Headline

Hari Kesehatan Gigi dan Mulut Nasional atau Hari Kesehatan Gigi Nasional pada tanggal 12 September 2024 merupakan waktu yang tepat untuk kesadaran akan pentingnya kesehatan gigi dan mulut yang perlu dimulai sejak dini. Kesehatan gigi dan mulut yang baik dapat mencegah berbagai penyakit sistemik di kemudian hari. Berbagai penelitian telah melihat hubungan antara kebersihan mulut yang buruk dan peningkatan risiko penyakit tidak menular, seperti diabetes, penyakit hati, dan kanker. Pentingnya kesehatan gigi dan mulut membutuhkan dukungan lebih dari berbagai pihak, sehingga sistem layanan gigi yang bermutu harus diterapkan sejak di Fasilitas Kesehatan Layanan Primer (FKTP).

Definisi layanan kesehatan primer menurut World Health Organization (WHO) adalah layanan dasar esensial yang praktikal, saintifik, menggunakan metode yang dapat diterima secara sosial, dan aksesibel secara universal bagi individu dan keluarga di kelompok masyarakat lewat partisipasi penuh, serta biaya yang terjangkau bagi masyarakat dan negara. Fasilitas kesehatan tingkat pertama mencakup kontak pertama dengan individu, keluarga, dan kelompok masyarakat dengan sistem kesehatan nasional yang mendekatkan layanan kesehatan sedekat mungkin dengan lokasi tempat tinggal dan kerja seseorang dan merupakan elemen pertama dari proses melanjutkan proses pelayanan kesehatan (health care process [HCP]).

Konferensi global dari WHO tahun 2007 mengadvokasikan integrasi layanan kesehatan gigi ke dalam layanan kesehatan primer sebagai bentuk kolaborasi susunan kelanjutan proses pelayanan kesehatan.Strategi integratif ini bertumpu pada premis faktor risiko yang dapat dimodifikasi, seperti pola makan dan merokok yang dapat berkontribusi pada penyakit mulut dan penyakit tidak menular secara bersamaan. Hampir di setiap negara, terdapat banyak orang yang tidak memiliki akses permanen terhadap layanan kesehatan gigi pada di banyak tingkatan. Pendekatan layanan kesehatan mulut primer dapat memperkuat promosi kesehatan dan pencegahan penyakit mulut. Maka dari itu diperlukan berbagai domain, seperti asesmen risiko, evaluasi kesehatan mulut, intervensi preventif, komunikasi, dan edukasi, serta praktik kolaborasi interprofesional.

Cara Integrasi Kesehatan Mulut ke dalam Layanan Kesehatan Primer

WHO “ Stewardship” dan Ahli Kesehatan Gigi
Kesempatan diciptakan lewat penatalayanan dari WHO untuk ekspansi pencegahan penyakit mulut dan promosi kesehatan, serta praktik di masyarakat lewat program masyarakat dan di layanan kesehatan. Hal ini termasuk implementasi program demonstrasi perawatan kesehatan mulut berbasis komunitas.

Menggabungkan Tenaga Kerja untuk Layanan Kesehatan Mulut
Direkomendasikan untuk menggabung tenaga kerja dalam formasi dokter gigi, dokter gigi spesialis, terapis gigi, ahli kesehatan gigi, asisten, ahli teknologi gigi, dan koordinator kesehatan gigi komunitas.

Model Layanan Inovatif
Spektrum program berupa membawa layanan gigi ke dalam setting medis dan komunitas dengan cara:

  1. Koordinasi dengan meningkatkan layanan oleh tenaga medis dalam hal layanan pencegahan kesehatan mulut dasar dengan kunjungan medis yang terkoordinasi dengan rujukan ke layanan gigi
  2. Lokasi bersama layanan kesehatan gigi di tempat praktik medis
  3. Integrasi pelayanan kesehatan gigi dengan tim layanan kesehatan melalui koordinasi kasus untuk kebutuhan restorasi gigi
  4. Telehealth yang didukung layanan kesehatan gigi

Kerangka Integrasi (Rainbow Model)

Rainbow model dikemukakan oleh Harnagea et al. (2018), dimana dimensi layanan terintegrasi terstruktur dalam 3 level dimana integrasi dapat diterapkan: level makro (sistem), level meso (organisasi), dan level mikro (klinis).

Level makro (integrasi sistem): Menggabungkan integrasi vertikal dan horizontal dapat meningkatkan penyediaan layanan yang berkesinambungan, komprehensif, dan terkoordinasi di seluruh rangkaian perawatan. Integrasi vertikal terkait dengan perawatan penyakit di level spesialisasi (berdasarkan penyakit) yang berbeda secara vertikal. Hal ini melibatkan integrasi perawatan antar sektor, seperti integrasi layanan kesehatan primer dengan layanan sekunder serta tersier. Sebaliknya, integrasi horizontal dilakukan dengan meningkatkan kesehatan individu dan populasi secara keseluruhan (holistik) oleh kolaborasi rekan dan antar sektor.

Level meso (integrasi organisasi): Integrasi organisasi merujuk pada layanan yang diproduksi dan diberikan dengan cara saling terkait. Hubungan interorganisasi dapat meningkatkan mutu, pangsa pasar, dan efisiensi. Contohnya dengan menggabungkan keterampilan dan keahlian dari organisasi yang berbeda.

Level meso (integrasi profesional): Integritas profesional merujuk pada kemitraan antara profesional, baik dalam (intra) dan antara (inter) organisasi. Kemitraan ini dapat dicirikan sebagai bentuk integrasi vertikal dan/atau horizontal.

Level mikro (integrasi klinis): Koordinasi layanan yang berfokus pada individu di sebuah proses tunggal lintas waktu, tempat, dan disiplin.

Integrasi fungsional: Menghubungkan level mikro-, meso-, dan makro. Integrasi fungsional termasuk koordinasi fungsi pendukung utama, seperti sumber daya manusia manajemen keuangan, perencanaan strategis, manajemen informasi, dan peningkatan mutu.

Integrasi normatif: Menghubungkan level mikro-, meso-, dan makro. Mengembangkan dan mempertahankan kerangka acuan umum antara organisasi, kelompok profesional, dan individu sehubungan dengan misi, visi, nilai-nilai, dan budaya bersama.

Selengkapnya dapat diakses melalui:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6618181/ 

 

 

Tantangan bidang kesehatan masyarakat terkait perilaku seksual, termasuk HIV/AIDS, penyakit menular seksual (PMS) lainnya, hepatitis virus, kehamilan tidak diinginkan, dan kekerasan seksual, merupakan masalah kesehatan dunia dan memengaruhi 3 dari 8 Millennium Development Goals seperti mengurangi mortalitas anak, meningkatkan kesehatan mental, dan melawan HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya. Tantangan ini umumnya lebih tinggi derajat keparahannya di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah.

