Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Oleh : Armiatin SE.,MPH

art-15apr-2Masalah pressure ulcer merupakan masalah global yang dapat dicegah secara luas namun kejadiannya terus meningkat hingga berada pada kisaran patut untuk diwaspadai. Mencegah masalah tersebut sangat penting karena tidak hanya melindungi pasien dari hal yang berbahaya, namun juga dapat mengurangi biaya perawatan pasien. Di beberapa kasus, penanganan pressure ulcer yang terlambat bisa menyebabkan infeksi yang mengancam kehidupan seperti di Amerika setiap tahunnya 60.000 pasien meninggal karena komplikasi dari pressure ulcer di rumah sakit.

Panduan yang diberikan oleh beberapa organisasi seperti Institute for Healthcare Improvement, National Pressure Ulcer Advisory Panel dan AHRW telah menghasilkan keberhasilan implementasi praktek berbasis bukti di seluruh Amerika. Sullivan, N. dan Schoelles, M. (2013) menyatakan bahwa strategi yang dapat dilakukan untuk pencegahan pressure ulcer adalah penggunaan pelindung permukaan, memposisikan pasien secara teratur, mengoptimalkan status nutrisi dan melembabkan kulit luar. Selain itu, perlu perhatian dari komponen organisasi dan komponen koordinasi perawatan. Komponen organisasi termasuk dalam memilih pemimpin dalam keanggotaan tim, membangun kebijakan dan prosedur, evaluasi proses mutu, memberikan pendidikan pada staf dan komunikasi tertulis mengenai rencana perawatan. Sedangkan komponen koordinasi seperti melakukan pertemuan rutin untuk memfasilitasi komunikasi, kolegalitas dan pembelajaran.

Faktor Eksternal yang Memotivasi untuk Mencegah Pressure Ulcer :

  1. Teamwork atau kerja tim 
    Kebanyakan penelitian menggunakan tim multidisiplin untuk mencegah pressure ulcer misalnya adanya seorang perawat pengawas ostomi luka yang memiliki sertifikat untuk mengkoordinir upaya pencegahan. Stier dkk. (2004), menggambarkan tim terdiri dari ahli klinik yang berasal dari 18 fasilitas yang mana mendiskusikan resiko bervariasi dari tools penaksiran dan protokol fasilitas. Kemudian kelompok multidisiplin mengembangkan protokol seragam, formula perawatan kulit. Sistem kepemimpinan (eksekutif perawat, direktur manajemen mutu dan dokter senior) menyediakan dukungan untuk kelompok pada sistem. Disbie dkk. (2008), menjelaskan bahwa persoalan serius yang berhubungan dengan kulit bisa menjadi lebih baik ditangani oleh grup bersama-sama.
  2. Implementation Tools
    Tools yang dapat digunakan seperti audit dan feedback, pendidikan dan pelatihan. Feedback manajemen real time pada penelitian Rosen dkk. (2006), dengan termometer yang ditunjukkan untuk melacak insiden pressure ulcer mingguan. Feedback informal mingguan oleh pengawas perawat. Tools unik yang digunakan selama sesi pendidikan dan pelatihan seperti yang dilakukan pada penelitian Young J. (2010), yaitu melakukan implementasi dengan cara partisipan duduk di bejana selama 30 menit sebagai pengingat bahwa pressure ulcer bisa terjadi kurang dari 1 jam.
  3. Barriers Solved
    Barriers untuk implementasi seperti staf yang termotivasi, pergantian staf, perlawanan staf dan dokter, dokumentasi tidak konsisten, miss komunikasi antara sistem elektronik, kesulitan dalam mengolah data. Solusi untuk memotivasi staf seperti tambahan pendidikan, dukungan level unit. Dengan mengembangkan kelompok multidisiplin yang kuat, kunjungan bulanan oleh organisasi pengembangan mutu menjadi cara untuk membantu pergantian staf. Sedangkan untuk mengatasi masalah laporan yang tidak konsisten, Horn dkk. (2010), menyarankan untuk menyederhanakan dan menstandarisasi dokumentasi asisten perawat dan menerjemahkan informasi menjadi laporan yang digunakan dalam pertemuan mingguan perencanaan perawatan. Lemaster (2007), menyatakan bahwa 2 sistem dokumentasi elektronik yang berbeda menyebabkan shortfall pada laporan resiko pressure elcer dan untuk menyelesaikan persoalan tersebut dilakukan transisi ke 1 sistem catatan elektronik universal.
  4. Sustainability
    Beberapa perawatan akut menjelaskan adanya Sustainability atau usaha pencegahan perawatan jangka panjang dengan melakukan studi prevalensi triwulan, mensyaratkan perawat yang telah terdaftar dan terlisensi untuk menunjukkan kompetensi setiap tahunnya. Selain itu, Mc Inerney JA (2008), menjelaskan bahwa perbaikan yang dipublikasikan mengenai tingkat pressure ulcer menjadikan staf akan tetap berfokus pada usaha pencegahan. Lain dengan Courtney BA dkk. (2006), yang memberikan bonus pada staff untuk insiden pressure ulcer, membentuk koordinator perawatan luka (Tippet AW, 2009) dan komite perawatan luka (Ryden MB dkk, 2000).
  5. Cost Savings 
    Rosen, J. dkk. (2006), menyatakan bahwa berdasarkan pada biaya rata–rata sebesar $2.700 untuk perawatan pressure ulcer dapat menurunkan insiden ulcer dengan kira–kira 15 menjadi 12 minggu sehingga menghasilkan penghematan kurang lebih $40.000.
  6. Effects of Context
    Menurut Lyder dkk. (2004) dan Abel RL dkk. (2005), menyatakan bahwa intervensi yang paling dapat dipertahankan adalah yang terinstitusionalisasikan (intitutionalized). Misalnya intervensi yang kurang tergantung pada staf yang memadai (mengubah matras pereda tekanan dan menggunakan alat penilaian risiko) lebih mudah dipertahankan daripada intervensi yang lebih independen pada staf yang memadai (memastikan bahwa setiap pasien pindah tiap 2 jam).

