Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Diabetes melitus merupakan masalah kesehatan yang mendapatkan perhatian di abad 21, lebih dari 150 orang menderita diabetes melitus dan diperkirakan akan meningkat 2 kali lipat 25 tahun kedepan. Peningkatan diabetes melitus secara dramatis terjadi di negara-negara berkembang dan diperkirakan meningkat 170% sedangkan di negara maju peningkatan hanya 42% sehingga pada tahun 2025 diperkirakan lebih dari 75% orang-orang dengan diabetes melitus akan berada di negara-negara berkembang. Selain itu diabetes melitus merupakan penyebab meroketnya morbiditas dan mortalitas dari beberapa penyakit kronis di negara maju, diabetes adalah penyebab utama kebutaan di negara-negara industri dan meyebabkan cacat visual pada orang yang berusia <60 tahun selain itu sekitar seperlima pasien diabetes melitus mengalami stadium akhir penyakit ginjal selama masa hidup. Komplikasi diabetes melitus sering terjadi pada kaki dan berujung pada amputasi.

Amputasi sering dilakukan 15 kali pada pasien dengan diabetes melitus daripada pasien dengan penyakit bawaan lainnya. Di USA, sekitar setengah dari 110.00 amputasi tungkai dilakukan pada pasien dengan diabetes melitus setiap tahun. Pasien dengan diabetes tipe 2 memiliki risiko 2-4 kali lipat peningkatan penyakit kardiovaskuler (CVD) dibandingkan dengan pasien non diabetes dengan angka kematian CVD 1,5-4,5 kali lebih tinggi daripada pasien non diabetes, selain itu kejadian koroner lebih besar dan hasil klinis lebih buruk yang mengakibatkan kematian mendadak. Sekitar 50% pasien dengan diabetes melitus meninggal dalam waktu 1 tahun dan setengah dari kematian itu terjadi sebelum mereka ke rumah sakit (mendadak).

Selain mengurangi kualitas kehidupan dan lama hidup, diabetes melitus juga mengakibatkan peningkatan biaya perawatan kesehatan, namun beberapa perawatan dan praktik yang efektif dapat mengurangi pengeluaran biaya kesehatan untuk diabetes melitus. Banyak kemajuan telah dibuat, dikembangkan dan di uji coba untuk pengobatan diabetes melitus di USA dan beberapa negara eropa, peningkatan kualitas sistem kesehatan didukung oleh organisasi-organisasi pemerhati diabetes melitus serta bahu-membahu melawan diabetes melitus dan mencari metode preventif-kurative. Indikator kualitas metode ditinjau dari beberapa kriteria antara lain:

  • Bukti Kredibilitas yang berkaitan dengan proses dalam mencapai hasil dan modifikasi hasil dengan upaya dan intervensi sistem perawatan kesehatan
  • Kelayakan indikator yang bisa diukur secara akurat, handal dan masuk akal
  • Variabilitas yakni aturan keperawatan yang bisa diperbaiki

Tiga inidikator ini diharapkan dapat menghasilkan langkah-langkah yang komprehensif untuk peningkatan diabetes care.

Berikut ini indikator kualitas diabetes care oleh the National Diabetes Quality Improvement Alliance:

Ukuran proses

  • Persentase pasien dengan satu atau tes HbA1c lebih per tahun
  • Persentase pasien dengan tes kolesterol setidaknya satu LDL per tahun
  • Persentase pasien dengan setidaknya satu tes untuk mikroalbuminuria selama tahun pengukuran atau yang memiliki bukti perhatian medis untuk nefropati yang ada
  • Persentase pasien yang menerima pemeriksaan mata melebar atau evaluasi fotografi retina oleh dokter mata atau dokter mata selama tahun berjalan atau selama tahun sebelumnya jika pasien berisiko rendah retinopati
  • Persentase pasien yang menerima setidaknya satu pemeriksaan kaki per tahun
  • Persentase pasien diabetes melitus yang merokok dan didokumentasikan/dicatat setiap tahun