Di Inggris, terdapat hampir 400.000 diagnosis PMS baru yang muncul setiap tahunnya. Angka tersebut merupakan kenakan sejumlah 30% dari angka sejak tahun 2000. pada negara uni Eropa , lebih dari 27.00 infeksi HIV baru muncul setiap tahunnya, dan sekitar 44% dari seluruh kehamilan di Eropa merupakan kehamilan tidak diinginkan. Pada negara Australia, diperkirakan 170.000 orang hidup dengan infeksi hepatitis B dan 34% wanita melaporkan telah mengalami kekerasan seksual dalam 12 bulan terakhir. DI negara Amerika serikat, diperkirakan 19 juta PMS dan hampir 50.000 infeksi HIV baru muncul tiap tahunnya; 1,2 juta orang hidup dengan HIV/AIDS, dan 800.000 hingga 1,4 juta orang hidup dengan infeksi hepatitis B kronis; lebih dari 1,8 juta wanita mengalami kehamilan tidak diinginkan, dan 1,3 juta wanita dirudapaksa. Kelahiran pada remaja di Amerika Serikat terhitung lebih tinggi dibandingkan negara Barat lainnya. Penderita kanker di alat reproduksi, dan kanker lainnya terkait PMS seperti human papilloma virus (HPV) dan virus hepatitis B, dan isu fungsi seksual (seperti disfungsi ereksi, nyeri dalam hubungan seksual, dan libido rendah) juga merupakan kekhawatiran dalam kesehatan seksual, terutama orang dewasa di dunia.

Luaran kesehatan reproduksi dan seksual menunjukkan ketidakadilan dalam kesehatan yang sangat timpang. Beberapa kelompok terus-menerus mengalami tantangan besar dalam melindungi kesehatan seksual mereka karena keterbatasan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang meningkatkan risiko mereka untuk mengalami luaran dampak kesehatan yang buruk. Wanita sebagai kelompok yang mengalami dampak buruk lebih banyak akibat dari kehamilan tidak diinginkan dan kekerasan seksual dibandingkan pria. hal ini juga berdampak pada kelompok usia remaja; minoritas ras dan etnis; lesbi, gay, biseksual, dan transgender; lelaki seks lelaki (LSL); dan yang memiliki disabilitas. Populasi ini banyak mengalami sindemik, dua atau lebih masalah kesehatan yang berkaitan secara sinergis, yang menimbulkan beban penyakit berlebih.

Kesehatan seksual menurut Centers for Disease Control and Prevention/Health Resources and Services Administration Advisory Committee on HIV, Viral Hepatitis, and STD Prevention and Treatment (CDC/HRSA CHACHSPT) merupakan kondisi kesejahteraan yang berhubungan dengan seksualitas sepanjang hidupnya yang melibatkan dimensi fisik, emosional, mental sosial, dan spiritual. Kesehatan seksual merupakan elemen intrinsik dari kesehatan manusia berdasarkan pendekatan seksualitas, hubungan, dan reproduksi yang positif, adil, dan terhormat yang bebas dari paksaan , ketakutan, diskriminasi stigma, rasa malu, dan kekerasan. Hal tersebut, termasuk kemampuan untuk memahami manfaat, risiko, dan tanggung jawab dari perilaku seksual; pencegahan dan perawatan penyakit dan dampak buruk luaran lainnya; dan kemungkinan untuk memenuhi hubungan seksual. Secara umum, kesehatan seksual dipengaruhi oleh konteks sosio ekonomi dan budaya, termasuk peraturan, praktik, dan layanan, yang mendukung luaran kesehatan bagi individu, keluarga, dan komunitas.

Promosi kesehatan sebagai layanan kesehatan masyarakat esensial

Pemimpin dalam kesehatan masyarakat sangat memahami peran penting dari promosi kesehatan dan pembuatan keputusan yang sehat dapat mencegah penyakit infeksi dan kronis, serta cedera. Dalam beberapa dekade, pendekatan dengan promosi kesehatan telah menjadi salah satu cara untuk mengatasi masalah kesehatan masyarakat yang terkait seksualitas dan perilaku seksual yang mengilhami kesehatan seksual sebagai aspek penting dalam kesehatan secara menyeluruh dan kesejahteraan individu, keluarga , komunitas, dan negara. Beban kesehatan yang besar, pengeluaran untuk dampak buruk yang terkait perilaku seksual, dan peningkatan minat dalam menggunakan pendekatan promosi kesehatan untuk mengatasinya, sektor kesehatan masyarakat sebaiknya mempertimbangkan untuk mengatasi kesehatan seksual karena beberapa alasan.

  1. Pendekatan kesehatan masyarakat untuk meningkatkan kesehatan seksual secara tradisional bergantung pada intervensi, termasuk edukasi, skrining, terapi, notifikasi pasangan, imunisasi, dan layanan pencegahan lainnya, yang utamanya berfokus pada luaran negatif, seperti penyakit dan dampak buruk lainnya terkait perilaku seksual. Cara ini sering berfungsi terkategori dalam kolaborasi yang terbatas antar program dan belum memberikan hasil optimal.
  2. Semua negara menghadapi tantangan dalam menurunkan pembiayaan layanan kesehatan, sehingga membutuhkan pendekatan yang hemat biaya untuk layanan kesehatan dan kesehatan masyarakat. Anggaran yang terbatas meningkatkan efisiensi dalam pemberian layanan kesehatan dan praktik kesehatan masyarakat. Investasi pada layanan kesehatan reproduksi dan seksual dapat memberikan manfaat ekonomi dan sosial. Menyediakan kesehatan seksual yang lebih luas dapat membantu individu untuk membuat pilihan kesehatan seksual yang sehat dan meningkatkan pencegahan HIV, PMS lainnya, kehamilan tidak diinginkan, dan kekerasan seksual, serta dengan potensi menurunkan pembiayaan pelayanan kesehatan.
  3. Fokus kesehatan seksual konsisten dengan prioritas kesehatan nasional
  4. Misi intrinsik kesehatan masyarakat untuk menilai dan memformulasikan respon terhadap masalah kesehatan.

