Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Stunting pada anak dapat menjadi indikator yang bagus terkait kesejahteraan anak dan refleksi yang akurat terhadap ketidaksetaraan sosial. Secara keseluruhan, indikator tingkat kesejahteraan anak dapat digambarkan dalam pertumbuhan yang linier (linear growth).

Jutaan anak di dunia masih tidak dapat mencapai potensi pertumbuhan liniernya karena kesehatan dan nutrisi yang kurang optimal, serta perawatan kesehatan yang tidak memadai. Selain tidak tercapainya pertumbuhan linier, anak-anak tersebut dapat menderita kerusakan fisik dan kognitif parah serta terhambatnya pertumbuhan.

Stunting sering tidak dapat diidentifikasi, hal ini biasa terjadi karena kendala tidak dilaksanakannya asesmen rutin pertumbuhan linier pada anak. Namun saat ini stunting menjadi prioritas kesehatan global dan menjadi fokus pada beberapa inisiatif terkenal seperti; Scalling Up Nutrition, Zero Hynger Challenge, dan Nutrition for Growth Summit.

Stunting sendiri dapat diidentifikasi dengan melakukan asesmen terhadap panjang atau tinggi anak (diukur pada anak usia kurang dari dengan posisi telentang, dan posisi berdiri pada anak usia 2 tahun atau lebih), dan dilakukan interpretasi dengan membandingkan hasil pengukuran dengan standar nilai yang dapat diterima atau ditetapkan. Penentuan kondisi stunting pada anak dapat mengacu pada kesepakatan internasional, bahwa anak-anak dapat dikategorikan mengalami stunting jika panjang/ tinggi mereka di bawah -2SDs mengacu pada median di WHO Child Growth Standards, untuk semua jenis usia dan jenis kelamin. Demikian pula, anak-anak dikategorikan termasuk sangat terhambat pertumbuhan jika panjang/ tingginya dibawah -3 SDs dari median di WHO Child Growth Standards, untuk semua jenis usia dan jenis kelamin.

Proses untuk mengetahui apakah seorang anak mengalami stunting tidak dapat hanya diamati saat berinteraksi saja, namun terjadinya pertumbuhan terhambat yang sangat parah dapat diketahui dengan mengukur ketinggian anak dan membandingkannya dengan standar WHO. Pengukuran panjang anak-anak (hingga 24 bulan) atau tinggi (mulai 24 bulan ke depan) harus menjadi suatu praktik standar.

Pada prinsipinya proses menilai pertumbuhan linier pada anak tidaklah sulit, namun diperlukan kepatuhan terhadap prinsip kunci pengukuran dan perhatian terhadap detil-detilnya. Proses pengukuran tersebut sangat tergantung pada ketahanan, prsesisi, pemeliharaan, dan kalibrasi peralatan antropometrik, teknik pengukuran dan penetapan prosedur kualitas data.

Sedangkan berdasar observasi diperoleh hasil bahwa anak-anak yang berasal dari populasi keluarga mampu di negara-negara berkembang memiliki pola pertumbuhan yang sama dengan anak-anak sehat dan bergizi baik di negara-negara maju (Bhandari et al. 2002; Mohammed et al. 2004; Owusu et al. 2004; WHO Multicentre Growth Reference Study Group, 2006).

WHO Multicentre Growth Reference Study (MGRS) ini dilakukan untuk mengembangkan standar normative berdasarkan pendekatan preskriptif dan inovatif. Hasil penting dari penelitian ini adalah adanya kesamaan dalam pertumbuhan linier di enam populasi MGRS, yang menunjukkan bahwa ketika kenutuhan kesehatan, lingkungan, dan perawatan terpenuhi, pertumbuhan potensial yang secara umum adalah setidaknya pada usia minimal 5 tahun.

Stunting biasanya diawali ketika dalam kandungan dan berlanjut hingga setidaknya 2 tahun pertama setelah kelahiran. Pendekatan preskriptif pada MGRS di penelitian Intergrowth-21st menunjukkan bahawa pertumbuhan janin dan panjang bayi baru lahir serupa di beberapa setting geografis ketika kebutuhan nutrisi dan kesehatan yang diperlukan ibu terpenuhi serta kendala lingkungan untuk proses pertumbuhan hanya sedikit.

Stunting merupakan proses berulang, dimana perempuan yang terhambat pertumbuhannya di masa kanak-kanak memiliki risiko yang lebih besar untuk melahirkan anak yang terhambat pertumbuhannya, sehingga pada siklus kemiskinan antar generasiyang berkelanjutan dan ‘kerusakan’ sumber daya manusia menjadi suatu hal yang sulit di’interupsi’.

