Pasien di ICU Rawan Infeksi, Perlu Ada Meminimalisir Risiko Resistensi Antimikroba
Pengendalian Resistansi Antimikroba (AMR) pada pasien infeksi di Intensive Care Unit (ICU) penting untuk dilakukan. Apabila tidak dikendalikan, AMR dapat menyebabkan ketidakefektifan dalam penanganan infeksi.
Infeksi yang disertai dengan Resistansi Antimikroba dapat menyebabkan pasien tinggal lebih lama di rumah sakit, biaya perawatan dan pengobatan yang mahal, bahkan kematian.
Prof. Dr. dr. Hindra Irawan Satari, Sp.A (K), M.TropPaed, Ketua Perhimpunan Pengendalian Infeksi Indonesia (PERDALIN) mengatakan, Antimicrobial Resistance merupakan masalah kesehatan global yang sangat serius.
Terdapat kekhawatiran tentang semakin meningkatnya superbug yang resistan terhadap beberapa antimikroba sekaligus (multi-drugs resistance, MDR). AMR dapat terjadi karena penggunaan antibiotik yang tidak tepat pada berbagai sektor.
"Penyebaran bakteri yang mengandung gen pembawa sifat AMR dapat berakibat kepada masyarakat menjadi terpapar AMR melalui infeksi, makanan, dan lingkungan, khususnya di ICU yang merawat pasien berat sehingga terdapat kemungkinan pasien terpapar superbug yang berbahaya tersebut.
Infeksi yang timbul akibat patogen tersebut dalam banyak kasus tidak responsif terhadap pengobatan yang saat ini tersedia,” katanya dalam acara Virtual Media Briefing dengan tema “Meminimalisasi Risiko Resistansi Antimikroba pada Pasien Infeksi di ICU” (07/10/2021).
Studi epidemiologi tentang S.pneumoniae berhubungan dengan munculnya krisis AMR telah dilaporkan di Cina.
Krisis ini semakin memburuk dan telah menjadi masalah keamanan publik dan global yang dapat menyebabkan bahaya serius bagi kesehatan manusia dan hewan serta lingkungan.
Hal ini disebabkan karena munculnya resistansi bakteri jauh lebih cepat dibandingkan dengan penemuan agen antimikroba baru.
Sementara itu, dalam beberapa dekade terakhir, Timur Tengah telah menjadi reservoir untuk Extended-Spectrum Cephalosporin dan Carbapenem Resistant Gram-negative Bacilli (GNB).
Munculnya carbapenemases banyak terjadi di rumah sakit, sementara itu selain pada manusia, Extended Spectrum Beta Lactamases (ESBL) dan resistensi colistin juga terjadi pada hewan.
Prof. Hindra juga menambahkan, “Mengingat kompleksitas permasalahan AMR pada bidang kesehatan manusia dan hewan dan berbagai tantangannya, sangat penting untuk dapat menekankan peranan One Health dalam melawan AMR."
Pada kesempatan yang sama, dr. Anis Karuniawati, PhD, SpMK(K), Koordinator Bidang Organisasi Perdalin, mengatakan, “Penyebaran AMR dapat terjadi karena limbah dapat mengandung bakteri dengan gen pembawa sifat AMR yang kemudian dapat dipindahkan dari satu bakteri ke bakteri lainnya. Bakteri tersebut mengkontaminasi air, tanah, dan lingkungan.
Berdasarkan Distribusi Data AMR yang dikumpulkan dari spesimen darah dan urine, terdapat beberapa bakteri yang ditemukan, terutama K.pneumoniae dan E.coli.
“Pemerintah dapat turut andil dalam melawan AMR salah satu caranya adalah dengan meningkatkan edukasi kepada masyarakat tentang pencegahan penyebaran penyakit infeksi melalui higiene, sanitasi, dan vaksinasi, serta peningkatan kualitas pelayanan kesehatan, diantaranya penyediaan laboratorium mikrobiologi untuk mendukung diagnosis penyakit infeksi dan menentukan jenis antibiotik yang diperlukan pada kasus infeksi
Selain itu diharapkan Rencana Aksi Nasional (RAN) AMR 2020-2024 dapat dilaksanakan oleh kementerian terkait. RAN tersebut memiliki visi: Terwujudnya Indonesia sehat dan bebas dari dampak resistensi antimikroba melalui pendekatan One Health,” tuturnya menjelaskan.
Dr. Dini Arini, Senior Medical Manager Pfizer Indonesia, menjelaskan bahwa Pfizer mendukung program dan strategi One Health yang disuarakan komunitas kesehatan Indonesia dan dunia internasional.
Menurut data dari Sepsis Alliance, meskipun AMR merupakan krisis kesehatan global, survey kepada lebih dari 6300 orang menyatakan bahwa kesadaran masyarakat akan AMR masih sangat rendah.
“Pfizer secara konsisten berupaya untuk memberikan kontribusi nyata dalam upaya mengatasi Resistensi Antimikroba melalui dukungan terhadap tatalaksana pemberian antibiotik yang tepat bagi para tenaga kesehatan profesional dan manajemen rumah sakit melalui program-program penguatan kapasitas dan aktivitas edukasi yang bersifat ilmiah dan non-promosional,” ungkapnya.
Selain melaksanakan program edukasi publik tentang bahaya AMR melalui media massa, Pfizer tahun lalu bekerjasama dengan Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA).
GridHEALTH.id - Pengendalian Resistansi Antimikroba (AMR) pada pasien infeksi di Intensive Care Unit (ICU) penting untuk dilakukan. Apabila tidak dikendalikan, AMR dapat menyebabkan ketidakefektifan dalam penanganan infeksi.
