Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan bagi sumber daya manusia rumah sakit, pasien, pendamping pasien, pengunjung, maupun lingkungan rumah sakit melalui upaya pencegahan kecelakan kerja dan penyakit akibat kerja di rumah sakit1. Saat ini, tuntutan pengelolaan program K3 di Rumah Sakit (K3RS) semakin tinggi karena pekerja, pengunjung, pasien dan masyarakat sekitar Rumah Sakit ingin mendapatkan perlindungan dari gangguan kesehatan dan kecelakaan kerja, baik sebagai dampak proses kegiatan pemberian pelayanan maupun karena kondisi sarana dan prasarana yang ada di Rumah Sakit yang tidak memenuhi standar.

K3 merupakan instrumen yang memproteksi pekerja, fasilitas kesehatan, lingkungan hidup, dan masyarakat sekitar dari bahaya akibat kecelakaan kerja. Perlindungan tersebut merupakan hak asasi yang wajib dipenuhi oleh Institusi pelayanan kesehatan. Oleh karena itu penting bagi setiap RS menyelenggarakan K3RS yang bertujuan agar terselenggaranya K3 di Rumah Sakit secara optimal, efektif, efisien dan berkesinambungan sehingga setiap Rumah Sakit wajib menyelenggarakan K3RS, meliputi membentuk dan mengembangkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) Rumah Sakit dan menerapkan standar K3RS.

Diketahui bahwa Rumah Sakit merupakan tempat kerja yang padat karya, pakar, modal, dan teknologi, namun keberadaan Rumah Sakit juga memiliki dampak negatif terhadap timbulnya penyakit dan kecelakaan akibat kerja, bila Rumah Sakit tersebut tidak melaksanakan prosedur K3. Oleh sebab itu, dalam impelementasinya RS perlu membuat kebijakan tertulis dari pimpinan Rumah Sakit, menyediakan organisasi K3RS, melakukan sosialisasi K3RS pada seluruh jajaran Rumah Sakit, membudayakan perilaku K3RS, Meningkatkan SDM yang profesional dalam bidang K3 di masing-masing unit kerja di Rumah Sakit; dan Meningkatkan Sistem Informasi K3RS.

Penerapan K3RS ini tidak hanya dianggap sebagai upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang menghabiskan banyak biaya (cost) bagi institusi, melainkan dianggap sebagai bentuk investasi jangka panjang yang memberi keuntungan di masa yang akan datang, dan pemerintah telah hadir memberikan arahan melalui peraturan Menteri Kesehatan RI No. 66 tahun 2016 yang menetapkan standar penerapan K3 untuk Rumah Sakit untuk dapat di implementasikan di masing-masing RS, serta Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1087/Menkes/SK/Viii/2010 Standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja Di Rumah Sakit.

Perlunya implemetasi K3RS karena kita menyadari bahwa terdapat bahaya-bahaya potensial di Rumah Sakit yakni disebabkan oleh faktor biologi (virus, bakteri, jamur, parasit); faktor kimia (antiseptik, reagent, gas anestesi); faktor ergonomi (lingkungan kerja,cara kerja, dan posisi kerja yang salah); faktor fisik (suhu, cahaya, bising, listrik, getaran dan radiasi); faktor psikososial (kerja bergilir, beban kerja, hubungan sesama pekerja/atasan) yang dapat mengakibatkan penyakit dan kecelakaan akibat kerja2. Secara global, menurut WHO dan ILO bahwa penyakit dan cedera yang terkait pekerjaan bertanggung jawab atas 1,9 juta kematian pada tahun 2016. Menurut Estimasi bersama antara WHO/ILO bahwa beban penyakit dan cedera terkait pekerjaan, selama tahun 2000-2016 dalam laporan pemantauan global menyatakan sebagian besar kematian terkait pekerjaan disebabkan oleh penyakit pernapasan dan kardiovaskular. Penyakit tidak menular menyumbang 81 persen dari kematian. Penyebab kematian terbesar adalah penyakit paru obstruktif kronik (450.000 kematian); stroke (400.000 kematian) dan penyakit jantung iskemik (350.000 kematian). Cedera kerja menyebabkan 19 persen kematian (360.000 kematian).

