Hari II: Patient Experience: Intervensi Mikro dan Makro dalam Meningkatkan Pengalaman Pasien
Sesi Pleno
Sesi Keynote: Wellness-centred Healthcare: The Time to Act is Now
oleh: Vahe Ayvazian, Divisional Vice President, Global Marketing, Core Diagnostics, Abbott, USA
(catatan editor: kembali sesi ini merupakan contoh salah satu sesi yang disponsori oleh industri besar pelayanan kesehatan, dan sama seperti sesi-sesi mereka sebelumnya, presenter dan lembaga yang diwakili tidak memaparkan secara langsung produk, namun lebih kearah menjelaskan konsep dan inovasi yang mereka gunakan. Meski demikian memang waktu yang dialokasikan lebih banyak pada paparan latar belakang masalah, sedangkan inovasi dan evaluasinya porsinya lebih sediit, mungkin ini salah statu strategi marketing mereka. Hal ini berbeda dengan beberapa pembicara praktisi RS, khususnya dari sesi SingHealth dan Jhon Hopkin yang para pembicaranya langsung to the point memaparkan inovasi yang mereka kerjakan dan hasil evaluasi serta tindak lanjutnya)
Vahe Ayvazian, telah berkarier lebih dari 17 tahun di dunia pemasaran dan transformasi kesehatan, saat ini memfokuskan dirinya pada kolaborasi global untuk menghadirkan kinerja layanan kesehatan yang lebih baik melalui inovasi laboratorium, dengan mengatakan bahwa “diagnostik adalah benang biru yang menyatukan seluruh ekosistem kesehatan”.
Ayvazian menekankan bahwa 70% keputusan klinis didasarkan pada tes laboratorium. Namun, apakah data laboratorium sudah benar-benar dimanfaatkan untuk mendorong hasil yang lebih baik? Lebih lanut dia menyampaikan sebuah studi kasus dari Inggris yang memperlihatkan kekuatan transformasi diagnostik, dimana penggunaan high-sensitivity troponin mampu memangkas lama rawat inap hingga 58%, menurunkan rawat inap dari IGD sebesar 37%, serta menghemat hampir 800 ribu euro dalam satu rumah sakit. “Pencapaian ini tidak mungkin terjadi tanpa kolaborasi lintas disiplin seperti IGD, kardiologi, perawat, hingga laboratorium,” tegasnya.
Ke depan, ia memetakan lima tren besar: kesehatan holistik, manajemen kesehatan masyarakat, integrasi teknologi diagnostik ke dalam kehidupan sehari-hari, desentralisasi layanan, serta penciptaan kesehatan (beyond not being sick). Tren ini menuntut kolaborasi semua pihak termasuk industri, pemerintah, dan sistem kesehatan, untuk mengoptimalkan peran diagnostik dalam menciptakan nilai dan hasil kesehatan yang lebih baik.
“Pasien tidak hanya ingin tidak sakit. Mereka ingin sehat, bugar, bahkan dapat berlari maraton. Laboratorium punya peran besar untuk mewujudkan itu,” pungkasnya.
Sesi 1: From Vietnam to the World: Building Centres of Excellence in Southeast Asian Healthcare: Establishing Quality Benchmarks in Local Healthcare that Meet Global Standards; Leading a Patient-centric Healthcare Evolution; Sustainable Leadership and Talent Development; Positioning Vietnam as a Regional Medical Tourism Hub.
Oleh: Dr Truong Vinh Long, Deputy Chairman, Strategic Committee of Hoa Lam Shangri-La High Tech Healthcare Park, Hoa Lam Group, Vietnam; Dr Jean-Marcel Guillon, Founder & CEO, FV Hospital, Vietnam; Le Thuy Anh, Chairwoman, Vinmec International Healthcare System, Vietnam; Huynh Bich Lien, Group Chief Executive Officer, Hoan My Medical Corporation, Vietnam Niru Rajakumar, CEO, Amalga (by McCrae Tech), New Zealand
Sesi ini dibawakan dalam sebuah diskusi panel, untuk berbagi pengalaman terkini Vietnam dalam mengembangkan pelayanan kesehatan pada tingkat excellence. Dibuka oleh Neeru, perwakilan dari Selandia Baru yang memiliki pengalaman luas di Asia Pasifik, Eropa, dan Amerika, menyoroti pentingnya kemitraan antara rumah sakit lokal dengan organisasi global. Ia mencontohkan kasus di Vietnam, di mana kapasitas rumah sakit seringkali melebihi 150–300% hingga pasien harus berbagi tempat tidur. “Masalah ini tidak hanya terjadi di Vietnam, tapi di seluruh dunia. Kita perlu belajar dari praktik terbaik global, khususnya dalam memperkuat pencegahan dan manajemen penyakit tidak menular seperti diabetes dan penyakit jantung,” ujarnya.
Dari sisi sektor swasta, Ms. Lien, pimpinan Hoan My, menjelaskan bahwa rumah sakit swasta kini menjadi pemain penting, melayani sekitar 25% dari jumlah rumah sakit di Vietnam. Hoan My, yang sudah beroperasi selama 28 tahun, terus meningkatkan kualitas layanan dengan mengadopsi teknologi terbaru seperti MRI 3.0 dari GE serta membangun laboratorium otomatis. “Kami tidak hanya memenuhi standar Kementerian Kesehatan, tetapi juga mengadopsi akreditasi internasional seperti Australian Council for Healthcare Standards,” katanya.
Ms. Han dari Greenlight Healthcare menambahkan bahwa standardisasi praktik medis dan perubahan budaya kerja menjadi kunci untuk menghadirkan kualitas global ke konteks lokal. Greenlight, dengan sembilan rumah sakit di seluruh negeri, menerapkan safety huddle harian serta Patient Reported Outcome Measures (PROMs) untuk memastikan kualitas pelayanan benar-benar dirasakan pasien. “Budaya dimulai dari kepemimpinan. Pemimpin harus menjadi teladan dalam membangun budaya keselamatan dan kualitas,” tegasnya.
Sementara itu, Dr. Long menekankan pentingnya kepemimpinan dan digitalisasi untuk menyatukan layanan yang saat ini masih terfragmentasi. Ia menyoroti perlunya sistem rekam medis elektronik (EMR) yang terhubung lintas rumah sakit publik maupun swasta agar data pasien terintegrasi. “Masa depan kesehatan adalah menempatkan pasien sebagai prioritas utama, bukan hanya mesin atau pendapatan rumah sakit,” ujarnya.
Diskusi ditutup dengan pandangan Dr. Gillian mengenai potensi Vietnam sebagai hub wisata medis. Ia menyebut bahwa transformasi layanan kesehatan Vietnam dalam dua dekade terakhir membuka peluang besar untuk menarik pasien dari luar negeri. “Vietnam punya fasilitas, tenaga dokter, dan teknologi yang memadai, ditambah biaya yang kompetitif. Namun, dukungan kebijakan pemerintah tetap krusial untuk menjadikan Vietnam sebagai destinasi medis seperti Thailand, Malaysia, atau India,” jelasnya.
Dengan semangat kolaborasi antara publik dan swasta, serta adopsi standar global yang disesuaikan dengan konteks lokal, para panelis sepakat bahwa Vietnam tengah berada di jalur penting menuju sistem kesehatan yang lebih efisien, aman, dan berorientasi pada pasien.
Sesi Paralel I: Hospital @ Home
(catatan editor: Sesi ini sebenarnya masuk kedalam sesi Leadership, namun ketiga pembicara menyampaikan hal teknis tentang bagaimana mengembangkan dan menerapkan konsep “hospital without wall” yang sudah lama dikenal, dalam sesi ini para pembicara memberikan detail pelaksanaan konsep ini di rumah sakit masing-masing dan menurut editor merupakan salah satu inovasi luar biasa dalam penerapan patient experience, suatu hal yang perlu segera diterapkan oleh RS di Indonesia)
Dalam konferensi ini, tiga pembicara dari Singapura, Australia, dan Taiwan berbagi pengalaman, tantangan, dan peluang dalam mengembangkan layanan Hospital at Home (H@H) atau istilah lain Hospital in the Home (HIHT). Meskipun konteks dan pendekatannya berbeda, ketiganya menekankan bahwa H@H bukan sekadar memindahkan perawatan dari rumah sakit ke rumah, melainkan membutuhkan transformasi sistem kesehatan secara menyeluruh—mulai dari sumber daya manusia, teknologi, infrastruktur, hingga regulasi dan indikator kinerja.