Stunting adalah bentuk malnutrisi anak yang paling umum. UNICEF, WHO, dan World Bank mengeluarkan estimasi perkiraan tahunan anak dengan malnutrisi di seluruh dunia, dengan menggunakan WHO Child Growth Standards, pada tahun 2013 diperkirakan 161 juta anak di bawah 5 tahun mengalami stunting. Sekitar setengah dari semua anak stunting tersebut berasal dari Asia dan sepertiga dari Afrika. Dan meskipun sedikit anak stunting berasal dari Amerika, namun di beberapa negara di wilayah Amerika memiliki tingkat prevelansi stunting pada anak setinggi yang ditemukan di Asia dan Afrika.

Stunting sendiri didefinisikan sebagai suatu sindrom dimana terjadi kegagalan pertumbuhan liner yang berfungsi sebagai penanda berbagai kelainan patologis, serta terkait dengan morbiditas dan mortalitas, hilangnya potensi pertumbuhan fisik, penurunan fungsi perkembangan sraf dan kognitif, serta peningkatan risiko penyakit kronis pada masa dewasa.

Stunting dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas akibat infeksi, khususnya pneumonia dan diare (Koosman et al. 2000; Black et al. 2008; Olofin et al. 2013) dan juga sepsis, meningitis, tuberkulosis, dan hepatitis, serta menunjukkan adanya gangguan umum kekekbalan pada anak dan pertumbuhan yang sangat terhambat (Olofin et al. 2013).

Kegagalan pertumbuhan dalam 2 tahun pertama kehidupan juga dikaitkan dengan penurunan perawakan di masa dewasa (Coly et al. 2006; Stein et al. 2010). Stunting juga memiliki konsekuensi ekonomi yang penting bagi kedua jenis kelamin baik di tingkat individu, rumah tangga, maupun masyarakat. Pada usia 24 bulan pertama juga sangat penting untuk perkembangan otak. Stunting juga dilaporkan dapat mempegaruhi kesehatan orang dewasa dan risiko penyakit kronis.

Pada 2012, WHO mengadopsi resolusi untuk gizi ibu, bayi, dan anak-anak, serta menyepakati 6 target global untuk mengajak dunia bertanggungjawab atas upaya mereduksi malnutrisi (WHO 2012). Paling utama adalah target mengurani 40% jumlah anak stunting di bawah 5 tahun pada tahun 2025 yang akan datang. Sasaran stunting didasarkan pada anisis data time series dari 148 negara dan kisah sukses nasonal dalam mengatasi malnutrisi (de Onis et al. 2013).

Dirangkum oleh: Lucia Evi Indriarini, MPH.
Sumber: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5084763/ 

Melakukan perawatan dengan orang yang hidup dalam HIV merupakan sebuah tantangan, bukan hanya bagi pasien secara pribadi (yang pastinya bukan merupakan hal yang mudah). Melainkan juga dari sisi keperawatan/pelayanan juga merupakan hal tidak mudah untuk dilakukan, dilihat dari ilmu pengetahuan dalam melakukan perawatan yang profesional untuk orang dengan HIV. Disadari atau tidak, seringkali beberapa faktor turut menjadi pemicu kurangnya kepedulian terhadap perawatan orang dengan HIV. Dijelaskan dalam hasil penelitian yang disampaikan oleh Lufuno dan Makhado bahwa dukungan terkait Pendidikan keperawatan dan Peluang profesional, cara organisasi dalam mengatasi dampak masalah kesehatan dan sosial dari perawatan orang HIV hingga dukungan sosial dapat mempengaruhi pelayanan yang diberikan kepada orang dengan HIV.

Salah satu bentuk dukungan perawat yang merawat ODHA yakni memberikan pendidikan keperawatan terstruktur, hal ini penting bagi para manajer untuk memiliki kebijakan di tempat program pendidikan dan kursus yang seharusnya diikuti oleh perawat. Selain itu, program tersebut harus bersifat wajib atau perawat harus menerima kredit pada keterampilan dan pengetahuan yang didapat dari pekerjaan - konten dan implementasi, serta tindak lanjut yang dilakukan. Pendidikan keperawatan bisa direstrukturisasi untuk mengakomodasi perawat di tempat kerja, perawat baru yang bekerja dan siswa keperawatan. Ini bisa dicapai dengan menerapkan hal berikut: 1) Pengembangan Profesi Berkelanjutan sehingga dapat menyebarkan dan membagikan perkembangan terbaru dari HIV/Strategi intervensi AIDS; 2) Orientasi staf yang baru dipekerjakan; 3) Institusi pendidikan keperawatan harus mengintegrasikan HIV / AIDS manajemen ke dalam kurikulum yang ada.

