Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Ringkasan Eksekutif

Program Percepatan Penanggulangan Stunting di Indonesia:
Hasil Evaluasi

Disusun oleh: PKMK FK-KMK UGM
Didukung oleh: JICA Indonesia

Pendahuluan

Sebagai negara dengan perkembangan ekonomi yang cukup cepat di regional, Indonesia telah berhasil mengurangi angka kemiskinan dan meningkatkan pencapaian beberapa indikator kunci kesehatan, namun masalah gizi masih menjadi tantangan terbesar yang masih belum terselesaikan. Hasil Riskesdas 2018 menunjukan lebih dari 30% anak dibawah 5 tahun mengalami stunting, lebih dari 19% menderita gizi buruk, dan 11% obesitas. Secara global, Indonesia berada diantara negara dengan performa yang buruk untuk urusan gizi. Sebagai respon dari situasi ini, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Strategi Nasional untuk Percepatan Penanggulangan Stunting (Stranas Stunting) 2018-2024, dimana Indonesia menargetkan untuk menurunkan angka stunting menjadi 14% pada tahun 2024.

Stranas Stunting memaparkan Lima Pilar Pencegahan Stunting yang merujuk pada Keputusan Wakil Presiden pada Rapat Tingkat Menteri tentang stunting pada 9 Agustus 2017. Lima Pilar tersebut adalah: 1) Komitmen dan visi pemimpinan tertinggi negara; 2) Kampanye nasional berfokus pada pemahaman perubahan perilaku, komitmen politik, dan akuntabilitas; 3) Konvergensi, koordinasi, dan konsolidasi program nasional, daerah, dan masyarakat; 4) Mendorong kebijakan ketahanan pangan dan 5) Pemantauan dan evaluasi. Pada tahun 2024 Stranas Stunting tersebut akan berakhir, diperlukan gambaran sejak dini mengenai implementasi dari program percepatan penanggulangan stunting di Indonesia. Untuk itu Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Universitas Gadjah Mada (PKMK UGM) didukung oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) melakukan studi untuk mengetahui pelaksanaan dan hasil program penurunan stunting di Indonesia. Temuan dari studi ini diharapkan dapat membantu semua pihak termasuk Pemerintah, mitra pemerintah, akademisi, dan Pemerintah daerah dalam melakukan evaluasi dan perbaikan program ke depannya.

Metode:

Studi ini menggunakan pendekatan explanatory research untuk menjawab pertanyaan program percepatan penanggulangan stunting mana yang berhasil/tidak berhasil dan mengapa berhasil/tidak berhasil. Metode yang digunakan terdiri dari analisa dokumen dan data sekunder, Non-Government Organization (NGO) analisis, dan studi perbandingan Provinsi Jawa Barat, Bali, dan Nusa Tenggara Timur (NTT) yang merepresentasikan daerah dengan prevalensi stunting tinggi dan rendah. Evaluasi dilakukan pada bulan Agustus-Oktober 2022.

Hasil

           a. Gambaran kondisi stunting dan faktor resikonya

Prevalensi stunting secara nasional menunjukan trend penurunan walaupun belum signifikan, yaitu 37,2% pada tahun 2013, 30,8% pada 2018, dan 24% pada tahun 2021. Belum ada metode monitoring dan evaluasi tahunan yang cukup reliabel untuk menilai penurunan ini. Hasil SSGI tahun 2021 menunjukan hanya ada 4 dari 34 provinsi yang berhasil mencapai kategori hijau untuk prevalensi stunting (<20%). Prevalensi stunting yang tinggi berkaitan dengan berbagai indikator kunci, beberapa indikator terutama yang berkaitan dengan upaya preventif masih rendah, yaitu: cakupan suplementasi zat besi untuk remaja putri, cakupan ASI ekslusif, cakupan imunisasi dasar, dan akses ke Posyandu pada anak dibawah 5 tahun. Indikator kunci dalam intervensi gizi sensitive juga mendalami kendala diantaranya akses ke layanan KB, akses ke bantuan pangan dan PKH bagi rumah tangga 1.000 HPK, dan jaminan kesehatan bagi ibu dan anak yang masih rendah.

Hasil studi komparatif di tingkat kabupaten menunjukan bahwa kabupaten dengan angka prevalensi stunting rendah mempunyai performa yang lebih baik dalam pencapaian indikator-indikator program dibandingkan dengan kabupaten dengan angka prevalensi stunting tinggi. Pencapaian indikator seperti cakupan suplementasi zat besi dan makanan tambahan bagi ibu hamil dan ibu dengan KEK di Garut, Jawa Barat dan Timor Tengah Selatan, NTT jauh dibawah pencapaian dari kebupaten lainnya dalam studi ini. Sayangnya, beberapa indikator penting lainnya seperti cakupan ASI ekslusif, cakupan pemberian makanan bagi bayi dan anak, dan promosi dan edukasi gizi tidak bisa dianalisis secara mendalam karena keterbatasan dan validitas data yang tersedia di kabupaten.

b. Organisasi dan tata kelola penanggulangan stunting

Pengorganisasian dan tata kelola tim penanggulangan stunting cukup kompleks dengan banyaknya stakeholder yang terlibat mulai dari Pemerintah (nasional dan daerah), mitra pemerintah (NGO dan lembaga donor), akademisi, media, dan sektor swasta. Melalui Perpres 72/2021 Pemerintah telah mengatur terkait dengna pengorganisasian ini melalui pembentukan Tim Percepatan Penanggulangan Stunting (TPPS) mulai dari tingkat pusat hingga desa. Mitra pemerintah bekerja bersama-sama dengan pemerintah dalam mendukung implementasi program termasuk memberikan input secara teknis, membuat dan menguji inovasi yang terbukti mampu mendukung program gizi, mendukung pembuatan kebijakan dan regulasi, mendukung rangkaian rapat dan koordinasi, dan lain sebagainya. Di daerah, keberadaan TPPS dalam sistem koordinasi yang sudah terbentuk sebelumnya dibawah kendali Pokja atau Tim Kerja Penanggulangan Stunting membutuhkan waktu untuk penyesuaian. Di beberapa kabupaten, keberadaan TPPS ini berpotensi menimbulkan disharmonisasi apabila tidak diantisipasi dengan baik. Semua pihak yang tergabung dalam penanggulangan stunting perlu diberikan pemahaman mengenai TPPS termasuk tugas dan fungsinya didalam tim sehinga tidak tumpang tindih dan menimbulkan konflik kepentingan.

 c. Kebijakan dan regulasi penanggulangan stunting

Sejak diluncurkannya StraNas Stunting pada tahun 2018, kebijakan dan peraturan di level kementerian dan badan telah bertransformasi mengikuti dukungan yang diperlukan untuk menyukseskan program penanggulangan stunting. Beberapa penyesuaikan yang dilakukan antara lain memperkenalkan tagging distem untuk monitoring alokasi dan penggunaan anggaran, memperkenalkan convergence scorecard untuk monitoring performa desa, pengaturan untuk capacity building/pelatihan, prioritisasi untuk rumah tangga 1.000 HPK dalam skema jaminan sosial, dan regulasi perencanaan dan penganggaran untuk pemerintah daerah. Selain itu, isu stunting juga menjadi salah satu isu prioritas di dalam RPJMN dan rencana strategis Kementerian Kesehatan yang diikuti dengan beberapa aturan turunannya. Yang paling baru adalah dikeluarkannya Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Angka Stunting Indonesia (RAN PASTI) yang diharapkan dapat memberikan arah yang lebih jelas untuk implementasi program ke depannya. Di level daerah, pemerintah daerah juga mengeluarkan berbagai peraturan baik itu dalam bentuk Surat Keputusan atau Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota terkait dengan stuntukng. Peraturan tersebut mencakup peraturan untuk memperjelas aturan nasional yang sudah ada atau untuk mendukung inovasi daerah yang dibuat untuk mendukung penanggulangan stunting.

d. Service delivery yang berkaitan dengan gizi

Sebagian besar layanan yang berkaitan dengna gizi diberikan oleh staff di daerah melalui Puskesmas atau Dinas terkait lainnya. Namun demikinan, Sebagian besar input untuk layanan ini disediakan oleh pemerintah pusat termasuk vaksin, vitamin A, suplemen makanan, antropometi kit, dan sebagainya. Setiap kabupaten mempunyai pendekatan yang berbeda untuk memastikan semua layanan gizi dapat terdistribusi dengan baik. Sebagian besar inovasi yang dibuat di daerah bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran dari masyarakat terkait dengan stunting, faktor determinannya, dan meningkatkan cakupan layanan. Tantangan yang dihadapi di kabupaten hampir sama yakni keterbatasan sumber daya manusia dan kekurangan peralatan pendukung. Staff gizi yang ada di Puskesmas jumlahnya terbatas dan tidak semua dilatih dengan baik apalagi kader sebagai pemberi layanan di komunitas. Mereka tidak mendapatkan insentif yang memadai dan jarang dilibatkan dalam pelatihan yang berkaitan dengan gizi. Peralatan seperti antropometri kit tidak tersedia di semua Puskesmas yang mana akan memperpanjang pengumpulan data dan berdampak pada validitas dari data yang dikumpulkan. Kegiatan dikomunitas seperti edukasi dan promosi gizi tidak dapat dilakukan karena beban kerja yang berat dari petugas dan minim inovasi pada program penjangkauan komunitas.

e. Sistem informasi kesehatan

Sistem informasi kesehatan untuk stunting telah mendapatkan peningkatan yang cukup signifikan dengan diadopsinya sistem elektronik dalam pengumpulan data. Namun demikian, hal ini tidak direspon dengan peningkatan kemampuan dari sisi supply. Terbatasnya infrastruktur dan fasilitas seperti komputer, smarthone, koneksi internet, dan kemempuan operator dalam mengoperasikan aplikasi masih menjadi tantangan terbesar di hampir semua Puskesmas. Staff Puskesmas kewalahan dalam mengoperasikan berbagai macam sistem informasi termasuk berbagai survey (Riskesdas, SSGI, Susenas, Pendataan Keluarga) dan aplikasi (e-PPBGM, mHealth, ASDK, dll). Hasil komparatif case studi menunjukan bahwa masih terjadi perdebatan di level kabupaten terkait dengan validitas dari data stunting terutama antara SSGI dan e-PPBGM yang seringkali tidak sinkron. Selain itu, pemilihan indikator-indikator kunci untuk monitoring program juga belum memperimbangkan indikator kualitas dimana lebih banyak menyasar cakupan/coverage yang mana tidak direkomendasikan oleh WHO.

f. Pembiayaan program penanggulangan stunting

Pembiayaan untuk program penanggulangan stunting juga tidak kalah kompleks dimana melibatkan berbagai macam sumber yang dikelola oleh berbagai stakeholder. Sejak diluncurkannya StraNas Stunting, pembiayaan stunting di Indonesia naik sangat signifikan di tingkat pusat maupun di daerah. Walupun demikian, pembiayaan dari Pusar masih mendominasi dibandingkan dengan daerah melalui berbagai macam skema transfer dan pembelanjaan. Masalah efisiensi masih menjadi tantangan terbesar dengan beberapa faktor penghambat seperti rantai birokrasi yang panjang, kompetensi staff perencana yang terbatas, jadwal yang tidak sinkron untuk berbagai skema pembiayaan, dan kapasitas staff lapangan dalam mengeksekusi program.

Kesimpulan dan Saran

Temuan dari studi ini mengindikasikan bahwa masih banyak yang perlu diperbaiki dari program penanggulangan dan percepatan stunting yang ada saat ini terutama untuk percepatan dan sustanabilitas dari program. Semua pihak perlu bekerja secara bersama-sama dengan aksi konvergensi yang menjadi basis dari program penanggulangan stunting ini untuk menyelesaikan permasalahan kunci yang masih menghambat pemberian layanan gizi yang berkualitas. Rekomendasi yang dapat diberikan diantaranya adalah perbaikan pada sistem informasi, perbaikan pada proses perencanaan dan penganggaran dengan panduan yang lebih jelas dan terarah, peningkatan mutu layanan gizi di masyarakata, dan penguatan organisasi serta tatakelola tim penanggulangan stunting di semua level.

SLIDE PRESENTASI DAPAT DI AKSES MELALUI LINK BERIKUT: