Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Perjalanan peningkatan mutu layanan kesehatan terus berkembang pesat hingga saat ini. Selama lebih dari satu abad, perkembangan mutu layanan kesehatan telah melalui perjalanan panjang. Paul Batalden dan Tina Foster dalam jurnal International Journal for Quality in Health Care mengungkap bagaimana pendekatan peningkatan mutu layanan kesehatan berevolusi pada tiga fase penting yang saling melengkapi. Pada awal abad ke-20, pendekatan peningkatan mutu dikenal sebagai fase Quality 1.0. Fokus utama fase Quality 1.0 adalah menetapkan ambang batas layanan yang dianggap “baik”. Melalui pendekatan Quality 1.0, aspek mutu lainnya mulai berkembang.

Contoh aspek mutu lainnya meliputi standar dasar, akreditasi rumah sakit, audit eksternal, panduan kualifikasi tenaga medis, kebersihan fasilitas, dan keselamatan layanan. Meskipun pendekatan Quality 1.0 sangat penting sebagai pondasi mutu layanan kesehatan, seiring waktu terdapat beberapa keterbatasan yang terlihat. Keterbatasan disebabkan oleh kecenderungan praktik yang lebih menekankan pada layanan pemenuhan prosedur administratif daripada dampak nyata bagi pasien.

Perkembangan selanjutnya, yakni fase Quality 2.0 berperan memperbaiki keterbatasan pada praktik fase sebelumnya. Perkembangan fase Quality 2.0 dipengaruhi oleh manajemen mutu di industri manufaktur. Fase Quality 2.0 menerapkan prinsip perbaikan berkelanjutan, pengurangan kesalahan, dan peningkatan efisiensi mulai diterapkan pada layanan kesehatan. Fokus fase Quality 2.0 tidak hanya menekankan pada standar formal tetapi juga pada proses layanan secara keseluruhan. Pendekatan tersebut menegaskan bahwa mutu bukanlah tanggung jawab individu semata melainkan hasil kerja sama seluruh sistem yang mencakup kolaborasi dokter, perawat, dan staf pendukung. Melalui langkah ini, layanan kesehatan menjadi lebih terukur, terkoordinasi, dan berorientasi pada hasil yang lebih baik bagi pasien.

Saat ini, dunia kesehatan telah memasuki fase Quality 3.0 yang menekankan pendekatan bahwa pasien ditempatkan sebagai mitra yang setara dalam menciptakan pelayanan kesehatan. Konsep tersebut disebut coproduction yang berarti layanan tidak hanya “diberikan” oleh tenaga kesehatan tetapi juga “dibangun bersama” antara pasien dan profesional. Orientasi layanan kesehatan tidak lagi sekadar hanya menanyakan “apa yang salah?” tetapi “apa yang penting bagi pasien?”. Hubungan penuh empati, saling percaya, dan kolaboratif menjadi kunci keberhasilan pada fase ini. Pendekatan fase Quality 3.0 juga menekankan pentingnya keterhubungan yang berarti bahwa optimalnya sistem kesehatan tercipta dari kerja sama antara tenaga kesehatan, pasien, keluarga, dan komunitas.

Perjalanan perkembangan mutu layanan kesehatan memberikan pelajaran penting baik bagi praktisi maupun mahasiswa kesehatan. Layanan kesehatan diharapkan tidak hanya dilihat sebagai sistem yang saling terhubung tetapi juga harus membangun hubungan yang lebih manusiawi dengan pasien. Pada akhirnya, mutu layanan kesehatan tidak hanya soal prosedur yang benar tetapi juga tentang bagaimana layanan tersebut memberikan nilai yang nyata dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Para ahli memperkirakan Quality 4.0 akan hadir dalam perkembangan perjalanan peningkatan mutu layanan kesehatan dengan menggabungkan teknologi digital, pembelajaran sistem, dan nilai sosial komunitas. Meskipun terus berkambang, esensi mutu pelayanan kesehatan tidak akan berubah dengan prinsip: mutu layanan kesehatan yang terbaik selalu lahir dari kolaborasi yang tulus antara tenaga kesehatan dan pasien.