Studi ini mempertimbangkan 19 faktor risiko pekerjaan, termasuk paparan jam kerja yang panjang dan paparan tempat kerja terhadap polusi udara, asmagen, karsinogen, faktor risiko ergonomis, dan kebisingan. Risiko utama adalah paparan jam kerja yang panjang terkait sekitar 750.000 kematian. Paparan polusi udara di tempat kerja (partikel, gas, dan asap) bertanggung jawab atas 450.000 kematian. Laporan ini sekaligus sebagai panggilan/alarm untuk menghadirkan negara dan bisnis untuk meningkatkan dan melindungi kesehatan dan keselamatan pekerja dengan menghormati komitmen mereka untuk menyediakan cakupan universal layanan kesehatan dan keselamatan kerja.

Agar dapat memahami K3RS secara komprehensif maka manajemen rumah sakit diharapkan dapat memahami pentingnya pelaksanaan K3RS di Rumah Sakit, memahami penyelenggaraan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit (SMK3RS), memahami Standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit yang telah ditetapkan, memahami standar sumber daya manusia K3RS, memahami pentingnya pencatatan dan pelaporan penyelenggaraan K3RS yang terintegrasi dengan sistem informasi manajemen Rumah Sakit, serta mampu mempersiapkan RS memenuhi standar Akreditasi RS mengenai penyelenggaraan K3RS sesuai dengan standar akreditasi yang telah ditetapkan.

Disarikan: Andriani Yulianti (Peneliti Divisi Manajemen Mutu, PKMK FK-KMK UGM)

Sumber:

  1. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 66 tahun 2016 Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit.
  2. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:1087/Menkes/SK/Viii/2010 Standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja Di Rumah Sakit.
  3. WHO. (2021). Diakses dari: https://www.who.int/news/item/16-09-2021-who-ilo-almost-2-million-people-die-from-work-related-causes-each-year

 

 

Indonesia saat ini masih dihadapkan dengan berbagai permasalahan gizi terutama gizi kurang atau stunting dan gizi lebih atau obesitas. Ada beberapa upaya yang harus dilakukan oleh seorang ibu baik sebelum maupun setelah bayi lahir dalam mencegah stunting dan obesitas.

Direktur Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan RI Dr. Dhian Probhoyekti, SKM, MA mengatakan permasalahan gizi tidak hanya terjadi di Indonesia tapi di dunia. Bahkan permasalahan ini menjadi fokus secara global.

Di Indonesia berdasarkan survei Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 menyebutkan prevalensi stunting sebesar 24,4%. Angka ini masih jauh dari angka prevalensi yang ditargetkan dalam rpjmn 2020-2024, yakni 14%.

Sementara itu, berdasarkan Riskesdas 2018 prevalensi obesitas pada Balita sebanyak 3,8% dan obesitas usia 18 tahun ke atas sebesar 21,8%. Target angka obesitas di 2024 tetap sama 21,8%, upaya diarahkan untuk mempertahankan obesitas tidak naik. Ini adalah upaya yang sangat besar dan cukup sulit.

selengkapnya

 

Penulis: Dr. Hanevi Djasri, dr, MARS, FISQua & Eva Tirtabayu Hasri, S.Kep.,MPH

Standar

Mutu pelayanan kesehatan sering kali berbeda-beda. Salah satunya penyebabnya karena adanya variasi proses sehingga diperlukan standarisasi pelayanan. Menurut peraturan pemerintah nomor 102 tahun 2000 tentang standarisasi nasional menyebutkan , standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syarat-syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya.

Standar adalah rentang variasi yang dapat diterima dari suatu norma (Donabedian). Katz dan Green mengungkapkan bahwa standar adalah pernyataan tertulis tentang harapan yang spesifik. Standar menurut oxford dictionary adalah tingkat keprimaan dan digunakan sebagai perbandingan.

Indikator Mutu

1. Konsep Indikator Mutu

Indikator mutu merupakan ukuran berbasis bukti menggunakan data untuk mengukur kinerja. Definisi indikator mutu muncul dari berbagai sumber. Indikator mutu menurut AHRQ: standardized, evidence-based measures of health care quality that can be used with readily avalaible hospitak inpatient administrative data to measure and track clinical perfomance and outcomes. Indikator mutu menurut Campbel (2008): Indicators are explicitly defined and measurableitems which act as building blocks in theassessment of care. Indikator mutu menurut medical dictionary: Any measure of the process, performance, or outcome of health care delivery. In general, quality indicators are chosen because they correlate with greater patient safety and decreased mortality. In caring for patients with pneumonia, for example, the percentage of patients who have blood cultures drawn and antibiotics administered in the first hours of their arrival at a hospital was previously considered a marker of the quality of care that they receive.

