IDI Usulkan Penyakit Katastropik Tak Masuk Skema Pembiayaan JKN
Pengurus organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengusulkan kepada pemerintah agar penyakit katastropik dikeluarkan dari skema pembiayaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Upaya itu dapat menekan defisit anggaran hingga 30 persen.
"Jika pemerintah sulit untuk menaikkan iuran bulanan JKN, karena khawatir akan membebani rakyat, maka ada cara lain yaitu penyakit katastropik harus dikeluarkan dari skema pembiayaan," kata Ketua Umum IDI, Prof Ilham Oetama Marsis dalam diskusi bertajuk "Defisit Dana JKN dan Keberlangsungan Program" di Jakarta, Kamis (27/4).
Pembicara lain dalam diskusi itu, Asisten Deputi Jaminan Sosial, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Togap Simangunsong, Asisten Deputi Bidang Agama, Kesehatan, Pemuda dan Olahraga Sekretariat Kabinet, Teguh Supriadi, Kepala Grup Komunikasi dan Hubungan Antar Lembaga (HAL) BPJS Kesehatan, M Ikhsan dan
Ketua Bidang JKN PB IDI, Noor Arida Sofiana.
Masalah defisit anggaran program JKN, menurut Prof Marsis, harus segera dicarikan jalan keluar secepatnya. Jika tidak, hal itu akan mempengaruhi kualitas pelayanan. Meski selama ini tudingan itu dialamatkan ke rumah sakit akibat buruknya manajemen, serta kecurangan dokter dan peserta.
"Pemerintah harus segera mencari solusi atas defisit anggaran ini demi keberlangsungan program JKN," ucapnya.
Prof Marsis menyebutkan faktor utama terjadinya defisit anggaran akibat penetapan nilai fundamental premi yang tidak sesuai (missmatch) dengan nilai keekonomian. Hal itu berdampak pada penentuan tarif kapitasi dan INA CBGs sebagai sistem tarif paket yang berisiko pada menurunnya kualitas pelayanan kesehatan.
Faktor lain yang memperberat defisit JKN adalah beban pembiayaan terhadap penyakit katastropik yang mencapai 30 persen dari total anggaran, tingkat kolektabilitas iuran yang rendag hingga penambahan kepesertaan yang belum optimal.
"Dua tahun lebih pelaksanaan JKN, terbukti program ini mampu memberi manfaat bagi rakyat miskin. Mari kita saling bahu membahu agar program JKN bisa tetap berlanjut," tutur Prof Marsis.
Usulan lain yang ditawarkan IDI adalah penerapan iur biaya bagi peserta JKN yang berobat. Terutama pada jenis penyakit tertentu atau penggunaan obat tertentu. Hal itu diharapkan bisa memperkecil defisit anggaran JKN.
"Yang terpenting adalah memperbaiki sistem pelayanan yang bermutu dan berorientasi pada keselamatan pasien. Perbaiki juga tarif INA CBGs dan besaran kapitasi," katanya.
Pemerintah harus lebih banyak menjalin kerja sama dengan fasilitas kesehatan tahap pertama (FKTP) swasta dan praktik dokter mandiri dalam distribusi kepesertaan JKN. Karena FKTP pemerintah masih mendominasi fasilitas kesehatan yang ada sekarang. (TW)
Oleh : Tri Wahyuni