Bayi Dera: Cermin Mutu Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak?
Minggu lalu kita dihebohkan dengan terjadinya kasus meninggalnya bayi Dera Nur Anggraeni. Bayi prematur yang belum berusia sepekan dan mengalami gangguan pernapasan kerena kelainan bawaan itu meninggal setelah "ditolak" oleh delapan rumah sakit. Keluarga Dera dan Komnas Anak -seperti diberitakan berbagai media- mengatakan penolakan atas perawatan Dera karena keluarga tidak bisa menyiapkan uang muka sekitar Rp10 sampai Rp15 juta. Disisi lain pihak rumah sakit menyatakan bukan uang yang jadi alasan, tapi tidak tersedianya ruang khusus merawat bayi (NICU) karena penuh (BBCIndonesia.com).
Kondisi tersebut juga dinyatakan oleh Gubernur DKI, "Semalam saya langsung cek persoalannya mengapa tidak bisa diterima. Bayi ada problem, dan kamar di rumah sakit penuh. Ini kondisi riil di lapangan,". Menurutnya, sejak program Kartu Jakarta Sehat (KJS) diluncurkan terjadi peningkatan hunian di rumah sakit rujukan. Hampir semua rumah sakit jadi kewalahan menerima lonjakan pasien dan ruang kamar perawatan selalu penuh. Padahal tenaga medis masih terbatas jumlahnya. "Ini artinya, sistem Jakarta Sehat berjalan. Tapi pendukungnya juga harus dipercepat," sambungnya (Detik.com).
Mencapai target MDGs nomor 4 yaitu menurunkan angka kematian bayi membutuhkan pelayanan kesehatan ibu dan anak yang bermutu, yang menurut Donald Berwick (seorang dokter dengan 2 gelar profesor, profesor anak dan profesor public health) terdiri dari berbagai mata rantai upaya peningkatan mutu. Dimulai dari mutu pelayanan klinis (clinical care) yang diberikan oleh para klinisi (dokter, perawat, bidan, dll) kemampuan dalam mendiagnosa dan melakukan terapi ataupun tindakan dengan tepat, cepat dan efektif sesuai prosedur baku. Kompetensi tersebut diperoleh melalui pelatihan yang efektif serta juga dengan banyaknya pengalaman yang telah didapatkan.
Kompetensi para klinisi yang baik tersebut tidak akan efektif meningkatkan mutu pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA) bila tidak didukung oleh sistem manajemen yang baik ditingkat organisasi (rumah-sakit), seperti fasilitas ruangan dan peralatan (dalam kasus by Dera adalah ketersediaan ruang dan alat NICU), manajemen informasi (informasi prosedur pendaftaran, rujukan), manajemen SDM (kecukupan tenaga dokter dan perawat NICU), manajemen keuangan (perencanaan dan penganggaran penambahan ruang dan pendukung NICU), hingga sistem kepemimpinan RS (kemampuan direktur RS untuk melakukan advokasi kepada dinas kesehatan, pemerintah daerah dan regulator lainnya untuk mendukung RS meningkatkan kapasitas dan mutu pelayanannya).
Perbaikan sistem manajemen RS tersebut harus didukung dan difasilitasi dari para regulator (Dinkes dan Pemda) dengan menyediakan berbagai faktor yang mendukung RS seperti sistem pembiayaan yang baik (misalnya bagaimana cara Kartu Jaminan Sehat Provinsi DKI menghitung jumlah kebutuhan pelayanan NICU dan beban kerja yang akan timbul lalu membuat perencanaan pemenuhan tersebut), sistem rujukan antar RS dengan supervisi dinas kesehatan (ini yang kemudian dijanjikan dengan akan membangun sistem jaringan informasi secara on-line dalam waktu satu bulan), sistem akreditasi yang efektif meningkatkan mutu (memastikan seluruh RS melakukan rujukan yang menjamin kontinuitas pelayanan) hingga sistem pendidikan dan distribusi dokter spesialis (yang menjamin kecukupan jumlah dan keberadaan dokter spesialis diseluruh Indonesia).
Dengan kerangka pikir tersebut maka seluruh komponen masyarakat dapat berperan nyata dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan ibu dan anak di Indonesia, tidak hanya saling menyalahkan. (hd)