Reportase Kaleidoskop Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan Tahun 2021
PKMK-Yogya. Pada Rabu (29/12/21) diselenggarakan Seminar "Kaleidoskop Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan Tahun 2021" yang merupakan forum diskusi bagi Divisi Manajemen Mutu PKMK FK-UGM dengan membagikan informasi mengenai beberapa kegiatan peningkatan mutu yang telah dilakukan selama tahun 2021". Kegiatan ini menghadirkan lima narasumber yang berasal dari internal divisi manajemen mutu, yaitu Dr. dr. Hanevi Djasri, MARS FISQua, dr. Muhammad Hardhantyo MPH, Ph.D, FRSPH, dr. Aldilas A.N., M.Sc., Eva Tirtabayu Hasri S.Kep,MPH dan Andriani Yulianti, SE, MPH, serta moderator diskusi yaitu Lucia Evi Indriarini, SE., MPH.
Peningkatan Mutu Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR) di Kabupaten/Kota Melalui Kurikulum Yang Terakreditasi oleh PPSDM
dr. Muhammad Hardhantyo MPH, Ph.D, FRSPH
SKDR diimplementasikan di Indonesia sejak tahun 2009 melalui Subdit Surveilans dan Respon KLB Direktorat Surveilans Epidemiologi, Imunisasi dan Kesehatan Matra (Ditjen P2PL) Kementerian Kesehatan RI. Prinsip utama SKDR adalah pendeteksian ancaman indikasi KLB penyakit menular yang dilaporkan setiap minggu, yang akan menampilkan alert atau sinyal peringatan dini jika terjadi peningkatan kasus penyakit melebihi nilai ambang batas pada suatu wilayah.
Ada beberapa hal yang menjadi catatan untuk meningkatkan mutu SKDR yakni peningkatan dari sisi input yakni mengintegrasikan database JKN dengan SKDR, dari sisi proses yakni penggunaan data SKDR dengan melakukan peningkatan kemampuan staf tenaga surveillans sehingga dapat menghasilkan output peningkatan alert dan respon. Beberapa hal yang akan dilakukan pada tahun 2022 yakni implementasi pelatihan aplikasi SKDR di Yogyakarta pada Januari 2022, pelatihan jarak jauh di 3 Provinsi serta otomatisasi pengisian data surveilans kewaspadaan dini pada penyakit yang berpotensi wabah melalui integrasi SKDR dengan database JKN.
Pengembangan SKDR terintegrasi data JKN
dr. Aldilas A.N., M.Sc.
Kegiatan ini dilatar belakangi oleh Input data masih manual, kelengkapan dan ketepatan data tidak akurat (<50% di tahun 2020), diketahui juga bahwa data aggregat BPJS Kesehatan mampu membantu daerah yang untuk mendeteksi dini KLB dan melengkapi laporan, serta sudah ada negara yang menggunakan data klaim asuransi sebagai surveillans dini wabah. Penggunaan data BPJS dapat memberikan informasi jumlah kasus non-event based berdasarkan jenis kelamin, memberikan informasi jumlah kasus non-event based berdasarkan kelompok umur, hingga dapat membandingkan data indicator-based surveillance SKDR dengan aggregate BPJS.
Untuk mendukung hal tersebut diperlukan beberapa upaya yakni membuat mockup dashboard dengan data sample, pembahasan PKS turunan, PKS diharapkan disetujui BPJSK & kemenkes, kemudian pembuatan juknis, juknis selesai disusun, lau melakukan interoperability data (pembuatan API, persiapan server, embedding ke dalam dashbord SKDR), dan Release.
Intergrasi mutu pelayanan kesehatan primer melalui care pathways
Eva Tirtabayu Hasri S.Kep,MPH
Penggunaan care pathway dalam mewujudkan layanan kesehatan yang terintegrasi merupakan hal yang esensial untuk transformasi layanan primer dalam mewujudkan UHC yang bermutu serta berpusat pada keselamatan pasien. Tentu saja hal ini membutuhkan transformasi sistem pelayanan kesehatan yang besar, sumber daya yang banyak, dan waktu yang tidak sedikit. Namun demikian, hal ini perlu dilakukan untuk memperkuat pelayanan kesehatan primer. Implementasi care pathways dapat dilakukan melalui 3 tahapan besar mulai dari perencanaan/desain, implementasi, dan evaluasi.
