Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Banjir merupakan salah satu ancaman berulang di Indonesia. Saat ini, banjir telah terjadi di 16 Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh seperti Pidie, Aceh Besar, Pidie Jaya, Aceh Tamiang, Aceh Tenggara, Aceh Barat, Subulussalam, Bireuen, Lhokseumawe, Aceh Timur, Langsa, Bener Meriah, Gayo Lues, Aceh Singkil, Aceh Utara, dan Aceh Selatan. Bencana diketahui mulai terjadi pada periode awal November dan hingga kini sedang mengalami proses rehabilitasi. Dalam situasi tersebut, rumah sakit dan fasilitas kesehatan dituntut tetap beroperasi optimal di tengah keterbatasan sumber daya, lonjakan pasien, dan gangguan infrastruktur. Namun, situasi di Indonesia menunjukkan belum adanya penanganan bencana yang baik dalam aspek rumah sakit dan fasilitas kesehatan. Sebagai salah satu contoh praktik baik, studi kualitatif oleh Ali, et al. (2023) memberikan penjelasan bahwa ketangguhan rumah sakit dalam menghadapi bencana harus didukung oleh sistem kepemimpinan transformasional yang mampu mendorong adaptasi dan perubahan sistem secara berkelanjutan.

Penelitian Ali, et al. (2023) mengidentifikasi tiga pilar utama kepemimpinan transformasional dalam konteks ketahanan rumah sakit terhadap bencana, yaitu (1) tata kelola dan kepemimpinan, (2) perencanaan dan penilaian risiko, serta (3) komunikasi dan jejaring kolaborasi. Dalam aspek tata kelola, pemimpin yang transformasional seharusnya tidak hanya mengikuti prosedur rutin tetapi juga berani mengambil keputusan cepat dan bertanggung jawab ketika situasi krisis. Kemampuan ini sangat relevan pada bencana banjir di Aceh, khususnya ketika akses jalan terputus dan distribusi pasien harus segera dialihkan. Pemimpin rumah sakit juga harus memiliki decisive accountability yang artinya mampu memangkas birokrasi yang tidak perlu demi keselamatan pasien dan tenaga kesehatan.

Dalam sisi perencanaan dan penilaian risiko, studi ini menekankan pentingnya risk navigation dan planning agility. Rumah sakit yang tangguh tidak hanya memiliki rencana tanggap darurat di atas kertas tetapi juga harus mampu menyesuaikan rencana dengan tanggap terhadap dinamika situasi lapangan. Praktik baik yang dapat diterapkan dalam konteks banjir Aceh antara lain adalah pemetaan risiko banjir terhadap fasilitas kritis (listrik, oksigen, ruang rawat), dan penyusunan skenario kehilangan fungsi layanan tertentu. Pendekatan ini sejalan dengan siklus bencana prevent–prepare–respond–recover yang diperluas dengan refleksi dan regenerasi sistem layanan.

Terakhir, aspek yang tidak kalah penting adalah komunikasi dan kolaborasi. Penelitian menunjukkan bahwa komunikasi yang cepat, jelas, dan terkoordinasi menjadi penentu keberhasilan respon bencana. Pemimpin transformasional berperan sebagai communication accelerator yang memastikan informasi mengalir secara vertikal dan horizontal sekaligus sebagai collaboration innovator yang mendorong kerja sama lintas profesi dan lintas sektor. Dalam bencana banjir di Aceh, praktik baik ini dapat diwujudkan melalui koordinasi aktif dengan BPBD, Dinas Kesehatan, puskesmas, relawan, dan komunitas lokal agar penanganan pasien, evakuasi, serta pemulihan layanan berjalan selaras.
Secara keseluruhan, studi ini menegaskan bahwa ketangguhan rumah sakit bukan hanya sekadar soal infrastruktur melainkan juga tentang kualitas kepemimpinan. Melalui adopsi prinsip kepemimpinan transformasional yang adaptif, komunikatif, dan berorientasi baik, rumah sakit di wilayah rawan banjir seperti Aceh diharapkan dapat bangkit menjadi lebih baik setelah bencana. Pendekatan ini tidak hanya memperkuat respon darurat tetapi juga membangun sistem kesehatan yang lebih siap, berkelanjutan, dan manusiawi dalam menghadapi krisis di masa depan.