Ukuran hasil

  • Persentase pasien dengan tingkat HbA1c terakhir >9,0% (poor control)
  • Persentase pasien dengan kolesterol LDL terakhir <130 mg/d
  • Persentase pasien dengan tekanan darah terbaru <140/90 mmHg

Selain meningkatkan kualitas diabetes care, 9 langkah ini juga digunakan untuk perbandingan sistem kesehatan. Ada beberapa tantangan diantaranya perlu kesempatan untuk diimplementasikan dengan mengacu pada layanan klinis yang berbeda dan layanan ini didokumentasikan dengan baik dalam catatan seperti data penagihan 4 proses tindakan pertama (tes HbA1c, tes LDL, tes mikroalbuminuria dan pemeriksaan mata). Selain itu pemeriksaan kaki tidak dilakukan sebagai layanan wajib bagi pasien diabetes melitus, pencatatan status merokok juga tidak dilakukan dalam data administrasi sehingga kedua proses ini memerlukan pengumpulan data khusus seperti review catatan medis dan upaya pengumpulan data yang sebanding di berbagai negara. Pencatatan medis secara elektronik diharapkan dapat memperbaiki sistem dan upaya pengumpulan data yang akurat dan sistematis sehingga bisa digunakan di semua negara. Berkaitan dengan indikator hasil, Sebagian besar petugas kesehatan tidak mencatat hasil tes secara spesifik sehingga tidak bisa membuat langkah-langkah HbA1c dan kontrol LDL dari sumber data sehingga perlu standarisasi data laboratorium secara elektronik yang bisa digunakan oleh semua petugas kesehatan.

Kualitas karakter dibawah kontrol providers of medical care dan dikombinasikan dengan konsep yang lebih distal jangka panjang untuk pasien kronis, sistem kesehatan diwajibkan memihak pada tingkat amputasi, penyakit ginjal kronik, kematian dengan CVD pada usia tertentu.
Misalnya amputasi besar harus dipahami secara komprehensif dan persepsi yang sama sehingga bisa dicomparasi antar negara, sama halnya dengan amputasi kecil dan sedang guna perbaikan sistem kesehatan.

Oleh : Dedison asanab, SKM-Pusat penelitian kebijakan kesehatan dan kedokteran undana
Sumber : Nicolucci et al., Selecting indicators for the quality of diabetes care at the health systems level in OECD countries. International Journal for Quality in Health Care; September 2006.

http://intqhc.oxfordjournals.org/content/intqhc/18/suppl_1/26.full.pdf 

Selama ini, mengukur kepuasan pasien merupakan hal yang lazim dilakukan manakala sarana pelayanan kesehatan ingin mendapatkan informasi dari pelayanan yang telah diberikan ke pasien. Perlu diketahui bahwa pandangan dari sisi pasien sama pentingnya dengan perawatan itu sendiri. Ekplorasi dari pengalaman pasien dapat mengungkapkan sisi mana yang menjadi kelemahan dari pelayanan yang kita diberikan. Tidak terkecuali untuk pelayanan pasien kanker, karena seorang pasien kanker tidak hanya menderita penyakitnya tetapi juga mengalami trauma mental, penderitaan, stres, ketidakpastian, dan kecemasan yang substansial.

Di era ini, ketika seseorang berbicara tentang inovasi dan kemajuan teknologi dalam ilmu kedokteran, dasar dari semua perkembangan yang memastikan bahwa setiap pasien mendapatkan perawatan sesuai dengan yang dibutuhkan oleh pasien. Sama pentingnya untuk menentukan apakah pasien puas atau tidak puas dengan perawatan yang diterimanya. Kepuasan pasien kanker merupakan pertimbangan penting karena sangat mempengaruhi kualitas hidup yang berkaitan dengan kesehatan fisik dan mental. Kepuasan pasien juga menunjukkan sejauh mana kebutuhan perawatan kesehatan klien terpenuhi dengan persyaratan pasien. Terlebih karena pasien membawa harapan tertentu sebelum kunjungan mereka ke rumah sakit sehingga kepuasan atau ketidakpuasan yang dihasilkan adalah hasil dari pengalaman mereka yang sebenarnya.

Mengenai perawatan kanker, berbeda dari perawatan penyakit lainnya. Lebih dari itu, karena, dalam beberapa kasus ada yang “perawatannya tidak dapat disembuhkan.” sehingga dalam memberikan layanan perawatan kesehatan kepuasan pasien tidak dapat diabaikan, seperti halnya kualitas perawatannya, bahkan penyembuhan penyakitnya. Terutama, ketika datang untuk melakukan perawatan kanker, kepuasan pasien harus diprioritaskan, karena pasien kanker tidak hanya berjuang dengan penyakitnya tetapi juga dengan penderitaan mental, trauma, kendala keuangan, ketidakpastian hidup, dan sejenisnya begitu banyak hal lainnya bahkan masalah kritis yang mempengaruhi kesejahteraan pasien kanker.

Sebuah penelitian mencoba mengeksplorasi kepuasan pasien kanker di rumah sakit khusus yang menyediakan layanan onkologi di Odisha-India, penelitian dilakukan dengan model transformasi triangulasi data cross-sectional dengan design mixed methode (Quant+Qual), data menunjukkan bahwa kepuasan umum pasien adalah 60%. Skor yang paling tinggi diperoleh untuk komunikasi dokter. Temuan kualitatif mengungkapkan bahwa perjalanan ke tempat yang jauh untuk penyakit ringan, masa tunggu, dan kurangnya layanan di fasilitas perawatan primer adalah alasan ketidakpuasan pasien.

Disadari atau tidak, bahwa ketrampilan komunikasi dokter ternyata berkontribusi pada tingkat kepuasan pasien, sehingga dapat memotivasi pasien untuk mematuhi prosedur perawatan. Masa tunggu terkait penjadwalan janji temu yang efisien dan manajemen yang baik dapat mengurangi waktu tunggu yang lebih lama. Penelitian ini menunjukkan Mayoritas responden melaporkan bahwa seorang dokter khusus ditunjuk, selama kunjungan tindak lanjut, dalam kasus ketidakhadiran dokter yang ditugaskan tidak dihadiri oleh dokter pengganti melainkan diminta untuk menunggu sampai dokter yang ditunjuk tersedia atau diminta untuk membuat janji lain. Sedangkan jarak dan lokasi sangat jauh.

Mengenai Jarak dan lokasi, menjadi faktor pendukung ketidakpuasan pasien karena mengalami kesulitan dalam perjalanan dari tempat tinggal menuju ke rumah sakit kanker. Bahkan ada yang mengalami kehilangan/pemotongan gaji di tempat kerja untuk menyelesaikan pemeriksaan lanjutan yang sudah disepakati dan biaya transportasi dan makanan yang tinggi. Kurangnya layanan di fasilitas perawatan primer juga merupakan alasan ketidakpuasan pasien, hal ini terlihat bahwa hampir semua pasien tidak mendapatkan layanan tindak lanjut di pusat perawatan primer karena dirujuk atau disarankan untuk mengunjungi rumah sakit kanker bahkan untuk penyakit ringan seperti batuk dan pilek.

Berdasarkan peneltian di atas bahwa penting untuk menilai kepuasan pasien agar dapat meningkatkan layanan kesehatan, serta dapat juga bertindak sebagai parameter untuk memahami apa yang berfungsi dan apa yang tidak. Sehingga kedepan berdasarkan hasil temuan yang ada dapat melakukan perubahan sehingga kualitas pelayanan kanker mengalami perubahan yang semakin baik dari waktu ke waktu.

Penulis: Andriani Yulianti, MPH
Referensi: Toomey et al. (2015). The Development of a Pediatric Inpatient Experience of Care Measure: Child HCAHPS. PEDIATRICS 2015:136;360, number 2. DOI: 10.1542/peds.2015-0966. http://pediatrics.aappublications.org/content/136/2/360 
Mahapatra et al. (2016). Quality of Care in Cancer: An Exploration of Patient Perspectives. J Family Med Prim Care. 2016 Apr-Jun; 5(2): 338–342. doi: 10.4103/2249-4863.192349 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5084558/ 

Mutu hidup penderita kanker pada anak perlu dinilai. Hal ini dilakukan untuk memantau kesinambungan hidup sehingga dapat menentukan intervensi. Penilaian dapat dilakukan melalui instrumen PedsQL 3.0 Cancer Module. Ada delapan sub skala penilaian dalam PedsQL 3.0 Cancer Module, yaitu nyeri dan sakit, mual, kecemasan prosedural, kecemasan pengobatan, khawatir, masalah kognitif, penampilan fisik yang dirasakan, serta komunikasi.

PedsQL 3.0 Cancer Module terbukti sebagai instrumen yang obyektif untuk menilai kualitas hidup anak penderita kanker dan keluarganya. Berikut beberapa hasil penelitian tentang penggunaan PedsQL 3.0 Cancer Module dalam menilai kualitas hidup penderita kanker pada anak:

  1. Sitaresmi (2008) bahwa anak-anak penderita kanker yang usianya lebih muda memiliki angka penilaian kualitas hidup yang lebih rendah dalam sub-skala kecemasan prosedural, kecemasan pengobatan, subskala komunikasi. Penelitian ini terbantahkan oleh Yaris (2001) bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna untuk usia pada pengukuran kualitas hidup anak penderita kanker.
  2. Ji et al (2011) bahwa anak mengalami ketakutan terhadap prosedural pengobatan yang dijalaninya sehingga mengakibatkan kualitas hidupnya menurun
  3. Sidabutar dkk (2012) bahwa anak kanker mengalami gangguan fungsi sekolah apabila dibandingkan dengan fungsi fisik, emosi, dan sosial. Anak tidak mampu berkonsentrasi sehingga tidak bisa mengerjakan tugas sekolah dan berakibat pada prestasi belajar menurun
  4. Sidabutar dkk (2012) bahwa setiap pasien kanker anak mengalami efek samping pengobatan berbeda. Bergantung pada kondisi tubuh mereka. Fungsi hidup mengalami gangguan pada fungsi fisik, emosi, sosial, psikologis, sekolah, dan kognitif. Anak memiliki keterbatasan untuk beraktivitas, bersosialisasi, mengontrol emosi, dan bersekolah.
  5. Nurhidayah I dkk (2016) bahwa anak kanker memiliki kualitas hidup buruk. Nilai terendah pada fungsi sekolah dan kekhawatiran anak dalam menghadapi pengobatan dan penyakit. Kualitas hidup yang buruk berpengaruh terhadap fungsi fisik, sosial, psikologis, emosi, sekolah, kognitif, dan tumbuh kembang.

Penyebab kanker pada anak belum diketahui secara pasti sehinggapencegahannyapun belum ada. Kemenkes telah melakukan pengendalian Kanker pada anak melalui program “pengendalian Kanker”. Ada buku pedoman penemuan dini kanker yang telah disusun bersama dengan profesi Kanker pada anak, dan telah disosialisasikan dibeberapa provinsi.

