Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Telah diketahui bahwa pemberian Air Susu Ibu (ASI) bermanfaat bagi bayi dan ibu. Diantaranya adalah adanya pengurangan risiko kesehatan sebagai luaran yang diperoleh dengan pemberian ASI eksklusif (exclusive breastfeeding-EBF).

Air susu ibu merupakan sumber nutrisi optimal bagi bayi baru lahir dan memberikan banyak manfaat. Bayi yang disusui memiliki risiko kematian yang lebih rendah, dan risiko lebih rendah terkena penyakit anak-anak seperti; gangguan pernapasan, infeksi saluran cerna, otitis media, dan leukemia pada anak, diabetes, dan obesitas. Sedangkan manfaat bagi ibu, diantaranya berisiko rendah terjadi pendarahan postpartum, kanker payudara dan ovarium, serta risiko rendah terkena diabetes tipe 2.

Terlepas dari manfaat pemberian ASI eksklusif, tingkat pemberian ASI eksklusif berada dibawah standar yang ditetapkan oleh Healthy People 2020, dan Ohio exclusive breastfeeding (EBF) juga menunjukkan tingkat capaian yang rendah. Hal ini dapat disebabkan oleh edukasi antenatal, dan dukungan rumah sakit untuk mewujudkan penerapan program pemberian ASI eksklusif yang secara signifikan dapat mendukung kesuksesan, keeksklusifan, dan durasi pemberian ASI eksklusif, selain juga faktor sosioekonomi, serta jumlah ibu yang berpengalaman memberikan ASI eksklusif.

Isu ini juga menjadi perhatian salah satu rumah sakit akademik di Cincinnati-Ohio karena rendahnya tingkat pemberian ASI eksklusif (EBF) juga terjadi di rumah sakit tersebut (University of Cincinnati Medical Center-UCMC). Untuk itu dilakukan suatu upaya untuk meningkatkan pemberian ASI eksklusif dengan penerapan Learning Collaborative Model dengan proyek Best Fed Beginning.

Upaya kolaborasi peningkatan kualitas fasilitas pelayanan ini memiliki sasaran populasi yang berisiko tinggi tidak memberikan ASI eksklusif. Program Best Fed Beginning (BFB) dikoordinatori oleh Natioal Institute for Children’s Health Quality dan bekerjasama dengan Centers for Disease Control and Baby-Friendly USA (BFUSA). Program BFB memberikan pelatihan, bantuan teknis, dan bimbingan menyusui, peningkatan kualitas, dan akses untuk berbagi pengetahuan.

Tujuan yang ingin dicapai oleh UCMC adalah bekerjasama dengan rumah sakit yang berupaya meningkatkan tingkat pemberian ASI eksklusif hingga 90% pada Agustus 2014 dan mencapai Baby Friendly pada September 2014.

Metode ilmiah yang dipergunakan dalam penerapan program ini termasuk diantaranya menggunakan pengembangan dari diagram utama siklus PDCA (Plan-Do-Study-Act Cycles), serta dilanjutkan dengan aktivitas penerapan Ten Steps to Successful Breastfeeding. Berikut adalah diagram penggerak utama yang dipergunakan:

h 1

Sedangkan 10 langkah menyusui dengan sukses mencakup:

Langkah 1: Memiliki kebijakan menyusui yang tertulis dan secara rutin dikomunikasikan kepada semua staf layanan kesehatan.
Langkah 2: Latih semua staf layanan kesehatan dengan keterampilan yang diperlukan untuk menerapkan kebijakan ini.
Langkah 3: Beri tahu semua ibu hamil tentang manfaat dan manajemen menyusui.
Langkah 4: Bantu ibu memulai menyusui dalam waktu 1 jam setelah kelahiran.
Langkah 5: Tunjukkan pada ibu cara menyusui dan tetap berupaya menyusui, bahkan jika mereka terpisah dari bayinya.
Langkah 6: Tidak memberikan bayi makanan atau minuman selain ASI, kecuali ada indikasi medis.
Langkah 7: Penerapan rooming-in: memungkinkan ibu dan bayi tetap bersama 24 jam sehari.
Langkah 8: Dukung ibu untuk menyusui sesuai kebutuhan.
Langkah 9: Jangan berikan dot atau puting buatan untuk menyusui bayi.
Langkah 10: Membina pembentukan kelompok pendukung menyusui dan merujuk ibu kepada mereka saat keluar dari rumah sakit atau pusat kelahiran.

