BPJS Kesehatan: Aturan Baru Demi Cegah 'Kapal Tenggelam'
Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menyatakan aturan baru pihaknya semata-mata demi efisiensi anggaran.
Pasalnya, badan asuransi kesehatan pelat merah itu mengalami defisit anggaran sebesar Rp16,5 triliun.
Sebelumnya, BPJS Kesehatan baru menerbitkan Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan (Perdirjampel) Kesehatan tentang Penjaminan Pelayanan Katarak, Pelayanan Persalinan Dengan Bayi Baru Lahir Sehat, dan Pelayanan Rehabilitasi Medis.
"Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) harus kita selamatkan. Saat ini kita mengalami defisit dana jaminan sosial dan jika tidak melakukan efisiensi, bisa jadi kapal ini akan tenggelam," kata Deputi Direksi Jaminan Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan Budi Mohamad Arief di Jakarta, Kamis (2/8).
Hal itu dikatakan menanggapi kritik Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dan sejumlah organisasi kesehatan lain yang menyebut tiga Perdirjampel BPJS menurunkan kualitas layanan rumah sakit dan dokter.
Adapun Perdirjampel BPJS Kesehatan Nomor 2, 3, dan 5 tahun 2018 berisi tentang:
Pertama, Bayi baru lahir dengan kondisi sehat post operasi caesar maupun normal dengan atau tanpa penyum dibayar dalam satu paket persalinan.
Kedua, Penderita penyakit katarak dijamin BPJS Kesehatan apabila visus (ketajaman atau kejernihan) mata pasien kurang dari 6/18 preoperatif. Jumlah operasi katarak pun dibatasi dengan kuota.
Ketiga, Tindakan rehabilitasi medis dibatasi menjadi maksimal dua kali per minggu (delapan kali dalam sebulan).
Menurut Budi, pembiayaan BPJS Kesehatan tahun 2017 untuk operasi katarak mencapai Rp2,6 triliun. Kemudian, pembiayaan pelayanan bayi lahir sehat Rp1,1 triliun, dan pembiayaan rehabilitasi medis Rp960 milyar.
Untuk pembiayaan katarak, Budi menyebut angka itu justru melebihi realisasi pelayanan kasus katastropik seperti penyakit jantung atau gagal ginjal yang hanya Rp2,2 trillion.
Sementara, lanjutnya, pasien melakukan rehabilitasi medis mencapai 5-6 kali seminggu hingga 29 kali dalam sebulan.
Hal ini membuat BPJS Kesehatan bertanya-tanya terkait standar frekuensi rehabilitasi medis tersebut. Alhasil, Budi dan timnya berdiskusi dengan ahli fisioterapi untuk menetapkan standar frekuensi itu.
"Berdasarkan evidence based, rata-rata itu maksimal tiga kali rehabilitasi medis cukup baik. Nah, karena BPJS Kesehatan [punya] keterbatasan pendanaan, kita menetapkan [rehabilitasi] dua kali perminggu atau delapan kali per bulan," jelas Budi.
Ia juga menyebut banyak pasien katarak ringan dengan penglihatan masih baik, tetapi langsung ditindak operasi. Hal itu menyebabkan pembiayaan BPJS Kesehatan untuk katarak membengkak jadi Rp2,6 triliun.
Persoalan urgensi operasi bagi penderita katarak pun didiskusikan BPJS Kesehatan dengan Persatuan Dokter Mata Indonesia.
"Apakah benar semua orang [dengan katarak] harus dioperasi? Sebetulnya, dia bukan prioritas dioperasi kalau penglihatannya masih bagus dan masih bisa beraktivitas," kata Budi.
Akhirnya, BPJS Kesehatan dan Persatuan Dokter Mata Indonesia sepakat bahwa pasien dengan visus mata kurang dari 6/18 preoperatif saja yang dioperasi.
"[Visus] lebih bagus dari itu tidak dijamin BPJS Kesehtaan karena bukan prioritas," kata Budi.
Dengan demikian, Budi mengelak jika instansinya disebut ikut campur dalam masalah medis. Alih-alih menurunkan standar pelayanan kesehatan, Budi mengklaim BPJS Kesehatan dan ikatan profesi justru menetapkan standar layanan yang akan ditanggung.
"Kami membuat standar. Misal, [pasien] yang tadinya rehabilitasi medis 9 kali lebih, kita tata jadi dua kali seminggu atau delapan kali per bulan," tandas Budi.
(arh/pmg)
Oleh: Mesha Mediani