Disebutkan juga dalam penelitian tersebut, bahwa dukungan organisasi juga diperlukan untuk mengatasi depresi dan kelelahan kerja, serta dukungan sosial. Pekerja harus diperkuat dan diberdayakan untuk dimobilisasi dalam hal pemberian informasi, pendidikan dan komunikasi, pelatihan tentang masalah HIV / AIDS. Program kesehatan karyawan juga dapat dirancang untuk membantu karyawan dalam bertransaksi dengan penyebab stres primer dan sekunder dan termasuk di dalamnya konseling dan layanan psikologis untuk para karyawan. Program kesehatan karyawan dapat dilakukan melalui beberapa langkah yakni Strategi koping pribadi internal harus didorong dalam penyediaan lingkungan praktik positif dapat mengurangi stres terkait kelelahan perawat. Oleh karena itu, penting untuk mempromosikan  hal ini dengan baik di lingkungan kerja.

Langkah selanjutnya yakni pimpinan harus menemukan cara yang layak untuk mendukung perawat dalam menyediakan lingkungan di mana perawat bisa merasakan nyaman menyuarakan kekhawatiran dan kecemasan mereka dan harus mengakui serta memahami legitimasi kekhawatiran perawat. Kemudian, diikuti dengan memberikan pelatihan manajemen stres, kebijakan atau pedoman dapat digunakan oleh rumah sakit sebagai cara untuk mendapatkan karyawan dan mempertahankan tingkat stres di bawahnya yang mungkin mengarah ke contoh yang lebih tinggi dari kejenuhan. Di sisi lain, diperlukan juga dukungan sosial sebagai salah satu prediktor terbesar pengurangan kelelahan dan stres bagi perawat; karenanya seharusnya hal tersebut dipertimbangkan dalam menangani psikososial kesejahteraan perawat.

Andriani Yulianti.

Politeknik Kesehatan Papua, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM, Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, FK UGM dan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Cendrawasih Jayapura telah melakukan penelitian tentang “Perilaku dan Risiko Penyakit HIV-AIDS di Masyarakat Papua Studi Pengembangan Model Lokal Kebijakan HIV-AIDS”. Penelitian telah diterbitkan pada tahun 2010 oleh Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan. Hasilnya menunjukkan bahwa faktor perilaku masyarakat Papua seperti perilaku seks bebas, merosotnya nilai agama dan kebiasaan budaya negatif di Biak mempunyai risiko terhadap terjangkitnya penyakit HIV-AIDS.

Sejak tahun 1979 angka HIV-AIDS semakin meningkat di Papua, untuk mengantisipasi hal ini pemerintah Indonesia telah menerapkan kebijakan nasional Abstinency, Be faithful, dan Condom (ABC). Pemerintah Amerika Serikat dan berbagai organisasi kesehatan menganjurkan pendekatan ABC untuk menurunkan risiko terkena HIV melalui hubungan seksual. Namun, di Indonesia program ini belum menunjukkan hasil yang bermakna, perlu usaha lain yaitu meneliti tentang model lokal penanggulangan HIV-AIDS di Papua.

Tercatat 38.874 orang HIV/AIDS di Papua, jumlah ini berdasarkan data per 30 September. Kabupaten Nabire menduduki posisi tertinggi dari 28 kabupaten dan 2 kota di Papua, sebesar 7.240 orang. Peringkat kedua Kota Jayapura, yaitu 6.189 orang, disusul Kabupaten Mimika dan Jayawijaya dan daerah lainnya. Peningkatan jumlah kasus yang diketahui karena ada program yang dilakukan pemerintah untuk mengajak masyarakat secara sukarela mengikuti tes.

Metode penelitian yang dikembangkan oleh tim peneliti adalah analitik case control, terdiri dari 50 orang HIV AIDS (ODHA) dan 50 non ODHA Biak Numfor. 200 orang yang mewakili 7 wialyah adat papua dan 10 tokoh agama mewakili 5 denominasi kristen di Papua. Data yang digunakan bersifat primer dan sekunder, diambil dengan cara wawancara, pencatatan dan observasi.

Penelitian ini mengeluarkan beberapa rekomendasi, yaitu:

  1. Pemerintah bersama lembaga masyarakat membuat aturan tentang lokasi praktek seks bebas, milo dan mili, narkoba, penerapan nilai agama dan budaya yang berisiko berjangkitnya penyakit AIDS di Papua.
  2. Pemerintah Papua hendaknya mencari alternatif pekerjaan lain bagi para pekerja seks
  3. Papua dapat menggunakan Model H (model perubahan perilaku AB/ kebijakan AB) karena efisien dan efektif untuk digunakan di Papua.
  4. Lembaga agama, lembaga adat dan masyarakat Papua secara keseluruhan sebagai lembaga kunci dalam pengembangan model H (model perubahan perilaku AB/kebijakan AB).
  5. Khusus bagi lembaga agama, perlu melakukan ministry penggembalaan, penguatan kepada pengidap dan keluarganya (fisik dan psikologi) dan sakramen bagi penderita. Kemudian, kepada segenap umatnya pemimpin harus memberi contoh dan meningkatkan pembimbingan dan pengawasan serta lebih bersifat transparan dalam pengajaran dan khotbah.
  6. Pemerintah daerah Papua dapat menggunakan Model H (model perubahan perilaku AB/kebijakan AB) untuk penanggulangan risiko terjangkit HIV-AIDS di Papua dengan pendekatan nilai-nilai masyarakat lokal yaitu a community planning process and efforts and directed.