Disarikan oleh:
Nikita Widya Permata Sari, S. Gz., MPH
(Peneliti Divisi Mutu PKMK FK-KMK UGM)

Selengkapnya:

https://www.mdpi.com/1660-4601/20/3/2022 
https://bpba.acehprov.go.id/berita/kategori/bencana/banjir-di-16-kabupaten-kota-provinsi-aceh-per-27-november-20759-jiwa-mengungsi-satu-orang-hilang-terseret-arus-banjir 

Di tengah upaya global mencapai Universal Health Coverage (UHC), perluasan akses layanan kesehatan sering kali menjadi fokus utama, sementara kualitas layanan justru tertinggal dalam perhatian kebijakan dan praktik. Padahal, layanan kesehatan yang mudah diakses namun bermutu rendah tidak hanya gagal meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, tetapi juga berpotensi menimbulkan dampak yang merugikan. Penelitian yang dilakukan oleh Yanful et al. (2023) menyoroti pentingnya kualitas layanan sebagai komponen kunci dalam UHC, dengan menelaah secara sistematis bagaimana mutu pelayanan kesehatan dipahami, diukur, dan diintegrasikan dalam berbagai sistem kesehatan di dunia.

Penelitian ini mengulas secara luas hubungan antara kualitas layanan kesehatan dan Universal Health Coverage (UHC), yang merupakan tujuan global utama sistem kesehatan saat ini. UHC bertujuan memastikan semua orang mendapatkan layanan kesehatan yang mereka butuhkan tanpa mengalami beban finansial yang berat, namun fokus pada kualitas layanan masih belum cukup dipahami dalam banyak konteks negara.

Scoping review dilakukan berdasarkan kerangka kerja yang sudah mapan, mencari literatur ilmiah dari berbagai basis data yang menggambarkan bagaimana kualitas layanan dipertimbangkan dalam konteks UHC. Dari ribuan artikel awal, dipilih 45 studi yang relevan dari berbagai wilayah dunia untuk dianalisis lebih mendalam.

Hasil analisis menunjukkan bahwa meskipun banyak penelitian menyoroti aspek seperti governance (tata kelola) dan efisiensi sistem kesehatan, dua faktor penting dalam mewujudkan UHC, bukti yang ada masih terbatas mengenai bagaimana kualitas layanan sendiri berkontribusi terhadap hasil kesehatan yang lebih baik di bawah skema UHC. Dengan kata lain, UHC bukan sekadar soal akses dan pembiayaan, tetapi juga bagaimana layanan itu dilakukan secara tepat dan aman.

Beberapa studi yang ditinjau menekankan pentingnya tata kelola yang kuat dan efisiensi sistem untuk mendorong kualitas layanan. Riset pada berbagai negara menunjukkan bahwa sistem dengan pengawasan yang baik dan alur kerja yang jelas cenderung lebih berhasil memenuhi tujuan layanan berkualitas tinggi sebagai bagian dari cakupan universal.

Namun, penelitian ini juga menemukan adanya gap besar, terutama dalam ukuran kualitas layanan yang konkret dan bagaimana hal itu memengaruhi pencapaian UHC di berbagai negara secara spesifik. Banyak studi yang belum mengembangkan indikator yang kuat terkait kualitas dalam konteks cakupan universal, terutama yang mempertimbangkan aspek kesetaraan layanan bagi seluruh lapisan masyarakat.