Kesimpulan untuk mencegah terjadinya pressure ulcer perlu berfokus pada perawat yang mengarah pada peningkatan proses perawatan atau hasil kesehatan pasien karena akan meningkatkan perawatan jangka panjang. Selain itu Sullivan, N. dan Schoelles, M. (2013), menyarankan agar dokter dapat melaporkan temuan pressure ulcer, mengabaikan tingkat keberhasilan dan memberikan perhatian besar pada proses perawatan pasien, edukasi staf secara berkelanjutan dan inisiatif pelatihan serta intervensi di tingkat sistem. Penelitian lain juga menyebutkan perlunya integrasi dari beberapa komponen untuk meningkatkan proses perawatan, dimana komponen utama tersebut terdapat simplikasi dan standariasi intervensi dan dokumentasi spesifik. Pressure ulcer, disebutkan juga bahwa keterlibatan tim dan kepemimpinan multidisiplin serta pendidikan staf secara berkelanjutan sangat diperlukan dalam mendukung strategi pencegahan plessure ulcer.

Berdasarkan sebuah studi tidak hanya di Amerika, insidens kejadian pressure ulcer di Indonesia juga cukup tinggi, namun hingga saat ini belum ada program pencegahan pressure ulcer baik bersifat lokal maupun nasional. Selain itu belum ada penelitian oleh mahasiswa S2 UGM yang meneliti secara spesifik tentang strategi pencegahan plessure ulcer. Sehingga mungkin penelitian Sullivan, N. dan Schoelles, M. (2013), ini bisa dijadikan sebagai acuan untuk meneliti tentang pressure ulcer.

Referensi :

Sullivan, N & Schoelles, M. (2013). Preventing In-Facility Pressure Ulcers as a Patient Safety Strategy. Annals of Internal Medicine. Vol 158. No 5.

 

Lucia Evi Indriarini, SE

art-8apr-3Gambaran menjadi pasien di rumah sakit yang identik dengan berbagai jenis pelayanan kesehatan yang diberikan oleh pihak rumah sakit, acap kali memberikan ketakutan tersendiri bagi pasien akan rasa nyeri yang dapat menyertai proses pemberian pelayanan kesehatan tersebut. Sebagai contoh, bagaimana proses transfusi darah dapat memberikan rasa nyeri bagi si pasien, ataupun tindakan medis lainnya yang dapat memberikan rasa nyeri pada pasien. Sumber-sumber nyeri dapat meliputi; prosedur tindakan medis, tindakan keperawatan, dan prosedur diagnostik.

Nyeri sendiri dapat didefinisikan sebagai "pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial atau dilukiskan dalam istilah seperti kerusakan" (The International Association for the Study of Pain, 1979).