Sesi I: 10 reasons why you shouldn’t scale Hospital-at- Home
oleh Johnny Chan, Operations Lead, NUHS@Home, National University Health System (NUHS), Singapore
Pembicara dari National University Health System (NUHS) Singapura memaparkan bagaimana NUHS mengembangkan hospital@home yang diawali dengan “virtual ward” yang terdiri dari 3 tempat tidur pada tahun 2020, berkembang menjadi 100 tempat tidur pada tahun 2025, serta diharapkan meningkat menjadi 400 tempat tidur pada tahun 2030. Pembicara menekankan kompleksitas dalam melakukan scaling up layanan tersebut. Tantangan pertama adalah keterbatasan tenaga medis, terutama perawat, yang tidak bisa direkrut secara instan. Oleh karena itu, rumah sakit perlu menentukan keseimbangan antara tenaga lokal yang dipekerjakan langsung dan layanan yang di-outsourcing ke vendor.
Permasalahan lain adalah sulitnya memprediksi permintaan. Tingkat okupansi virtual ward berfluktuasi seperti grafik pasar saham, sehingga menyulitkan perencanaan jumlah tenaga dan sumber daya. Di sisi lain, meski disebut “virtual hospital”, layanan ini tetap memerlukan infrastruktur fisik, seperti command centre, ruang logistik, transit lounge, serta pusat pelatihan.
Skalabilitas juga menuntut redefinisi indikator kinerja. KPI tradisional rumah sakit seperti bed occupancy rate atau length of stay tidak sepenuhnya relevan karena setiap 1 rumah pasien dapat dianggap sebagai 1 tempat tidur. Maka, tim perlu merancang indikator baru sambil tetap bisa meyakinkan manajemen rumah sakit dengan bahasa KPI yang familiar.
Singapura juga menghadapi hambatan teknologi. Sistem informasi rumah sakit tidak dirancang untuk proses di luar dinding rumah sakit. Misalnya, tidak ada “pneumatic tubes” untuk mengirim sampel laboratorium dari rumah pasien, sehingga harus mengandalkan kurir, jadi meski disebut sebagai virtual bed, namun mereka tetap membutuhkan pelayanan penunjang dan pendukung yang secara fisik “riil”.
Pembicara menekankan bahwa scaling up H@H bukanlah proses linear, melainkan serangkaian breakdowns yang mengharuskan perombakan struktur, pembagian peran yang lebih spesifik, inovasi teknologi, dan manajemen perubahan di level staf. Kesimpulannya, HaH hanya dapat berkembang jika tenaga kesehatan dan manajemen berani “membangun ulang rumah sakit tanpa dinding” dan siap melakukan transformasi total.
Sesi 2: Comprehensive Care at Home: Managing Complex Care Needs and Coordinating Services While Ensuring Patient Safety in The Home
oleh Dr AnnMarie Crozier, HITH Medical Director, Sydney Local Health District, Australia
Pembicara dari New South Wales (NSW), Australia, menyoroti sejarah panjang Hospital in the Home (HITH) di negaranya, khususnya di Victoria yang sudah berjalan lebih dari 30 tahun. COVID-19 mempercepat adopsi model ini, karena banyak pasien memilih dirawat di rumah bersama keluarga. Pemerintah Australia, baik federal maupun negara bagian, kini aktif mendukung HITH melalui pendanaan signifikan: AUD 31 juta dari NSW dan AUD 56 juta dari pemerintah pusat, serta AUD 140 juta untuk perawatan lansia. Dengan dana tersebut, layanan HITH diharapkan tumbuh 10–15% per tahun, dengan target minimal dapat merawat 5% dari seluruh rawat inap di rumah sakit publik NSW. (catatan pertanyaan editor: bagaimana dengan Indonesia? Apa sudah ada regulasi, prosedur, mekanisme pembiayaan, dan sebagainya?).
Tim HITH di NSW terdiri dari dokter umum, geriatricians, spesialis penyakit infeksi, perawat berpengalaman di ICU atau gawat darurat, serta tenaga allied health. Selain perawatan medis akut, tim juga menilai kebutuhan sosial, dukungan keluarga, dan menghubungkan pasien dengan layanan aged care atau disabilitas.
