Potensi Penerapan IPC di Rumah Sakit Umum Daerah
Rumah sakit sebagai institusi penyelenggara pelayanan kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat dituntut untuk terus berbenah dalam meningkatkan kualitasnya. Performa terbaik yang ditunjukkan oleh para profesional pemberi pelayanan atau disebut dengan Profesional Pemberi Asuhan (PPA) yaitu dokter, perawat, bidan, ahli gizi, apoteker, dan sebagainya menentukan kualitas pelayanan kesehatan tersebut.
Upaya yang dapat dilakukan oleh PPA untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yaitu dengan mengimplementasikan Interprofessional Collaboration (IPC). IPC adalah interaksi antara dua atau lebih profesional kesehatan yang bekerja saling bergantung dalam memberikan perawatan untuk pasien, sharing informasi untuk mengambil keputusan bersama, dan mengetahui waktu yang optimal.
Kolaborasi interprofesi meningkatkan efektifitas pelayanan kesehatan, keselamatan dan kepuasan pasien, adanya komunikasi dan koordinasi yang baik dan pada saat ada masalah pada pasien dapat diputuskan solusinya secara bersama oleh profesional kesehatan dalam Tim.
Salah satu contoh klasik dari hubungan interprofesional dalam memberikan perawatan pada pasien adalah interaksi perawat-dokter. Perspektif yang berbeda dalam memandang pasien, dalam praktiknya menyebabkan munculnya hambatan-hambatan dalam melakukan proses kolaborasi pada kedua profesi ini.
Hambatan kolaborasi perawat dengan dokter sering dijumpai pada tingkat profesional dan institusional. Perbedaan status dan kekuasaan tetap menjadi sumber utama ketidaksesuaian yang membatasi pendirian professional dalam aplikasi kolaborasi.
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) merupakan pusat pelayanan kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat di tingkat Kabupaten/Kota. Namun, dalam melaksanakan fungsinya, masih sering DI temui pemberitaan yang kurang baik terkait kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan oleh institusi ini.
Upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kualitas pelayanan RSUD yaitu dengan menerapkan IPC.
Banyak hal terkait yang menjadikan IPC masih terkendala untuk dilaksanakan di RSUD. Keterbatasan sumber daya manusia, perilaku individu, psikologis, sosial budaya, merupakan tantangan yang cukup besar.
Komunikasi antar profesi kesehatan juga menjadi kendala utama yang seringkali memicu terjadinya kesalahan dalam penanganan yang dapat merugikan pasien.
Barier komunikasi interprofesional dapat berupa perilaku sering merendahkan profesi lain, terlalu berharap pada profesi lain, kurang memahami kompetensi dan peran dari profesi lain dan tidak pernah dididik bersama.
Masih sering kita temui kondisi dimana perawat tidak selalu berbagi informasi secara terbuka (tidak melaporkan kejadian kesalahan pemberian obat dengan apoteker, perawat hanya melapor pada dokter saja ada keraguan kompetensi terhadap apoteker),
dokter tidak melakukan pemeriksaan langsung pada pasien, perawat hanya menuruti saja apa kata dokter tanpa bisa “speak up” memberi pendapat, ahli gizi tidak berdiskusi dengan dokter, perawat dan apoteker dan juga tidak independen dalam menentukan diet pasien. apoteker tidak menjelaskan protokol pemberian obat di saat pasien akan pulang.
Selain itu, jika ditinjau dari kesiapan perawat, apoteker, ahli gizi dan lainnya dari segi kompetensi masih belum optimal untuk bisa menjadi partner bagi dokter yang berperan sebagai leader dalam pelaksanaan IPC.
Untuk mengoptimalkan kompetensinya maka para PPA perlu membekali diri dengan praktik berbasis bukti atau evidence based practice dari bidang keilmuan masing-masing berdasarkan hasil penelitian terbaru dalam memberikan pelayanan kepada pasien.
Minimnya budgeting di RSUD untuk mendanai pendidikan dan pelatihan bagi para PPA turut mempengaruhi update keilmuan para PPA sehingga tercermin dalam penampilan profesionalnya. Tidak sedikit pula PPA yang melanjutkan pendidikan formal dengan swadana hanya sebatas untuk tujuan penyesuaian ijazah dan jenjang karier saja.
Berlatarbelakang berbagai hal tersebut, mungkinkah IPC dapat diterapkan di RSUD? Diperlukan strategi agar IPC dapat terlaksana.
Salah satunya dengan membentuk kelompok kerja (POKJA) IPC untuk merumuskan tentang Standar Operasional Prosedur (SOP), membentuk tim IPC yang melakukan sosialisasi tentang sasaran dan tujuan yang ingin dicapai, menyusun perencanaan pelatihan IPC yang dilakukan secara berkala kepada semua profesi, mengadakan pertemuan rutin antar profesi yang terjadwal untuk membahas kebutuhan pasien.
Disamping itu, diperlukan upaya untuk menciptakan suasana saling menghormati, menghargai dan menjujung tinggi etika, menghilangkan superioritas terhadap profesi tertentu dan menumbuhkan rasa percaya diri pada profesi masing-masing.
Sesungguhnya pelaksanaan IPC di RSUD cukup berpotensi jika didukung berbagai kebijakan terkait peraturan serta reward untuk memberikan motivasi kepada seluruh Profesional Pemberi Asuhan (PPA). Direktur sebagai pemangku jabatan tertinggi di RSUD berperan penting sebagai pendukung utama pelaksanaan IPC sehingga akan berdampak pada kualitas pelayanan di RSUD yang semakin baik dari masa ke masa.[]
Oleh : Maya Syafitri
Pekerjaan : PNS / Mahasiswa Magister Keperawatan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh
sumber: https://www.acehekspres.com/news/potensi-penerapan-ipc-di-rumah-sakit-umum-daerah/index.html