Penulis menutup dengan rekomendasi bahwa dibutuhkan lebih banyak penelitian yang fokus pada monitoring dan evaluasi kualitas layanan dalam program UHC, termasuk pengembangan alat ukur yang tepat untuk kualitas, serta kerangka kerja kebijakan yang bisa membantu pembuat kebijakan memahami hubungan antara akses, pembiayaan, mutu layanan, dan hasil kesehatan. Penekanan pada kualitas layanan dianggap penting untuk memastikan UHC benar-benar memberi dampak positif bagi kesehatan masyarakat tanpa hanya sekadar memperluas cakupan administratif.

Selengkapnya dapat diakses melalui:
https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10035485/ 

 

 

Efisiensi sistem kesehatan kini menjadi isu strategis di tengah meningkatnya biaya pelayanan, tuntutan mutu pelayanan, dan target pencapaian Universal Health Coverage (UHC). Systematic review oleh Mbau, et al. (2023) telah menganalisis 131 studi dari berbagai negara untuk memahami bagaimana pengukuran efisiensi sistem kesehatan, faktor penyebab, dan implikasinya bagi kebijakan dan manajemen pelayanan kesehatan. Studi ini menegaskan bahwa efisiensi bukan sekadar penghematan anggaran tetapi juga tentang bagaimana keterbatasan sumber daya dapat digunakan secara optimal untuk menghasilkan luaran dan dampak kesehatan yang maksimal.

Hasil tinjauan menunjukkan bahwa mayoritas penelitian masih berfokus pada negara berpendapatan tinggi dengan pendekatan kuantitatif, terutama Data Envelopment Analysis (DEA) dan Stochastic Frontier Analysis (SFA). Input yang umumnya dianalisis mencakup pembiayaan kesehatan, tenaga kesehatan, fasilitas dan peralatan medis, serta faktor di luar sektor kesehatan seperti pendidikan, sanitasi, dan perilaku berisiko. Sementara itu, output sistem kesehatan diukur melalui indikator layanan (kunjungan rawat jalan, rawat inap), luaran kesehatan tunggal (angka kematian, harapan hidup), dan indeks komposit seperti Healthy Life Expectancy. Temuan juga menunjukkan bahwa efisiensi sistem kesehatan sangat dipengaruhi oleh kombinasi faktor internal (tata kelola, pembiayaan, dan organisasi layanan) dan eksternal (demografi, sosial ekonomi, kondisi kesehatan populasi, dan stabilitas politik).

Hasil systematic review ini dapat memberikan implikasi bagi praktisi kesehatan dan manajemen rumah sakit terutama dalam pengoptimalan efisiensi mutu layanan. Pengoptimalan efisiensi tentunya tidak cukup dicapai hanya dengan menambah anggaran atau fasilitas tetapi juga memerlukan perbaikan tata kelola, sistem rujukan, dan pengendalian layanan. Langkah pengoptimalan efisiensi contohnya dapat dilakukan dengan penguatan pelayanan kesehatan primer, sistem pembayaran prospektif, serta koordinasi lintas sektor. Dalam hal pendekatan evaluasi efisiensi, metode kualitatif dapat dijadikan sebagai langkah lebih lanjut untuk memahami “mengapa” dan “bagaimana” kebijakan atau praktik tertentu mempengaruhi kinerja sistem. Secara keseluruhan, efisiensi sistem kesehatan rumah sakit harus dipahami sebagai hasil interaksi kompleks antara kebijakan, manajemen, dan konteks sosial. Jika hal tersebut dikelola dengan baik, maka mutu layanan akan dapat meningkat dan memiliki keberlanjutan sistem kesehatan yang menyeluruh.

