Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Oleh: dr. Hanevi Djasri, MARS

art-6meiKeselamatan pasien atau patient safety merupakan hal yang marak dibicarakan dalam dunia medis belakangan ini. Pertemuan tahunan Joint Comission International tahun 2005 telah menekankan mengenai pentingnya pelayanan kesehatan yang aman. Kesalahan yang terjadi pada upaya pelayanan kesehatan adalah kesalahan dalam mendiagnosis, kesalahan dalam menggunakan alat bantu penegakan diagnosis, kesalahan dalam melakukan follow up, pengobatan yang salah atau kejadian yang tidak diharapkan setelah pemberian pengobatan. Permasalahan-permasalahan diatas dapat terjadi karena penggunaan teknologi yang tidak diimbangi kompetensi penggunanya, bertambahnya pemberi pelayanan kesehatan tanpa mengindahkan komunikasi antar individu serta tingginya angka kesakitan serta kecelakaan, perlunya pengambilan keputusan yang cepat dan tepat yang menyebabkan stressor tersendiri serta kelelahan yang dialami oleh para staff medis karena keterbatasan jumlah staff yang tersedia. Salah satu budaya patient safety adalah mengkomunikasikan kesalahan, melaporkan kesalahan dengan tetap berpegang pada keselamatan pasien dan belajar dari kesalahan dan mendesain ulang sistem keselamatan pasien yang lebih baik. Untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi, dicetuskan suatu ide sistem analisis yang proaktif sebagai strategi pencegahan error.

Root cause merupakan alasan yang paling mendasar terjadinya kejadian yang tidak diharapkan. Apabila permasalahan utama tidak dapat diidentifikasi, maka kendala-kendala kecil akan makin bermunculan dan masalah tidak akan berakhir. Oleh karena itu, mengidentifikasi dan mengeliminasi akar suatu permasalahan merupakan hal yang sangat penting. Root cause analysis merupakan suatu proses mengidentifikasi penyebab-penyebab utama suatu permasalahan dengan menggunakan pendekatan yang terstruktur dengan teknik yang telah didesain untuk berfokus pada identifikasi dan penyelesaian masalah.

Di Amerika telah dilakukan 2840 root cause analysis pada berbagai bidang, seperti kasus bunuh diri pada pasien rawat jalan, komplikasi post operatif, kesalahan pemberian obat, kematian pasien karena keterlambatan penanganan, kematian perinatal, kasus infeksi, kasus anestesi dan lainnya. Penelitian tersebut dilakukan di RS umum, RS jiwa, unit gawat darurat, unit psikiatri, long term care facility, home care facility dan laboratorium klinis. Root cause analysis dipercaya mampu menurunkan terjadinya kejadian yang tidak diharapkan.

Root cause analysis memberikan jalan keluar yang lebih baik, tidak sekedar "faktor A menyebabkan kejadian B", namun "Dengan mengubah faktor A, maka kemungkinan rekurensi kejadian B dapat dikurangi atau bahkan dicegah." Mempelajari root cause analysis secara tepat merupakan kajian yang penting untuk diperkenalkan kepada para pemberi pelayanan kesehatan.

Berikut ini adalah langkah-langkah RCA dan tools yang dapat digunakan pada setiap langkah

Langkah Deskripsi Note and Tools
1 Bentuk Tim (Organize a team) Anggota tim kurang dari 10
2 Rumuskan masalah (Define the problem) Brainstorming, multivoting, FMEA
3 Pelajari Masalah (Study the problem) Braintorm, flowchart, pareto, scatter, affinity diagram, etc
4 Tentukan apa yang terjadi (Determine what happen) Flow chart, timeline
5 Identifikasi faktor penyebab (Identify contributing factors) Control chart, tree analysis, FMEA
6 Identifikasi faktor-faktor lain yang ikut mendorong terjadinya insiden (Identify other contributing factors) Brainstorm, affinity diag, cause-effect diagram
7 Ukur, kumpulkan dan nilai data berdasar penyebab utama dan terdekat. (Measure, collect and assess data on proximate and underlying causes) Kembangkan indikator
8 Desain dan implementasikan perubahan sementara (Design and implement interim changes) Gantt chart
9 Identifikasi sistem mana yang terlibat (akar penyebab)(Identify which systems are involved (the root causes)) Flow chart, cause effect diag, FMEA, tree analysis (analisis pohon), barrier analysis
10 Pendekkan/kurangi daftar akar penyebab (Prune the list of root causes)
11 Pastikan/konfirmasikan akar penyebab (Confirm root causes)
12 Cari dan identifikasi strategi pengurangan risiko (Explore & identify risk-reduction strategies) FMEA
13 Formulasikan tindakan perbaikan (Formulate improvement actions) Brainstorm, flow chart, cause effect diagram (diagram sebab akibat)
14 Evaluasi tindakan perbaikan yang diajukan (Evaluate Proposes Improvement Actions)
15 Desain perbaikan (Design improvements) Gantt chart
16 Pastikan rencana diterima (Ensure acceptability of the action plan)
17 Terapkan rencana perbaikan (Implement the Improvement Plan) PDCA, critical path
18 Kembangkan cara pengukuran efektiftifitas dan pastikan keberhasilannya (Develop measures of effectiveness and ensure their success)
19 Evaluasi penerapan rencana perbaikan (Evaluate implementation of improvement plan) Run chart, control chart, histogram
20 Lakukan tindakan tambahan (Take additional action)
21 Komunikasikan hasilnya (Communicate the results)