Namun dewasa ini, banyak rumah sakit yang telah melakukan upaya intensif untuk mengelola rasa nyeri tersebut, sehingga rasa nyeri yang menyertai tindakan medis, tindakan keperawatan, ataupun prosedur diagnostik pada pasien dapat diminimalkan atau dilakukan tindak lanjut yang teratur, sesuai dengan kriteria yang dikembangkan oleh rumah sakit dan kebutuhan pasien. Nyeri yang dirasakan pasien dikelola dengan melakukan pemantauan secara kontinyu dan terencana. Bahkan dalam akreditasi Joint Commission International (JCI) isu manajemen nyeri ini menjadi salah satu elemen penilaian yang dipersyaratkan untuk dipenuhi oleh pihak rumah sakit. Berbagai bentuk pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien harus mengacu pada pedoman pengelolaan rasa nyeri. Hal ini seperti tercantum dalam standar akreditasi JCI berikut:

  1. Patient and Family Rights (PFR)
    PFR 2.4 Rumah sakit mendukung hak pasien untuk mendapatkan asesmen dan pengelolaan rasa sakit yang tepat.
  2. Assessment of Patients (AOP)
    AOP 1.7 Semua pasien rawat inap dan rawat jalan diperiksa apakah mengalami rasa nyeri dan diperiksa mengenai rasa nyeri tersebut jika ada.
  3. Care of Patients (COP)
    COP 6. Pasien didukung secara efektif dalam mengelola rasa nyerinya.

COP 7.1. Perawatan pasien dalam keadaan menjelang ajal mengoptimalkan kenyamanan dan martabatnya.
Proses penerapan manajemen nyeri ini memerlukan peran aktif dari seluruh civitas hospitalia yang memberikan pelayanan kesehatan pada pasien, serta peran langsung dari pasien itu sendiri, dimana pasien didorong untuk menyampaikan rasa nyeri yang mereka alami. Sedangkan pada proses pelaksanaannya, pihak rumah sakit dapat mempergunakan beberapa alternatif tools yang dapat dipergunakan untuk mengukur dan mengkaji intensitas nyeri. Skala pengukuran nyeri sendiri dapat didasarkan pada self report, observasi (perilaku), atau data fisiologis.

Berikut adalah beberapa tools yang dapat dipergunakan berdasar pada 'self report' pasien :

  1. Verbal Rating Scale (VRS): Verbal Rating Scale merupakan jenis pengukuran nyeri yang telah lama dipergunakan dan merupakan pengukuran nyeri dalam bentuk sederhana. Dapat berupa pertanyaan sederhana 'apakah anda merasa nyeri?', yang dapat dijawab pasien dengan 'iya' atau 'tidak'. Namun, biasanya dalam pengukuran ini mempergunakan 4 sampai dengan 5 titik intensitas skala dengan deskripsi seperti; tidak nyeri, sedikit nyeri, nyeri sedang, sangat nyeri.
  2. Visual Analog Scale (VAS): Visual Analog Scale (VAS) adalah instrumen untuk mengukur besarnya nyeri pada garis sepanjang 10 cm. Biasanya berbentuk horizontal atau vertikal, dan garis ini digerakkan oleh gambaran intensitas nyeri yang memiliki range dari tidak nyeri sampai dengan rasa nyeri yang ekstrim.
  3. Numerical Rating Scale (NRS): Numerical Rating Scale (NRS) hampir sama dengan Visual Analog Scale, tetapi memiliki angka-angka sepanjang garisnya, kisaran angka 0-10 dan pasien diminta untuk menunjukkan rasa nyeri yang dirasakannya.
  4. Faces Rating Scale dari Wong Baker: Instrumen dengan menggunakan Faces Rating Scale terdiri dari 6 gambar skala wajah yang bertingkat dari wajah yang tersenyum untuk "no pain" sampai wajah yang berlinang air mata. Pasien dapat menunjukkan dengan gambar, tingkat rasa nyeri yang dirasakannya.

Manajemen nyeri menjadi salah satu isu penting dalam proses pemberian layanan kesehatan kepada pasien. Pada implementasinya pelayanan bermutu diberikan dengan mempedulikan rasa nyeri yang dialami pasien, didukung dengan tools pengkajian nyeri yang sesuai dan terdokumentasi dengan baik serta pemberian manajemen nyeri sesuai pedoman yang ditetapkan.

Referensi:

D. Gould et al. (2001). Journal of Clinical Nursing. Blackwell Science Ltd.
Hockenberry MJ, Wilson D (2009). Wong's Essentials of Pediatric Nursing. 8th Edition. St. Louis. Mosby.
John Hughes. (2008). Pain Management: From Basic to Clinical Practice, 1st Edition. Churchill Livingstone Elsevier.
Joint Commission International Standar Akreditasi Rumah Sakit. Edisi Ke-4. Tahun 2010.

