Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Hari Tuberkulosis Sedunia diperingati pada 24 Maret setiap tahunnya. Peringatan tersebut menjadi momentum untuk meningkatkan kesadaran akan epidemi global Tuberkulosis (TB). Hari TB Sedunia juga diperingati sebagai salah satu upaya untuk mengeliminasi penyakit yang menyerang paru-paru. Tahun ini, peringatan TB mengambil tema 'Invest to End TB, Save Lives'. menyampaikan kebutuhan mendesak untuk menginvestasikan sumber daya dalam meningkatkan perjuangan melawan TB dan mencapai komitmen global untuk mengakhiri TB yang dibuat oleh para pemimpin global. Terutama dalam konteks pandemi COVID-19 yang telah menurunkan upaya End TB, serta memastikan akses yang adil dalam pencegahan dan pelayanan yang sejalan dengan upaya WHO untuk mencapai Cakupan Kesehatan Universal.

Penanggulangan TB merupakan segala upaya kesehatan yang mengutamakan aspek promotif dan preventif tanpa mengabaikan aspek kuratif dan rehabilitative untuk melindungi kesehatan masyarakat, menurunkan angka kesakitan, kecacatan atau kematian, memutuskan penularan, mencegah resistensi obat TB, dan mengurangi dampak negative yang ditimbulkan akibat TB. Penanggulangan TB tidak hanya dapat dilakukan oleh sektor kesehatan saja, melainkan dibutuhkan keterlibatan lintas sektor diantaranya pemangku kepentingan yang berasal dari orang perseorangan, masyarakat, institusi pendidikan, organisasi profesi atau ilmiah, asosiasi, dunia usaha, media massa, lembaga swadaya masyarakat, dan mitra pembangunan yang berperan aktif dalam pelaksanaan kegiatan Penanggulangan TB.

Hingga saat ini TB masih menjadi salah satu pembunuh penyakit menular paling mematikan di dunia. Setiap hari, lebih dari 4.100 orang meninggal karena TB dan hampir 28.000 orang jatuh sakit karena penyakit yang dapat dicegah dan disembuhkan ini. Upaya global untuk memerangi TB telah menyelamatkan sekitar 66 juta jiwa sejak tahun 2000. Namun, pandemi COVID-19 telah menurunkan kemajuan yang dicapai selama bertahun-tahun dalam upaya untuk mengakhiri TB. Untuk pertama kalinya pada lebih dari satu dekade, kematian akibat TB meningkat pada tahun 2020. (WHO, 2022).

Diharapkan lebih banyak investasi yang dilakukan untuk menyelamatkan jutaan nyawa lagi, mempercepat berakhirnya epidemi TB. Dalam hal ini Pemerintah Indonesia, melalui Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam Strategi Nasional Penanggulangan TBC 2020-2024 yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis telah mengatur salah satu upaya untuk menanggulangi TB yakni dengan melakukan upaya promosi kesehatan, hal ini dapat menjadi salah satu investasi untuk mengakhiri TB. Upaya promosi ini dilakukan dalam rangka meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan perubahan perilaku masyarakat mengenai TB. Upaya promosi tersebut dilakukan secara berkesinambungan melalui kegiatan advokasi, komunikasi, dan mobilisasi sosial dengan jangkauan yang luas.

Untuk memperluas pemanfaatan layanan pencegahan dan pengobatan TB yang bermutu, upaya promosi kesehatan kepada masyarakat dilakukan melalui: a) penyebarluasan informasi yang benar mengenai TB ke masyarakat secara masif melalui saluran komunikasi publik. Implementasinya dapat dilakukan melalui kampanye nasional pencegahan dan pengendalian TBC; b) penyelenggaraan upaya perubahan perilaku masyarakat dalam pencegahan dan pengobatan TB, yang dapat dilakukan dengan menyusun kebijakan dan strategi kampanye nasional dan komunikasi perubahan perilaku; c) pelibatan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan influencer media sosial untuk menyebarkan materi komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai TB, hal ini dapat dilakukan dengan menyusun pedoman dan materi komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai TB; dan d) penyampaian informasi kepada masyarakat mengenai layanan TB yang sesuai standar, hal ini dapat dilakukan dengan menyediakan laman informasi online yang bisa diakses secara luas oleh masyarakat mengenai Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang menyediakan layanan TB sesuai standar.

