Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

"Telemedicine" dan Transformasi Kesehatan Pascapandemi

Telemedicine atau pemberian layanan klinis dari jarak jauh menggunakan teknologi informasi dan komunikasi semakin dikenal dan diminati sejak terjadinya pandemi COVID-19. Saat awal pandemi, pemerintah juga mendorong penggunaan layanan telemedicine untuk menekan risiko penularan penyakit hingga penggunaan teknologi ini sempat melonjak hingga 600% dari sebelum adanya pandemi. Karena fenomena ini, sejarah kemunculan telemedicine sering dikaitkan dengan pandemi COVID-19.

Tahun 2023, dengan mulai surutnya pandemi dan dicabutnya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di seluruh wilayah Indonesia, aktivitas tatap muka langsung mulai kembali banyak dilakukan, termasuk layanan kesehatan tatap muka. Hal ini yang kemudian menimbulkan pertanyaan, "Bagaimana dengan masa depan layanan telemedicine di Indonesia?"

Perlu dipahami bahwa istilah telemedicine sebenarnya sudah jauh lebih dulu ada sebelum pandemi COVID-19 terjadi. Tercatat bahwa istilah telemedicine mulai pertama kali diperkenalkan pada 1970-an oleh Thomas Bird; seorang berkebangsaan Amerika menggunakannya untuk merujuk pada pengiriman bantuan medis melalui perangkat telekomunikasi tanpa pertemuan fisik antara dokter dan pasien (Strehle & Shabde, 2006; Battineni et al, 2021).

Di Indonesia, diskursus mengenai telemedicine dalam layanan kesehatan sudah dimulai sejak 1990-an. Isu ini menjadi menarik ketika dalam penerapannya ternyata mengalami berbagai tantangan, seperti keterbatasan infrastruktur, kapasitas SDM yang kurang, permasalahan regulasi, dan ethical practice. Namun demikian, telemedicine sebagai salah satu bentuk transformasi digital kesehatan dinilai dapat menjadi pilihan jawaban atas berbagai masalah yang dihadapi dalam pelayanan kesehatan.

Telemedicine diharapkan dapat menjadi solusi alternatif atas masalah pemerataan akses layanan kesehatan, waktu tunggu yang terlalu lama di rumah sakit/fasilitas kesehatan tingkat pertama, dan meningkatkan kompetensi serta pendidikan dokter dan tenaga kesehatan lainnya.
Akselerasi Transformasi

Mergel dkk (2019) menyatakan bahwa dalam rangka memenuhi harapan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah memberikan layanan digital yang mumpuni, pemerintah mengubah standar operasional mereka demi meningkatkan layanan publik menjadi lebih efisien dan efektif sehingga dapat mencapai tujuannya, di antaranya terkait transparansi, interoperabilitas, dan kepuasan masyarakat.

Transformasi sektor publik kemudian mempertimbangkan transformasi digital sebagai pendekatan organisasi yang komprehensif, bukan hanya sekadar membuat sistem informasi online atau melakukan transisi sistem dari analog ke digital dalam hal pelayanan publik. Karena itu, proses transformasi digital sangat dipengaruhi oleh pihak internal maupun eksternal dan memerlukan penyesuaian yang terus-menerus.

Pandemi COVID-19 secara tidak langsung menjadi pemicu kebutuhan baru terhadap data dan teknologi yang dimanfaatkan dalam rangka peningkatan layanan kesehatan. Di seluruh dunia, berbagai jenis teknologi baru terus berkembang untuk menghasilkan transformasi pelayanan kesehatan digital. Akselerasi radikal ini kemudian menggeser paradigma baru, yaitu pelayanan kesehatan yang lebih berpusat pada pasien dengan memanfaatkan teknologi digital untuk meningkatkan pelayanan kesehatan.

Digitalisasi layanan kesehatan kemudian mengalami percepatan pascapandemi COVID-19, salah satunya terkait dengan penggunaan telemedicine. Meskipun demikian, telemedicine bukan manifestasi tunggal dari sebuah transformasi digital kesehatan. Di Korea misalnya, urgensi penggunaan telemedicine relatif lebih rendah dibanding negara lain karena masyarakat di Korea sudah memiliki akses kesehatan yang sangat baik (Kim Hun-Sung, 2021).

Setidaknya ada empat faktor pendorong transformasi digital di sektor kesehatan, yaitu tekanan mahalnya biaya kesehatan, peningkatan kualitas pelayanan kesehatan, peningkatan kesehatan masyarakat, dan peningkatan kapasitas tenaga kesehatan. Artinya, bahwa teknologi informasi dan layanan kesehatan diharapkan dapat berkembang secara simultan, sehingga perlu adanya akselerasi pada aspek layanan kesehatan agar bisa menyesuaikan diri dengan dinamisnya perkembangan teknologi.