Infeksi yang disertai dengan Resistansi Antimikroba dapat menyebabkan pasien tinggal lebih lama di rumah sakit, biaya perawatan dan pengobatan yang mahal, bahkan kematian.
Prof. Dr. dr. Hindra Irawan Satari, Sp.A (K), M.TropPaed, Ketua Perhimpunan Pengendalian Infeksi Indonesia (PERDALIN) mengatakan, Antimicrobial Resistance merupakan masalah kesehatan global yang sangat serius.
Terdapat kekhawatiran tentang semakin meningkatnya superbug yang resistan terhadap beberapa antimikroba sekaligus (multi-drugs resistance, MDR). AMR dapat terjadi karena penggunaan antibiotik yang tidak tepat pada berbagai sektor.
"Penyebaran bakteri yang mengandung gen pembawa sifat AMR dapat berakibat kepada masyarakat menjadi terpapar AMR melalui infeksi, makanan, dan lingkungan, khususnya di ICU yang merawat pasien berat sehingga terdapat kemungkinan pasien terpapar superbug yang berbahaya tersebut.
Infeksi yang timbul akibat patogen tersebut dalam banyak kasus tidak responsif terhadap pengobatan yang saat ini tersedia,” katanya dalam acara Virtual Media Briefing dengan tema “Meminimalisasi Risiko Resistansi Antimikroba pada Pasien Infeksi di ICU” (07/10/2021).
Studi epidemiologi tentang S.pneumoniae berhubungan dengan munculnya krisis AMR telah dilaporkan di Cina.
Krisis ini semakin memburuk dan telah menjadi masalah keamanan publik dan global yang dapat menyebabkan bahaya serius bagi kesehatan manusia dan hewan serta lingkungan.
Hal ini disebabkan karena munculnya resistansi bakteri jauh lebih cepat dibandingkan dengan penemuan agen antimikroba baru.
Sementara itu, dalam beberapa dekade terakhir, Timur Tengah telah menjadi reservoir untuk Extended-Spectrum Cephalosporin dan Carbapenem Resistant Gram-negative Bacilli (GNB).
Munculnya carbapenemases banyak terjadi di rumah sakit, sementara itu selain pada manusia, Extended Spectrum Beta Lactamases (ESBL) dan resistensi colistin juga terjadi pada hewan.
Prof. Hindra juga menambahkan, “Mengingat kompleksitas permasalahan AMR pada bidang kesehatan manusia dan hewan dan berbagai tantangannya, sangat penting untuk dapat menekankan peranan One Health dalam melawan AMR."
Pada kesempatan yang sama, dr. Anis Karuniawati, PhD, SpMK(K), Koordinator Bidang Organisasi Perdalin, mengatakan, “Penyebaran AMR dapat terjadi karena limbah dapat mengandung bakteri dengan gen pembawa sifat AMR yang kemudian dapat dipindahkan dari satu bakteri ke bakteri lainnya. Bakteri tersebut mengkontaminasi air, tanah, dan lingkungan.
Berdasarkan Distribusi Data AMR yang dikumpulkan dari spesimen darah dan urine, terdapat beberapa bakteri yang ditemukan, terutama K.pneumoniae dan E.coli.
“Pemerintah dapat turut andil dalam melawan AMR salah satu caranya adalah dengan meningkatkan edukasi kepada masyarakat tentang pencegahan penyebaran penyakit infeksi melalui higiene, sanitasi, dan vaksinasi, serta peningkatan kualitas pelayanan kesehatan, diantaranya penyediaan laboratorium mikrobiologi untuk mendukung diagnosis penyakit infeksi dan menentukan jenis antibiotik yang diperlukan pada kasus infeksi
Selain itu diharapkan Rencana Aksi Nasional (RAN) AMR 2020-2024 dapat dilaksanakan oleh kementerian terkait. RAN tersebut memiliki visi: Terwujudnya Indonesia sehat dan bebas dari dampak resistensi antimikroba melalui pendekatan One Health,” tuturnya menjelaskan.
Dr. Dini Arini, Senior Medical Manager Pfizer Indonesia, menjelaskan bahwa Pfizer mendukung program dan strategi One Health yang disuarakan komunitas kesehatan Indonesia dan dunia internasional.
Menurut data dari Sepsis Alliance, meskipun AMR merupakan krisis kesehatan global, survey kepada lebih dari 6300 orang menyatakan bahwa kesadaran masyarakat akan AMR masih sangat rendah.
“Pfizer secara konsisten berupaya untuk memberikan kontribusi nyata dalam upaya mengatasi Resistensi Antimikroba melalui dukungan terhadap tatalaksana pemberian antibiotik yang tepat bagi para tenaga kesehatan profesional dan manajemen rumah sakit melalui program-program penguatan kapasitas dan aktivitas edukasi yang bersifat ilmiah dan non-promosional,” ungkapnya.
Selain melaksanakan program edukasi publik tentang bahaya AMR melalui media massa, Pfizer tahun lalu bekerjasama dengan Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA).
Tahun ini, sehubungan dengan hal tersebut, kata dr. Dini, Pfizer Indonesia menginisiasi program "Victory: Menang itu Tuntas", melalui Gerakan 2T: Tuntas Menentukan (bagi para tenaga kesehatan profesional dan fasilitas kesehatan agar menuntaskan penilaian penggunaan serta implementasi ASP) dan Tuntas Menggunakan (bagi para pasien agar mengonsumsi antibiotik secara tuntas sesuai dengan anjuran dokter. ) (*)