Indikator mutu menurut Pencheon (2008) merupakan ukuran dari hasil yang diberikan oleh tenaga profesional berdasarkan bukti ilmiah ataupun consensus dalam rangka menilai kualitas pelayanan kesehatan sehingga akan dihasilkan perubahan pelayanan jika pelayanan yang didapatkan tidak sesuai dengan bukti ilmiah. Inidikator mutu menurut Mainz (2003) indikator sebagai tindakan, sebagai ukuran kuantitatif, dan sebagai alat ukur. Indikator sebagai tindakan berarti indikator dapat menilai proses atau hasil perawatan kesehatan tertentu. Indikator sebagai ukuran berarti indikator akan mengahasilkan kuantitatif yang bisa digunakan untuk memantau dan mengevaluasi kualitas pada fungsi tata kelola, manajemen, klinis, dan dukungan yang mempengaruhi hasil pasien. Indikator sebagai alat ukur yang digunakan sebagai panduan untuk memantau, mengevaluasi, dan meningkatkan kualitas perawatan pasien, layanan dukungan klinis, dan fungsi organisasi yang mempengaruhi hasil pasien.

Mainz (2003) menyebutkan bahwa indikator bertujuan untuk mengukur kinerja, membandingkan kinerja dengan target, akuntabilitas, akreditasi, menentukan prioritas layanan, mengetahui mutu layanan. Pencheon (2008) mengidentifikasi tiga kegunaan indikator, yaitu untuk mempelajari kerja sistem dan bagaimana cara memperbaikinya, mengetahui apakah sistem bekerja sesuai target, dan akuntabilitas.

2. Jenis-jenis indikator

Jenis indikator bervariasi, dapat diklasifikasikan menjadi indikator klinis, indikator aspek kesehatan, indikator perawatan kesehatan, indikator mutu, indikator kinerja. Jenis indikator dalam standar akreditasi rumah sakit yang telah disusun oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) terdiri dari indikator area klinis, area manajemen, dan area keselamatan pasien. Donabedian membagi indikator menjadi 3 yaitu indikator struktur atau input, proses, dan outcome (Donabedian. 2005).
Struktur: sumber daya yang ada, misal jumlah perawat yang memiliki STR.

Proses: yang dilakukan dalam menerima dan memberikan perawatan. Digunakan untuk menilai dan meningkatkan mutu layanan klinis, misal proporsi pasien yang diobati sesuai pandukan praktik klinis atau clinical pathaways.
Outcome: mengukur efek perawatan terhadap status kesehatan pasien, misal hasil tekanan angka kematian ibu di fasilitas pelayanan kesehatan.

3. Penyusunan, Pengukuran, Analisa dan Penyusunan Rencana Tindak Lanjut

a. Penyusunan

A performance assessment framework for hospitals the WHO regional office for Europe PATH project oleh J. Veillard (2005) dan Wollersheim et.al., 2007 menyebutkan bahwa proses penyusunan indikator dilakukan melalui 3 tahap yaitu: 1) memilih calon indikator; 2) menetapkan calon indikator; 3) mengukur (uji coba) indikator dan menetapkan indikator berdasarkan hasil uji coba.