Ada enam Kanker yang diprioriaskan yaitu: leukemia, retinoblastoma, neuroblastoma, limfoma, osteosarkoma, dan karsinoma nasofaring. Penentuan prioritas ini berdasarkan atas dua kriteria, yaitu tingginya angka penyakit (prevalensi) dan kemudahan pengenalan gejala dan tanda serta diagnosis. Prioritas didasarkan pada prevalensi dan kemudahan pengenalan gejala, tanda, dan diagnosis. Pengendalian Kanker akan terus dikembangkan melalui peningkatan pengetahuan masyarkat dan kemampuan petugas kesehatan di Puskesmas dalam mengenali tanda Kanker. Harapannya, penemuan dini Kanker pada anak bisa dilaksanakan di Puskesmas

Ditulis Oleh Eva Tirtabayu Hasri S.Kep.,MPH dari berbagai sumber
Referensi: Irnawati M. (2002). Penilaian Kualitas Hidup Anak Penderita Kanker. Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Soetomo Universitas Airlangga
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2019). Kendalikan Kanker pada Anak. Printed @ 30-01-2019 11:01.
Nurhidayah I. (2016). Kualitas Hidup pada Anak dengan Kanker. Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran. Volume 4 Nomor 1 April 2016.

Stunting mempengaruhi sepertiga anak-anak usia dibawah 5 tahun pada negara-negara berkembang, dan 14% kematian anak-anak dianggap disebabkan oleh stunting. Penelitian oleh Danaei et al(2016) memperkirakan jumlah kasus stunting pada anak-anak berusia 24-35 bulan (yaitu, pada akhir periode kerentanan 1.000 hari) disebabkan oleh 18 faktor risiko di 137 negara berkembang. Terdapat lima klasifikasi faktor risiko, yaitu:

  1. Nutrisi dan infeksi ibu
  2. Ibu remaja dan interval kelahiran pendek
  3. Restriksi pertumbuhan janin (Fetal Growth Restriction / FGR) dan kelahiran premature
  4. Gizi dan infeksi anak
  5. faktor lingkungan.

Risiko utama di negara berkembang dan juga di seluruh dunia adalah restriksi pertumbuhan janin (FGR), yang didefinisikan sebagai lahir cukup bulan (saat atau setelah usia kehamilan 37 minggu) tetapi kecil untuk usia kehamilan, dan 10,8 juta kasus (dari 44,1 juta) disebabkan oleh FGR, diikuti oleh sanitasi yang tidak baik seperti kualitas air yang buruk, kondisi sanitari buruk dan penggunaan bahan bakar padat, dengan 7,2 juta dan diare dengan kasus 5,8 juta. FGR dan kelahiran prematur adalah kelompok faktor risiko utama di semua wilayah. Risiko lingkungan memiliki dampak estimasi terbesar kedua untuk stunting secara global dan kasus stunting di Asia Selatan, Afrika sub-Sahara, serta kawasan Asia Timur dan Pasifik, sedangkan nutrisi dan infeksi anak adalah kelompok faktor risiko utama kedua di wilayah lain.

art21jan

Peneliti merekomendasikan upaya untuk mengurangi stunting lebih lanjut harus difokuskan pada pencegahan FGR dan sanitasi yang buruk. Hal ini membutuhkan program pencegahan yang fokus pada intervensi yang menjangkau ibu dan keluarga untuk perbaikan lingkungan hidup dan gizi mereka.

Relevansi di Indonesia: Jumlah kasus stunting berdasarkan hasil Riskesdas 2018 menunjukkan perbaikan. Proporsi balita sangat pendek dan pendek pada tahun 2018 adalah 30,8% (menurun dari 37,2% pada tahun 2013) dan proporsi baduta sangat pendek dan pendek pada tahun 2018 adalah 29,9% dengan 18 provinsi tercatat memiliki prevalensi tinggi (30%-<40%). Pemerintah melalui koordinasi 22 kementerian dan lembaga menargetkan penurunan angka stunting pada 2019 hingga ke angka 24,8 persen dengan melakukan intervensi gizi spesifik dan gizi sensitif. Sementara fokus intervensi pada 2019 akan dilakukan terhadap 160 kabupaten dan kota.

Penulis: dr. Novika Handayani
Kaleidoskop Kebijakan Kesehatan 2018 https://drive.google.com/file/d/0Bzt046lJwc-DdWtYc1E0VmlNRTNPMzBCY3BlRjUwa0FFeHc0/view 
Hasil Riskesdas 2018