 

 

Diringkas oleh : dr. M Hardhantyo

art29apr-2Rumah sakit seringkali mengalami kesulitan pada saat melakukan verivikasi identitas pasien pada saat terjadi transisi pelayanan. Seperti misalkan pada saat admisi masuk maupun pulang dari rumah sakit. Pasien seringkali berada di posisi yang tidak menguntungkan pada saat terjadi mis komunikasi antara pihak administrasi dengan pihak dokter atau perawat. Dimana biasanya terdapat informasi petunjuk pelayanan yang hilang.

Berdasarkan data yang ada sekitar 67% pasien yang masuk kedalam rumah sakit mendapatkan pengobatan yang berbeda dari yang seharusnya diperintahkan, hal ini terjadi karena informasi yang diberikan tidak lengkap atau pencatatan administrasi yang kurang. Persentase ini akan meningkat apabila lebih tinggi apabila pasien tersebut pulang. Banyak sekali informasi dari dokter yang tidak sampai kepada pasien maupun informasi yang salah yang diterima pasien. 11-59% dari informasi tersebut ternyata membahayakan. Tetapi kejadian yang berdampak secara klinis biasanya hanya berefek pada beberapa pasien.

Dari data-data tersebut saat ini dikembangkan penanganan pasien secara komprehensif, termasuk pada rekonsiliasi pelayanan medis pada saat transisi pelayanan. Hal ini menjadi persyaratan penting untuk proses akreditasi di Amerika Serikat.

Konsep pengembangan yang dilakukan adalah dengan BPMH (Best Possible Medication History). BPMH ini lebih komprehensif serta akurat dibandingkan dengan rekam medis yang sering dilakukan, karena melibatkan 2 langkah verivikasi pelayanan pada pasien yakni: proses sistematik untuk mendapat sejarah pengobatan baik yang diresepkan maupun yang tidak diresepkan menggunakan wawancara terstruktur dan verivikasi informasi tersebut menggunakan setidaknya 1 atau lebih sumber informasi yang terpercaya seperti database pemerintah, vial obat, riwayat pengobatan pasien, farmasis dan lainnya.

BPMH ini bertujuan untuk mengkoreksi pelayanan medis yang diberikan pada pasien agar tidak terjadi kesalahan antara pengobatan sebelumnya dengan proses-proses kunci seperti pada saat melakukan home care, transfer pasien antar rumah sakit, transfer pasien dari ruang ICU ke bangsal, dan lainnya.

art29apr-2a

Gambar diatas menjelaskan mengenai alur dari BPMH dimana informasi dikumpulkan sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber yang valid pada saat pasien masuk ke RS dalam bentuk rekonsiliasi admisi masuk, yang kemudian pada saat pulang dilakukan BPMDP yakni best possible medication discharge plan yang merekonsiliasi rencana pasien secara komprehensif pada perawatan dirumah, baik untuk jadwal pengobatan serta penjelasan mengenai kesimpulan pengobatan dari dokter.

Dengan cara ini maka seluruh masalah yang terdapat pada pasien akan terdokumentasikan serta terdata dengan baik, cara ini juga diperkirakan dapat mengurangi keluhan pasien saat pulang kerumah, karena berdasarkan data dari 3 penelitian RCT diketahui bahwa kunjungan kembali pasien ke UGD 30 hari pasca perawatan berkurang secara signifikan.