  1. Pemilihan calon indikator
    Pemilihan calon indikator dilakukan dengan beberapa metode, yaitu teknik delphi, consensus, literature, metode sistematis dan non sistematis.
    1. Teknik Delphi
      Teknik Delphi adalah proses mengumpulkan informasi menggunakan kuisioner ataupun diskusi kelompok (focus group discussion). Teknik Delphi dapat dilakukan dengan cara berikut ini: 1) identifikasi isu; 2) menyusun kuisioner dan menentukan kelompok ahli yang akan mengisi kuisioner. Kelompok ahli dikelompokkan berdasarkan lingkup ilmu. Misalnya perawat, dokter, dan pasien; 3) mengirim kuisioner ke peserta melalui surat ataupun memanfaatkan internet; 4) menganalisa hasil jawaban kuisioner yang telah dikirimkan oleh peserta; 5) mengirimkan hasil analisa ke peserta; 6) meminta peserta menetapkan skala prioritas; 7) melakukan hal yang sama sampai pembuat keputusan menemukan solusi dari sebuah isu yang akan diselesaikan; dan 8) jika telah ditemukan solusi, maka dianjurkan untuk ada pertemuan secara fisik (Rym Boulkedid et.al.,2011).
    2. Consensus
      Penyusunan indikator berdasarkan bukti ilmiah jarang ditemukan sehingga diperlukan metode lain untuk mengembangkan indikator seperti consensus. Metode consensus dapat dilakukan dengan teknik Delphi ataupun RAND. Teknik ini menggabungkan pendapat ahli, bukti ilmiah dan pedoman klinis.
    3. Literature
      Pencarian literatur untuk mencari indikator atau berdasarkan evidence-based guideline menggunakan pendekatan translational research. Menurut Khoury MJ (2010) dikutip dalam Bhisma Murti bahwa Research phase dimulai dengan, T1 berupa menciptakan atau mengembangkan metode baru melalui riset, T2 berupa riset untuk mengevaluasi manfaat metode baru, T3 berupa implementasi, dan T4 berupa evaluasi intervensi.
    4. Metode sistematis dan metode non sistematis
      Indikator dapat dikembangkan secara sistematis dan non sistematis. Metode non sistematis merupakan metode yang tidak memerlukan bukti ilmiah sedangkan metode sistematis merupakan metode yang memerlukan bukti ilmiah. Selain itu, metode pengembangan indikator dapat dilakukan melalui metode kombinasi, yakni campuran metode sistematis, pendapat ahli dan bukti ilmiah. (Campbell et.al.,2016)
  2. Penetapan calon indikator
    Kriteria-kriteria dalam menetapkan calon indikator. Menurut Wollershiem (2007), ada 4 kriteria yang harus dipenuhi, diantaranya: relevansi/hubungan (Relevancy), valid/kebenaran (Validity), keandalan (Reliability), kemungkinan (feasibility).
    1. Relevansi: aspek yang penting dari dimensi mutu layanan kesehatan. Misal, aspek efektif, efisien dan keselamatan.
    2. Validity: memiliki hubungan yang kuat dengan mutu pelayanan kesehatan saat ini dan dapat dilakukan berdasarkan bukti ilmiah terbaik serta berdasarkan pada pengalaman.
    3. Reliability: variasi yang timbul antar dan inter observer rendah, sumber data tersedia dan dapat dipercaya, dan metode statistik yang digunakan dapat dipercaya.
    4. Feasibility: data tersedia dengan mudah, dapat digunakan untuk meningkatkan mutu, sadar terhadap adanya perbaikan, dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan, dan dapat diterapkan kepada penggguna atau orang yang terlibat.
  3. Uji coba (mengukur) indikator
    Pengumpulan data untuk uji coba ada dua cara yaitu retrospektif dan prospektif. Pengumpulan data retrospektif sering tidak lengkap dan menimbulkan interpretasi subjektif sehingga dalam membuat keputusan dapat mengurangi reliabilitas. Sedangkan penggunaan data prospektif dapat mengurangi kerancuan interpretasi sehingga cara pengumpulan data ini adalah yang terbaik, namun seringkali dalam pelaksanaannya tidak dapat dilakukan karena berbagai kendala (Wollersheim et.al., 2007). Uji coba indikator digunakan untuk menilai relevansi/hubungan (Relevancy), valid/kebenaran (Validity), keandalan (Reliability), kemungkinan (feasibility).

b. Pengukuran

Pengukuran indikator dilakukan untuk mengetahui cara kerja sistem (understanding) dan bagaimana cara meningkatkannya (improved), monitoring kinerja sistem (performance system), dan tranparansi (accountability) (Pencheon. 2008).
Pengukuran indikator dilakukan untuk: 1) mengukur dan membandingkan kinerja terhadap target yang ditetapkan (benchmarking); 2) mendukung proses akuntabilitas, regulasi dan akreditasi; 3) menetapkan prioritas layanan atau sistem; 4) mendukung inisiatif peningkatan kualitas, dan untuk mendukung pilihan pasien penyedia layanan; dan 5) performance assessment and quality improvement.

Bagaimana cara melakukan pengukuran indikator?

Sebelum melakukan pengukuran indikator, hal yang harus dilakukan yaitu menyusun profil atau kamus indiktaor. Kamus indikator berisi: judul indikator, definisi operasional, tujuan pengukuran indikator, rasionalsasi indikator, cakupan data, metode pengumpulan data, frekuensi pengumpulan data, frekuensi analisa data, sumber data, penanggung jawab, dan publikasi. Item-item yang dituliskan dalam kamus indikator tidak hanya sebatas pada yang diatas, namun bisa ditambahkan sesuai dengan kebutuhan pengguna, semakin detail item-item yang ada dalam kamus inidkator maka akan semakin mempermudah sumber daya manusia melakukan pengukuran, analisa, dan penyusunan rencana tindak lanjut indikator mutu.