Disarikan oleh:
Nikita Widya Permata Sari, S. Gz., MPH
(Peneliti Divisi Mutu PKMK FK-KMK UGM)

Selengkapnya: https://link.springer.com/article/10.1007/s40258-022-00785-2 

 

 

Saat ini, kualitas mutu kesehatan mental merupakan isu yang sangat penting, khususnya bagi kelompok dewasa muda seperti mahasiswa. Mahasiswa adalah kelompok yang sangat aktif mengakses informasi kesehatan mental baik melalui media sosial maupun platform digital lain. Studi oleh Ismail, Kusumaningtyas, dan Kanapsijah Firngadi (2023) di Yogyakarta telah mengungkap fenomena menarik sekaligus mengkhawatirkan, yakni sebagian mahasiswa cenderung melakukan self-diagnose atau menilai kondisi psikologis mereka sendiri tanpa berkonsultasi dengan tenaga profesional. Penelitian ini melibatkan 402 mahasiswa dan menunjukkan bahwa sekitar 12,9% responden pernah melakukan self-diagnose. Self-diagnose berkaitan dengan pengetahuan yang kurang tepat serta sikap yang kurang mendukung isu kesehatan mental. Mahasiswa yang melakukan self-diagnose memiliki kemungkinan dua kali lebih besar memiliki pengetahuan rendah (AOR 2,31) dan sikap yang kurang positif (AOR 2,12) terhadap kesehatan mental.

Penelitian ini juga mencatat bahwa hanya sekitar separuh mahasiswa yang memiliki pengetahuan baik mengenai gangguan mental dan 53% menunjukkan sikap positif terhadap individu dengan kondisi tersebut. Faktor pendidikan diketahui merupakan pengaruh sangat menentukan pengatahuan dan sikap positif. Mahasiswa yang tidak pernah mendapatkan materi psikologi atau psikiatri memiliki risiko lebih tinggi memiliki pengetahuan yang kurang memadai. Menariknya, anggota keluarga mahasiswa dengan riwayat gangguan mental tidak selalu meningkatkan pemahaman tetapi justru menjadi faktor risiko pengetahuan rendah dalam studi ini. Hal tersebut berkaitan dengan kuatnya stigma keluarga dan budaya. Misalnya seperti praktik pasung yang masih terjadi di sebagian wilayah Indonesia sehingga pengalaman personal belum tentu diiringi dengan pemahaman yang tepat terhadap kesehatan mental.

Selain temuan di atas, hubungan antara pengetahuan dan sikap juga ditemukan. Meskipun sangat lemah tetapi tetap menunjukkan arah yang jelas, yaitu semakin baik pemahaman seseorang tentang kesehatan mental maka semakin positif juga sikapnya. Berdasarkan temuan ini, literasi kesehatan mental disarankan dapat menjadi fondasi penting dalam mendorong penerimaan dan mengurangi stigma. Dalam konteks mahasiswa yang sedang membangun pola pikir jangka panjang, peneliti mempertegas perlunya pendidikan literasi kesehatan mental yang terstruktur, sistematis, dan mudah diakses. Program kampus yang menyediakan edukasi formal, modul konseling, atau kampanye kesehatan mental dapat berperan besar dalam membentuk sikap inklusif di masa depan.

Bagi praktisi kesehatan dan pengelola layanan kesehatan mental, temuan ini memberi implikasi kuat bahwa tren self-diagnose perlu dipandang sebagai tantangan baru. Praktisi perlu memperkuat edukasi berbasis bukti serta memberikan layanan konsultasi yang lebih ramah, cepat, dan mudah diakses agar mahasiswa tidak bergantung pada informasi daring yang sering kali bias atau tidak akurat. Sementara itu, pengelola layanan dan manajemen mutu kesehatan mental dapat memanfaatkan temuan ini untuk merancang intervensi yang menekan stigma, memperluas literasi, serta mengurangi kesenjangan antara kebutuhan dan akses layanan. Melalui optimalisasi pendekatan promotif-preventif serta mengintegrasikan edukasi di lingkungan kampus, upaya peningkatan kualitas layanan kesehatan mental dapat berjalan lebih efektif dan relevan bagi mahasiswa di Indonesia.

Disarikan oleh:
Nikita Widya Permata Sari, S. Gz., MPH
(Peneliti Divisi Mutu PKMK FK-KMK UGM)

Selengkapnya: https://link.springer.com/article/10.1186/s41983-023-00760-1