Disarikan Oleh: Andriani Yulianti (Peneliti Divisi Manajemen Mutu, PKMK FK-KMK UGM)

Sumber:

 

Wabah Pandemi COVID-19 di awal tahun 2020 telah membebani tenaga kesehatan, diantaranya petugas surveilans yang memiliki tanggung jawab untuk melakukan kegiatan surveilans penyakit secara rutin. Menurut Pelaporan Tahunan International Health Regulation State Party Annual Reporting (IHR SPAR) temuan di 182 negara, banyak negara tidak siap untuk menghadapi pandemi selanjutnya.

Perlu kesiapan yang diukur dengan lima aspek: (i) pencegahan, (ii) deteksi, (iii) respon, (iv) ketersediaan fasilitas pendukung, dan (v) kesiapan operasional. Satu faktor krusial yang digunakan untuk menilai kesiapan suatu wilayah/negara dalam menghadapi pandemi adalah tersedianya data dan informasi kesehatan yang memadai. Data tersebut sangat penting untuk penyediaan layanan kesehatan dan pengambilan keputusan pemerintah selama krisis. Pentingnya transparansi data kesehatan sebelum dan selama pandemi meningkatkan kesiapan pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya dalam mengembangkan pendekatan berbasis ilmu pengetahuan untuk mengendalikan wabah.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Hardhantyo M, dkk 2022 yakni mendeskripsikan kualitas pelaksanaan Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR) untuk surveilans penyakit menular yang berpotensi Kejadian Luar Biasa (KLB) dan mengukur beban kualitas pelaporan surveilans penyakit sebelum dan selama epidemi COVID-19 di Indonesia. Pendekatan yang digunakan adalah mix methode. Sebanyak 38 informan dari Dinas Kesehatan Daerah mengikuti Focus Group Discussion (FGD) dan In-Depth Interview (IDI) yang dilakukan bersama dengan informan dari Kementerian Kesehatan. FGD dan IDI dilakukan dengan menggunakan komunikasi video online. Kemudian data kelengkapan dan ketepatan laporan SKDR dari 34 provinsi dikumpulkan dari aplikasi. Data kualitatif data dianalisis secara tematis dan data kuantitatif dianalisis secara deskriptif.

Dalam penelitian ini ditemukan adanya kesenjangan dalam melaksanakan surveilans penyakit yang berpotensi KLB pada SKDR, yaitu pada aspek sumber daya manusia dan infrastruktur daerah yang tidak terdistribusi secara merata. Dari data pelaporan nasional 2017–2019 menunjukkan tren yang meningkat pada kelengkapan (55%, 64%, dan 75%) dan ketepatan laporan (55%, 64%, dan 75%). Namun, pada tahun 2020 kualitas pelaporan turun menjadi 53% dan 34% seiring dengan adanya Pandemi COVID-19. Dapat disimpulkan bahwa kelengkapan dan ketepatan laporan SKDR kemungkinan besar terkait dengan ketidakmerataan infrastruktur regional dan Epidemi COVID-19. Disarankan untuk meningkatkan kapasitas laporan dengan aplikasi SKDR otomatis pada sistem di rumah sakit dan laboratorium.

Baca selengkapnya: https://www.mdpi.com/1660-4601/19/5/2728/htm

 

 

Kesalahan medis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius dan mengancam keselamatan pasien. Kesalahan medis dapat terjadi melalui tindakan; omission yakni tidak melakukan sesuatu yang harusnya dilakukan (misalnya mis-diagnosis, terlambat bertindak, tidak melakukan pertolongan), dan commision yaitu melakukan sesuatu yang harusnya tidak dilakukan (misalnya tindakan keliru, obat salah, tindakan/ prosedur yang salah).