Tabel 1. Profil/kamus indikator

Judul  
Defisini operasional  

Dimensi mutu

*Pilih salah satu dari 6 dimensi mutu WHO yaitu efisiensi, efektivitas, aksesibilitas, keselamatan, fokus kepada pasien, dan kesinambungan

 
Tujuan  
Rasionalisasi  
Numerator  
Denominator  
Formula pengukuran  

Metode pengumpulan data

*Secara retrospective/ sensus harian/ concurent

 

Cakupan data

Menggunakan seluruh data yang tersedia atau menggunakan sample

 

Frekuensi pengumpulan data

*Harian/ Mingguan/ Bulanan/ Lainnya

 

Frekuensi analisa data

*Mingguan/ Bulanan/ Triwulan/ Smester/ Tahunan

 

Metode analisa data

*Interpretasi data dengan cara: bandingkan dengan trend, bandingkan dengan RS lain, bandingkan dengan standar, bandingkan dengan praktik terbaik

 
Sumber data  
Penanggung jawab  

Publikasi data

*Secara internal/ eksternal

 

c. Analisa

Tahapan yang dilakukan setelah mengukur indikator yaitu analisa hasil pengukuran indikator. Hal ini dapat dilakukan dengan 2 metode yaitu statistik dan non statistik. Statistik menggunakan histogram, bar, run chart, dan lainnya sedangkan non statistik menggunakan diagram tulang ikan/Ishikawa dan 5 why’s.

4feb

Gambar 1. Diagram Tulang Ikan

4feb1

Gambar 2. Lima Why’s

 

d. Penyusunan Rencana Tindak Lanjut

Penyusunan rencana tindak menggunakan Nolan model. Nolan model merupakan suatu model yang digunakan untuk upaya perbaikan proses yang berkesinambungan yang terdiri dari perencanaan (plan), dikerjakan (do), cermati hasilnya (check), dan amalkan untuk seterusnya (action), yang dikenal dengan siklus PDCA.

Sebelum dilakukan perubahan, harus ada kejelasan sasaran yang akan diperbaiki, dilanjutkan dengan cara untuk mengetahui bahwa perubahan yang dilakukan akan menghasilkan perbaikan. Setelah menetapkan sasaran perbaikan dan menetapkan pengukuran atas perubahan, tetapkan dan rencanakan kegiatan-kegiatan perbaikan pada apa saja yang perlu dilakukan dalam bentuk silkus PDCA.

4feb2

Gambar 3. Perbaikan sistem Mikro Pelayanan dengan Model Nolan

Tim yang melakukan Nolan model diharapkan terdiri dari penanggung jawab proses/sistem (system leader), karyawan yang paham secara teknis terhadap proses pelayanan (technical expertise), dan pelaksana yang sehari-hari mengerjakan proses pelayanan (day-to-day leader). Tim tersebut akan melakukan analisis permasalahan yang ada dalam sistem mikro, menetapkan sasaran, menetapkan pengukuran, dan mengikuti keseluruhan langsung serta proses perbaikan. Rencana perbaikan (POA) harus ditulis secara sistematis (misalnya ditulis dalam Format Tindak Lanjut).

Tabel 2. Penyusunan Rencana Tindak Lanjut

No Kegiatan Tujuan Indikator Keberhasilan Penanggung Jawab Waktu Pelaksanaan Biaya
             

e. Contoh indikator

Indikator yang telah disusun oleh berbagai organisasi sangat banyak, misal indikator yang telah disusun oleh WHO, AHRQ, kementrian kesehatan, kendali mutu dan kendali biaya tingkat nasional, KARS, maupun indikator lokal yang telah disusun oleh rumah sakit maupun puskesmas.