Dapat dipahami bahwa transformasi digital (sebagai bentuk digitalisasi yang bersifat menyeluruh) berkaitan dengan konsep re-engineering business sebagai mekanisme untuk menangkap potensi teknologi informasi. Terminologi ini juga dapat diartikan sebagai transformasi yang paling mendalam dan terakselerasi untuk berbagai aktivitas bisnis, proses, kompetensi, dan model untuk memanfaatkan perubahan teknologi digital dan dampaknya dalam organisasi dengan cara yang strategis (Hamidi et al, 2018).
Hal ini yang kemudian membawa transformasi digital kesehatan sebagai pergeseran paradigma yang telah membawa cara berpikir baru tentang inovasi layanan kesehatan.

Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah menyusun"Cetak Biru Strategi Transformasi Digital Kesehatan 2024 sebagai upaya akselerasi transformasi digital kesehatan yang diharapkan dapat memberikan gambaran kepada para pemangku kepentingan dan seluruh pelaku industri kesehatan tentang arah dan peta jalan transformasi digital kesehatan di Indonesia, setidaknya dalam beberapa tahun mendatang.

Langkah ini perlu ditanggapi secara positif, ketika sektor kesehatan Indonesia dinilai gagap dalam menghadapi krisis kesehatan, khususnya pada saat awal pandemi COVID-19 terjadi. Artinya, pemerintah mulai berbenah, belajar dari hal-hal yang memang perlu dipersiapkan lebih matang untuk menghadapi tantangan global yang terjadi saat ini dan masa yang akan datang, termasuk bagaimana menata kembali sistem pelayanan kesehatan melalui transformasi digital kesehatan.
Masih Banyak Tantangan

Digambarkan dalam Cetak Biru Strategi Transformasi Digital Kesehatan 2024 bahwa masih banyak tantangan kesehatan digital di Indonesia, salah satunya terkait dengan data kesehatan yang masih terfragmentasi. Tantangan utamanya, lebih dari 80% fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia saat ini belum tersentuh teknologi digital, serta data yang terfragmentasi dan tersebar di ratusan aplikasi kesehatan sangat bervariasi dan tidak terstandar.

Tercatat setidaknya ada 400 lebih aplikasi pemerintah sektor kesehatan yang dibuat oleh berbagai satuan kerja baik di tingkat pusat maupun daerah, serta pihak swasta, dengan data yang tidak terintegrasi dan tidak terstandar. Misalnya dalam layanan kefarmasian, tidak adanya standardisasi kode produk dan material bahan baku, data stok obat dan alat kesehatan yang disimpan terpisah di masing-masing instansi, serta rendahnya sistem monitoring distribusi pasokan medis.

Hal ini yang kemudian berdampak pada tidak maksimalnya pemerintah dalam menyajikan data dan informasi saat awal pandemi terjadi. Pemerintah dinilai tidak transparan terhadap data dan cukup kalang kabut dalam mengantisipasi dan menangani pandemi COVID-19 saat itu. Benang kusut ini akan menimbulkan permasalahan baru ke depannya jika tidak ditata dengan baik. Dalam kaitan ini, pemerintah berperan dalam menyusun regulasi yang dapat digunakan untuk mengatur sistem data kesehatan, termasuk mendesain kembali arsitektur tata kelola data kesehatan.

Tantangan lainnya adalah terkait keterbatasan regulasi dan masih adanya policy gap. Dapat dipahami bahwa perkembangan teknologi digital kesehatan memiliki agilitas yang tinggi. Di satu sisi ada kebutuhan masyarakat terhadap akses pelayanan kesehatan yang terus meningkat, di sisi lain inovasi digital akan selalu berkembang menyesuaikan dinamika permintaan pasar.

Sayangnya, pemerintah dianggap tidak bisa mengimbangi perubahan yang dinamis tersebut, termasuk bagaimana menyusun regulasi yang dapat mengakomodasi dinamika perubahan sosial. Hal ini akan menghambat perkembangan teknologi digital inovatif di bidang kesehatan jika tidak dilakukan perbaikan di level kelembagaan sebagai aktor penting dalam penyusunan regulasi yang mendukung akselerasi transformasi digital kesehatan.