Selengkapnya: https://academic.oup.com/intqhc/article/33/Supplement_2/ii10/6445911 

 

 

Pengelolaan penyakit kronis masih menjadi tantangan besar dalam pelayanan kesehatan. Kondisi beberapa penyakit seperti obesitas, gangguan panik, dan PPOK (penyakit paru obstruktif kronik) sering kali memerlukan pemantauan jangka panjang. Namun, prakteknya banyak kasus yang menunjukkan bahwa kontrol rutin di rumah sakit tidak selalu mencerminkan kondisi nyata pasien dalam keseharian. Penelitian terbaru dari National Taiwan University menawarkan pendekatan inovatif melalui layanan kesehatan presisi yang mengintegrasikan perangkat digital, sensor kualitas udara, aplikasi smartphone, serta analisis berbasis kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) untuk pemantauan pasien secara real-time. Sistem integrasi ini dirancang agar data gaya hidup pasien—mulai dari detak jantung, pola tidur, jumlah langkah, hingga konsumsi kalori—dapat dikumpulkan secara otomatis melalui perangkat digital seperti Fitbit, Garmin, atau Apple Watch. Sementara itu, sensor lingkungan dapat mendeteksi paparan polusi udara seperti PM2.5 dan karbon monoksida serta variabel suhu dan kelembaban yang juga berpengaruh pada kondisi kronis.

Semua data kesehatan yang telah dikumpulkan akan terhubung ke platform “NTU Medical Genie”. Data tersebut kemudian dianalisis oleh model prediksi berbasis machine learning dan deep learning untuk memproyeksikan risiko kejadian akut hingga 7 hari ke depan. Menariknya, hasil penelitian menunjukkan performa prediksi yang sangat baik. Model prediksi PPOK mencapai akurasi 91%, model serangan panik mencapai 83%, dan model obesitas mencapai 93%. Model ini lebih hemat sumber daya dan siap diterapkan dalam praktik klinik sehari-hari. Bagi praktisi kesehatan, manfaatnya penelitian ini sangat signifikan. Pemantauan pasien tidak lagi terbatas pada kunjungan tatap muka. Dokter dan tenaga kesehatan dapat melihat tren data pasien secara lengkap termasuk aktivitas fisik, kualitas tidur, serta paparan lingkungan yang relevan terhadap kondisi klinis. Jika terdapat tanda bahaya, sistem secara otomatis mengirimkan peringatan dini agar intervensi segera dilakukan. Pendekatan ini memungkinkan pergeseran layanan dari kuratif menjadi preventif dengan memanfaatkan data yang lebih komprehensif untuk pengambilan keputusan klinis.

Selain meningkatkan kualitas pemantauan, layanan kesehatan presisi juga dapat mengurangi beban sistem kesehatan. Pasien tidak perlu terlalu sering melakukan kunjungan ke fasilitas kesehatan untuk pemeriksaan rutin dan dokter tetap dapat memantau status pasien dengan akurat. Sistem ini juga mampu memberikan rekomendasi gaya hidup yang lebih personal. Contohnya dengan membatasi aktivitas luar ruangan pada hari dengan polusi tinggi atau meningkatkan aktivitas fisik untuk mencegah kenaikan BMI.

Penelitian ini membuka peluang pengembangan lebih lanjut, termasuk penerapan digital twin—model virtual pasien untuk simulasi kondisi kesehatan—yang dapat memperkuat personalisasi layanan kesehatan. Inovasi teknologi ini tidak hanya relevan untuk manajemen penyakit kronis saat ini tetapi juga memiliki potensi besar sebagai fondasi e-health generasi berikutnya. Melalui integrasi data gaya hidup, lingkungan, dan faktor klinis yang dianalisis secara real-time, layanan kesehatan presisi dapat membantu praktisi kesehatan memberikan intervensi yang lebih tepat sasaran, efisien, dan berbasis kebutuhan individual pasien.