1 Kepatuhan identifikasi pasien 7 Kepatuhan penggunaan formularium nasional (FORNAS)
2 Emergency respon time < 5 menit 8 Kepatuhan cuci tangan
3 Waktu tunggu rawat jalan 9 Kepatuhan upaya pencegahan resiko cedera akibat pasien jatuh
4 Penundaan operasi elektif 10 Kepatuhan terhadap clinical pathway
5 Ketepatan jam visite dokter spesialis 11 Kepuasan pasien dan keluarga
6 Waktu lapor hasil tes kritis laboratorium 12 Kecepatan respon terhadap komplain

Referensi

  • Aboriginal Health & Medical Research Council. 2013. A literature Review About Indicators and Their Uses. Sydney, Australia. Aboriginal Health & Medical Research Council.
  • Bhisma Murti Cit Khoury MJ, Gwinn M, Loannidis JPA. 2010. The Emergence of Translational Epidemiology. America: American Journal of Epidemiology
  • Campbell, J Braspenning, A Hutchinson, M Marshall. 2016. Research Methods Used in Developing and Applying Quality Indicators in Primary Care
  • Donabedian, A. 2005. Evaluating The Quality of Medical Care. 1966. Biography Classical Article Historical Article. Milbank Q.
  • Koentjoro, Tjahjono. 2007. Regulasi Kesehatan di Indonesia. Yogyakarta: C.V Andi Offset.
  • Pencheon, D. (2008). The Good Indicators Guide: Understanding how to use and choose indicators:NHS Institute for Innovation and Improvement, Association of Public Health Observatories.
  • Rym Boulkedid et.,al. 2011.Using and Reporting the Delphi Method for Selecting Healthcare Quality Indicators A Systematic Review.
  • The Victorian Government Department of Human Services. 2008. A Guide to Using Data for Health Care Quality Improvement. Melbourne, Victoria: The Victorian Government Department of Human Services
  • Wollersheim, H., Hermens, R., Hulscher, M., Braspenning, J., Ouwens, M., Schouten, J., Grol, R. (2007). Clinical indicators: development and applications. Netherlands Journal of Medicine, 65(1),15-22.
  • https://www.qualityindicators.ahrq.gov/Default.aspx
  • https://medical-dictionary.thefreedictionary.com/quality+indicator
  • https://www.ahrq.gov/talkingquality/measures/six-domains.html.

 

Berbagai upaya akan dilakukan oleh organisasi untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggan, antara lain dengan penerapan sistem manajemen mutu yang efektif. Setiap organisasi tentu saja memiliki acuan tersendiri untuk menyusun sistem manajemen mutu yang akan diterapkan dalam pelaksanaan proses organisasi sehari-hari. Suatu organisasi akan dapat memahami secara menyeluruh sistem pelayanan yang diberikan jika mampu menggambarkan setiap komponen yang dapat mendukung berjalannya proses yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan, harapan dan nilai-nilai pelanggan.

Pemahan ini tentu saja akan dimulai dari memahami apa yang dimaksud dengan “Sistem”. Sistem adalah sekelompok komponen dan elemen yang digabungkan dan saling berhubungan dan menjadi satu untuk mencapai tujuan tertentu. Sistem berasal dari bahasa Latin (systēma) dan bahasa Yunani (sustēma) adalah suatu kesatuan yang terdiri komponen atau elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran informasi, materi atau energi untuk mencapai suatu tujuan. Sistem juga merupakan kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan yang berada dalam suatu wilayah serta memiliki item-item penggerak, seperti halnya di rumah sakit suatu sistem yang berjalan mulai dari pelayanan diagnosa dan tindakan untuk pasien, medical record, apotek, gudang farmasi, penagihan, database personalia, penggajian karyawan, proses akuntansi sampai dengan pengendalian oleh manajemen.

Manajemen adalah seni melaksanakan dan mengatur, secara bahasa kata manajemen berasal dari kata kerja “to manage” yang berarti mengurus, mengatur, mengemudikan, mengendalikan, menangani, mengelola, menyelenggarakan, menjalankan, melaksanakan dan memimpin. Menurut (Therry, 2006) dalam buku Principles of Management bahwa Manajemen adalah sebuah proses yang membedakan atas perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan dengan memanfaatkan baik ilmu maupun seni demi mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Sedangkan mutu adalah atribut dari suatu produk atau layanan. Perspektif orang yang mengevaluasi produk atau layanan memengaruhi penilaian atributnya.

Sedangkan pengertian mutu sudah banyak di bahas, termasuk pengertian mutu menurut Kementerian Kesehatan RI adalah kinerja yang menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan, yang disatu pihak dapat menimbulkan kepuasan pada setiap pasien (pelanggan) sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk, serta dipihak lain tata cara penyelenggaraannya sesuai dengan standar dan kode etik profesi yang telah ditetapkan. Beberapa pengertian mutu dari beberapa ahli yakni, menurut Crosby mutu merupakan kepatuhan terhadap standar yang telah ditetapkan. Menurut Zimmerman Mutu adalah memenuhi bahkan melebihi kebutuhan dan keinginan pelanggan melalui perbaikan seluruh proses secara berkelanjutan. Membicarakan mutu perlu dilakukan standardisasi agar pelayanan diberikan bermutu, yakni standar yang disampaikan oleh Donabedian meliputi: input (fasilitas, staf, peralatan, perlengkapan); proses (kepatuhan terhadap protocol dan standar asuhan keperwatan) serta hasil (kesembuhan, angka pasien hidup, komplikasi maupun hasil yang buruk).

