Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Workplace bullying and its impact on the quality of healthcare and patient safety

Perundungan di tempat kerja (Workplace Bullying/WPB) merupakan perilaku mengganggu yang mungkin terjadi dalam profesionalisme industri kesehatan. Menurut, World Health Organization (WHO), WPB merupakan insiden di mana individu menghadapi penganiayaan yang berulang dan membahayakan kesehatan. Hal ini sering ditandai dengan persistensi dan durasi jangka panjang , serta disebabkan oleh faktor psikososial, budaya, dan/atau individu. WPB mencakup serangan langsung seperti memukul, mengumpat, mengejek, atau serangan tidak langsung seperti menyebarkan rumor. Salah satu jenis utama perundungan adalah perundungan sosial, yaitu, “perilaku yang menyinggung,” yang melibatkan lelucon yang tidak dapat diterima terkait dengan gender, penghinaan di depan umum, lelucon praktis, fitnah, dan eksploitasi. Sebuah studi yang diterbitkan oleh WHO menyatakan bahwa persentase praktisi kesehatan di negara seperti Brazil 39,5%, Bulgaria 32,2%, Afrika Selatan 52%, Thailand 47,7%, Portugal 27,4%, Lebanon 40,9%, dan Australia hingga 67%, telah mengalami pelecehan verbal dalam kurun 1 tahun.

Meskipun WPB merupakan hal umum di dunia, implikasi dan tolerabilitasnya bervariasi menurut budaya, moral, dan nilai praktisi kesehatan yang tertanam dalam komunitas, juga tercermin dalam lingkungan layanan kesehatan. Pada individu, WPB di antara pekerja layanan kesehatan telah dikaitkan dengan peningkatan penyakit. Dalam studi retrospektif, disebutkan praktisi layanan kesehatan sebagian besar dipengaruhi oleh kondisi kerja mereka yang penuh tekanan. Demikian pula, konsekuensi organisasi dari WPB dapat terwujud dalam lingkungan kerja yang toksik atau tidak bersahabat, yang sangat terkait dengan mutu layanan dan keselamatan pasien yang terganggu. Hal ini menghambat kerja tim, menghalangi komunikasi, mengganggu perilaku, dan meningkatkan kesalahan medis dengan memengaruhi mutu organisasi layanan kesehatan.

Pembullyan di tempat kerja menyebabkan kekhawatiran. Rasa khawatir menandakan bahwa praktisi tersebut telah terpapar WPB, atau menyaksikan insiden yang dialami oleh seorang kolega. Tujuan lainnya adalah bahwa kekhawatiran terus-menerus tentang WPB menciptakan lingkungan berisiko tinggi bagi karyawan. Hal ini juga memengaruhi produktivitas dan tingkat konsentrasi, yang dapat meningkatkan kemungkinan kesalahan serta membahayakan mutu layanan dan keselamatan pasien. Terakhir, praktisi yang khawatir akan WPB dapat dikuasai rasa takut karena kurangnya pengetahuan mereka tentang pencegahan, penanganan, dan pelaporan insiden WPB.

Studi ini mengadopsi studi cross-sectional, survei diisi sendiri oleh praktisi kesehatan (dokter, perawat, farmasi, pegawai administrasi, dan teknisi)dan didistribusikan di antara praktisi layanan kesehatan di empat rumah sakit di berbagai wilayah geografis Arab Saudi. Kuesioner survei terdiri dari sosiodemografi dan karakteristik profesional peserta, termasuk jenis kelamin, usia, status perkawinan, tingkat pendidikan, kebangsaan, durasi kerja, posisi pekerjaan, dan pelatihan atau paparan sebelumnya terhadap WPB. WHO mendefinisikan WPB sebagai bentuk penganiayaan multifaset, yang ditandai dengan paparan berulang terhadap satu orang terhadap agresi fisik dan/atau emosional. Para peserta diinstruksikan untuk mengisi berbagai bentuk bullying: fisik, verbal, seksual, atau sosial. Bullying fisik menyebabkan cedera pada tubuh atau properti seseorang dengan memukul, menendang, meludah, mencubit, mendorong, dan menggunakan bahasa tubuh yang kasar. Bullying verbal melibatkan penggunaan kata-kata yang menyinggung melalui ejekan, penghinaan nama, dan/atau komentar seksual yang tidak dapat diterima. Bullying relasional atau sosial menunjukkan adanya kerusakan reputasi atau hubungan seseorang dengan menyebarkan rumor, secara terang-terangan mengabaikan keberadaannya, atau mempermalukan seseorang di depan umum.