Oleh : Hary Agus Sanjoto, S.Sos, MPH

art-15apr-1Pelayanan kepada pasien di rumah sakit sudah selayaknya merupakan pelayanan yang holistic, pelayanan yang paripurna. Mulai pasien datang, melakukan pendaftaran, pemeriksaan, hingga pasien pulang. Akan tetapi beberapa kejadian di rumah sakit kadang tidak diperhatikan, yaitu pasien jatuh pada saat mendapatkan pelayanan di rumah sakit. Pasien disini dapat sebagai pasien rawat jalan maupun sebagai pasien rawat inap.

Dalam pelaksanaan program patient safety di rumah sakit, kejadian pasien jatuh merupakan salah satu indikator berjalan tidaknya pelaksanaan program ini. Mendefinisikan pasien jatuh pun memiliki tantangan tersendiri. Miake-Lye at al. (2013) dalam National Database of Nursing Quality Indicators mendefinisikan jatuh sebagai "an unplanned descent to the floor with or without injury", sedangkan World Health Organization (WHO) mendefinisikan jatuh sebagai "an event which results in a person coming to rest inadvertently on the ground or floor or some lower level".

Banyak upaya yang telah dilakukan oleh rumah sakit dalam mengurangi atau mencegah kejadian pasien jatuh. Pencegahan pasien jatuh adalah masalah yang kompleks, yang melintasi batas-batas kesehatan, pelayanan sosial, kesehatan masyarakat dan pencegahan kecelakaan. Dalam buku "Preventing Falls in Hospitals: A Toolkit for Improving Quality of Care" (2013), menyebutkan bahwa di Inggris dan Wales, sekitar 152.000 jatuh dilaporkan di rumah sakit akut setiap tahun, dengan lebih dari 26.000 dilaporkan dari unit kesehatan mental dan 28.000 dari rumah sakit masyarakat. Beberapa kasus berakibat pada kematian, luka berat atau sedang dengan perkiraan biaya sebesar £ 15 juta per tahun.

Bahkan dalam akreditasi international Joint Commission International (JCI), upaya penanggulangan kejadian pasien jatuh di rumah sakit mendapatkan perhatian khusus. Hal ini seperti disebutkan dalan section 1, chapter 1 yaitu International Patient Safety Goals (IPSG), khususnya Sasaran 6 yaitu Reduce the Risk of Patient Harm Resulting from Falls. Maksud dan tujuan dari sasaran ke 6 dari akreditasi JCI ini adalah sebagian besar cedera pada pasien rawat inap terjadi karena jatuh. Dalam konteks ini rumah sakit harus melakukan evaluasi risiko pasien terhadap jatuh dan segera bertindak untuk mengurangi risiko terjatuh dan mengurangi risiko cedera akibat jatuh. Rumah sakit menetapkan program mengurangi risiko terjatuh berdasarkan kebijakan dan atau prosedur yang tepat. Program ini memantau baik konsekuensi yang diinginkan maupun tidak diinginkan dari tindakan yang diambil untuk mengurangi jatuh. Rumah sakit harus melaksanakan program ini. Maka dalam standar JCI sasaran ke 6 ini disebutkan rumah sakit perlu menyusun cara pendekatan untuk mengurangi risiko cedera yang menimpa pasien akibat jatuh.
Upaya-upaya untuk mengurangi kejadian pasien jatuh di rumah sakit telah banyak dilakukan. Hal ini seperti di rangkum oleh Miake-Lye at al. (2013) dalam tabel dibawah ini,

art-15apr-1a

Pendidikan pada pasien, pemberian tanda beresiko pada bed pasien dan pelatihan pada para staf merupakan intervensi yang paling efektif untuk mengurangi kejadian pasien jatuh. Lebih lanjut dalam proses implementasi intervensi-intervensi di atas, dibutuhkan struktur organisasi yang baik, infrastruktur keamanan yang baik, budaya keselamatan pasien, kerja tim dan leadership.

Dalam buku "Preventing Falls in Hospitals: A Toolkit for Improving Quality of Care" disebutkan upaya upaya untuk mengurangi terjadinya kejadian pasien terjatuh di rumah sakit, yaitu:

  • Membiasakan pasien dengan lingkungan sekitarnya.
  • Menunjukkan pada pasien alat bantu panggilan darurat.
  • Posisikan alat bantu panggil darurat dalam jangkauan.
  • Posisikan barang-barang pribadi dalam jangkauan pasien.
  • Menyediakan pegangan tangan yang kokoh di kamar mandi, kamar dan lorong.
  • Posisikan sandaran tempat tidur rumah sakit di posisi rendah ketika pasien sedang beristirahat, dan posisikan sandaran tempat tidur yang nyaman ketika pasien tidak tidur.
  • Posisikan rem tempat tidur terkunci pada saat berada di bangsal rumah sakit.
  • Menjaga roda kursi roda di posisi terkunci ketika stasioner.
  • Gunakan alas kaki yang nyaman, baik, dan tepat pada pasien.
  • Gunakan lampu malam hari atau pencahayaan tambahan.
  • Kondisikan permukaan lantai bersih dan kering. Bersihkan semua tumpahan.
  • Kondisikan daerah perawatan pasien rapi.
  • Ikuti praktek yang aman ketika membantu pasien pada saat akan ke tempat tidur dan meninggalkan tempat tidur.

