Covid-19 dan kematian pasien kronis di tengah pandemi: Anak ditolak empat rumah sakit, 'kalau ditangani, mungkin ia masih berkumpul dengan kami'
Sejumlah pihak melaporkan kematian anggota keluarga mereka yang menderita penyakit kronis, yang tidak tertolong karena sibuknya rumah sakit menangani pasien dengan virus corona. Di dunia, berdasar penelitian BBC, 130.000 orang pasien non-Covid 19 meninggal karena tak mendapat layanan kesehatan yang semestinya.
Untuk Indonesia, tidak ada data resmi nasional terkait mereka yang meninggal sebagai akibat tidak langsung dari wabah virus corona.
Namun di salah satu pusat episentrum pandemi, Jakarta, jumlah kematian saat pandemi (1 Maret-31 Mei) lebih tinggi 55% dibandingkan peristiwa kematian rata-rata sebelum pandemi.
BBC Indonesia juga mendapatkan sejumlah penuturan akan fakta pasien-pasien non-Covid 19 yang meninggal karena telat ditangani, pun karena ditolak RS yang sibuk dengan pandemi virus corona. Ini cerita duka dari keluarga yang ditinggalkan.
Ditolak empat RS, 'kalau ditangani, mungkin Rafa masih berkumpul dengan kami'
Rabu 20 Mei tengah malam, Ahmad Basoni dan istrinya, berkeliling ke empat rumah sakit di kota Ambon, mencari pengobatan untuk anak mereka, Rafa.
Badan Rafa panas, kata Basoni, sang ayah memulai ceritanya.
Rafa dirawat selama dua pekan di RSUD Haulussy Januari lalu. Saat itu, dokter belum menyimpulkan penyakit yang diderita Rafa.
Basoni mengatakan diagnosis yang muncul kala itu adalah leukemia dan anemia aplastik.
"Sekitar jam 12 malam saya ke RS Al Fatah. Di sana suhu tubuh Rafa dicek. Lalu mereka bilang ada prosedur rapid test, tapi alat mereka rusak," ujar Basoni.
Rapid test atau pemeriksaan cepat merupakan cara mendeteksi dua antibodi dalam tubuh seseorang yang terpapar virus corona.
Namun metode ini bukan untuk memastikan diagnosis infeksi Covid-19.
Melalui surat edaran tanggal 24 April 2020, Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) mengimbau agar pemeriksaan cepat tidak menjadi syarat pemberian layanan terhadap pasien.
'Itu menyesatkan, memaksa, dan melanggar hak-hak pasien," pernyataan PERSI dalam surat yang diteken ketua umum mereka, Kuntjoro Adi Purjanto, itu.
Dari RS Al Fatah, Basoni melarikan Rafa ke Rumah Sakit Bhakti Rahayu, yang disebutnya tak menerima pasien baru selama proses sterilisasi virus corona.
Basoni kemudian beranjak ke RST dr. Latumeten.
"Di sana kondisi anak saya sempat ditanyakan. Mereka bilang ada alat rapid test, tapi itu khusus untuk ibu hamil. Lagipula, kata mereka, sedang tidak ada dokter anak," ujarnya.
"Lalu saya coba ke RS GPM, ternyata juga sedang disterilisasi," kata Basoni.
Dini hari itu, Basoni mengatakan juga pergi ke RSUD Haulussy, rumah sakit pertama yang merawat dan menyatakan anaknya mengidap kelainan darah.
Namun rumah sakit tersebut tengah ditutup untuk sementara waktu karena puluhan tenaga medisnya terpapar Covid-19, kala itu.
Tidak ada pilihan lain, akhirnya Basoni dan istrinya membawa pulang Rafa.
Sore hari, Kamis 21 Mei sekitar pukul 16.00 WIT kondisi Rafa yang semakin buruk.
"Kami memutuskan pergi ke Rumah Sakit Bhayangkara. Di jalan, ibu mertua saya bilang bahwa Rafa sudah meninggal. Tapi untuk membesarkan hati istri saya, kami tetap melanjutkan perjalanan ke rumah sakit," kenangnya.
"Di sana awalnya juga ditolak. Saya mohon agar anak saya dirawat dulu, sembari saya coba mencari rumah sakit lain di luar Ambon."
"Tapi saat Rafa diperiksa dokter, dia sudah meninggal," kata Basoni.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Maluku, Meykel Ponto, yang kami konfirmasi membantah Rafa meninggal karena ditolak rumah sakit.
"Anak itu memang pernah dirawat di salah satu rumah sakit, lalu dipulangkan karena kondisinya membaik," kata Meykel via telepon.
"Rumah sakit yang dia tuju memang penuh. Pada perjalanan ke rumah sakit lainnya, dia meninggal," ucapnya.
Kecewa, rumah sakit 'tak berbuat apa-apa'
Pernyataan itu disangkal Basoni yang menilai anaknya menjadi korban prosedur penanganan pasien non-Covid yang "kacau balau".
"Saya kecewa sekali rumah sakit tidak bisa berbuat apa-apa. Harusnya mau pasien Covid atau tidak, tangani saja, tidak usah pilih-pilih."
"Saya protes tidak ada penanganan. Kalau ditangani, mungkin Rafa masih ada dan berkumpul dengan keluarga kami," tegas Basoni.
Bagaimanapun, Basoni tak berniat menuntut rumah sakit maupun pemerintah atas kematian Rafa.
Laki-laki yang berprofesi sebagai mekanik mobil panggilan ini mengatakan hanya ingin memendam rasa kehilangan itu.
"Saya protes tapi tidak menuntut. Saya protes karena tidak ada penanganan untuk anak saya," ujarnya.
Kini Basoni masih terus mengenang kepergian anak ketiganya itu.
"Dia anak yang kuat. Sampai sebelum meninggal, dia sempat berdiri walau saya tahu badannya sakit. Gusinya berdarah, tapi dia kuat."
"Di hari terakhirnya, saya tidak bekerja, saya yang mengurus dan menjaga dia. Itulah terakhir kali saya bersamanya," kata Basoni.
'Kalau suami saya tidak telat cuci darah, Insyaallah masih berumur panjang'
Cerita duka di tengah pandemi, juga dialami Nurasiah, yang suaminya Suhantono mengalami gagal ginjal.
Awal April lalu, Suhantono, meninggal karena terlambat mendapatkan layanan cuci darah.
Berawal dari jadwal Suhantono untuk cuci darah. Sudah sekian lama, ia harus cuci darah sepekan dua kali. Namun saat Suhantono diperiksa di rumah sakit yang biasa ia datangi untuk cuci darah, dia ditolak.
Saat dicek suhu tubuhnya mencapai 37,7 derajat Celsius. Suhantono lalu dirujuk ke sebuah rumah sakit di Jakarta, cerita Nurasiah, warga Serpong, Tangerang, Banten.
Karena memang sudah jadwalnya cuci darah, Suhantono pun dibonceng naik motor oleh istrinya Nurasiah dari kawasan Serpong ke Jakarta.
Bukannya segera di HD (hemodialisa/cuci darah), kata Nurasiah, suaminya malah diminta menjalani pengecekan virus corona dan diisolasi.
Saat isolasi itulah Suhantono meninggal dunia.
"Kalau tidak telat HD, penanganannya baik, insya Allah bisa panjang [umurnya]. Pasien cuci darah rentan. Telat saja, racun sudah ke mana-mana," kata Nurasiah.
Apalagi, tambahnya, suaminya akhirnya diketahui negatif mengidap virus corona.
Suhantono meninggal karena infeksi paru-paru akibat cairan di dalam tubuh yang tidak dikeluarkan sehingga menyebar dan menginfeksi paru-paru.