Sebagai contoh misalnya regulasi terkait telemedicine, yang hingga saat ini masih menjadi polemik tentang bagaimana sebaiknya mengatur dan memayungi kegiatan pelayanan kesehatan jarak jauh melalui aplikasi daring tersebut, baik dari sisi legal practice, pembiayaan kesehatan, ethical, dan aspek teknis lainnya. Sebelumnya, regulasi terkait telemedicine diatur melalui Permenkes Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Telemedicine Antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

Namun regulasi ini dianggap kurang komprehensif karena hanya mengatur kegiatan pelayanan telemedicine antar fasilitas pelayanan kesehatan saja, tidak mengatur tentang bagaimana pelayanan kesehatan jarak jauh yang dilakukan antara fasilitas pelayanan kesehatan dengan pasien. Hingga pada masa pandemi COVID-19 dibentuk Kepmenkes Nomor HK.01.07/Menkes/4829/2021 tentang Pedoman Pelayanan Kesehatan Melalui Telemedicine pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Kebijakan ini pun hanya berlaku pada masa pandemi COVID-19 saja, tentang bagaimana dengan kedepannya belum diatur secara spesifik.

Angin segar datang ketika Permenkes Nomor 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis kemudian resmi ditetapkan pada Agustus 2022. Peraturan ini menggantikan peraturan sebelumnya (Permenkes Nomor 269/MENKES/PER/III/2008) yang juga mengatur tentang Rekam Medis. Beberapa hal yang mendasari dicabutnya Permenkes 269/2008 adalah bahwa Permenkes tersebut sudah tidak sesuai dengan perkembangan teknologi, dimana dalam peraturan tersebut belum mengatur tentang legalitas terhadap penyelenggaraan rekam medis elektronik.

Secara garis besar dari yang teramati, ada tiga hal baru yang diatur dalam Permenkes 24/2022 yaitu sistem rekam medik elektronik, kegiatan penyelenggaraan rekam medis elektronik, serta keamanan dan perlindungan data rekam medis elektronik. Yang perlu menjadi catatan, Permenkes 24/2022 memberikan kewenangan yang besar terhadap Kementerian Kesehatan.

Fasilitas pelayanan kesehatan harus membuka akses terhadap seluruh isi rekam medis elektronik kepada Kementerian Kesehatan (Pasal 28 ayat 1) dan sistem penyelenggaraan rekam medis elektronik yang diselenggarakan oleh fasilitas pelayanan kesehatan harus terintegrasi di Kementerian Kesehatan. Kewenangan besar ini akan memberikan tanggung jawab yang besar juga kepada pemerintah, khususnya tanggung jawab terhadap perlindungan data pribadi yang mana kita ketahui bahwa isu keamanan data di Indonesia dinilai masih lemah.
Rekomendasi

Dalam upaya transformasi digital kesehatan, pemerintah tidak bisa bergerak sendiri tanpa dukungan dari entitas eksternal, termasuk di dalamnya adalah pihak swasta. Lebih lanjut, penelitian telah menunjukkan bahwa keselarasan ekosistem digital menggarisbawahi pentingnya hubungan yang erat antara proses bisnis dan proses teknis dengan cara meningkatkan value yang berasal dari transformasi digital dan membantu mempromosikan keberlanjutan jangka panjang (Hustad, 2021; Jonathan, 2021).
Hal ini bisa dimaknai bahwa transformasi digital bukan sekadar "proyek perubahan" bidang IT semata, melainkan transformasi yang dilakukan secara holistik. Perlu komitmen dari seluruh pemangku kepentingan dan peran kepemimpinan yang transformatif. Langkah strategis yang bisa dilakukan adalah dengan membangun nilai-nilai publik dalam transformasi digital kesehatan. Ekosistem kesehatan digital adalah infrastruktur yang dapat mentransformasikan model layanan kesehatan yang berpusat pada organisasi menjadi model yang berpusat pada pasien, dimana tujuan utamanya adalah untuk memberikan layanan kesehatan yang kolaboratif dan multidisiplin.

Terakhir, seiring dengan meluasnya ketergantungan organisasi pada internet dan cloud computing, kebutuhan peningkatan keamanan siber dan perlindungan hak privasi pengguna individu/perusahaan berubah dari penting menjadi wajib. Setidaknya ada dua masalah manajemen yang menjadi perhatian para pakar teknologi informasi sebelum, selama, dan ketika pandemi mulai mereda, yaitu keamanan dan privasi data dan penyelarasan bisnis proses. Artinya, dalam proses transformasi digital kesehatan sangat penting untuk diperhatikan terkait keamanan data.

sumber: https://news.detik.com/kolom/d-6543448/telemedicine-dan-transformasi-kesehatan-pascapandemi