Kerangka promosi kesehatan seksual

shp

Dari dampak yang substansial dan biaya dampak buruk dari luaran terkait perilaku seksual, entitas kesehatan masyarakat dapat membentuk pendekatan kesehatan masyarakat yang lebih terkoordinasi untuk memajukan kesehatan seksual. Pendekatan ini dapat melengkapi dan mempersatukan kerangka kesehatan seksual untuk menekankan pentingnya promosi kesehatan dalam mendukung dan meningkatkan kontrol penyakit dan aktivitas pencegahan dalam lingkup kesehatan masyarakat. Kerangka ini meliputi 5 prinsip kunci, yakni:

  1. Mengkontektualisasikan isu. Dalam kerangka kesehatan seksual, kontrol dan pencegahan penyakit tetap merupakan fokus utama kesehatan masyarakat. Usaha dapat diperkuat dengan mendorong perspektif yang lebih kuat yang mempertimbangkan faktor kompleks pada tahap individu, relasi, komunitas, dan luaran kesehatan seksual nasional.
  2. Menekankan kesejahteraan. Kesehatan seksual membutuhkan pendekatan holistik yang dapat menggabungkan aspek fisik, emosional, mental, sosial, dan spiritual dari seksualitas. Dalam kerangka kesehatan seksual, fokus inti melakukan pendekatan holistik pada kesehatan manusia dari luaran penyakit, yang tergabung ke dalam agenda pencegahan dan kesejahteraan baru, juga dapat membantu melawan stigma yang umumnya muncul beriringan dengan kesehatan seksual.
  3. Fokus pada hubungan yang positif dan saling menghargai. Pentingnya hubungan yang penuh hormat bagi kesehatan seksual dapat menyediakan titik temu bagi tindakan dalam mencegah dan meningkatkan kesehatan. Hubungan yang positif dan saling menghargai dalam berbagai jenis (seperti orangtua-anak. pasangan, dan sebaya) menunjukkan faktor protektif bagi berbagai isu kesehatan. sehingga dapat membuat hubungan esensial yang sehat bagi perkembangan manusia.
  4. Memahami dampak seksualitas bagi kesehatan. Memahami dan mengartikulasikan komponen kesehatan seksual merupakan aspek esensial untuk penguatan pencegahan penyakit, kesehatan reproduksi, pencegahan kekerasan, dan komponen lain menjadi kerangka kesejahteraan yang lebih luas.
  5. Mengambil pendekatan sindemik untuk pencegahan. Pendekatan inklusif berpotensi memperkuat kolaborasi dan komunikasi antar staff yang menyediakan layanan yang berbeda dalam program yang beragam. Hal ini membantu merincikan divisi untuk mengatasi, masalah kesehatan seksual.

Potential benefits of a sexual health framework

Adoption of a sexual health framework as part of a multisectoral approach for public health action35 has several potential benefits. First, it has the potential to engage new and diverse partners linked by mutual goals, a commitment to addressing common determinants, and a desire to seek and enhance synergistic impacts. Second, the sexual health framework can normalize open, honest, and respectful conversations around sexuality and sexual responsibility and their contributions to overall health and well-being. Third, because STIs and other adverse health outcomes are highly stigmatized conditions, use of a broader, health-focused framework has the potential to reduce stigma, fear, and discrimination associated with these conditions. Fourth, the sexual health framework provides opportunities to enhance the efficiency and effectiveness of prevention messages and services by packaging an array of often disparately presented messages and services within a comprehensive structure

Strategi potensial untuk memajukan kesehatan seksual

Usaha untuk mengatasi masalah kesehatan menggunakan kerangka kesehatan seksual dapat menstimulasi upaya kesehatan masyarakat yang baru dan kreatif di level nasional. Strategi tersebut adalah:

  1. Memberikan kepemimpinan nasional. Pekerjaan kesehatan masyarakat yang memungkinkan kerjasama dengan partner multisektor di tingkat nasional, provinsi, dan lokal untuk mengimplementasikan pendekatan tersebut.
  2. Meningkatkan kemitraan strategis. Kemitraan yang dinamis dapat membentuk dan mendukung upaya kesehatan masyarakat. Kelompok dari berbagai sektor (seperti bisnis, layanan kesehatan, dan akademia) juga politik, agama, dan sosial penting untuk mencapai persetujuan dalam isu sulit yang membutuhkan dukungan luas dan meningkatkan upaya kesehatan seksual yang efektif.
  3. Memperkuat dasar sains: surveilans, monitoring dan evaluasi, serta penelitian. Untuk mengoptimalkan upaya kesehatan seksual nasional, kegiatan dalam domain saintifik penting, seperti meningkatkan surveilans untuk meningkatkan aktivitas monitor dan luaran terkait kesehatan seksual (seperti pengetahuan, komunikasi, sikap, akses layanan dan kelengkapan, perilaku seksual, hubungan, dan dampak buruk); monitoring evaluasi untuk menilai implementasi kegiatan kesehatan seksual; dan penelitian untuk membentuk dan menilai pendekatan pencegahan baru yang mengatasi celah dalam menggunakan kerangka kesehatan seksual secara efektif.
  4. Mendorong tindakan kebijakan yang efektif. Pembangunan dan implementasi kebijakan yang sesuai dapat mendukung akses yang lebih baik ke pelayanan kesehatan reproduksi dan seksual yang aman, lingkungan yang mendukung (bebas tekanan, diskriminasi, dan kekerasan) yang dapat berdampak pada perilaku seksual. Pemangku kebijakan dapat mengidentifikasi dan mendukung kebijakan berdasarkan bukti terkait kesehatan seksual.
  5. Memperkuat infrastruktur dan memberikan pelatihan penyediaan layanan kesehatan seksual yang layak
  6. Mendukung kesadaran dan meningkatkan pengetahuan lewat komunikasi dan edukasi

Komunikasi dapat diperkuat untuk membuat upaya yang sinergis dalam mengupayakan kesehatan seksual. Meningkatkan kesadaran dan pengetahuan secara umum mengenai kesehatan seksual penting untuk dilakukan bagi masyarakat, komunitas, organisasi, dan pemangku kebijakan lainnya.

Selengkapnya dapat mengakses: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3562752/

 

 

 

 

Departemen emergensi rumah sakit diharuskan untuk menstabilkan dan merawat pasien dengan cedera atau sakit yang membahayakan nyawa, tanpa memperdulikan dampaknya pada kinerja rumah sakit. Ketika kebutuhan dari insiden dengan penyebab multipel atau kejadian emergensi lain melebihi kapasitas, rumah sakit akan meningkatkan suplai layanan kesehatan dengan cepat, hal inilah yang disebut sebagai surge capacity. Kejadian seperti ini dapat terjadi setiap minggu, bahkan setiap hari , dimana departemen emergensi beroperasi mendekati atau melebihi kapasitas di waktu puncak dan ketika kejadian dengan penyebab multipel terjadi lebih sering. Rumah sakit akan memberikan surge capacity ketika utilisasi sumberdaya sedang dibutuhkan, dimana hal ini terjadi ketika ada kejadian disruptif atau ketika pasien datang dalam jumlah yang banyak.