Selengkapnya: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/36199984/

 

 

Perubahan iklim global bukan lagi isu lingkungan semata, tetapi kini menjadi ancaman serius terhadap kesehatan masyarakat di Eropa. Penelitian terbaru mengungkap bahwa peningkatan suhu, perubahan pola hujan, dan musim panas yang lebih panjang telah menciptakan lingkungan yang ideal bagi penyebaran penyakit infeksi yang sebelumnya hanya ditemukan di wilayah tropis dan subtropis. Tren ini mulai tampak nyata dalam satu dekade terakhir.

Nyamuk, lalat pasir, dan kutu yang menjadi vektor berbagai penyakit kini semakin banyak ditemukan di Eropa bagian selatan, bahkan merambah ke wilayah tengah dan utara. Kasus-kasus lokal chikungunya, dengue, dan virus West Nile telah terjadi di Italia, Prancis, dan Spanyol. Sementara itu, lalat pasir penyebar Leishmania dan kutu pembawa Lyme serta encephalitis menunjukkan perluasan ke wilayah pegunungan dan utara Eropa.

Suhu yang lebih hangat mempercepat siklus hidup vektor, memperluas masa aktif mereka, dan meningkatkan kemungkinan penularan antar manusia. Perubahan iklim juga menggeser habitat alami vektor dan memperpendek musim dingin, memungkinkan spesies tropis bertahan hidup lebih lama di wilayah yang sebelumnya terlalu dingin bagi mereka.

Ancaman ini tidak merata. Kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, dan masyarakat dengan kondisi ekonomi rendah lebih mungkin terdampak. Mereka tinggal di lingkungan yang kurang layak, lebih sering terpapar faktor risiko, dan memiliki akses terbatas terhadap layanan kesehatan serta sarana pencegahan seperti kelambu, insektisida, atau sistem pendingin ruangan.

Peneliti menekankan bahwa masalah ini tidak dapat diselesaikan hanya dengan pendekatan medis. Diperlukan strategi lintas sektor, seperti pendekatan “One Health” yang mengintegrasikan kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan. Kolaborasi antara sektor kesehatan, pertanian, lingkungan hidup, dan perencanaan kota sangat penting untuk mencegah epidemi di masa depan.

Uni Eropa sendiri telah mulai menyesuaikan kebijakan dengan meninjau kembali regulasi seperti Ambient Air Quality Directive dan REACH. Namun, peneliti juga menyoroti bahwa masih banyak kesenjangan data dan penelitian, terutama terkait dampak gabungan dari polusi udara, paparan panas ekstrem, dan kontaminasi kimia terhadap imunitas manusia.

Selain itu, kurangnya pemahaman tentang penyebaran penyakit di dalam ruang tertutup juga menjadi perhatian. Banyak vektor seperti nyamuk dan lalat mampu berkembang di area dalam rumah yang lembap dan tidak berventilasi baik. Edukasi publik dan penataan hunian menjadi faktor penting dalam upaya mitigasi di tingkat individu dan komunitas.

Eropa tidak lagi kebal terhadap penyakit tropis. Jika tidak ada langkah konkret dan terintegrasi untuk adaptasi terhadap perubahan iklim, maka masyarakat Eropa akan menghadapi lonjakan kasus penyakit infeksi baru yang lebih sering, lebih luas, dan lebih mematikan. Perlindungan kesehatan publik di era perubahan iklim menuntut kecepatan, kolaborasi, dan kebijakan berbasis bukti.