Care pathways sendiri dapat bermanfaat diantaranya; Meningkatkan kolaborasi, komunikasi, dan koordinasi pelayanan diantara multidisciplinary team yang terlibat; Menjamin kepatuhan implementasi guideline atau SOP klinis oleh masing-masing anggota dari multidisciplinary team; Mengurangi rujukan non-spesialistik yang tidak perlu ke RS serta penggunaan sumber daya yang lebih efektif dan efisien; Meningkatkan komunikasi dan interaksi antara pasien dan tenaga kesehatan.
Upaya Penerapan Klasifikasi Robson
Andriani Yulianti, SE, MPH
Sistem Klasifikasi Sepuluh Kelompok (The Ten Group Classification System-TGCS) yang juga dikenal sebagai Klasifikasi Robson, dapat digunakan di tingkat rumah sakit sebagai acuan dalam menentukan apakah tindakan SC sesuai dengan indikasi yang dibutuhkan (WHO 2017). Klasifikasi Robson diharapkan dapat menggantikan kriteria untuk melihat prognosis persalinan sejak ibu masuk rumah sakit. Klasifikasi Robson ini membantu dalam strategi menurunkan angka rerata SC dan memperhatikan keselamatan pasien sehingga dapat memperbaiki luaran ibu dan bayi.
PKMK telah selesai menyusun Modul Klasifikasi Robson, yang dikembangkan dari buku yang telah dibuat oleh WHO (2017). Modul Klasifikasi Robson ini diharapkan dapat digunakan sebagai alat menentukan indikasi SC (prospective) dan juga sebagai alat kajian audit tindakan SC (retrocpective) yang telah di ujicobakan di 4 RS yakni RSUD Panembahan Senopati Bantu, RSKIA Sadewa, RSUD Pandan Arang Boyolali, dan RSUD Bagas Waras Klaten.
Perkembangan sistem akreditasi RS di Indonesia
Dr. dr. Hanevi Djasri, MARS FISQua,
Akreditasi merupakan salah satu upaya yang dianggap efektif dalam peningkatan mutu RS, Akreditasi RS di Indonesia dan telah berjalan cukup lama, pernah mengalami saat “tidak dianggap” hingga saat “menjadi dominan” serta akuntabilitas sistem akreditasi dalam meningkatkan mutu RS di Indonesia banyak dipertanyakan: apakah efektif? efisien? tepat sasaran? Terdapat beberapa usulan yang disampaikan untuk memperkuat sistem akreditasi yakni secara umum mengembangkan sistem akreditasi Fasyankes yang lebih efektif dan efisien dalam meningkatkan mutu Fasyankes, dan secara khusus: 1) Perlu ada indikator efektifitas sistem akreditasi, misalnya (perlu disesuaikan dengan NQPS), 2) Perlu membatasi jumlah standar, fokus area, dan elemen penilaian sesuai dengan tujuan spesifik akreditasi, agar kegiatan akreditasi berjalan dengan efisien, 3) Menetapkan 1 standar akreditasi nasional untuk masing-masing jenis Fasyankes yang digunakan oleh semua Lembaga akreditasi baik dari dalam maupun luar negeri: Misalnya SAN-RS, 4) Mempersilahkan lembaga akreditasi untuk menyusun, menawarkan, dan menggunakan standar akreditasi tambahan sebagai pelengkap, 5) Membentuk Komite Nasional Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia (KN-MPMI) yang bertugas untuk menyusun sistem dan standar mutu yang akan digunakan termasuk dalam akreditasi, termasuk secara periodik merevisi standar, 6) Menggunakan standar dari ISQua (ïƒ ISQua External Evaluation Association/IEEA) untuk acuan penyusunan regulasi penetapan lembaga independen penyelenggara akreditasi, namun dipilih hanya yang esensial saja.
Materi dan video dapat diakses pada link berikut klik disini