat genetik yang berasal dari gen ibu. Buta warna juga dapat disebabkan oleh akibat dari penyakit lain seperti diabetes dan multiple sclerosis atau karena penuaan dan konsumsi obat-obatan.

Tujuan utama peringatan ini adalah memberikan pemahaman lebih luas bahwa buta warna tidak hanya sekadar ketidakmampuan membedakan warna merah dan hijau tetapi juga kondisi yang dapat mempengaruhi aktivitas sehari-hari, pendidikan, hingga karier seseorang. Melalui peringatan ini, diharapkan masyarakat lebih peduli dan mendukung terciptanya lingkungan yang ramah bagi penyandang buta warna di seluruh dunia.

Selengkapnya: https://www.colourblindawareness.org/