Inovasi terbaru di NSW adalah Emergency HITH—layanan berbasis mobil dengan dokter dan perawat yang bisa langsung datang ke rumah membawa peralatan medis lengkap (IV therapy, USG portabel, EKG, hingga point-of-care testing). Dalam 2,5 tahun, layanan ini menerima lebih dari 1.300 rujukan, dengan 90% pasien tetap dapat dirawat di rumah. Pasien dan keluarga menyatakan sangat puas karena perawatan diberikan di lingkungan rumah sendiri.
Sesi 3: Creating a Virtual Hospital without Walls by Connecting Community Resources and Technology
oleh Dr Tzu-Hua Huang, Director, Good Home Clinic (Taiwan Society of Home Health Care), Taiwan
(catatan editor: sesi ini membuktikan bahwa inovasi luar biasa tidak harus datang dari rumah sakit besar, pembicara dari Taiwan ini berhasil menghadirkan perspektif unik karena berasal dari sebuah klinik komunitas. Ia mendirikan HealthSoul Clinic pada 2020, yang kini memiliki tim 60 orang dan fokus pada perawatan di rumah, rehabilitasi pasca-akut, hingga perawatan terminal).
Program Virtual Hospital without Walls di Taiwan baru dimulai pada 2023. Dalam enam bulan, telah terdaftar 2.000 pasien, dengan hasil positif: lama rawat lebih singkat (40% lebih pendek) dan biaya hanya setengah dari rawat inap di rumah sakit. Solusi yang dikembangkan adalah pembentukan regional home care support centers yang didukung pemerintah dan asosiasi profesi. Pusat ini menyediakan pelatihan, dukungan on-call 24 jam, logistik, perangkat medis portabel, serta koordinasi antara rumah sakit dan penyedia komunitas.
Kunci lain adalah digitalisasi. Taiwan sedang membangun platform data terstandarisasi berbasis FHIR, DICOM, LOINC, dengan integrasi EMR dan perangkat monitoring. Data terstruktur ini memungkinkan penggunaan AI, misalnya untuk optimasi rute kunjungan atau ringkasan catatan medis berbasis suara. Pemerintah akan berinvestasi lebih dari USD 30 juta per tahun selama empat tahun untuk mengembangkan teknologi ini.
Pembicara menutup dengan visi bahwa Virtual Hospital without Walls pada akhirnya bukan sekadar “hospital to home” (dari rumah sakit ke rumah) atau “hospital from home” (berbasis komunitas), melainkan “hospital is home”—layanan kesehatan yang sepenuhnya melebur dengan kehidupan sehari-hari pasien.
Sesi Paralel II: Staf Experience
(catatan editor: sesi ini merupakan sesi terakhir pada rangkaian patient-staff expereince, konsep dasarnya adalah tidak mungkin dapat memberikan pelayanan dengan pengalaman pasien yang baik bila experience para staf dalam bekerja tidak dipastikan baik juga. Sesi ini menampilkan salah satu pembicara yang berasal dari Indonesia, meskipun delegasi peserta Indonesia termasuk yang terbanyak, lebih dari 100 orang, namun hanya ada 2 pembicara yang berasal dari Indonesia, diharapkan ditahun-tahun mendatang akan lebih banyak pembelajaran yang akan berasal dari negara kita)
Sesi 1: Integrating and Managing Total Workplace Safety and Health: Tan Tock Seng Hospital’s Strategic Approach
oleh Dr Pauline Yong, Director, Operations (Workplace Safety & Health), Tan Tock Seng Hospital, Singapore
Pembicara dari Tan Tock Seng Hospital (TTSH), Singapura memaparkan perjalanan panjang rumah sakit yang telah berdiri sejak 1844 dengan kapasitas 2.500 tempat tidur dan menangani lebih dari 700 ribu kunjungan rawat jalan serta 8.000 kasus ambulans setiap tahun. Dengan ukuran yang besar dan sejarah panjang dalam penanganan penyakit menular, TTSH menjadi pusat utama pencegahan dan manajemen penyakit infeksi di Singapura.
Sebelum pandemi, sistem keselamatan kerja dan kesehatan di rumah sakit bersifat terpisah-pisah: fasilitas, kesehatan okupasi, komunitas, dan revenue berjalan sendiri-sendiri. Namun pada 2020, ketika COVID-19 merebak, terbentuk Local Safety Council yang menyatukan semua pihak. Krisis tersebut menekankan pentingnya resource management non-finansial, khususnya tenaga kerja, serta perlunya pergeseran mindset dari melihat staf hanya sebagai karyawan menjadi melihat mereka sebagai bagian dari workforce yang harus dijaga.
