Perubahan iklim diketahui telah menjadi isu darurat kesehatan global. Studi terbaru oleh Carlson et. al (2025) menunjukkan bahwa pemanasan global yang disebabkan oleh aktivitas manusia telah memberikan dampak nyata terhadap kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Penelitian ini mengungkap bahwa perubahan iklim berkontribusi langsung terhadap meluasnya penyebaran penyakit menular serta peningkatan angka kematian dan penyakit. Perubahan iklim yang umumnya terjadi adalah peningkatan suhu ekstrem.
Melalui pendekatan end-to-end attribution, para peneliti menelusuri hubungan antara perubahan iklim akibat aktivitas manusia dengan dampak kesehatan yang terjadi. Hasil analisis menunjukkan fakta yang mengkhawatirkan. Pada periode 1991 hingga 2018, para peneliti menemukan terdapat lebih dari 270.000 kematian akibat panas ekstrem pada 43 negara yang mengalami perubahan iklim. Polusi udara dari kebakaran hutan juga diperkirakan menyebabkan lebih dari 125.000 kematian global setiap tahunnya. Selain itu, kematian bayi baru lahir akibat suhu tinggi di negara berpenghasilan rendah dan menengah ditemukan mencapai sekitar 175.000 kasus per tahun. Dampak tersebut diperparah dengan meningkatnya kelahiran prematur, berat badan lahir rendah, dan gangguan perkembangan kognitif anak yang berkaitan dengan suhu ekstrem.
Penelitian Carlson et. al (2025) juga menyoroti ketimpangan global dan dampak perubahan iklim terhadap kesehatan. Ketimpangan yang terjadi adalah sebagian besar studi dilakukan di negara maju. Namun, populasi di negara berkembang justru paling terdampak oleh krisis iklim. Negara-negara di kawasan selatan masih menghadapi kekurangan data, keterbatasan sumber daya, dan sistem kesehatan yang belum siap menghadapi lonjakan penyakit akibat perubahan lingkungan. Hal tersebut menunjukkan bahwa krisis iklim juga merupakan krisis keadilan. Faktanya negara yang paling sedikit berkontribusi terhadap emisi justru menanggung beban kesehatan paling besar.
Temuan ini memberikan pesan penting bagi para praktisi kesehatan dan manajemen rumah sakit. Fasilitas pelayanan kesehatan harus mulai mempersiapkan diri menghadapi peningkatan kasus-kasus perubahan iklim, seperti serangan panas, gangguan pernapasan akibat polusi udara, dan peningkatan penyakit menular seperti demam berdarah dan malaria. Rumah sakit perlu memperkuat kapasitas adaptasi baik melalui penyediaan ruang pendingin darurat dan sistem ventilasi maupun penyediaan energi alternatif yang ramah lingkungan untuk menghadapi kondisi ekstrem. Selain itu, sistem pemantauan risiko kesehatan berbasis iklim perlu dikembangkan agar tenaga medis dapat memberikan respons cepat terhadap perubahan suhu dan cuaca ekstrem terutama bagi kelompok rentan seperti bayi, lansia, dan pasien penyakit kronis. Edukasi tenaga kesehatan juga menjadi kunci penting. Para tenaga medis perlu memahami hubungan antara perubahan iklim dan kesehatan agar dapat memberikan penanganan yang tepat. Upaya seperti pengelolaan limbah medis yang ramah lingkungan, pengurangan emisi karbon rumah sakit, dan penggunaan sumber energi bersih juga dapat menjadi langkah solusi nyata.
Studi ini menegaskan bahwa perubahan iklim bukanlah ancaman masa depan, melainkan penyebab nyata dampak kesehatan yang terjadi. Dalam dunia kesehatan, tantangannya adalah bagaimana mengubah bukti ilmiah ini menjadi tindakan konkret. Melalui penguatan sistem kesehatan, riset, dan kolaborasi lintas sektor, masyarakat global memiliki peluang untuk mengubah krisis iklim menjadi momentum perubahan. Peluang tersebut tentunya harus dilengkapi dengan kesiapan, inovasi, dan komitmen untuk menjaga kesehatan dan bumi secara berkelanjutan.
Disarikan oleh:
Nikita Widya Permata Sari, S. Gz., MPH
(Peneliti Divisi Mutu PKMK FK-KMK UGM)
Selengkapnya: https://www.nature.com/articles/s41558-025-02399-7