Error yang terjadi juga dapat disebabkan oleh human error, meliputi Resiko Lapse dan slips. Slips merupakan error sebagai akibat kurang, atau tak mengambil tindakan/ lalai dalam melakukan tindakan, misalnya lupa melakukan upaya medik, sedangkan Lapses error yang terkait dengan kegagalan memori lupa/ tidak ingat, misalnya keliru memutar knob pada suatu alat medik.

Dalam sebuah penelitian yang dikemukakan oleh (Brenan. Et al, 1991) menyatakan bahwa sebagian besar cedera pada pasien dari manajemen medis dikarenakan oleh cedera dari hasil perawatan di bawah standar. Risiko juga dapat diartikan sebagai sesuatu yang bisa terjadi atau akan terjadi, misalnya pada hasil laboratorium bahwa hasil yang didapatkan tidak bisa sempurna 100% karena masih ada kemungkinan hasil tersebut bisa akurat maupun tidak akurat.

Terkadang kita hanya terjebak dengan mengenali risiko yang bersifat fisik saja, sedangkan masih ada error lainnya yang dapat mencakup masalah dalam praktek, prosedur, dan sistem. Di bawah ini lingkup manajemen risiko dalam pelayanan kesehatan (Kemkes RI, 2018):

  1. Risiko yang terkait dengan pelayanan pasien atau kegiatan pelayanan kesehatan: adalah risiko yang mungkin dialami oleh pasien atau sasaran kegiatan UKM, atau masyarakat akibat pelayanan yang disediakan oleh FKTP, misalnya: risiko yang dialami pasien ketika terjadi kesalahan pemberian obat.
  2. Risiko yang terkait dengan petugas klinis yang memberikan pelayanan: adalah risiko yang mungkin dialami oleh petugas klinis ketika memberikan pelayanan, misalnya perawat tertusuk jarum suntik sehabis melakukan penyuntikan.
  3. Risiko yang terkait dengan petugas non klinis yang memberikan pelayanan: adalah risiko yang mungkin dialami petugas non klinis, seperti petugas laundry, petugas kebersihan, petugas sanitasi, petugas lapangan ketika melaksanakan kegiatan pelayanan.
  4. Risiko yang terkait dengan sarana tempat pelayanan: adalah risiko yang mungkin dialami oleh petugas, pasien, sasaran kegiatan pelayanan, masyarakat, maupun lingkungan akibat fasilitas pelayanan.
  5. Risiko finansial: adalah risiko kerugian finansial yang mungkin dialami oleh FKTP akibat pelayanan yang disediakan.
  6. Risiko lain diluar 5 (lima) risiko di atas: adalah risiko-risiko lain yang tidak termasuk pada lingkup risiko a. sampai dengan e., misalnya kecelakaan ambulans, kecelakaan kendaraan dinas yang digunakan.

Selain hal di atas, kita dapat mengenali tipe error berdasarkan 4 tipe error menurut (Linda T. Et al, 2000) meliputi:

  1. Diagnostik
    • Kesalahan atau keterlambatan dalam diagnosis
    • Gagal menggunakan tes yang ditunjukkan
    • Penggunaan tes atau terapi yang ketinggalan zaman
    • Kegagalan dalam bertindak berdasarkan hasil pemantauan atau pengujian
  2. Pengobatan
    • Kesalahan dalam kinerja operasi, prosedur, atau pengujian
    • Kesalahan dalam mengelola perawatan
    • Kesalahan dalam dosis atau metode penggunaan obat
    • Keterlambatan dalam perawatan atau dalam menanggapi tes abnormal
    • Perawatan yang tidak pantas (tidak diindikasikan)
  3. Pencegahan
    • Gagal memberikan pengobatan profilaksis
    • Pemantauan atau tindak lanjut pengobatan yang tidak memadai
  4. Lain
    • Kegagalan komunikasi
    • Kegagalan peralatan
    • Kegagalan sistem lainnya

