Mengawali sesi "Mengukur dan Meningkatkan Upaya Mengutamakan Pasien", dr. Tjahjono Kuntjoro mempresentasikan topik tentang "Re-design Alur Pelayanan Menggunakan FMEA". Tjahyono menyampaikan bahwa ada 3 hal yang mendasari dilakukannya desain ulang selain sebagai persyaratan akreditasi RS dan Puskesmas, yaitu kebutuhan akan efisensi, minimalisasi waste serta minimalisasi risiko. Dalam rangka memiminimalkan risiko inilah metode FMEA digunakan sebagai bagian dari manajemen risiko pro aktif di sarana pelayanan kesehatan.
FMEA merupakan alat manajemen risiko untuk mengkaji suatu prosedur (SOP) secara rinci, dan mengenali model-model kegagalan atau kesalahan pada prosedur tersebut. Selanjutnya dilakukan penilaian terhadap tiap model kegagalan tadi dengan mencari penyebab, identifikasi penyebab dan mencari solusi dengan melakukan perubahan terhadap disain atau prosedur tadi.
Diperlukan beberapa langkah dalam penerapan FMEA. Diawali dengan pembentukan tim berisi individu yang terlibat dalam suatu proses atau pelaksana SOP. Berikutnya adalah identifikasi terhadap model-model kegagalan dan penyebab kegagalan serta akibat jika terjadi kesalahan/kegagalan tadi. Setelah itu dilakukan penilaian dan penghitungan risiko terhadap tiap model kegagalan dengan menetapkan Risk Priority Number (RPN). Diperlukan juga penentuan cut of Point dan menetapkan kegiatan yang diperlukan sebelum dilakukan validasi terhadap solusi yang dipilih. Diakhiri dengan penghitungan kembali RPN setelah dlakukan uji coba perbaikan.
Aspek subjektivitas sangat mungkin terjadi pada tahap penilaian risiko untuk memunculkan RPN. Oleh karenanya diperlukan panduan skala risiko dan kecermatan dalam penggunaannya agar aspek subjektivitas dapat diminimalkan. Panduan skala risiko ini dapat diambil dari banyak sumber untuk disesuaikan dengan kebutuhan penerapan FMEA di masing-masing sarana pelayaan kesehatan.

IHQN – MANADO. Kegiatan Forum Mutu dilaksanakan untuk mendukung cita-cita terwujudnya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), "Menyediakan akses seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali terhadap pelayanan kesehatan dengan mutu yang baik," tutur Hanevi Djasri dalam sesi penutupan rangkaian Forum Mutu XII di Manado. Saat ini program JKN memungkinkan seluruh masyarakat Indonesia untuk mengakses berbagai pelayanan kesehatan. Namun ternyata tidak semua pelayanan kesehatan ini bermutu baik.
Pengalaman pasien (patient experience) dapat menjadi cara yang efektif bagi sarana pelayanan kesehatan dalam mendapatkan masukan untuk perbaikan mutu pelayanannya. Hal tersebut menjadi ide dasar dari presentasi yang disampaikan dr. Adi Utarini. Selama ini, mengukur kepuasan pasien (patient satisfaction) merupakan hal yang lazim dilakukan manakala sarana pelayanan kesehatan ingin mendapatkan informasi sebagai dasar perbaikan mutu. Namun menggali kepuasan pasien dianggap memiliki beberapa kelemahan, diantaranya adalah konsepnya yang terlalu luas sehingga tidak dapat didefinisikan dengan baik.
IHQN-MANADO 