Pernyataan yang paling ringkas, akan tetapi memiliki makna yang dalam seperti yang disarankan oleh Standart Akreditasi JCI adalah "The program is implemented". Dengan implementasi beberapa saran dalam tulisan ini diharapkan dapat meminimalkan kejadian pasien terjatuh di rumah sakit. Sehingga salah satu indikator patient safety dapat dilakukan.

Referensi :

Isomi M. Miake-Lye et al. (2013). Inpatient Fall Prevention Programs as a Patient Safety Strategy. A Systematic Review. Annals of Interbal Medicine. Vol 158. No 5

Isomi M. Miake-Lye, BA; Susanne Hempel, PhD; David A. Ganz, MD, PhD; and Paul G. Shekelle, MD, PhD, Annals of Internal Medicine Volume 158 • Number 5 (Part 2), 2013

Preventing Falls in Hospitals: A Toolkit for Improving Quality of Care, Agency for Healthcare Research and Quality, January – http://www.ahrq.gov/professionals/systems/long-term-care/resources/injuries/fallpxtoolkit/index.html , download dari http://www.centerforpatientsafety.org/2013/03/08/thirteen-ways-to-prevent-falls/

Joint Commission International Acreditation Standards for Hospitals. 4th Edition. 2011

 

Oleh : Nasiatul Aisyah Salim SKM.,MPH

art-25mar-2Standar JCI meliputi standar yang berfokus pasien dan standar manajemen organisasi pelayanan kesehatan. Dalam standar manajemen organisasi pelayanan kesehatan, terdapat 6 standar yang salah satunya adalah pencegahan dan pengendalian infeksi (prevention and control of infections) yang bertujuan untuk mengurangi risiko penularan diantara pasien, staf, profesional kesehatan, pekerja kontrak, relawan, mahasiswa dan pengunjung.

Program pencegahan dan pengendalian infeksi harus dilakukan dengan pendekatan berbasis risiko infeksi yang ada di rumah sakit, sehingga tiap rumah sakit akan memiliki program pencegahan dan pengendalian infeksi yang berbeda tergantung dari risiko infeksinya karena memiliki perbedaan layanan klinis, populasi pasien yang dilayani, lokasi geografis, volume pasien dan jumlah pegawai rumah sakit.

Hand hygiene merupakan salah satu cara untuk mengurangi infeksi yang berkaitan dengan perawatan kesehatan. Penelitian menjelaskan bahwa hand hygiene yang dilakukan oleh semua pegawai rumah sakit dapat mencegah terjadinya hospital acquired infections (HAIs) sebesar 15-30 % (Grol R, 2003 & Lautenbach, 2001). Banyak upaya dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan hand hgyiene namun umumnya tidak efektif dan berjangka pendek. Sehingga penting untuk mencari strategi berbasis bukti yang jelas untuk meningkatkan kebiasaan hand hygiene.

Huis, A et al (2012) mencoba menggambarkan secara berurutan mengenai strategi meningkatkan kepatuhan hand hygiene yang baik seperti dalam langkah-langkah seperti dibawah ini.

  • Langkah 1 : mendeskripsikan Hand Hygiene yang baik
  • Langkah 2 : Memperkirakan pemenuhan hand hygiene saat ini
  • Langkah 3 : Memperkirakan berbagai penghambat dan fasilitator yang berkaitan dengan pemenuhan hand hygiene
  • Langkah 4 : Merancang strategi peningkatan hand hygiene dan menghubungkan aktivitas implementasi dengan faktor pengaruhnya
  • Langkah 5 : Menguji dan mengeksekusi strategi peningkatan hand hygiene
  • Langkah 6 : Menguji keefektivan biaya dalam strategi peningkatan hand hygiene
  • Langkah 7 : Menilai dan menetapkan kembali strategi peningkatan hand hygiene

Daftar Pustaka :

Huis,A., et al (2012) A Systematic Review of Hand Hygiene Improvement Strategies : A Behavioural Approach. Implementation Science; 7 :92