Dapat disimpulkan bahwa sistem manajemen mutu adalah suatu komponen yang saling berhubungan yang menggunakan kebijakan yang sudah ditetapkan untuk memenuhi tujuan organisasi serta difokuskan pada kebutuhan pelanggan, lingkungan, efisiensi energi dan sejenisnya (Brent, 1989). Terdapat beberapa prinsip manajemen mutu menurut ISO 9001, 2015 yang perlu diketahui yakni Fokus kepada pelanggan, kepemimpinan, keterlibatan orang, pendekatan proses, peningkatan, pengambilan keputusan berbasis bukti, dan manajemen hubungan.

Implementasi dari sistem manajemen mutu adalah suatu keputusan strategis bagi suatu organisasi yang dapat membantu organisasi untuk meningkatkan kinerjanya secara keseluruhan dan menyediakan dasar yang kuat untuk inisiatif pembangunan berkelanjutan. Manfaat potensial suatu organisasi yang mengimplementasikan sistem manajemen mutu adalah suatu organisasi akan memiliki kemampuan untuk menyediakan produk dan jasa secara konsisten yang memenuhi kebutuhan pelanggan dan persyaratan hukum serta peraturan yang berlaku, dapat memfasilitasi peluang untuk meningkatkan kepuasan pelanggan, dapat menangani risiko dan peluang yang terkait dengan konteks dan tujuannya serta memiliki kemampuan untuk menunjukkan kesesuaian terhadap persyaratan sistem manajemen mutu yang ditentukan.

Berikut ini berbagai sistem manajemen Mutu

a. TQM

Total Management System atau disingkat dengan TQM adalah suatu sistem manajemen mutu yang berfokus pada Pelanggan dengan melibatkan semua level karyawan dalam melakukan peningkatan atau perbaikan yang berkesinambungan (secara terus-menerus) dan bagaimana sebuah organisasi memenuhi pelanggan. TQM menggunakan strategi, data dan komunikasi yang efektif untuk meng-integrasikan kedisplinan kualitas ke dalam budaya dan kegiatan-kegiatan perusahaan. Dalam pelaksanaan TQM semua anggota organisasi atau karyawan perusahaan harus berpartisipasi aktif dalam melakukan peningkatan proses, produk, layanan serta budaya dimana mereka bekerja sehingga menghasilkan kualitas terbaik dalam produk dan layanan yang pada akhirnya dapat mencapai tujuan kepuasan pelanggan (Lesley & Malcome, 1992)

b. Sistem Manajemen Mutu ISO 9000

Sistem Manajemen Mutu ISO 9000 mengarahkan bagaimana organisasi menerapkan praktek-praktek manajemen mutu secara konsisten untuk memenuhi kebutuhan pelanggan dan pasar. Membahas mengenai proses pencapaian suatu tingkat mutu tertentu. Hal ini mengisyaratkan bahwa lembaga yang akan mengadopsi sistem tersebut perlu menetapkan spesifikasi/persyaratan/karakteristik mutu produk dan prosesnya. Suatu organisasi harus memastikan penetapan proses, bagaimana proses tersebut saling berinteraksi, sumber daya apa yang diperlukan untuk menyajikan produk dan bagaimana prosesnya diukur serta ditingkatkan. Jika hal-hal tersebut telah ditetapkan, maka diperlukan penetapan suatu sistem pengendalian dokumentasi bersama pedoman mutu dan pengendalian terhadap catatannya. Sistem manajemen mutu ISO 9000 adalah sekumpulan prosedur terdokumentasi dan praktek-praktek standar untuk manajemen sistem yang bertujuan menjamin kesesuaian dari suatu proses dan produk (barang dan/ atau jasa) terhadap kebutuhan atau persyaratan tertentu.

c. Malcom Baldrige National Quality Award

Malcolm Baldrige digunakan untuk mengukur keunggulan kinerja. Kriteria yang digunakan dikenal juga sebagai 7 area/pilar Malcolm Baldrige. Dan jika diamati, tujuh kriteria ini memang sangat berperan dalam menentukan maju mundurnya sebuah organisasi (baik organisasi bisnis maupun organisasi publik). 7 area tersebut diantaranya kepemimpinan, strategi, pengukuraan analisis, manajemen, tenaga kerja, operasi dan hasil: Beberapa konsep kunci yang mendasari kriteria malcome baldrige national quality award (Lesley & Malcome, 1992), diantaranya:

  1. Mutu ditentukan oleh pelanggan
  2. Kepemimpinan senior dari bisnis dibutuhkan untuk menciptakan nilai mutu yang jelas dan memasukkan mutu ke dalam cara perusahaan beroperasi.
  3. Keistimewaan mutu yang diambil dari sistem dan proses yang dirancang dan ditetapkan dengan baik.
  4. Perbaikan secara terus menerus harus merupakan bagian manajemen sistem dan proses
  5. Perusahaan perlu mengembangkan sasaran-sasaran, demikian juga rencana berdasarkan strategu dan kegiatan untuk mencapai kepemimpinan mutu
  6. Memperpendek waktu untuk menanggapi semua kegiatan dn proses perusahaan perlu menjadi bagian dari upaya perbaikan mutu.
  7. Kegiatan dan keputusan perusahaan perlu dilandasi fakta dan data
  8. Semua pegawai harus dilatih dan dikembangkan sesuai dengan keahlian mereka dan dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan mutu.
  9. Rancangan mutu dan pencegahan kesalahan harus menjadi unsur penting dalam sistem mutu.

d. European Fondation Quality Management (EFQM)

Model Keunggulan EFQM adalah alat praktis dalam membantu organisasi mengukur di mana suatu keunggulan serta membantu memahami kesenjangan; dan menstimulasi solusi. Model EFQM merupakan kerangka kerja non-preskriptif yang diakui ada banyak pendekatan untuk mencapai keunggulan berkelanjutan. Dalam pendekatan ini ada beberapa konsep dasar yang menopang model EFQM diantaranya:

  1. Orientasi Hasil - Keunggulan adalah mencapai hasil yang mengesankan semua pemangku kepentingan organisasi.
  2. Fokus Pelanggan - Keunggulan menciptakan nilai pelanggan yang berkelanjutan.
  3. Kepemimpinan & Keteguhan Tujuan - Keunggulan adalah kepemimpinan visioner dan inspirasional, ditambah dengan tujuan.
  4. Manajemen Proses & Fakta - Keunggulan adalah mengelola organisasi melalui serangkaian sistem, proses, dan fakta yang saling terkait.
  5. Pengembangan & Keterlibatan Orang - Keunggulan adalah memaksimalkan kontribusi karyawan melalui pengembangan dan keterlibatan mereka.
  6. Pembelajaran Berkelanjutan, Inovasi & Peningkatan - Keunggulan menantang status quo dan melakukan perubahan dengan menggunakan pembelajaran untuk menciptakan inovasi dan peluang peningkatan.
  7. Pengembangan Kemitraan - Keunggulan mengembangkan dan memelihara kemitraan yang dapat menambah nilai.
  8. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan - Keunggulan melebihi kerangka peraturan minimum di mana organisasi beroperasi dan berusaha untuk memahami dan menanggapi harapan para pemangku kepentingan mereka di masyarakat

Disarikan oleh: Andriani Yulianti (Peneliti Divisi Manajemen Mutu, PKMK FK KMK UGM)

Referensi:

  1. Donabedian, A, 2003. An Introduction to Quality Assurance in Health Care. Oxford, Oxford University Press.
  2. European Foundation for Quality Management (EFQM) https://www.base-uk.org/knowledge/european-foundation-quality-management-efqm (diakses 21 januari 2022)
  3. James MD, Brent, 1989. Quality Management for Health Care Delivery, Catalog No 169501 ISBN 0-87258-537-9 Copyright by The Hospital Research and Educational Trust of the American Hospital Association
  4. Kementerian Kesehatan RI, 2015. Permenkes NO 45 Tahun 2015 tentang Akreditasi Puskesmas, klinik pratama, tempat praktik mandiri dokter, dan tempat praktek mandiri dokter gigi. Jakarta: Kementerian Kesehatan
  5. Lesley & Malcome, 1992. Implementing Total Quality Management, pitman publishing, London.
  6. Standar Internasional ISO 9001, 2015. Sistem Manajemen Mutu – Persyaratan, ISO 9001:2015 – For Training Only, Cognoscenti Consulting Group