Investigator Fraud: Tenaga Ahli untuk Mendeteksi dan Mencegah Fraud dalam Jaminan Kesehatan Nasional
Diskusi dengan tema: Mengapa Fraud di Jaminan Kesehatan Nasional Dapat Masuk ke Hukum Pidana dan Tindakan Pidana Korupsi?, telah diselenggarakan oada Selasa (25/2/2014). Diskusi tersebut digelar di gedung Granadi, Jakarta. Pemapar materi dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM, dengan pembahas dari BPJS, PERSI, IDI, Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia dan Pusat Jaminan Kesehatan Kemenkes serta moderator dari Yayasan Martabat.
Beberapa pembahas menyatakan bahwa fraud di Jaminan Kesehatan Nasional sudah terjadi. Sejak masa berlakunya Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), fraud sudah terjadi dalam berbagai bentuk. Penindakan baru berjalan pada kasus-kasus yang cenderung pada penggunaan dana jaminan yang besar. Kasus-kasus pelayanan yang tarifnya relatif kecil belum ditindak. Namun hal yang telah disadari yaitu berbagai bentuk fraud ini secara akumulasi jumlahnya bisa banyak. Dana BPJS berisiko digunakan untuk tindakan yang merugikan negara dan pembayar iuran. Skenario yang mungkin terjadi adalah yang C dimana di Indonesia ada fraud, BPJS berusaha mencegah, dan ada penegakan hukum.
Para pembahas sepakat bahwa fraud misanyal UpCoding merupakan strategi yang illegal bagi RS untuk berkembang. Fraud merupakan tindakan yang dapat dituntut pidana atau perdata sesuai dengan perjanjian. Memang disadari bahwa sebagian akar masalah timbulnya fraud adalah sistem di INA-CBG yang belum memuaskan dan ketidaksiapan sistem Jaminan Kesehatan Nasional. Tarif INA-CBG (sebagian) dirasakan tidak cukup dan dapat memicu berbagai fraud. Namun rendahnya tarif ini tidak boleh menjadi pembenaran untuk tindakan fraud. Fraud di Jaminan Kesehatan Nasional tetap merupakan tindakan pidana, dan tindakan pidana ini berdasarkan kesengajaan serta perlu pembuktian. Diharapkan dalam proses pencegahan fraud, ada perbaikan sistem INA-CBG sehingga dapat memuaskan seluruh pihak yang terlibat.
Pembuktian fraud tidak mudah karena memerlukan bahan bukti. Dalam hal pembuktian, di Indonesia saat ini belum banyak tenaga ahli yang mampu untuk mendeteksi, dan mencegah fraud. Tenaga ahli ini disebut sebagai investigator, kemudian diskusi tersebut telah mencapai usulan bahwa di Indonesia perlu investigator yang bekerja di rumah sakit dan BPJS untuk keperluan pencegahan dan penindakan internal. Sementara itu untuk penindakan hukum, perlu ada investigator yang bekerja di lembaga aparat hukum. Hal ini dirasa perlu karena tanpa ada penegakan hukum, dikhawatirkan godaan untuk melakukan fraud sangat besar sehingga pencegahan tidak cukup. Pengalaman di berbagai negara, walaupun klaim yang dibayarkan sudah cukup, ternyata masih terjadi fraud. Tenaga investigator harus mendapat pelatihan khusus.
Untuk meningkatkan kemampuan bangsa untuk mencegah, mendeteksi, dan menindak fraud Indonesia perlu menyusun sebuah kelompok. Kelompok ini akan melakukan kegiatan penelitian, pertemuan-pertemuan ilmiah, pelatihan dan diseminasi ilmu, melakukan kunjungan belajar ke negara lain, dan mengembangkan forum komunikasi. Pertemuan ini akan diteruskan dengan penelitian di berbagai Propinsi dan pertemuan ilmiah lainnya. (Laksono Trisnantoro)