"Terakhir jumpa saat masuk IGD saja dan lihat dari kaca. Setelah itu sampai terakhir [meninggal], saya tidak bisa lihat dan temui suami. Saya tidak bisa berbuat apa-apa," kata Nurasiah.
Nurasiah mengungkapkan hingga kini masih tersimpan terus rasa kekesalan dan penyesalan.
"Saya kadang berpikir. Rumah sakit kan mengerti kalau pasien HD tidak boleh telat. Tapi kenapa buat peraturan seperti ini, menunggu hasil delapan hari. Itu bunuh pelan-pelan namanya.
"Saya saja yang ibarat tidak sekolah saja, mengerti karena risikonya racun menyebar kemana-mana tapi pas kejadian corona mereka melarang suami saya cuci darah," kata Nurasiah.
Yang membuat Nurasiah bingung dan aneh, saat suami masih hidup, berulang kali ia menanyakan hasil tes virus corona namun hasilnya tidak juga keluar.
Namun saat suaminya sudah meninggal, hasilnya pun keluar.
"Aduh bagaimana ya Pak. Sampai sekarang itu kadang ada penyesalan coba jangan saya bawa ke RS itu, ada penyesalan Pak," kata ibu yang kini harus berjuang sendiri mengurus dua anaknya.
'Dua ratus ribu pasien cuci darah terancam'
Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) mencatat hampir 200.000 pasien gagal ginjal di Indonesia terancam meninggal akibat terjadinya perubahan protokol kesehatan di mana pasien gagal ginjal yang demam, sesak napas, batuk harus mendapatkan hasil rapid test atau PCR terlebih dulu untuk kemudian dapat melakukan cuci darah.
"Cuci darah itu tindakan life sustaining treatment, perawatan yang berkelanjutan, terus menerus untuk dapat hidup. Harus tepat waktu dan tidak boleh ditunda. Kalau ditunda otomatis akan muncul penyakit baru. Paru-paru, jantung mereka kerendam cairan yang menyebabkan komplikasi," kata ketua umum KPCDI Tony Samosir.
Padahal, kata Tony Samosir, demam, sesak napas dan batuk yang merupakan gejala Covid-19 adalah gejala sehari-hari yang dialami oleh pasien cuci darah.
"Dua teman kami yang meninggal tersebut itu hasil akhirnya PCR-nya negatif Covid, tapi pasiennya sudah meninggal. Terus apa yang mau dilakukan? Siapa yang dipersalahkan di sini? Padahal mereka masih bisa berumur panjang," katanya.
Berdasarkan data KPCDI dua pasien yang meninggal akibat telat cuci darah.
Namun terdapat banyak pasien lain yang disebut Tony masih "beruntung" dapat hidup walaupun telat cuci darah akibat menunggu hasil tes corona.
"Kami menduga masih banyak jumlah korban pasien gagal ginjal yang menjadi korban akibat perubahan protokol kesehatan. Kami dikesampingkan.
"Ini adalah akibat dari ketidaksiapan berbagai pihak, baik pemerintah, masyarakat, dan fasilitas kesehatan.
"Untuk pemerintah, sampai saat ini saya belum membaca adanya sebuah protokol kesehatan dalam menangani Covid bagi pasien gagal ginjal," katanya.
Berdasarkan data KPCDI terdapat seorang pasien cuci darah di Kalimantan Selatan bernama Panca Ernawati yang berhari-hari lamanya tidak cuci darah.
Akibatnya muka dan badannya bengkak karena cairan.
Kemudian terdapat pasien di Jakarta dan juga Bekasi yang tidak mendapatkan layanan cuci darah.
"Akan terus bermunculan kasus-kasus seperti ini jika pemerintah terus diam tanpa mengeluarkan keputusan bagi rumah sakit untuk tidak menolak cuci darah. Itu kuncinya," kata Tony yang merupakan mantan pasien cuci darah.
Kematian pasien non-Covid
Berdasarkan penelitian BBC, jumlah kematian yang tak terkait langsung dengan penyakit Covid-19 mencapai 130.000 orang. Data ini di luar 440.000 yang tercatat meninggal akibat virus corona.
Untuk Indonesia tidak ada data resmi nasional. Namun di Jakarta. misalnya, yang menjadi salah satu episentrum pandemi Covid-19, jumlah kematian saat pandemi (1 Maret-31 Mei) lebih tinggi 55% dibandingkan peristiwa kematian rata-rata sebelum pandemi.
Jumlah orang yang meninggal mencapai 4.700 orang, lebih banyak dari periode yang sama pada tahun-tahun sebelumnya.
Dari sekitar 4.700 kematian itu, angka kematian resmi akibat Covid-19 di Jakarta berjumlah 517. Ini bermakna ada 4.214 kematian tak langsung, berdasarkan penelitian BBC.
Pemisahan rumah sakit
Selama pandemi Covid-19, setiap rumah sakit memang diwajibkan menunda pelayanan medis elektif atau terencana.
Merujuk imbauan tertulis Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan, Kementerian Kesehatan, Bambang Wibowo, yang tidak boleh ditunda adalah pelayanan gawat darurat untuk penyakit selain Covid-19.
Namun justru di situ letak persoalannya, kata Sekjen Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Adib Khumaidi.
Adib berpendapat, selama pandemi, pemerintah semestinya menggolongkan rumah sakit, antara yang khusus menangani Covid-19 dan yang tetap menjalankan layanan reguler.
Tanpa pemisahan seperti itu, menurut Adib, pasien non-Covid akan cenderung diabaikan.
"Pemisahan ini untuk mencegah penularan virus corona, tapi juga agar pasien non-Covid tetap terlayani. IDI tidak ingin komorbitas dan kematian non-Covid tinggi karena semua rumah sakit terkonsentrasi pada Covid," kata Adib.
"Di semua daerah. Harus ada kebijakan pemisahan agar tidak terjadi kasus pasien meninggal karena ditolak seperti ini," ucapnya.
Menurut Lusi Peilouw, pegiat hak sipil dari Yayasan Mutiara Maluku, kematian Rafa (bocah yang ditolak empat RS di Ambon) menunjukkan tidak adanya perspektif perlindungan hak pasien dan anak dari rumah sakit dan pekerja medis.
Upaya apa pun, menurut Lusi, harus dilakukan rumah sakit untuk menyelamatkan nyawa pasien.
"Mereka seharusnya mengambil langkah cepat untuk mendapatkan alat rapid test itu, entah berkoordinasi dengan rumah sakit lain atau dengan tim gugus tugas lokal sehingga pasien bisa ditangani."
Petugas medis jangan sampai takut dengan semua pasien
"Tapi ternyata tidak ada upaya apa pun yang mereka lakukan selain menolak," ucapnya.
"Jangan karena pandemi ini, petugas medis jadi alergi, takut pada semua pasien. Orang datang untuk berobat selain Covid, tapi mereka berpikir 'jangan-jangan di dalam tubuh orang ini ada virus corona'," kata Lusi.
Di sisi lain, menurut Lusi, kematian Rafa menunjukkan kelalaian pemerintah memitigasi potensi krisis kesehatan. Ia mengatakan klinik darurat harus disiapkan untuk mengantisipasi rumah sakit terganjal persoalan Covid.
"Pemerintah harus siapkan rencana B atau C, ketika rumah sakit sudah tidak bisa menangani pasien non-Covid, harus disiapkan mekanisme darurat. Kan ada banyak fasilitas negara yang bisa dijadikan klinik darurat."
"Waktu gempa Ambon 2019, pos kesehatan didirikan di berbagai titik sehingga layanan medis tetap berjalan. Kenapa sekarang itu tidak berjalan?" kata Lusi.
sumber: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-53005585