Ancaman Tersembunyi Tuberkulosis: Kontribusi Bagi Dampak Penularan Global
Tuberkulosis (TB) diketahui sering berhubungan dengan gejala batuk, demam, atau penurunan berat badan. Namun, studi Emery et. al (2022) melalui analisis empat survei prevalensi di Asia dan Afrika menemukan bahwa penularan TB justru banyak terjadi pada individu yang tidak menunjukkan gejala apapun. Studi ini menggunakan pendekatan pemodelan berbasis Bayesian yang mengintegrasikan data household contacts, tingkat hasil uji lab smear-positivity, dan estimasi durasi penyakit untuk menghitung kontribusi relatif setiap fase TB terhadap penularan. Hasilnya ditemukan bahwa durasi TB subklinis cenderung lebih panjang daripada fase klinis sehingga akumulasi penularan tetap lebih besar meskipun infektivitas per hari sedikit lebih rendah.
Analisis terhadap 414 pasien TB dan 789 kontak serumah menunjukkan bahwa pasien dengan TB subklinis memiliki tingkat infektivitas yang hampir setara dengan pasien TB klinis. Pasien tersebut bahkan berpotensi dua kali lebih tinggi per satuan waktu karena fase subklinis dapat berlangsung lebih lama. Ketika dipadukan dengan data dari 14 survei prevalensi nasional, model menyimpulkan bahwa sekitar 68% penularan TB global berasal dari kasus subklinis dengan variasi 45–84% antarnegara. Penelitian Emery et. al (2022) juga menyoroti bahwa sepertiga pasien subklinis ternyata memiliki smear-positif. Hal ini menunjukkan bahwa kapasitas penularan tinggi dan banyak pasien yang tidak mampu menghasilkan sputum sehingga tidak terdeteksi melalui metode konvensional.
Selain itu, penelitian membandingkan pola antarnegara dan menemukan bahwa negara dengan proporsi TB subklinis tinggi memiliki beban ancaman tersembunyi yang jauh lebih besar. Temuan tersebut terutama terjadi di kawasan dengan akses skrining rendah atau ketergantungan tinggi pada deteksi berbasis gejala. Studi ini juga menggarisbawahi bahwa skrining gejala, termasuk algoritma “batuk ≥2 minggu”, melewatkan banyak kasus yang secara bakteriologis sudah positif dan berpotensi menular. Peneliti menekankan perlunya strategi skrining aktif berbasis populasi, penggunaan pemeriksaan radiologi dan alat deteksi molekuler yang tidak bergantung pada sputum, serta integrasi skrining TB pada pelayanan rawat jalan atau pemeriksaan rutin bagi kelompok berisiko tinggi.
Implikasi penelitian ini bagi praktik pelayanan mutu kesehatan tentunya sangat luas. Bagi manajemen rumah sakit dan pembuat kebijakan, temuan ini dapat mendorong upaya investasi perencanaan deteksi dini. Upaya misalnya dapat dilakukan melalui pemanfaatan artificial intelligence untuk pembacaan foto toraks dan pergeseran paradigma dari deteksi pasif ke pencarian aktif kasus. Kesimpulan utama penelitian ini jelas, yakni kasus subklinis TB adalah sumber penularan terbesar yang selama ini terabaikan. Strategi eliminasi TB global tidak akan tercapai tanpa melibatkan prioritas fase subklinis sebagai prioritas utama dalam kebijakan, program, dan intervensi di tingkat layanan maupun komunitas.
Disarikan oleh:
Nikita Widya Permata Sari, S. Gz., MPH
(Peneliti Divisi Mutu PKMK FK-KMK UGM)
Selengkapnya: https://elifesciences.org/articles/82469