Populasi studi ini mencakup seluruh bayi yang di rawat di Unit Postpartum di UCMC selama Juli 2012-Desember 2014 (n 4181). Pada studi ini diidentifikasi 2 langkah proses: 1) rooming in adalah persentase bayi dipisahkan dari ibu mereka ≤1 jam per hari, 2) STS (skin to skin) adalah persentase bayi yang dengan proses STS dengan ibu mereka dalam 5 menit kelahiran, sampai menyusui pertama atau 1 jam awal kehidupan.

Pengumpulan data dilakukan pada periode Juli 2011-Juni 2012, dengan mengkaji 30 diagram per bulan untuk menyeimbangkan baseline tingkat EBF. Pada periode Juli 2012-Oktober 2012 dipilih rekam medis ke-empat dari laporan bulanan (n-50). Serta per November 2012, 30 diagram bayi dikaji, sebagai proyek pedoman BFB. Berikut adalah hasil dari studi:

h 1

Gambar 1: Persentase Jumlah Bayi yang Dilakukan Skin-to-Skin Pada Saat Kelahiran

h 1

Gambar 2. Persentase Jumlah Bayi dengan Penerapan Room-In

h 1

Gambar 3. Persentase Jumlah Bayi yang Memperoleh ASI Eksklusif

h 1

Gambar 4. Persentase Jumlah Pasien Menyusui di Center for Women Health (CWH) pada Kunjungan Pasien Rawat Jalan

Studi ini menunjukkan bahwa pendekatan multitier dapat meningkatkan kesehatan komunitas dan dapat mengatasi kesenjangan. Meskipun menantang, namun tujuan menjadikan rumah sakit sebagai destinasi Baby Friendly dapat tercapai, serta penerapan standar untuk mendukung pemberian ASI eksklusif-perawatan ibu bayi dapat dilaksanakan. Hal ini sangat penting mengngat rumah sakit pendidikan, ke depannya dapat menjadi pusat pembelajaran bagi provider kesehatan untuk mengadopsi praktik peningkatan layanan kesehatan bagi ibu dan anak.

Dirangkum Oleh: Lucia Evi Indriarini, MPH.
Sumber : Ward, LP., Williamson, S., Burke, S., Crawford-Hemphil, C., Thompson, AM. (2017). Improving Exclusive Breastfeeding in an Urban Academic Hospital. Pediatric Vol.139, Number 2. http://pediatrics.aappublications.org/content/139/2/e20160344 

Diabetes melitus masih menjadi persoalan kesehatan di Indonesia. Penderita diabetes terus melonjak tiap tahun, menjadi beban kesehatan serius di seluruh dunia. WHO memperkirakan, bila tidak dilakukan upaya pencegahan dan peningkatan kualitas layanan pada pasien dengan penderita Diabetes Melitus (DM) maka di Dunia akan meningkat signifikan hingga 642 juta jiwa pada 2040 mendatang.

Fakta bahhwa diabetes adalah salah satu dari 4 prioritas penyakit tidak menular dan merupakan penyebab utama untuk kebutaan, serangan jantung, stroke, gagal ginjal dan amputasi kaki sedangkan 80% kejadian DM tipe 2 dapat dicegah dengan melakukan upaya pencegahan sejak dini dengan tata taksana pengobatan yang optimum. Jika menilik hasil riskesdas 2018 di Indonesia bahwa proporsi upaya pengendalian DM pada penduduk terdiagnosis oleh dokter yakni dilakukan dengan beberapa cara:

1. Pengaturan makan (sebanyak 80,2%)

Pola makan memegang peranan penting bagi penderita DM, seseorang yang tidak bisa mengatur pola makan dengan pengaturan 3J (jadwal, jenis dan jumlah) maka hal ini akan menyebabkan penderita mengalami peningkatan kadar gula darah. Penderita DM biasanya cenderung memiliki kandungan gula darah yang tidak terkontrol. Oleh karena itu, penderita DM perlu menjaga pengaturan pola makan dalam rangka pengendalian kadar gula darah sehingga kadar gula darahnya tetap terkontrol. 3 J yang dimaksud yakni Jenis Makanan yang dianjurkan untuk dikonsumsi pasien diabetes jenisnya harus beragam. Hal tersebut bertujuan agar nutrisi lengkap bisa diserap tubuh dan tidak kekurangan nutrisi.

Untuk jenis makanan yang dianjurkan pasien diabetes itu setidaknya terdiri dari karbohidrat, protein, lemak, sayur dan buah dengan diet seimbang. Tentu saja, makanan dengan indeks glimekik rendah sangat disarankan bagi pasien diabetes. Jadwal makan pasien diabetes sudah seharusnya diatur sedemikian rupa dengan tenggang waktu sama setiap hari. Hal tersebut bertujuan agar asupan gula dalam darah tetap stabil dan tidak naik turun secara drastis. Jadwal makan tersebut harus dipatuhi pasien diabetes dan sebaiknya makan tepat waktu. Agar tidak terjadi hipoglikemia. Jumlah atau porsi makan juga harus diperhatikan pasien diabetes. Segera konsultasikan ke dokter untuk mengetahui berapa jumlah kalori yang dibutuhkan, karena setiap orang punya kebutuhan energi berbeda tergantung indeks massa tubuh. Jumlah kalori makanan yang dikonsumsi penting untuk dikontrol. Tidak kurang dan tidak lebih, karena berdampak dalam mengontrol gula darah.

2. Olah raga (sebanyak 48,1%)

Membiasakan olah raga merupakan kebiasaan yang baik dalam pencegahan Diabetes Melitus. Oleh karena itu, peran para pendidik baik formal maupun informal, edukator DM dan para kader sangat memegang peranan penting untuk menurunkan angka kesakitan DM. Kegiatan dapat dilakukan dengan menggiatkan program upaya kesehatan masyarakat di pusat layanan primer.

3. Alternatif herbal (35,7 %)

Pentingnya petugas kesehatan untuk memberikan informasi kepada masyarakat tentang jenis obat tradisional yang tepat untuk pengobatan penyakit DM agar tidak salah langkah dalam mengobati DM dan mendukung masyarakat untuk menggunakan obat tradisional yang bermutu, serta memberitahukan cara penggunaan obat tradisional yang benar tanpa mengkesampingkan budaya dan memberikan informasi dengan testimoni dari orang-orang yang sebelumnya menggunakan obat medis dan tradisional.

 

Oleh: Andriani Yulianti, MPH.

Referensi:

 

Pelayanan kesehatan terhadap ibu menjadi fokus utama pengembangan perawatan persalinan. Untuk melakukan penilaian peningkatan pelayanan yang berfokus pada pasien, biasanya perspektif dari provider perawatan persalinan dan regulator lebih dominan. Sehingga penting untuk mengetahui perspektif dari ibu yang memperoleh layanan persalinan tersebut.

Artikel ini memaparkan hasil penelitian yang bertujuan untuk menganalisa perspektif pasien perawatan persalinan dan untuk memperoleh rekomendasi upaya meningkatkan pelayanan yang berfokus pada pasien (client-centred care). Penelitian yang dilaksanakan merupakan penelitian kualitatif, dengan membandingkan 6 grup diskusi terarah (Focus Group Disscussion). Responden yang berpartisipasi sejumlah 43 orang dengan 20 pertanyaan semi terstruktur. Sedangkan kriteria responden yang berpartisipasi dalam penelitian ini adalah pasien ibu yang telah menerima pelayanan persalinan kurang dari 1 tahun di wilayah North-West Netherlands.

Isu penelitian yang mengangkat mengenai pelayanan berfokus pada pasien sudah banyak mendapat perhatian di berbagai negara di dunia. Konsep pelayanan tersebut direkomendasikan untuk diterapkan, yang juga bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan persalinan bagi ibu. Pengembangan ini merupakan hasil dari adanya pengakuan yang menyatakan bahwa sistem pelayanan kesehatan seharusnya tidak hanya berfokus pada dokter, namun juga terintegrasi dengan perspektif pasien.

Sedangkan di Belanda, yang merupakan lokasi penelitian ini dilaksanakan, mengkategorikan sistem pelayanan persalinan menjadi:

  1. Community-based primary Care
  2. Hospital-based Secondary Care
  3. Specialized Academic Tertiary Care

Pada prinsipnya, perawatan primer yang dipimpin oleh bidan disediakan untuk wanita yang berisiko rendah komplikasi selama kehamilan atau persalinan. Wanita yang dianggap memiliki risiko komplikasi sedang atau tinggi menerima perawatan sekunder dan tersier yang dipimpin dokter kandungan. Selama perawatan mereka, dapat-dan sering kali-bergeser di antara level yang berbeda, tergantung pada status risikonya. Konsep perawatan terpadu ini dinilai dapat menjadi sarana untuk mengatasi berbagai pengalaman negatif yang dapat timbul pada proses rujukan.

Untuk memadukan layanan perawatan bersalin di Belanda, optimalisasi koordinasi dan kolaborasi antara kategori tiga divisi tersebut diperlukan. Selain itu, perusahaan asuransi kesehatan juga telah mengupayakan kerja sama mereka dengan penyedia layanan kesehatan.

Untuk benar-benar menempatkan perempuan di pusat layanan perawatan bersalin, preferensi mereka sendiri harus dipertimbangkan.

Tinjauan global sistematis tentang penelitian kualitatif tentang perspektif perempuan tentang persalinan yang dilakukan oleh Downe et al. (2018) mengungkapkan bahwa sebagian besar wanita terutama menghargai memiliki pengalaman positif yang memenuhi atau melampaui keyakinan dan harapan pribadi dan sosial budaya mereka.

Untuk menganalisis persepektif pasien ibu terhadap pelayanan kesehatan yang berfokus pada pasien, maka diintegrasikan model perawatan yang berpusat pada wanita yang ada (Leap, 2009; Pope et al., 2001; Carolan dan Hodnett, 2007; Berg et al., 2012; Hunter et al., 2017; Maputle dan Donavon, 2010, 2013) dan model perawatan yang berpusat pada pasien dari Maassen et al. (2017). Empat dimensi (pasien, profesional kesehatan, interaksi dan organisasi layanan kesehatan) dari model perawatan yang berpusat pada pasien Maassen et al. (2017) digunakan sebagai dasar untuk kerangka kerja.

Studi ini, yang dilakukan pada periode 2014-2016, adalah bagian dari studi monitoring dan evaluasi yang lebih besar dari jaringan perawatan bersalin dii wilayah North-West Netherlands

Peserta diskusi kelompok terarah direkrut melalui pengumuman dan selebaran yang disebarluaskan oleh para guru kursus kehamilan (seperti pernapasan saat lahir atau terapi latihan mensendieck). Metode pengambilan sampel purposive dipergunakan dalam penelitian ini, dengan kriteria responden berlatar belakang pendidikan tingkat rendah atau menengah. Kriteria tersebut ditetapkan karena pada wawancara/diskusi awal diperoleh hasil kelompok diskusi terarah dengan pasien berpendidikan tinggi memiliki representasi awal yang ‘berlebihan’. Responden pasien ibu tersebut direkrut dari sebuah rumah sakit dan 3 klinik anak yang memiliki dukungan terhadap perawatan bersalin bagi pasien berisiko. Pendekatan yang dipergunakan pada saat rekrutmen adalah dengan melakukan kontak tatap muka langsung dengan calon responden, misalnya dengan mendekati pasien ibu di ruang tunggu klinik anak, dan selanjutnya apabila calon responden berminat dapat dihubungi melalui email atau telpon untuk perencanaan wawancara.