Penulis, Eva Tirtabayu Hasri S.Kep.,MPH (082324332525)

Sumber:
Zeth Arwam Hermanus Markus et al. 2010. Perilaku dan Risiko Penyakit HIV-AIDS di Masyarakat Papua Studi Pengembangan Model Lokal Kebijakan HIV-AIDS. Yogyakarta: Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan. Volume 13 No. 04 Desember
Kompas. 2018. https://regional.kompas.com/read/2018/12/01/21132341/penderita-hivaids-di-papua-tercatat-38874-orang 

Hospital-Acquired Infections (HAIs) dahulu dikenal sebagai infeksi nosokomial. HAIs adalah infeksi yang terjadi pada pasien selama perawatan di rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya. HAIs dapat terjadi karena penggunaan alat atau prosedur invasif, yaitu catheter-associatedurinary tract infection (CAUTI) dan central line-associatedblood stream infection (CLABSI).

HAIs dapat kita temukan di Intensive Care Unit. ICU merupakan unit perawatan khusus yang dikelola untuk merawat pasien sakit berat dan kritis, cedera dengan penyulit yang mengancam serta melibatkan tenaga kesehatan terlatih, didukung dengan kelengkapan peralatan khusus (Departemen Kesehatan). Pasien yang masuk ICU karena medical diagnoses, cardiac diagnoses including open heart surgery and surgical diagnoses.

Kejadian HAIs berkaitan dengan kurang optimalnya kepatuhan cuci tangan petugas kesehatan. Hal ini terjadi karena sikap, kurangnya kesadaran akan pentingnya cuci tangan, tekanan sosial, tidak ada control, dan pengalaman hidup sebelumnya. Evidence based hubungan cuci tangan terhadap kejadian HAIs dapat dilihat pada hasil penelitian yang telah diterbitkan oleh American Journal of Critical Care tahun 2015 yang berjudul “Use of A Patient Hand Hygiene Protocol to Reduce Hospital Acquered Infections and Improve Nurses’ Hand Washing”.

Cherie Fox dan rekannya melakukan penelitian tentang dampak penggunaan Patient Hand Hygiene Protocol (PHHP) terhadap kepatuhan cuci tangan pemberi layanan kesehatan di ruang ICU Mission Hospital Mission Viejo, California. PHPP diimplementasikan pada pasien yang masuk ICU, kemudian dilakukan pengkajian tentang kontraindikasi penggunaan chlorhexidine. Jika pasien tidak alergi maka chlorhexidine 2% akan diberikan pada pasien tiga kali sehari setiap jam 8 pagi, jam 2 siang dan jam 8 malam. Namun jika ada alergi maka pemberian CHG 2% akan dihentikan.

phpp

Gambar 1. PHPP

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan PHPP menurunkan angka kejadian CLABSI dan CAUTI di IC. Rata-rata kejadian CLABSI per bulan menurun dari 1.1 menjadi 0.50 per 1000 catheter days. Rata-rata kejadian CAUTIper bulan menurun dari 9.1 menjadi 5.6 per 1000 catheter days.

cauti

Gambar 2. Angka CAUTI dan CLABSI

Hasil kepatuhan cuci tangan perawat sebelum masuk dan keluar ruang ICU menunjukkan peningkatan angka kepatuhan cuci tangan setelah penerapan PHHP. Selama implementasi PHHP kepatuhan cuci tangan setelah keluar ruangan lebih tinggi dibandingkan sebelum masuk ruangan.

phhp2

Gambar 3. Angka Kepatuhan Cuci Tangan Sebelum dan Setelah Penerapan PHHP

Evidence based ini dapat diaplikasikan di rumah sakit di Indonesia maupun dapat menjadi bahan penelitian lebih lanjut.

Penulis: Eva Tirtabayu Hasri (This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.| 0823-2433-2525)

Sumber: Use of A Patient Hand Hygiene Protocol to Reduce Hospital Acquered Infections and Improve Nurses’ Hand Washing. American Journal of Critical Care. 2015;24:216-224. doi: http://dx.doi.org/10.4037/ajcc2015898