Kekhawatiran (worry) didefinisikan sebagai ide, gambaran, emosi, atau tindakan negatif yang tidak dapat dikendalikan oleh seseorang dan dialami secara berulang-ulang. Orang yang khawatir melakukan analisis risiko kognitif proaktif terhadap suatu objek, orang, peristiwa, atau situasi dalam upaya menghindari, memecahkan, atau mengantisipasi potensi ancaman. Beberapa orang percaya bahwa kekhawatiran bisa jadi merupakan respons terhadap tantangan yang netral, ringan, atau sedang, atau bahkan terhadap tantangan yang tidak ada. Dari perspektif psikologis, orang yang khawatir adalah individu yang cemas tentang masalah nyata atau imajiner, seperti kesehatan, keuangan, lingkungan, dan teknologi.

Dampak WPB terhadap kinerja kerja dan keselamatan pasien

Peserta penelitian memiliki rasa khawatir tentang WPB yang meningkatkan tingkat stres mereka. Mereka menyatakan bahwa WPB berdampak negatif pada kinerja kerja mereka dan menyebabkan masalah komunikasi antar anggota staf. Skor median keseluruhan untuk kekhawatiran adalah 81,7. Sebagian besar responden ( n = 885, 82,4%) dapat diklasifikasikan mengalami rasa khawatir.

Faktor-faktor yang berhubungan dengan kekhawatiran tentang WPB

Analisis data menunjukkan bahwa perempuan (83,3%) dan praktisi yang lebih muda (90,0%) secara signifikan melaporkan skor yang lebih tinggi. Praktisi lajang (86,7%) dan praktisi yang lebih terdidik (90,0%) juga secara signifikan memiliki skor yang lebih tinggi. Praktisi dengan pengalaman kerja yang lebih sedikit juga lebih khawatir tentang WPB. Mereka yang mengaku pernah terpapar WPB sebelumnya, secara signifikan memiliki rasa khawatir lebih banyak. Hubungan negatif yang signifikan ditemukan antara penilaian diri praktisi terhadap mutu layanan dan keselamatan pasien di rumah sakit serta tingkat kekhawatiran dengan WPB. Praktisi yang lebih terdidik memiliki kemungkinan 1,7 kali lebih besar untuk merasa khawatir tentang WPB dibandingkan dengan kelompok yang kurang terdidik. Responden dengan pengalaman yang lebih sedikit memiliki kemungkinan 1,6 kali lebih besar untuk merasa khawatir tentang WPB. Mereka yang belum pernah menerima pelatihan sebelumnya tentang WPB dan mereka yang pernah terpapar WPB, keduanya lebih mungkin merasa khawatir dibandingkan dengan kelompok yang tidak .

Praktisi perempuan dan lajang di fasilitas kesehatan multi-regional ini menunjukkan tingkat kekhawatiran tertinggi tentang WPB. Keterlibatan perempuan dalam angkatan kerja telah meningkat drastis di Arab Saudi, dan dibandingkan dengan pekerja laki-laki, perempuan lebih rentan terhadap WPB. Bagi beberapa praktisi, kebutuhan mereka akan pekerjaan lebih besar daripada akibat WPB, namun setiap administrator rumah sakit harus berusaha untuk menjamin keselamatan dan kepuasan mereka. Para penulis juga percaya bahwa karyawan muda dan lajang mungkin tidak memiliki beberapa keterampilan yang membantu menghindari, menangani, dan menghadapi pelaku WPB. Anehnya, praktisi yang lebih berpendidikan memiliki tingkat kekhawatiran tertinggi tentang WPB. Salah satu kemungkinan alasan adalah bahwa kategori praktisi ini bisa lebih diirikan oleh rekan-rekan mereka dengan tingkat karier yang sama atau oleh manajemen mereka (iri hati ke bawah atau ke atas). Iri hati adalah prediktor permusuhan, persaingan, atau perilaku agresif yang ditunjukkan dalam WPB, dan juga terkait dengan perilaku kerja yang kontraproduktif.

WPB pada praktisi dan kelanjutan layanan pasien dapat berbahaya, tidak hanya dalam hal kesalahan atau layanan di bawah standar, tetapi juga pada tingkat pergantian yang tinggi untuk personel yang berpengalaman dan tidak berpengalaman. Sekelompok praktisi di fasilitas kesehatan multi-regional ini telah mengakui bahwa mereka, sampai tingkat tertentu, terpapar pada WPB. Kelompok ini dengan jelas menyatakan tingkat kekhawatiran yang lebih tinggi tentang WPB yang menjadi pengaruh negatif pada berbagai aspek seperti layanan pasien, keselamatan, interaksi dengan praktisi lain, dan kinerja kerja. Meskipun insiden yang dilaporkan sendiri ini terjadi pada titik waktu tertentu, residu emosionalnya tetap ada. Para penulis berspekulasi bahwa seorang yang selamat dari WPB mungkin mengembangkan lebih banyak pengalaman dalam menangani insiden di masa depan. Namun, pengalaman pribadi tidak cukup untuk menjamin lingkungan kerja yang aman terutama jika layanan pasien dilemahkan oleh WPB. Di fasilitas ini, peserta memiliki riwayat WPB yang positif, namun skor kekhawatiran mereka tetap tinggi.

Masalah apapun yang terkait dengan mutu dan keselamatan layanan pasien tidak boleh diabaikan karena dapat memiliki yang signifikan dengan WPB; karenanya, tanggungjawab administrator rumah sakit perlu diperkuat. Dari sudut pandang praktisi, WPB meningkatkan stres, mengganggu kinerja, memengaruhi komunikasi, dan mengubah pemikiran, yang semuanya akan membahayakan mutu layanan kesehatan dan pemberiannya. Literatur sebelumnya telah membuktikan bahwa kedua aspek tersebut terkait secara signifikan, karena WPB memengaruhi kerja tim dan retensi staf yang mengakibatkan praktisi tertekan dan frekuensi kesalahan medis yang lebih tinggi. Oleh karena itu, petugas keselamatan pasien dan badan akreditasi disarankan untuk waspada dengan tingkat kekhawatiran atas WPB di antara praktisi kesehatan dan untuk mengintegrasikannya dalam alat penilaian mereka.

Implikasi terhadap kebijakan, praktik, dan penelitian

Literatur telah memberikan bukti untuk banyak pendekatan yang terbukti dan efektif termasuk teknik penulisan skenario untuk meredakan temuan perundungan seperti DESC (describe, express, suggests, consequences) atau simulasi permainan peran untuk berlatih menghadapi perundung dengan cara yang tegas. Penelitian di masa mendatang harus mencakup pengujian koherensi teoritis model, dan pengujian intervensi perundungan untuk menentukan dampak perundungan pada lingkungan tempat kerja dan hasil yang terkait dengan pasien.

Rekomendasi

Administrator rumah sakit didorong untuk terlibat dalam percakapan rutin dengan praktisi mana pun yang melaporkan kekhawatiran tentang WPB. Komunikasi pribadi yang terbuka dan transparan dapat membantu mengisolasi kasus-kasus yang tidak menguntungkan tersebut, mengungkap pelaku, dan melindungi karyawan lainnya. Perjuangan melawan WPB memerlukan upaya kolaboratif antara administrator rumah sakit dan peneliti untuk menyelidiki lebih lanjut faktor-faktor predisposisi WPB lainnya yang biasanya kurang dilaporkan di rumah sakit. Ini termasuk menilai masa kanak-kanak awal pelaku perundungan, kesejahteraan psikososial mereka, pemicu stres finansial, penyalahgunaan alkohol/zat, integritas emosional, dan riwayat trauma.

 

Selengkapnya dapat diakses pada:
https://human-resources-health.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12960-019-0433-x