Selengkapnya dapat diakses mengakses:
https://www.thelancet.com/journals/lanepe/article/PIIS2666-7762%2821%2900216-7/ 

 

 

The World Health Organization (WHO) mendefinisikan dan mengkategorikan intervensi kesehatan digital dalam konteks layanan kesehatan sebagai “fungsi diskret dari teknologi digital untuk mencapai tujuan sektor kesehatan”. Kerangka kerja yang dikembangkan oleh WHO mencakup berbagai alat dan intervensi digital, seperti telemonitoring, penggunaan artificial intelligence, algoritma pengambilan keputusan, dan pengumpulan data kesehatan. Berdasarkan bukti yang tersedia, digitalisasi telah meningkatkan kualitas layanan, memengaruhi berbagai hasil di tingkat sistem (misalnya, keamanan dalam pemberian obat dan lama rawat inap di rumah sakit) dan di tingkat individu (misalnya, peningkatan kemampuan fungsional/kognitif dan kepuasan pasien).

Meskipun memiliki potensi efektivitas, digitalisasi belum sepenuhnya diterapkan dalam praktik klinis. Beberapa faktor telah diidentifikasi sebagai hambatan potensial, termasuk ketersediaan teknologi, sumber daya keuangan, dan keterampilan tenaga kesehatan dalam menggunakan teknologi digital. Untuk meningkatkan digitalisasi layanan kesehatan, tenaga kesehatan telah diakui sebagai faktor kunci dalam transformasi digital sektor kesehatan.

Berbagai istilah telah dikembangkan sejauh ini dalam literatur untuk merujuk pada kompetensi kesehatan digital. Istilah yang paling umum adalah eHealth literacy, yang telah didefinisikan sebagai kemampuan menggunakan informasi yang diperoleh dari sumber elektronik untuk menyelesaikan masalah kesehatan. Kerangka konseptual yang menggambarkan konsep dan komponen eHealth literacy telah dikembangkan untuk warga dan pasien. Sebagai contoh, kerangka kerja Lily dari Norman dan Skinner mencakup 6 kompetensi literasi, yaitu literasi kesehatan, tradisional, informasi, ilmiah, komputer, dan media.

Sebuah tinjauan terbaru menunjukkan bahwa sebagian besar intervensi yang bertujuan meningkatkan kompetensi kesehatan digital tenaga kesehatan fokus pada kemampuan, bukan motivasi, dalam menggunakan eHealth. Intervensi yang mempromosikan kompetensi kesehatan digital sebaiknya juga mempertimbangkan faktor sosial dan lingkungan, serta pendekatan partisipatif, untuk mendukung juga aspek emosional dan psikologis dalam penggunaan teknologi. Di sisi lain, terdapat ketimpangan dalam aspek pengajaran, pengembangan diri, dan kemampuan belajar. Kerangka kerja National Health Service (NHS) mengenai kapabilitas digital mencakup domain yang berkaitan dengan kemampuan, misalnya menggunakan teknologi digital untuk pembelajaran pribadi dan mengajar orang lain.

Sebagaimana disoroti oleh tinjauan sebelumnya, kami juga menemukan bahwa kompetensi yang diteliti masih sebagian besar berfokus pada perspektif tenaga kesehatan. Namun, perhatian yang lebih besar diperlukan dalam mempertimbangkan kompetensi untuk menilai kebutuhan pasien, sikap, hambatan, faktor pendukung, dan potensi manfaat dari dilatih oleh tenaga kesehatan dalam penggunaan teknologi dan informasi elektronik secara aman dan tepat untuk masalah kesehatan.

Pengembangan kurikulum dan pelatihan berbasis bukti untuk meningkatkan kompetensi digital tenaga kesehatan secara menyeluruh, termasuk aspek non-teknis seperti kesiapan mental dan edukasi pasien penting untuk menjadi fokus utama. Oleh karena itu, dari penilaian kompetensi berdasarkan persepsi diri yang sebagian besar menyangkut isu umum, upaya kini sebaiknya diarahkan pada pengembangan alat penilaian layanan kesehatan digital yang berpusat pada pasien dan mampu mendeteksi seluruh kompetensi spesifik yang terlibat dalam seluruh proses.

Selengkapnya dapat diakses melalui:

https://www.researchgate.net/publication/