Menurut pemerintah Amerika Serikat, surge capacity merupakan kunci dari kinerja rumah sakit dan pembuat kebijakan mensyaratkan rumah sakit untuk memiliki program persiapan yang mengikutsertakan surge capacity yang adekuat. Keputusan operasional yang terlibat dalam manajemen surge capacity dapat dilihat dalam kerangka konseptual yang lebih besar dari manajemen emergensi, yang meliputi 4 fase, yakni persiapan (preparation), response (response), pemulihan (recovery), dan mitigasi (mitigation). Dalam fase persiapan, rumah sakit akan membangun kapasitas dan mengidentifikasi sumberdaya yang dapat digunakan saat emergensi. Dalam fase respons, rumah sakit akan merespon emergensi dan mengontrol efek negatifnya. Pada fase pemulihan, rumah sakit akan melanjutkan operasional secara normal. Terakhir, di fase mitigasi, rumah sakit akan mengambil langkah untuk mengurangi keparahan dan dampak dari emergensi terhadap operasinya.

Dalam studi yang dilakukan dalam penelitian ini, terdapat beberapa rumah sakit yang diwawancarai mengenai fase respon dan fase mitigasi yang menjelaskan bagaimana cara membuat keputusan tentang surge capacity. Dua strategi yang dipelajari untuk meningkatkan surge capacity dalam fase repson dan fase mitigasi, yakni: (1) koordinasi keputusan pemulangan antara departemen emergensi dan unit rawat inap selama fase respon dan (2) manajemen kebutuhan eletif di unit rawat inap lewat penghalusan beban kerja selama fase mitigasi. Dalam model yang dibentuk dan disimulasikan untuk menghitung dampak dari kedua strategi surge capacity, didapatkan bahwa kedua strategi dapat meningkatkan surge capacity.

Surge Capacity dan Respon terhadap Insiden

Peninjauan literatur terhadap berbagai studi kualitatif dan kuantitatif menghasilkan beberapa kesimpulan yang direkomendasikan, seperti memberikan patokan surge capacity sebesar 20%-30% dari kapasitas normal rumah sakit, melakukan 5 tahap rencana pemulangan untuk pasien yang tersedia berdasarkan risiko konsekuensial kejadian medis, dan proporsi rawat inap substansial dapat dipulangkan ke fasilitas keperawatan untuk meningkatkan surge capacity.

Keputusan Pemulangan dan Mekanisme Koordinasi Alur pasien

Keputusan pemulangan memberikan dampak bagi rumah sakit untuk menerima pasien dari departemen emergensi. Bukti dari studi yang dilakukan oleh Shi et. al (2015) dan KC dan Terwiesh (2017) mendemonstrasikan bahwa rumah sakit yang memberlakukan aturan pemulangan secara aktif mampu menerima pasien lebih banyak. Kurangnya koordinasi dari unit rawat ini merupakan penyebab penuhnya departemen emergensi dan lamanya rawat inap di departemen emergensi dikaitkan dengan lamanya pasien dirawat inapkan, sehingga koordinasi pemulangan pasien antara departemen emergensi dan unit rawat inap dapat meningkatkan surge capacity. Mekanisme seperti mempekerjakan manajer penempatan bed dan kontrol bed tersentralisasi, hingga sistem informasi real-time dan memperkirakan permintaan dapat digunakan.

Ketersediaan Bed Rawat Inap dan Mekanisme Penghalusan Beban Kerja

Usaha untuk memperhalus beban kerja rawat inap memerlukan 2 strategi, yakni admisi elektif dan optimisasi jadwal blok. Admisi elektif merupakan metode efektif untuk menurunkan variabilitas beban kerja rawat inap tanpa mengurangi volume keseluruhan. Ketika admisi yang terencana terlalu banyak, otomatis operasi yang direncanakan akan dijadwalkan ulang ke hari lain yang jumlah admisi terencana lebih rendah dibandingkan dengan biasanya. Implementasi admisi elektif terbukti dapat menurunkan luaran mutu yang tidak diharapkan, seperti diversi intensive care unit (ICU). Optimisasi jadwal blok pembedahan melibatkan 2 tahap yaitu memperkirakan penggunaan sumberdaya rawat inap post bedah dan informasi real time dan real space terkait ketersediaan kapasitas ruangan operasi. Prosedur penjadwalan blok terstandarisasi dapat mengurangi variasi kebutuhan bed rawat inap. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan Levine dan Dunn (2015) yang mengatur ulang 21% blok pembedahan dapat mengurangi okupansi puncak sebanyak 3% meski terdapat peningkatan 9% dari volume total.

Selengkapnya dapat diakses di: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC8759806/

 

 

Perundungan di tempat kerja (Workplace Bullying/WPB) merupakan perilaku mengganggu yang mungkin terjadi dalam profesionalisme industri kesehatan. Menurut, World Health Organization (WHO), WPB merupakan insiden di mana individu menghadapi penganiayaan yang berulang dan membahayakan kesehatan. Hal ini sering ditandai dengan persistensi dan durasi jangka panjang , serta disebabkan oleh faktor psikososial, budaya, dan/atau individu. WPB mencakup serangan langsung seperti memukul, mengumpat, mengejek, atau serangan tidak langsung seperti menyebarkan rumor. Salah satu jenis utama perundungan adalah perundungan sosial, yaitu, “perilaku yang menyinggung,” yang melibatkan lelucon yang tidak dapat diterima terkait dengan gender, penghinaan di depan umum, lelucon praktis, fitnah, dan eksploitasi. Sebuah studi yang diterbitkan oleh WHO menyatakan bahwa persentase praktisi kesehatan di negara seperti Brazil 39,5%, Bulgaria 32,2%, Afrika Selatan 52%, Thailand 47,7%, Portugal 27,4%, Lebanon 40,9%, dan Australia hingga 67%, telah mengalami pelecehan verbal dalam kurun 1 tahun.

Meskipun WPB merupakan hal umum di dunia, implikasi dan tolerabilitasnya bervariasi menurut budaya, moral, dan nilai praktisi kesehatan yang tertanam dalam komunitas, juga tercermin dalam lingkungan layanan kesehatan. Pada individu, WPB di antara pekerja layanan kesehatan telah dikaitkan dengan peningkatan penyakit. Dalam studi retrospektif, disebutkan praktisi layanan kesehatan sebagian besar dipengaruhi oleh kondisi kerja mereka yang penuh tekanan. Demikian pula, konsekuensi organisasi dari WPB dapat terwujud dalam lingkungan kerja yang toksik atau tidak bersahabat, yang sangat terkait dengan mutu layanan dan keselamatan pasien yang terganggu. Hal ini menghambat kerja tim, menghalangi komunikasi, mengganggu perilaku, dan meningkatkan kesalahan medis dengan memengaruhi mutu organisasi layanan kesehatan.

Pembullyan di tempat kerja menyebabkan kekhawatiran. Rasa khawatir menandakan bahwa praktisi tersebut telah terpapar WPB, atau menyaksikan insiden yang dialami oleh seorang kolega. Tujuan lainnya adalah bahwa kekhawatiran terus-menerus tentang WPB menciptakan lingkungan berisiko tinggi bagi karyawan. Hal ini juga memengaruhi produktivitas dan tingkat konsentrasi, yang dapat meningkatkan kemungkinan kesalahan serta membahayakan mutu layanan dan keselamatan pasien. Terakhir, praktisi yang khawatir akan WPB dapat dikuasai rasa takut karena kurangnya pengetahuan mereka tentang pencegahan, penanganan, dan pelaporan insiden WPB.

Studi ini mengadopsi studi cross-sectional, survei diisi sendiri oleh praktisi kesehatan (dokter, perawat, farmasi, pegawai administrasi, dan teknisi)dan didistribusikan di antara praktisi layanan kesehatan di empat rumah sakit di berbagai wilayah geografis Arab Saudi. Kuesioner survei terdiri dari sosiodemografi dan karakteristik profesional peserta, termasuk jenis kelamin, usia, status perkawinan, tingkat pendidikan, kebangsaan, durasi kerja, posisi pekerjaan, dan pelatihan atau paparan sebelumnya terhadap WPB. WHO mendefinisikan WPB sebagai bentuk penganiayaan multifaset, yang ditandai dengan paparan berulang terhadap satu orang terhadap agresi fisik dan/atau emosional. Para peserta diinstruksikan untuk mengisi berbagai bentuk bullying: fisik, verbal, seksual, atau sosial. Bullying fisik menyebabkan cedera pada tubuh atau properti seseorang dengan memukul, menendang, meludah, mencubit, mendorong, dan menggunakan bahasa tubuh yang kasar. Bullying verbal melibatkan penggunaan kata-kata yang menyinggung melalui ejekan, penghinaan nama, dan/atau komentar seksual yang tidak dapat diterima. Bullying relasional atau sosial menunjukkan adanya kerusakan reputasi atau hubungan seseorang dengan menyebarkan rumor, secara terang-terangan mengabaikan keberadaannya, atau mempermalukan seseorang di depan umum.

Kekhawatiran (worry) didefinisikan sebagai ide, gambaran, emosi, atau tindakan negatif yang tidak dapat dikendalikan oleh seseorang dan dialami secara berulang-ulang. Orang yang khawatir melakukan analisis risiko kognitif proaktif terhadap suatu objek, orang, peristiwa, atau situasi dalam upaya menghindari, memecahkan, atau mengantisipasi potensi ancaman. Beberapa orang percaya bahwa kekhawatiran bisa jadi merupakan respons terhadap tantangan yang netral, ringan, atau sedang, atau bahkan terhadap tantangan yang tidak ada. Dari perspektif psikologis, orang yang khawatir adalah individu yang cemas tentang masalah nyata atau imajiner, seperti kesehatan, keuangan, lingkungan, dan teknologi.

Dampak WPB terhadap kinerja kerja dan keselamatan pasien

Peserta penelitian memiliki rasa khawatir tentang WPB yang meningkatkan tingkat stres mereka. Mereka menyatakan bahwa WPB berdampak negatif pada kinerja kerja mereka dan menyebabkan masalah komunikasi antar anggota staf. Skor median keseluruhan untuk kekhawatiran adalah 81,7. Sebagian besar responden ( n = 885, 82,4%) dapat diklasifikasikan mengalami rasa khawatir.

Faktor-faktor yang berhubungan dengan kekhawatiran tentang WPB

Analisis data menunjukkan bahwa perempuan (83,3%) dan praktisi yang lebih muda (90,0%) secara signifikan melaporkan skor yang lebih tinggi. Praktisi lajang (86,7%) dan praktisi yang lebih terdidik (90,0%) juga secara signifikan memiliki skor yang lebih tinggi. Praktisi dengan pengalaman kerja yang lebih sedikit juga lebih khawatir tentang WPB. Mereka yang mengaku pernah terpapar WPB sebelumnya, secara signifikan memiliki rasa khawatir lebih banyak. Hubungan negatif yang signifikan ditemukan antara penilaian diri praktisi terhadap mutu layanan dan keselamatan pasien di rumah sakit serta tingkat kekhawatiran dengan WPB. Praktisi yang lebih terdidik memiliki kemungkinan 1,7 kali lebih besar untuk merasa khawatir tentang WPB dibandingkan dengan kelompok yang kurang terdidik. Responden dengan pengalaman yang lebih sedikit memiliki kemungkinan 1,6 kali lebih besar untuk merasa khawatir tentang WPB. Mereka yang belum pernah menerima pelatihan sebelumnya tentang WPB dan mereka yang pernah terpapar WPB, keduanya lebih mungkin merasa khawatir dibandingkan dengan kelompok yang tidak .

Praktisi perempuan dan lajang di fasilitas kesehatan multi-regional ini menunjukkan tingkat kekhawatiran tertinggi tentang WPB. Keterlibatan perempuan dalam angkatan kerja telah meningkat drastis di Arab Saudi, dan dibandingkan dengan pekerja laki-laki, perempuan lebih rentan terhadap WPB. Bagi beberapa praktisi, kebutuhan mereka akan pekerjaan lebih besar daripada akibat WPB, namun setiap administrator rumah sakit harus berusaha untuk menjamin keselamatan dan kepuasan mereka. Para penulis juga percaya bahwa karyawan muda dan lajang mungkin tidak memiliki beberapa keterampilan yang membantu menghindari, menangani, dan menghadapi pelaku WPB. Anehnya, praktisi yang lebih berpendidikan memiliki tingkat kekhawatiran tertinggi tentang WPB. Salah satu kemungkinan alasan adalah bahwa kategori praktisi ini bisa lebih diirikan oleh rekan-rekan mereka dengan tingkat karier yang sama atau oleh manajemen mereka (iri hati ke bawah atau ke atas). Iri hati adalah prediktor permusuhan, persaingan, atau perilaku agresif yang ditunjukkan dalam WPB, dan juga terkait dengan perilaku kerja yang kontraproduktif.