Meskipun demikian, terdapat beberapa situasi/ kondisi yang memudahkan terjadi medical error yakni Tekanan waktu, Lingkungan kerja yang tidak menentu, Beban kerja yang tinggi, Menghadapi situasi, alat, kasus yang belum pernah sebelumnya, Kesibukan yang tinggi sehingga kurang istirahat, Tuntutan kecepatan dalam menangani kasus setiap saat, Petunjuk yang meragukan/tidak tepat, Terlalu percaya diri, Komunikasi yang tidak memadai, Lingkungan kerja dengan stress tinggi.

Disarikan oleh: Andriani Yulianti, MPH (Peneliti Divisi Manajemen Mutu, PKMK FK-KMK UGM)

Sumber:

  • Brenan. Et al, 1991. Incidence of Adverse Events and Negligence in Hospitalized Patients — Results of the Harvard Medical Practice Study I; 324:370-376 DOI: 10.1056/NEJM199102073240604.
  • Leape. Et al, 1991. The Nature of Adverse Events in Hospitalized Patients — Results of the Harvard Medical Practice Study I; 324:377-384.DOI: 10.1056/NEJM199102073240605.
  • Linda T. Et al, 2000. Institute medicine “to error is human” building safer health system, Committee on Quality of Health Care in America, Institute of Medicine.
  • Kementerian Kesehatan RI, 2018. Pedoman Keselamatan Pasien dan Manajemen Resiko FKTP, Jakarta: Kementerian Kesehatan.

 

 

Dalam upaya menjaga program kesehatan dan gizi ibu dan anak di Indonesia selama pandemi COVID-19, telah dilakukan sebuah kegiatan yang merupakan kerjasama antara Kementerian Kesehatan RI dengan Universitas Gadjah Mada, beserta 20 Universitas mitra lainnya di seluruh Indonesia dengan menerapkan sistem online untuk mengevaluasi dampak pandemi penyakit coronavirus 2019 (COVID-19) terhadap pelayanan kesehatan esensial dan gizi ibu dan anak di Indonesia.

Penelitian ini dilakukan oleh Helmyati S., dkk 2022 yang mengembangkan sistem pemantauan dan evaluasi elektronik untuk membantu Dinas Kesehatan Kabupaten dalam membuat penilaian cepat tentang dampak COVID-19 pada program kesehatan dan gizi ibu dan anak di wilayah mereka, dan dalam mengembangkan respons kebijakan dan program. Penelitian implementasi ini dilaksanakan pada bulan September hingga Desember 2020 di 304 Kecamatan. Strategi tersebut terdiri dari bantuan teknis untuk Dinas Kesehatan oleh 21 Universitas mitra dan mengembangkan dashboard online untuk analisis dan pelaporan situasi yang cepat.

Peneliti dilakukan dengan mengumpulkan data kualitatif tentang kelayakan dan kepatuhan terhadap intervensi, serta data kuantitatif dari database kesehatan rutin untuk menganalisis dampak COVID-19 pada indikator kesehatan dan gizi ibu dan anak. Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan sebagian besar Kabupaten, layanan kesehatan dan gizi utamanya ibu dan anak terkena dampak sedang atau parah oleh pandemi, khususnya layanan pemantauan pertumbuhan anak dan perawatan antenatal. Kepatuhan terhadap protokol intervensi bervariasi di seluruh Kabupaten, sistem ini merupakan pendekatan yang layak untuk ditingkatkan ke wilayah lain dan program kesehatan. Disimpulkan bahwa sistem monitoring dan evaluasi elektronik dapat diterapkan dan dilengkapi dengan beberapa modifikasi untuk mengakomodasi Dinas Kesehatan Kabupaten dan Universitas, serta terdapat potensi untuk meningkatkan intervensi ini dengan perencanaan dan pelatihan implementasi yang lebih baik.

Baca lebih lanjut di link berikut https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/35125539/