Referensi :

Janice L.Kwan et al. (2013). Medication Reconciliation During Transitions of Care as a Patient Safety Strategy. Annals of Internal Medicine. Volume 158. No 5.

Diringkas oleh : dr. Sitti Noor Zaenab, M.Kes

art29apr-3Masalah dalam pelayanan yang berhubungan dengan diagnosis sering menjadi penyebab kasus tuntutan hukum. Beberapa penulis menyatakan bahwa kesalahan diagnosis akan menyebabkan kerugian pada pasien, namun lebih mudah dicegah dari pada kesalahan yang berhubungan dengan pengobatan (seperti pembedahan pada tempat yang salah atau dosis obat yang tidak tepat), menyebabkan masalah ini menjadi penting.

Target keselamatan pasien yang terkait dengan kesalahan diagnosis meliputi diagnosis yang "tertunda secara tidak sengaja" (informasi yang cukup sudah tersedia sebelumnya), "diagnosis yang keliru" (diagnosis lain telah dibuat sebelum diagnosis yang benar) atau "diagnosis terlewat" (tidak ada diagnosis yang diberikan). Diagnosis yang terlewat, terlambat, atau tidak tepat dapat menyebabkan pelayanan pasien yang tidak pada tempatnya, kondisi pasien yang buruk, dan biaya yang meningkat.

Dalam jurnalnya, Kathryn, M et al. (2013) menjelaskan bahwa 2 - 61 % pasien mengalami diagnosis terlewat atau tertunda. Dalam survey tentang kedokteran anak, 54% mengakui telah salah mendiagnosis setidaknya satu kali dalam sebulan, dan 45% menyatakan melakukan kesalahan diagnosis yang menyakiti pasien paling sedikit sekali dalam satu tahun. Kurangnya informasi historis atau klinis yang berhubungan dengan itu serta proses tim (contohnya koordinasi perawatan yang tidak memenuhi) turut menyumbang dalam kesalahan.

Kathryn, M et al. (2013) menyatakan adanya pendekatan strategi keselamatan pasien (Patient Safety Strategies/PSS) yang mengarah pada jenis kesalahan diagnosisi, akar penyebab kesalahan atau teknologi tertentu yang tersedia. Berikut kategori tindakan organisasi untuk mengurangi kesalahan diagnosis

  1. Teknis: Strategi teknis menjelaskan mengenai peenemuan tindakan-tindakan yang dapat mengembangkan diagnosis (contohnya pengembangan visual melalui biopsi dengan panduan ultrasonografi, perubahan pada jumlah inti biopsi, colonoscopy yang dicocokkan dengan struktur cap) atau tidak membuatnya lebih buruk (contohnya tindakan medis untuk meringankan nyeri pada pasien yang mengalami sakit perut).
  2. Perubahan Personal: Pengenalan anggota-anggota pelayanan kesehatan tambahan dan mengganti pegawai tertentu dengan yang lain
  3. Tindakan Edukasional: Implementasi strategi pendidikan, kurikulum pelatihan setempat dan pemeliharaan perubahan sertifikasi
  4. Perubahan Proses Terstruktur: Implementasi pengumpan balik atau tahap-tahap tambahan dalam tahapan diagnosis
  5. Tindakan Sistem berbasis Teknologi: Implementasi perangkat berbasis teknologi pada tingkat sistem seperti menolong diagnosis dengan bantuan komputer, algoritma pendukung keputusan, sinyal pesan teks dan sinyal perantara
  6. Metode-metode Peninjauan lainnya: Pengenalan tinjauan-tinjauan tambahan terhadap hasil uji, dari pelaporan hingga interpretasi

Kathryn, M et al. (2013) menyatakan bahwa bukti paling kuat terdapat pada sistem yang berdasar pada teknologi (contoh: pemberitahuan melalui SMS) dan teknik spesifik (contoh adaptasi peralatan tes). Selain itu, Kathryn, M et al. (2013) juga menjelaskan dengan mengadakan diagnosis yang tepat dengan strategi pengujian yang tidak efisien (misalnya menentukan urutan tes) bukan menjadi jalan yang tepat untuk meningkatkan keamanan diagnosis.
Sudah saatnya penelitian-penelitian tentang keselamatan pasien digalakkan disini. Hasil penelitian dipakai untuk membuat regulasi yang ketat dan ditegakkan dengan adil, sehingga para pasien yang membutuhkan penyembuhan dan para tenaga kesehatan yang menjalankan tugas dengan benar dan penuh dedikasi mendapat perlindungan yang memadai.

Referensi :

Kathryn, M et al. (2013). Patient Safety Strategies Targeted at Diagnostic Errors : A systematic Review. Annals of Internal Medicine. Volume 158. No 5.

Diringkas oleh : Andriani Yulianti SE.,MPH

art29aprPelayanan keperawatan merupakan ujung tombak utama suatu pelayanan kesehatan di Rumah Sakit dan merupakan cermin utama dari keberhasilan suatu pelayanan kesehatan. Sehingga perlu dilakukan pembenahan terkait dengan rasio kecukupan perawat dibandingkan dengan jumlah pasien dan pembenahan tersebut bisa diibaratkan sebagai bentuk strategi dalam keselamatan pasien.

Untuk melakukan perbaikan yang terkait dengan kecukupan perawat secara tepat sesuai dengan fungsi pelayanan setiap unit khususnya bagian keperawatan sebenarnya di indonesia tidak begitu sulit karena menteri kesehatan menjelaskan bahwa rasio kecukupan perawat di Indonesia sudah memenuhi standar WHO yakni sekitar 220.575 orang perawat dan ini sangat cukup untuk memberikan pelayanan. Namun kecukupan ini juga tak jarang mengalami masalah terkait dengan pendistribusiannya maupun kualitas sumber daya manusia perawat itu sendiri, karena masing-masing memiliki kompetensi yang berbeda-beda sehingga meskipun rasio dirasa cukup namun juga tidak serta-merta dapat menurunkan jumlah kematian.

Shekelle (2013) menjelaskan bahwa permasalahan dari rasio pasien ini terjadi karena sebagian kecil pasien meninggal selama setelah dilakukan rawat inap. Hal ini terjadi karena tidak ada evaluasi terkait strategi keselamatan pasien mengenai perubahan yang dilakukan untuk penempatan perawat dalam meningkatkan hasil dari pelayanan pasien. Namun demikian, ada beberapa faktor yang diusulkan terkait dengan yang menjadi faktor penyebab hubungan antara pelayanan perawat dan kematian di Rumah Sakit yakni kelelahan perawat, kepuasan kerja, kerjasama tim, pergantian perawat, kepemimpinan keperawatan di RS dan lingkungan praktek keperawatan.

Adapula dalam sistematik review tersebut dijelaskan bahwa ada hal lain yang dapat mempengaruhi mengapa pelayanan perawat yang efektif dapat menurunkan kematian pasien yang dirawat di RS yakni dengan memperbanyak staf, pendidikan staf yang lebih baik atau lingkungan kerja yang lebih baik, seperti penelitian Aiken dkk (2002) yang menjelaskan beberapa fakta bahwa rasio pasien-perawat, jika digabung dengan keterampilan staff bisa meningkatkan penjagaan yang lebih baik yang mana jika dengan beberapa faktor. seperti pada gambar 1 yang menjelaskan bahwa ada 2 target yang ingin dicapai yakni ketika ingin mendapatkan hasil perawat dan hasil pasien yang diinginkan/sesuai, maka organisasi rumah sakit akan mendapatkan hasil perawat yang memuaskan, apabila memiliki organisasi yang mendukung pelayanan pasien seperti (sumber daya yang memadai, otonomi perawat, pengawasan perawat, hubungan para klinis-perawat) dan apabila hal tersebut diproses dengan baik maka akan menghasilkan hasil pasien yang baik.

Berikut diagram dukungan organisasi terhadap pelayanan keperawatan yang digambarkan oleh Aiken dkk (2002)

Gambar 1: Organisasi Rumah Sakit, organisasi Perawat, dan hasil pelayanan keperawatan.

art29apr-1

Shekelle (2013) meyatakan bahwa rasio kecukupan perawat memiliki hubungan yang erat dengan penurunan kematian di rumah sakit. Ada beberapa penyebab terkait dengan kejadian kematian yakni kurangnya evaluasi perubahan staf yang sudah diregistrasi dari beberapa nilai awal (Misalnya, 6 pasien untuk 1 perawat di bangsal medis umum) untuk beberapa nilai yang lebih rendah tingkat kematiannya yakni rasio kecukupan perawat-pasien (seperti 5:1 atau 4:1) seperti yang sudah digambarkan dalam beberapa artikel ketika rasio perawat-pasien sebesar 4:1 maka akan mengalami peluang kematian sebesar 62% kematian. Hal ini lebih baik dibandingan dengan yang lainnya. Dalam semua studi longitudinal yang dipublikasikan untuk saat ini telah dinilai bahwa perawat yang teregistrasi dalam kepegawaian dinilai dapat mengurangi jumlah kematian namun juga kenyataannya tetap saja kematian tidak berkurang dengan meningkatnya jumlah staf perawat. Hal ini terjadi karena kurangnya evaluasi yang ketat, tingkat respons rendah sehingga perlu dilakukan evaluasi lanjutan.

Diindonesia juga ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengevaluasi ketika terjadi kejadian serupa baik penurunan motivasi, penurunan prestasi kerja (seperti:sering tidak masuk kerja, datang terlambat, penyelesaian pekerjaan semakin lambat). Hal ini bisa terjadi karena kurangnya peran dari organisasi rumah sakit (pimpinan khususnya) karena perannya tidak dirasakan oleh tenaga perawat dan diperparah lagi dengan tidak adanya reward serta beban kerja yang berat dan tenaga yang kurang. Bila hal ini sudah terjadi maka perlu segera dilakukan analisa ketenagaan seperti yang dikemukakan oleh Setyowati dalam melakukan evaluasi kecukupan tenaga keperawatan ada sejumlah pertanyaan yang harus dijawab oleh perencana tenaga perawat di rumah sakit, seperti dibawah ini:

  1. Apakah tenaga yang ada saat ini sudah cukup ? untuk itu perlu dilakukan analisis jumlah dan jenis tenaga yang ada pada setiap unit perawatan di rumah sakit. Perlu dilakukan pengamatan yang seksama terhadap beban kerja, jumlah tenaga, dan kompetensi yang ada.
  2. Perencanaan harus dapat memprediksi situasi yang akan datang terutama terhadap perubahan tuntutan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan di masa datang
  3. Merencanakan pelatihan-pelatihan dan rotasi tenaga perawat untuk menyesuaikan beban kerja dan tuntutan pelayanan di masa depan.
  4. Dilakukan analisis beban kerja tenaga perawat yang ada. Beban kerja dapat dilihat atau dibandingkan antara jumlah tenaga dan volume kerja yang harus dikerjakan pada satuan waktu tertentu. Pola beban kerja biasanya pagi dan siang hari lebih besar dibandingkan sore dan malam hari bila dilihat dari kunjungan pasien.
  5. melakukan inventarisasi keahlian personal yang ada sebagai informasi manajemen untuk mengetahui jumlah personal profesional dan non profesional.
  6. Analisis model kerja yang dilakukan oleh perawat/metoda yang digunakan dalam memberikan asuhan keperawatan apakah metoda fungsional,metoda tim,metoda primer,atau metoda sekunder.

Diindonesia juga ada Kepmenkes yang mengatur tentang penyusunan perencanaan sumber daya manusia kesehatan nomor 81/Menkes/SK/1/2004 bahwa ada pedoman-pedoman yang perlu diperhatikan agar dapat mengevaluasi kecukupan tenaga kesehatan dengan cara melihat Kebijakan dan Strategi Desentralisasi Bidang Kesehatan, bahwa dalam memantapkan sistem manajemen SDK Kesehatan perlu dilakukan peningkatan dan pemantapan perencanaan, pengadaan tenaga kesehatan, pendayagunaan dan pemberdayaan profesi kesehatan. Pengelolaan SDM Kesehatan khususnya perencanaan kebutuhan SDM Kesehatan dikatakan selama ini masih bersifat administratif kepegawaian dan belum dikelola secara profesional, masih bersifat top down dari pusat, belum bottom up (dari bawah), belum sesuai kebutuhan organisasi dan kebutuhan nyata di lapangan, serta belum berorientasi pada jangka panjang, untuk itu diharapkan agar pemegang kebijakan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit untuk dapat mengantisipasi masalah-masalah kesehatan yang mungkin akan terjadi, karena SDM Kesehatan merupakan bagian tidak terpisahkan dari pelayanan kesehatan terutama pelayanan keperawatan.

Referensi :

Shekelle, P. (2013). Nurse-Patient Ratios as a patient Safety Strategy. Annals of Internal Medicine. Volume 158. No 5.

Ada dua masalah dalam keperawatan Indonesia. http://www.antaranews.com/berita/362288/ada-dua-masalah-dalam-keperawatan-indonesia