Tantangan besar muncul terkait penggunaan APD, terutama masker. Rumah sakit harus membuat keputusan cepat: apakah menyediakan untuk semua staf, termasuk tenaga kontrak, atau hanya sebagian. Hasilnya, TTSH mengedepankan prinsip “workforce safety first” dengan kalibrasi berbasis risiko. Rumah sakit juga memperkuat sistem pemantauan siapa saja yang masuk dan keluar area rumah sakit, serta memperkenalkan program staff protection yang melibatkan kontrak formal dengan vendor penyedia tenaga.
Selain itu, TTSH membentuk Office for the Protection of Employees (OPE) untuk menangani isu kekerasan di tempat kerja, termasuk pelecehan verbal maupun fisik yang sering dialami staf medis. Pendekatan yang dilakukan antara lain memberikan written reminder kepada pelaku, bahkan jika pasien atau keluarga melakukan pelecehan, untuk menekankan bahwa tindakan tersebut mengganggu keselamatan staf dan kualitas layanan.
Strategi lain yang diperkenalkan adalah penggunaan model CREST: Cultivating a Culture of Safety; Risk stratification; Engagement; Surveillance; Training. Pendekatan ini menekankan bahwa setiap staf, dari yang paling junior hingga senior, memiliki peran dalam keselamatan kerja. Melalui survei berkala setiap enam bulan, terlihat peningkatan resiliensi staf dan keterlibatan dalam membangun lingkungan kerja yang lebih aman.
Sesi 2: Using Wellness as a Business Strategy to Increase Hospital Staff Productivity
oleh Dr Pradono Handojo, CEO, RS Islam Jakarta Cempaka Putih, Indonesia
Presentasi oleh CEO RS Islam Jakarta ini menyoroti bagaimana wellness program dijadikan strategi bisnis untuk meningkatkan produktivitas staf rumah sakit. Sejak menjabat pada 2020, pembicara melihat masalah serius: banyak dokter dan perawat mengalami obesitas, kelelahan, stres, pola makan buruk, dan gaya hidup tidak sehat, meski mereka bekerja di sektor kesehatan. Melalui pemeriksaan kesehatan tahunan, ditemukan pola bahwa semakin tinggi jabatan staf, semakin meningkat pula masalah obesitas dan penyakit metabolik (hipertensi, diabetes, kolesterol tinggi). Kondisi ini berdampak pada kehilangan dokter spesialis produktif di usia muda karena penyakit yang dapat dicegah.
Untuk mengatasi hal ini, RS Islam Jakarta meluncurkan program wellness dengan fokus pada lima aspek: Stress management; Sleep quality; Sports/exercise; Sustenance (pola makan sehat); Smoking reduction. Program ini menargetkan 10% staf dengan obesitas tertinggi, memberikan fasilitas seperti: Konseling gizi dan pendampingan oleh nutrisionis; Penyediaan makanan sehat dari kantin (menggantikan uang makan tunai); Olahraga kelompok wajib dua kali seminggu; Monitoring berat badan dan KPI mingguan; Kompetisi antar tim dengan sistem penghargaan; Grup WhatsApp untuk pendampingan harian dan peer pressure positif.
Hasilnya cukup signifikan: dalam 30–90 hari, peserta mengalami rata-rata penurunan berat badan 2,6 kg, penurunan BMI, serta peningkatan kualitas tidur dan energi. HR mencatat peserta program lebih jarang sakit dan memiliki kepuasan kerja lebih tinggi. CEO menekankan bahwa dengan kesejahteraan staf, maka produktivitas meningkat, pelayanan pasien membaik, dan pada akhirnya berdampak pada kinerja bisnis rumah sakit.
Sesi 3: Integrating Safety, Efficiency, and Sustainability in Modern Healthcare Workforces
oleh Dr Jasperine Ho, Former Medical Director, Medical Innovation & Technology, CUHK Medical Centre, Hong Kong
Dr. Jasperine Ho, mantan Medical Director, Medical Innovation and Technology, CUHK Medical Center (Hong Kong), membagikan pengalaman membangun rumah sakit dengan pendekatan keselamatan, efisiensi, dan keberlanjutan sejak awal berdiri.