Berikut adalah tabel karakteristik responden pada penelitian ini:

art 1m

art 2m

Wawancara dan diskusi kelompok terarah direkam dan ditrankrip. Kemudian transkrip tersebut dianalisis menggunakan program perangkat lunak MAXqda 2007. Pada proses transkrip diterapkan kombinasi kode terbuka dan tertutup. Transkrip kode tersebut dianalisis oleh para peneliti untuk meningkatkan validitas internal penelitian. Data penelitian dianalisis secara anonim dan selanjutnya seluruh responden memberikan persetujuan lisan untuk partisipasi mereka. Peserta kelompok diskusi terarah (Focus Group Disscussion) menerima ringkasan diskusi sebagai metode kroscek oleh anggota.

Peserta diskusi pada umumnya memiliki perspektif positif tentang perawatan bersalin yang mereka terima, tetapi masih terdapat pelayanan yang diterima yang tidak selalu ‘responsif’ terhadap keinginan dan kebutuhan mereka. Masalah-masalah yang diidentifikasi oleh pasien ibu tersebut mencakup keempat dimensi (klien, interaksi, profesional dan organisasi) dari kerangka kerja pelayanan kesehatan yang berfokus pada pasien.

art 3m

 

  1. Dimensi Klien
    Dimensi ini mencakup pada pengalaman responden terhadap lima elemen dimensi klien dari kerangka kerja pelayanan berfokus pada pasien: diperlakukan sebagai pribadi, mampu berpartisipasi, mandiri, dihormati, dan mendapat informasi dengan baik.
    • Diperlakukan sebagai pribadi.
      Berbagai responden menjawab perlunya layanan perawatan untuk fokus pada klien sebagai pribadi yang 'utuh'. Aspek-aspek yang tidak terkait dengan kehamilan, seperti kesehatan mental atau situasi keluarga mereka, sangat penting selama proses merawat diri mereka sendiri dan bayi mereka (masa depan).
    • Mampu berpartisipasi
      Terkait partisipasi, responden umumnya menggambarkan perlunya profesional kesehatan untuk terlibat dengan mempertimbangkan kebutuhan dan keinginan mereka.
    • Otonomi Klien
      Responden umumnya memiliki pendapat positif tentang kemungkinan untuk menjadi lebih mandiri melalui pengambilan keputusan bersama dan tersedianya informasi tentang manajemen diri.
    • Dihormati
      Responden merasa perlu untuk dihormati, Terutama responden dengan latar belakang pendidikan yang lebih rendah, menyebutkan perlunya untuk merasa dihargai.
    • Diberitahu dengan baik
      Hampir semua responden memiliki pendapat positif tentang informasi verbal dan tertulis yang diberikan selama seluruh proses perawatan.
  2. Dimensi interaksi
    Responden membahas unsur-unsur 'interaksi' berikut selama proses diskusi: keterlibatan keluarga dan teman-teman, komunikasi terbuka dan interaksi individual.
    • Keterlibatan keluarga dan teman-teman
      Menurut sejumlah besar responden, pasangan mereka, dan anak-anak mereka, hanya sedikit yang terlibat selama proses perawatan bersalin. Komunikasi provider kesehatan hampir semata-mata diarahkan pada ibu
    • Komunikasi terbuka
      Responden menyebutkan bahwa bidan perawatan primer pada umumnya transparan mengenai proses perawatan persalinan mereka. Komunikasi oleh staf rumah sakit dialami oleh sebagian besar responden dirasa kurang transparan. Responden, misalnya, tidak mendapat informasi tentang perkembangan dan kemungkinan pilihan selama persalinan dan waktu serta prosedur pemulangan. Selain itu, beberapa responden menyebutkan situasi di mana mereka menerima informasi yang berbeda dari profesional perawatan yang berbeda di rumah sakit. Responden berpendapat komunikasi yang ambigu muncul dari perbedaan dalam hirarki (penentangan keputusan ahli ginekologi yang dilatih) atau tanggung jawab (bidan tidak diizinkan untuk memberikan putusan). Kurangnya transparansi informasi menyebabkan ekspektasi buruk dan perasaan tidak aman bagi pasien.
    • Interaksi secara individual.
      Secara umum, responden memiliki pendapat positif mengenai preferensi individu mereka yang dipertimbangkan oleh provider pelayanan kesehatan. Mereka menghargai bahwa bidan perawatan primer menunjukkan minat dan menyampaikan tentang konten rencana kelahiran mereka (spesifikasi tertulis untuk manajemen persalinan, persalinan dan pemulihan). Namun disisi lain staf rumah sakit,, sering tidak mendapat informasi. Kurangnya kesadaran tentang rencana kelahiran staf rumah sakit menimbulkan kekecewaan bagi pasien.
  3. Dimensi Profesional Kesehatan
    Responden menyampaikan beberapa elemen berikut yang termasuk dalam dimensi 'profesional kesehatan': perspektif holistik, sikap peduli, fleksibilitas dan kompetensi.
    • Perspektif holistik
      Sehubungan dengan perawatan nifas, beberapa responden menyebutkan bahwa perhatian terutama difokuskan pada bayi baru lahir dan sedikit perhatian diberikan pada kesejahteraan responden sebagai pasien. Bagi beberapa responden. kurangnya dukungan mengenai masalah fisik atau psikologis mereka mengakibatkan perasaan tidak berdaya.
    • Sikap peduli
      Hampir responden, tetapi terutama mereka yang kurang berpendidikan, menghargai kontak yang hangat dengan profesional perawatan persalinan. Mengenai sikap peduli ini, terdapat perbedaan antara perawatan primer dan sekunder/tersier yang menjadi perhatian mereka. Menurut sebagian besar responden, bidan perawatan primer menunjukkan minat pada mereka, termasuk setelah melahirkan, dan penuh perhatian saat memberikan perawatan. Di rumah sakit, banyak responden merasa bahwa staf medis lebih fokus pada aspek medis perawatan persalinan, serta kurang memperhatikan kontak pribadi dan dukungan emosional.
    • Fleksibilitas Aturan.
      Sebagian besar responden menyatakan penghargaan mereka ketika profesional perawatan persalinan menunjukkan fleksibilitas terhadap prosedur (misalnya petugas kesehatan yang juga memperhatikan perasaan personal pasien dan tidak hanya terpaku pada prosedur/protokol)
    • Kompeten
      Menurut responden, para profesional perawatan persalinan pada umumnya digambarkan memiliki pengetahuan dan keterampilan. Komentar kritis utama yang disebutkan oleh beberapa responden adalah bahwa staf rumah sakit tidak memiliki pengetahuan khusus mengenai menyusui.
  4. Dimensi organisasi layanan kesehatan
    Organisasi layanan kesehatan memainkan peran utama dalam pengalaman responden sebagai pasien, dan membahas elemen-elemen yang berfokus pada pasien, meliputi: perawatan berkelanjutan, tim kohesif, dan perawatan yang dapat diakses.
    • Perawatan Berkelanjutan
      Responden menyebutkan kurangnya kontinuitas selama proses transfer (yang tidak direncanakan dan seringkali akut) ke dan di dalam rumah sakit. Beberapa responden pasien mengatakan bahwa petugas rumah sakit tidak mengetahui informasi dalam dokumen transfer.
    • Tim Kohesif
      Mayoritas responden pasien mengalami kurangnya kekompakan personil rumah sakit: responden pasien tidak tahu siapa dan apa fungsi atau tanggung jawab setiap orang. Selain itu, responden menyebutkan bahwa staf rumah sakit hanya memiliki kesadaran terbatas tentang situasi mereka setelah pergantian jadwal jaga bergilir dan bahwa mereka menerima informasi yang berbeda dari staf rumah sakit yang berbeda. Sebagai hasilnya, para responden pasien ini ragu-ragu tentang apa yang harus dilakukan.
    • Perawatan yang Dapat Diakses
      Responden sebagian besar positif tentang aksesibilitas bidan perawatan primer, terutama ketersediaan mereka selama 24/7. Sedangkan di rumah sakit, responden pasien sering menggambarkan teradapat waktu dimana profesional perawatan bersalin hampir tidak tersedia.

Studi ini menunjukkan bahwa untuk mewujudkan pelayanan kesehatan yang berfokus pada pasien maka layanan perawatan persalinan harus responsif terhadap kebutuhan pasien ibu yang mengacu pada keempat dimensi (klien, interaksi, profesional dan organisasi). Untuk langkah selanjutnya harus mengadopsi pendekatan yang lebih holistik, meningkatkan penekanan pada model sosial dalam asuhan maternitas. Hal ini mensyaratkan pemberdayaan profesional perawatan persalinan untuk memiliki interaksi reflektif dengan pasien ibu (terutama dengan latar belakang kurang berpendidikan) melalui keterampilan konversi dan refleksif dalam sistem perawatan yang fleksibel, serta menyesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan spesifik pasien.

Dirangkum Oleh: Lucia Evi Indriarini
Sumber : Petit-Steeghs, V. , Lips, S.R. and Schuitmaker-Warnaar, T.J. et al. (2019). Client-Centred Maternity Care from Women’s Perspectives: Need for Responsiveness. Midwifery 74, 76-83.

 

Dengan semakin berkembangnya pelayanan kesehatan diberbagai belahan dunia, ditambah meningkatnya kesadaran dari masyarakat dunia tentang pentingnya pengelolaan lingkungan dan upaya yang inovatif dibidang kesehatan masyarakat, banyak negara maju dan berkembang sudah mulai mengalihkan perhatiannya dari masalah penyakit menular ke penyakit tidak menular, seperti kanker, jantung koroner, dan diabetes melitus. Trend ini juga disebabkan oleh gaya hidup masyarakat dunia yang mulai berubah dengan konsumsi junk food yang serba instan, kebiasaan merokok, dan kurangnya aktivitas fisik. Oleh karenanya penangan penyakit tidak menular sudah menjadi perhatian tersendiri dan dikembangkan berbagai inovasi untuk mengatasinya, salah satu yang menjadi perhatian adalah diabetes melitus.

Di Australia misalnya, diabetes menjadi penyebab utama kematian, kesakitan, dan kecacatan selain sebagai salah satu faktor resiko penyebab beberapa penyakit kronik. Diabetes menempati urutan 2 penyakit kronik terbanyak yang ditangani oleh dokter di Australia dengan indikasi rujukan tertinggi. General Practice Guidelines for Type 2 Diabetes Mellitus (T2DM) memberikan perhatian khusus pada penanganan terkoordinasi untuk menangani diabetes yang melibatkan dokter, dokter spesialis, diabetes educator, penata diet, ahli mata dan podiatrist. Namun pada kenyataannya koordinasi terkait hal ini berlum berjalan dengan baik, rujukan ke diabetes educator dan penata diet masih rendah bahkan pada kasus-kasus overweight atau obesitas. Keadaan ini mengindikasikan kebutuhan untuk peningkatan colaborative care antar profesi maupun fasilitas pelayanan kesehatan.

Untuk menjamin collaborative care terutama untuk penyakit seperti diabetes melitus, maka faktor yang perlu diperhatikan adalah bagaimana masing-masing fasilitas pelayanan kesehatan mengetahui batasannya sehingga tidak menimbulkan kecurigaan dan kurang koordinasi antara dokter, dokter spesialis, diabetes educator, penata diet, ahli mata, dan podiatrist terutama dalam proses rujukan. Menurut Van de Ven dan Walker hubungan baik yang terbangun pada proses rujukan lebih bergantung pada pengetahuan personal dan kepercayaan antara pihak-pihak yang terlibat didalamnya. Hubungan ini juga dipengaruhi oleh power autonomy yang dimiliki oleh fasilitas kesehatan yakni siapa yang mempunyai otoritas untuk mengambil keputusan dan siapa yang mempunyai kemampuan untuk memberikan ide.
Kepercayaan merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam menjamin kualitas dari collaborative care. Kepercayaan mencakup pemberian kuasa kepada pihak lain untuk menangani pasien sesuai dengan standard yang sesuai. Kepercayaan yang dimaksud disini berhubungan dengan kompetensi, profesionalitas, dan respect.

Sebuah penelitian kualitatif oleh Mc Donald, dkk mungkin bisa membantu kita bagaimana mengelola sebuah collaborative care untuk penyakit kronis seperti diabetes dengan kolaborasi multidisipliner. Mc Donald, dkk menggali secara mendalam bagaimana penyakit diabetes ditangani secara collaborative oleh berbagai fasilitas layanan kesehatan di Australia mulai dari dokter umum sampai dengan podiatrist. Dokter umum sebagai gate-keeping mengambil peranan yang sangat penting, mereka mempunyai “kekuasaan” untuk melakukan rujukan, dimana fasilitas kesehatan atau profesional lain yang masuk sebagai collaborative team sangat bergantung dengan dokter. Disatu sisi dengan metode pembayaran fee-for-service dokter merasa mendapatkan pendapatan yang lebih sedikit apabila melakukan rujukan sehingga koordinasi yang terbangun dengan fasilitas kesehatan yang ada diatasnya menjadi berkurang. Dengan demikian beberapa klinik yang masuk dalam sampel peneltian tersebut menyediakan beberapa pelayanan yang seharusnya akan lebih baik diserahkan kepada profesional misalnya pelayanan monitoring rutin diabetes dan patient education yang merupakan wilayah dari diabetes educator. Hal ini tentu saja menimbulkan overlap dalam pelayanan, selain menambah beban pada klinik umum hal ini juga mengurangi kepercayaan pada klinik-klinik diabetes swasta atau fasilitas kesehatan yang berada diatasnya.

Kepercayaan dan respect adalah bagaimana menghubungkan profesionalitas dan personal faktor. Dalam arti sederhana bagaimana seorang dokter bisa menaruh kepercayaan pada spesialist atau fasilitas diatasnya dengan harapan bahwa pasien yang akan ia rujuk mendapat penanganan yang baik. Hal ini terkadang dinilai dari kualitas feedback rujukan, dokter biasanya akan melakukan rujukan kepada pihak yang mempunyai feedback yang baik dan memuaskan. Selain itu komunikasi langsung by phone akan lebih meningkatkan hubungan antara semua pihak yang terlibat. McDonald juga mewawancarai pasien yang ditangani baik secara collaborative maupun tidak, dan mereka menemukan bahwa pasien yang ditangani secara collaborative merasa puas dengan penangan yang diberikan oleh pihak-pihak yang terlibat.

Oleh karena itu dalam rangka menyediakan collaborative care yang bermutu demi menjamin keselamatan pasien maka 2 faktor penting yang perlu diberi perhatian adalah respect (penghargaan) dan kepercayaan. Dengan membangun penghargaan dan kepercayaan yang kuat dengan berbagai pihak terutama yang terlibat dalam collaborative care plan maka pelayanan kesehatan yang kita berikan akan terjamin kontinuitasnya dan bermuara pada kepuasan pasien.

Oleh : Stevie Ardianto Nappoe, SKM-Pusat Penelitian Kebijakan Kesehatan dan Kedokteran UNDANA
Sumber : McDonald, Julie, et all. 2012. The Influence of Power Dynamics and Trust on Multidisciplinary Collaboration: A Qualitative Case Study of Type 2 Diabetes Mellitus. BMC : Health Services Research, 12-63

http://www.biomedcentral.com/content/pdf/1472-6963-12-63.pdf