WPB pada praktisi dan kelanjutan layanan pasien dapat berbahaya, tidak hanya dalam hal kesalahan atau layanan di bawah standar, tetapi juga pada tingkat pergantian yang tinggi untuk personel yang berpengalaman dan tidak berpengalaman. Sekelompok praktisi di fasilitas kesehatan multi-regional ini telah mengakui bahwa mereka, sampai tingkat tertentu, terpapar pada WPB. Kelompok ini dengan jelas menyatakan tingkat kekhawatiran yang lebih tinggi tentang WPB yang menjadi pengaruh negatif pada berbagai aspek seperti layanan pasien, keselamatan, interaksi dengan praktisi lain, dan kinerja kerja. Meskipun insiden yang dilaporkan sendiri ini terjadi pada titik waktu tertentu, residu emosionalnya tetap ada. Para penulis berspekulasi bahwa seorang yang selamat dari WPB mungkin mengembangkan lebih banyak pengalaman dalam menangani insiden di masa depan. Namun, pengalaman pribadi tidak cukup untuk menjamin lingkungan kerja yang aman terutama jika layanan pasien dilemahkan oleh WPB. Di fasilitas ini, peserta memiliki riwayat WPB yang positif, namun skor kekhawatiran mereka tetap tinggi.

Masalah apapun yang terkait dengan mutu dan keselamatan layanan pasien tidak boleh diabaikan karena dapat memiliki yang signifikan dengan WPB; karenanya, tanggungjawab administrator rumah sakit perlu diperkuat. Dari sudut pandang praktisi, WPB meningkatkan stres, mengganggu kinerja, memengaruhi komunikasi, dan mengubah pemikiran, yang semuanya akan membahayakan mutu layanan kesehatan dan pemberiannya. Literatur sebelumnya telah membuktikan bahwa kedua aspek tersebut terkait secara signifikan, karena WPB memengaruhi kerja tim dan retensi staf yang mengakibatkan praktisi tertekan dan frekuensi kesalahan medis yang lebih tinggi. Oleh karena itu, petugas keselamatan pasien dan badan akreditasi disarankan untuk waspada dengan tingkat kekhawatiran atas WPB di antara praktisi kesehatan dan untuk mengintegrasikannya dalam alat penilaian mereka.

Implikasi terhadap kebijakan, praktik, dan penelitian

Literatur telah memberikan bukti untuk banyak pendekatan yang terbukti dan efektif termasuk teknik penulisan skenario untuk meredakan temuan perundungan seperti DESC (describe, express, suggests, consequences) atau simulasi permainan peran untuk berlatih menghadapi perundung dengan cara yang tegas. Penelitian di masa mendatang harus mencakup pengujian koherensi teoritis model, dan pengujian intervensi perundungan untuk menentukan dampak perundungan pada lingkungan tempat kerja dan hasil yang terkait dengan pasien.

Rekomendasi

Administrator rumah sakit didorong untuk terlibat dalam percakapan rutin dengan praktisi mana pun yang melaporkan kekhawatiran tentang WPB. Komunikasi pribadi yang terbuka dan transparan dapat membantu mengisolasi kasus-kasus yang tidak menguntungkan tersebut, mengungkap pelaku, dan melindungi karyawan lainnya. Perjuangan melawan WPB memerlukan upaya kolaboratif antara administrator rumah sakit dan peneliti untuk menyelidiki lebih lanjut faktor-faktor predisposisi WPB lainnya yang biasanya kurang dilaporkan di rumah sakit. Ini termasuk menilai masa kanak-kanak awal pelaku perundungan, kesejahteraan psikososial mereka, pemicu stres finansial, penyalahgunaan alkohol/zat, integritas emosional, dan riwayat trauma.

 

Selengkapnya dapat diakses pada:
https://human-resources-health.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12960-019-0433-x

 

 

 

 

Administrasi rumah sakit merupakan pivot dari ekosistem layanan kesehatan yang menjadi landasan rumah sakit dunia. Manajemen rumah sakit adalah komponen penting untuk memastikan layanan kesehatan dapat tersampaikan secara efektif . Administrator rumah sakit mengawal berbagai aspek dalam operasi rumah sakit, dari manajemen keuangan hingga alokasi sumberdaya untuk peningkatan mutu dan keselamatan pasien. Sistem administrasi rumah sakit telah berubah secara signifikan dalam hitungan tahun untuk ikut beradaptasi dalam dinamika industri layanan kesehatan. Cakupan sistem rumah sakit telah merambah tanggung jawab yang lebih luas, termasuk dalam perawatan yang berpusat pada pasien, pengambilan keputusan berdasarkan data, dan perencanaan strategi.

Tujuan dari setiap sistem layanan kesehatan adalah menyesal. Layanan bermutu tinggi yang dapat menghasilkan luaran pasien yang baik. Luaran pasien menjadi tolak ukur dalam menilai efektivitas dan kesuksesan intervensi, serta layanan kesehatan. Luaran ini mencakup banyak faktor, seperti kesehatan pasien secara keseluruhan, kepuasan terhadap layanan, pemulihan, dan tentu pencegahan efek samping spesifik yang dapat muncul pada terapi atau kondisi mereka.
Rumah sakit dan layanan kesehatan terus-menerus bekerja untuk meningkatkan luaran pasien, karena mereka memahami bahwa sistem internal terkoneksi dengan reputasi dan keberhasilan institusi.

Komponen kunci dari efektivitas administrasi rumah sakit, yakni:

Kepemimpinan dan Tata Kelola

Pentingnya struktur tata kelola di administrasi rumah sakit penting dalam manajemen risiko yang efektif. Tata kelola meliputi kebijakan prosedur dan proses penentuan keputusan yang menjadi panduan institusi titik dalam konteks ini, manajemen risiko efektif berarti mengidentifikasi, menilai, dan memitigasi risiko potensial yang dapat mempengaruhi kinerja Rumah Sakit, pasien, dan keseluruhan reputasi. Tata kelola satu arah mempengaruhi aspek ini lewat Tanggung jawab dan otoritas yang jelas. Sebagai contoh, rumah sakit dengan struktur tata kelola yang jelas akan memastikan komite atau individu bertanggung jawab dalam monitoring dan mengatasi berbagai risiko. Hal ini termasuk dalam risiko klinis yang terkait dengan keselamatan pasien, risiko finansial, atau risiko kepatuhan dengan standar regulasi. Dengan tata kelola yang baik resiko ini dapat diidentifikasi dan dikelola dengan lebih efektif.

Pertimbangan etik merupakan dasar dari dunia administrasi rumah sakit, yang mempengaruhi pembuatan keputusan dan praktik yang memiliki efek langsung kepada berbagai aspek yang sudah disebutkan sebelumnya. Dapat bermanifestasi dalam berbagai aspek pelayanan kesehatan termasuk keamanan identitas pasien proses inform konsen keputusan keperawatan di tahap akhir kehidupan, dan alokasi yang seimbang dari sumber daya yang terbatas administrator rumah sakit dapat menavigasi tantangan-tantangan yang rumit sembari tetap menjunjung prinsip benefience (promosi kesejahteraan), non-maleficence (pencegahan perilaku menyakiti), menghargai otonomi pasien (menghargai pilihan pasien), dan mengejar keadilan dalam alokasi sumber daya.

Manajemen Keuangan

Manajemen keuangan memegang peran penting dalam administrasi Rumah Sakit, sebagai dasar dari penyampaian mutu pelayanan dan keberlanjutan jangka panjang dari layanan kesehatan titik dalam lanskap yang dinamis ini, administrasi Rumah Sakit ditegaskan untuk mengalokasikan sumber daya secara efektif menjunjung penghematan biaya, dan memaksimalkan menghasilkan pendapatan yang secara langsung akan mempengaruhi luaran dari pasien. Untuk mencapai tujuan ini administrator harus memiliki kemampuan untuk menyeimbangkan anggaran, memprioritaskan investasi dalam teknologi dan personal layanan kesehatan dan mengadopsi strategi keuangan yang inovatif. Mereka harus dapat memastikan bahwa setiap keputusan finansial memberikan dampak yang positif terhadap layanan pasien dengan cara meningkatkan mutu dari layanan yang diberikan dan mempertahankan aksesibilitas, serta keterjangkauan bagi pasien. Selain itu, manajemen keuangan yang efektif penting dalam mempertahankan kemitraan mendorong penelitian dan pengembangan serta memperkuat keseluruhan kinerja dari institusi kesehatan.

Mengalokasikan anggaran dan sumber daya merupakan pondasi dari manajemen keuangan yang efektif di rumah sakit. Administrator memainkan peran penting dalam membangun dan mengelola anggaran yang sejalan dengan tujuan strategis dari rumah sakit titik penganggaran yang strategis memerlukan alokasi sumber daya di area dengan dengan dampak paling signifikan terhadap keluaran pasien. Hal ini termasuk dalam keputusan yang terkait dengan tingkatan staf, memperoleh dan mempertahankan peralatan yang esensial, dan investasi terhadap keselamatan pasien titik dengan memprioritaskan alokasi sumber daya berdasarkan kebutuhan pasien Rumah Sakit dapat memastikan bahwa mereka telah dilengkapi agar dapat memberikan mutu pelayanan yang berkualitas sembari mengatur sumber daya finansial mereka.

Penghematan biaya dan keberlanjutan finansial merupakan pertimbangan yang penting dalam manajemen keuangan pelayanan kesehatan. Rumah Sakit menghadapi berbagai tantangan berkelanjutan untuk mencapai keseimbangan yang rumit antara mengatur biaya dan menjunjung tinggi mutu pelayanan pasien. Administrator pelayanan kesehatan dipercaya untuk mengimplementasikan strategi pengendalian biaya untuk menjaga keselamatan pasien dan mempertahankan standar perawatan yang tinggi titik untuk menguraikan gagasan ini, Dalam mencapai tujuan ini dapat melibatkan berbagai strategi utama dengan fokus pada optimalisasi manajemen lantai sumber daya, menegosiasikan kontrak vendor yang menguntungkan dan memperkenalkan perbaikan proses untuk meminimalkan pemborosan. Rumah Sakit dapat mengadopsi sistem pengendalian inventaris yang efisien untuk mengoptimalkan manajemen rantai sumber daya, meningkatkan perkiraan permintaan, dan menyederhanakan proses pengadaan titik Rumah Sakit dapat mengurangi biaya penyimpanan yang tidak penting dan meminimalisir risiko keterbatasan yang dapat terjadi dalam perawatan pasien dengan memastikan bahwa semua supaya dan peralatan yang penting sudah tersedia ketika dibutuhkan. Manajemen rantai pasokan yang efektif juga dapat termasuk dalam menegosiasikan persetujuan vendor yang diinginkan untuk mengamankan harga yang kompetitif dan jaminan kualitas dan dapat menurunkan kebutuhan biaya.

Manajemen Sumber Daya Manusia

Manajemen sumber daya manusia dalam layanan kesehatan penting dalam membentuk luaran pasien yang positif. Sangat penting bagi administrator rumah sakit untuk mengelola tenaga kerja mereka secara strategis untuk memastikan bahwa para profesional layanan kesehatan tidak hanya memiliki perlengkapan yang baik, namun juga termotivasi dan terlibat dalam memberikan perawatan pasien yang berkualitas tinggi titik dalam konteks ini, kunci utama manajemen sumber daya manusia yang efektif terletak pada perencanaan kepegawaian dan tenaga kerja. Administrator rumah sakit pertanggungjawab untuk memastikan Rumah Sakit mempertahankan kombinasi optimal, antara tenaga kerja profesional, termasuk dokter, perawat, profesional kesehatan terkait, dan staf pendukung. Mencapai perpaduan optimal dan pencocokan keterampilan sangat penting untuk perawatan pasien yang tepat waktu dan efektif. Perencanaan tenaga kerja strategis mencakup perkiraan kebutuhan staf rumah sakit, yang dipengaruhi oleh volume pasien, ketajaman, dan kebutuhan spesialisasi. Dengan menyelaraskan tingkat staf dengan permintaan pasien, administrator dapat secara proaktif mengatasi masalah seperti kekurangan atau kelebihan staf, sehingga mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya dan pada akhirnya meningkatkan luaran pasien.

Pelatihan dan pengembangan merupakan komponen penting dari manajemen sumber daya manusia yang berkontribusi Terhadap Peningkatan keluaran pasien. Pelatihan berkelanjutan dan program pengembangan profesional diperlukan agar staf pelayanan kesehatan selalu mengetahui kemajuan medis terbaru, evidence -based practice, pendekatan perawatan yang berpusat pada pasien administrator Rumah Sakit harus berinvestasi dalam pelatihan berkelanjutan yang meningkatkan keterampilan klinis kemampuan komunikasi, dan teknik keterlibatan pasien titik dengan membekali para profesional kesehatan dengan pengetahuan dan alat yang mereka perlukan untuk Unggul dalam peran mereka Rumah Sakit dapat meningkatkan kualitas layanan pasien, yang pada akhirnya mengarah pada peningkatan luaran pasien.

Kepuasan dan retensi karyawan terkait erat dengan kepuasan pasien dan luaran pasien. Administrator Rumah Sakit harus memprioritaskan penciptaan lingkungan kerja yang mendukung dalam menumbuhkan rasa memiliki dan tujuan di antara staf layanan kesehatan. Hal ini termasuk menawarkan kompensasi yang kompetitif mengakui dan merayakan kontribusi staf, dan memberikan peluang untuk pertumbuhan profesional dan kemajuan karir. Tingkat kepuasan karyawan yang tinggi dapat menyebabkan tingkat turnover yang lebih rendah yang penting untuk menjaga kesinambungan layanan dan membangun tim layanan kesehatan yang berkomitmen serta berdedikasi terhadap kesejahteraan pasien titik tenaga kerja yang puas dan terlibat akan menyukai feedback ekstra untuk memastikan perawatan pasien tetap terjaga dengan baik.

Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien

Peringatan mutu dan keselamatan pasien adalah komponen integral dari administrasi rumah sakit, dan Dalam mencapai tujuan ini penting untuk mengimplementasikan penilaian yang spesifik penilaian ini krusial dalam meningkatkan luaran pasien dan memastikan layanan kesehatan diberikan dengan aman, efektif, dan berkualitas. Administrator Rumah Sakit penting dalam mengusahakan komponen ini.

Metrik dan penilaian kualitas sangat penting dalam mengevaluasi dan meningkatkan luaran pasien. Administrator Rumah Sakit harus menetapkan sistem penilaian kinerja yang komprehensif untuk memantau berbagai metrik kualitas. Metrik ini mencakup hasil klinis, kepatuhan terhadap praktik terbaik kepuasan pasien, dan inisiatif lainnya indikator-indikator ini merupakan alat yang sangat diperlukan untuk mengukur efektivitas layanan kesehatan dan menentukan bidang-bidang yang memerlukan peningkatan titik dengan mengumpulkan dan menganalisis data secara konsisten mengenai pelayanan pasien, administrator dapat memperoleh wawasan mengenai kinerja rumah sakit dan pada akhirnya akan mendorong upaya peningkatan kualitas yang berkelanjutan. Upaya ini mencakup serangkaian inisiatif yang mungkin melibatkan penurunan efek samping, menyempurnakan proses klinis, dan mengoptimalkan alokasi sumber daya untuk meningkatkan luaran pasien.

Protokol dan inisiatif keselamatan pasien merupakan aspek mendasar dari administrasi rumah sakit. Administrator Rumah Sakit harus menetapkan dan memelihara protokol keselamatan yang kuat yang menangani berbagai aspek perawatan pasien. Hal ini mencakup inisiatif seperti rekonsiliasi pengobatan, tindakan mengendarai infeksi, program pencegahan jatuh, dan penerapan pedoman klinis berbasis bukti titik dengan memprioritaskan keselamatan pasien, administrator dapat secara signifikan mengurangi kejadian buruk kesalahan pasien, dan kerugian pasien. Upaya-upaya ini tidak hanya meningkatkan keluaran pasien tetapi juga berkontribusi dalam membangun kepercayaan dan keyakinan di antara pasien dan keluarganya.

Metodologi peningkatan kualitas berkelanjutan seperti Lean Six Sigma atau siklus Plan-Do-Study-Act (PDSA) memberikan pendekatan terstruktur untuk mengidentifikasi area yang membutuhkan peningkatan dan implementasi praktik berbasis bukti titik administrator Rumah Sakit memainkan peran penting dalam membangun kultur peningkatan mutu berkelanjutan lewat organisasi. Mereka dapat memimpin peningkatan mutu mendorong inisiatif staff dalam meningkatkan mutu, dan menyediakan sumber daya dan dukungan yang dibutuhkan. Administrator harus memastikan penentuan keputusan berbasis data tertanam dalam kultur rumah sakit sehingga dapat memberikan tim layanan kesehatan data yang dibutuhkan untuk mengidentifikasi dan mengatasi masalah dengan cepat, membuat penyesuaian berbasis bukti pada proses perawatan, dan memperoleh luaran mesin yang lebih baik.

Teknologi Informasi dan Sistem Layanan Kesehatan

Electronic medical record (ERM) dan sistem informasi kesehatan diawasi oleh administrator rumah sakit dalam penerapan dan optimalisasinya. ERM memfasilitasi digitalisasi catatan medis pasien, yang memungkinkan dokumentasi klinis yang lebih efisien meningkatkan koordinasi perawatan di antara penyedia layanan kesehatan, dan memberikan akses cepat kepada dokter ke informasi penting pasien. Dengan memastikan pemanfaatan ERM yang efektif administrator dapat mendukung alur kerja yang efisien mengurangi kesalahan medis dan meningkatkan kualitas serta keamanan perawatan pasien secara keseluruhan.

Trend teknologi telemedis dan layanan kesehatan yang sedang berkembang mengubah landscape layanan kesehatan. Administrator Rumah Sakit harus mengikuti trend ini dan memanfaatkan teknologi untuk memperluas akses terhadap pelayanan khususnya di daerah terpencil atau yang kurang terlayani. Antara medis memungkinkan konsultasi virtual, pemantauan jarak jauh dan layanan tele health yang meningkatkan akses pasien terhadap pelayanan kesehatan sekaligus meningkatkan kenyamanan. Administrator dapat memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan keterlibatan pasien, memfasilitasi komunikasi antara pasien dan penyedia layanan, dan mempromosikan pemantauan kesehatan jarak jauh. Merangkum trend teknologi layanan kesehatan akan meningkatkan layanan pasien dan posisikan organisasi layanan kesehatan untuk pertumbuhan dan adaptasi di masa depan.

Analisis data dan sistem pendukung keputusan memberdayakan administrator rumah sakit untuk membuat keputusan Berdasarkan informasi dan data titik alat-alat ini memungkinkan identifikasi trend dan analisa prediktif untuk mengantisipasi kebutuhan pasien dan mengoptimalkan alokasi sumber daya. Administrator harus berinvestasi dalam analisis data dan mendukung penentuan keputusan berdasarkan data dalam organisasi. Wawasan berbasis data dapat membantu meningkatkan hasil klinis mengoptimalkan efisiensi operasional, dan menginformasikan perencanaan strategis. Administrator Rumah Sakit harus berkolaborasi dengan analisis data dan dokter untuk mendapatkan wawasan yang dapat ditindaklanjuti dari layanan kesehatan, yang pada akhirnya menghasilkan luaran pasien yang lebih baik dan memberikan layanan kesehatan yang lebih efisien.

Selengkapnya dapat diakses di: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC10676194/