Hong Kong menghadapi krisis tenaga kesehatan: meningkatnya permintaan akibat penuaan populasi dan penyakit kronis, sementara terjadi ketidakseimbangan antara sektor publik (menangani 70–90% pasien rawat inap) dan sektor privat. CUHK Medical Center hadir sebagai jembatan dengan model unik: rumah sakit privat milik universitas publik, yang menawarkan layanan dengan harga transparan, cepat, dan aman.
Sejak awal, tim perencana bertanya: “Bagaimana jika kita tidak hanya membangun rumah sakit baru, tapi rumah sakit yang lebih pintar, hijau, dan humanis?” Hasilnya, dibangunlah infrastruktur modern berbasis digital dan keberlanjutan, namun tetap menekankan budaya (culture) dan perilaku (behavior) staf.
Dr. Ho menjelaskan kerangka 360-star complex dengan tiga pilar utama: 1) Trust, respect, and inclusion agar semua staf (profesor, perawat senior, porter, staf umum) punya suara yang didengar; 2) Cultural ambassadors untuk membangun transparansi, pembelajaran, dan akuntabilitas; 3) Continuous improvement melalui daily huddles di tiap departemen, dashboard kinerja, serta menjadikan pembelajaran sebagai DNA organisasi.
Selain budaya, dibangun pula operating system yang meliputi: Proses standar berbasis clinical pathways agar perawatan bisa diprediksi dan diajarkan; Keterlibatan pasien dan keluarga dalam rapat dewan, serah terima pasien, hingga keputusan klinis; Star Contracts untuk membangun kesepakatan non-legal yang menegaskan akuntabilitas tim manajemen dan staf untuk menjaga keselamatan, kualitas, dan keberlanjutan.
Dalam strategic workforce planning, CUHK Medical Center memanfaatkan afiliasi dengan Chinese University of Hong Kong untuk berbagi tenaga spesialis, serta mengembangkan riset bersama para start-up teknologi, termasuk AI. Hal ini membuat rumah sakit menarik bagi talenta baru. Presentasi ditutup dengan penekanan Dr. Ho bahwa integrasi culture, system, dan sustainability tidak datang otomatis, tapi memerlukan konsistensi, keberanian, serta dukungan top manajemen.
Sesi 4: Beyond Compliance: Leadership-driven safety culture in hospitals
oleh Dr Kumaran Krishnan, Head of Unit (Occupational Safety and Health), Hospital Kuala Lumpur, Malaysia
Pembicara dari HKL yang mmemiliki 12.500 staf dengan 56 departemen dibuka dengan pernyataan pentingnya kepemimpinan rumah sakit dalam membangun budaya keselamatan dan kesejahteraan staf. Lebih lanjut Kumaran menyampaikan bahwa keselamatan staf tidak bisa hanya berbasis regulasi (compliance), tetapi harus ditanamkan sebagai budaya (culture). Direktur rumah sakit harus memberi contoh nyata kepemimpinan dengan: Mempublikasikan laporan setiap 100 hari dengan indikator utama kesejahteraan staf; Turun langsung ke lapangan, misalnya ke IGD saat penuh, untuk melihat situasi staf; dan Memimpin rapat OSH (Occupational Safety and Health) dan clinical governance round secara rutin. Pendekatan ini berhasil membangun kepercayaan bahwa staf diperhatikan, sehingga berdampak pada peningkatan kualitas layanan pasien.
Beberapa inisiatif utama yang dijalankan antara lain: Klinik khusus staf (melayani 100–120 staf per hari) dengan program imunisasi, screening, dan layanan kesehatan kerja; Sistem QR code untuk melaporkan masalah langsung ke tim OSH dan manajemen; Pelatihan keselamatan kerja yang disesuaikan dengan jenis pekerjaan (dokter, lab staff, perawat); Audit keselamatan rutin, dengan pendekatan kolaboratif sehingga staf nyaman menyampaikan masalah. Pesan utama dari sesi ini adalah bahwa kepemimpinan aktif direktur rumah sakit—dengan turun langsung, mendengar, dan menindaklanjuti—menjadi faktor kunci terciptanya budaya keselamatan, kesejahteraan staf, serta kualitas layanan pasien.
Link Terkait: