Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

agenda

Berdasarkan reportase lengkap HMA Vietnam 2025 yang telah kami susun, terlihat bahwa esensi dari setiap sesi adalah untuk menginspirasi tindakan nyata. Transformasi di sektor kesehatan tidak hanya sebatas mengikuti tren, tetapi juga tentang menciptakan solusi yang berkelanjutan, berpusat pada pasien, dan didukung oleh kepemimpinan yang kuat.

Berikut adalah poin-poin strategis, inovatif, dan perbaikan berkelanjutan yang dapat Anda para pimpinan RS pertimbangkan terutama untuk meningkatkan pengalaman pasien:

1. Transformasi Digital yang Humanis

  • Bangun Basis Data Kesehatan Terpusat: Alih-alih mengumpulkan data yang terfragmentasi, fokuslah pada pembangunan basis data kesehatan yang masif dan terpusat. Pastikan data tersebut terstandarisasi untuk menghindari sindrom DRIP (Data Rich, Information Poor), sehingga dapat diolah menjadi wawasan yang berguna untuk pengambilan keputusan.
  • Tingkatkan Pengalaman Pasien melalui Teknologi: Perluas layanan digital yang mudah diakses pasien, mulai dari membuat janji temu, berkomunikasi dengan dokter, hingga mengakses rekam medis. Terapkan teknologi seperti ambient listening untuk meminimalkan beban administrasi bagi dokter, memungkinkan mereka fokus penuh pada pasien.
  • Adopsi AI secara Bijak: Gunakan kecerdasan buatan (AI) untuk analisis prediktif, optimalisasi sumber daya seperti tempat tidur ICU, dan mempercepat perencanaan pengobatan. Ingatlah bahwa AI tidak akan menggantikan dokter, tetapi dokter yang menggunakannya akan menggantikan dokter yang tidak menggunakan. Pastikan AI digunakan sebagai alat untuk meningkatkan akurasi dan efisiensi, tanpa melupakan esensi kemanusiaan dalam pelayanan.

2. Mengubah Paradigma Pelayanan

  • Libatkan Pasien sebagai Mitra: Jangan melihat pasien hanya sebagai penerima layanan. Libatkan mereka sebagai mitra dan co-creator dalam pengambilan keputusan, kebijakan, dan desain layanan. Ciptakan ruang aman (psychological safety) bagi pasien dan staf untuk berbicara terbuka. Pasien adalah "experiential experts" yang dapat memberikan perspektif berharga.
  • Kembangkan Layanan "Hospital at Home": Pertimbangkan model perawatan "Hospital at Home" sebagai salah satu inovasi luar biasa untuk meningkatkan pengalaman pasien. Model ini membutuhkan transformasi sistem secara menyeluruh, termasuk penyesuaian indikator kinerja, pembangunan infrastruktur fisik pendukung seperti adanya command center, dan re-engineering alur kerja.
  • Manfaatkan Biomarker untuk Efisiensi: Terapkan inovasi teknis medis seperti penggunaan biomarker di unit gawat darurat (IGD). Inovasi ini tidak hanya meningkatkan akurasi diagnosis dan keselamatan pasien, tetapi juga menghemat waktu tunggu dan biaya, serta mengoptimalkan sumber daya rumah sakit.

3. Menginvestasikan Diri pada Kesejahteraan Staf

  • Prioritaskan Keselamatan dan Kesejahteraan Staf: Budaya keselamatan tidak dapat hanya berbasis kepatuhan (compliance), tetapi harus digerakkan oleh kepemimpinan yang proaktif (leadership-driven)15. Terapkan program yang berfokus pada keselamatan dan kesejahteraan staf, termasuk penanganan kekerasan di tempat kerja.
  • Jadikan Program Kesejahteraan Staf sebagai Strategi Bisnis: Terapkan program kesehatan dan kebugaran yang menargetkan masalah seperti obesitas, stres, dan kelelahan pada staf. Dengan berinvestasi pada kesejahteraan staf, produktivitas akan meningkat, kepuasan kerja membaik, dan pada akhirnya berdampak positif pada kualitas layanan pasien dan kinerja bisnis rumah sakit.

4. Kepemimpinan yang Menggerakkan Perubahan

  • Pimpin dengan Memberi Contoh: Sebagai pimpinan, Anda harus turun langsung ke lapangan untuk melihat kondisi staf dan pasien. Memimpin rapat dengan indikator utama kesejahteraan staf dan mendengar langsung masukan dari garis depan akan membangun kepercayaan dan budaya yang kuat.
  • Bangun Kemitraan dan Kolaborasi: Jalin kemitraan dengan organisasi global dan industri kesehatan untuk belajar dari praktik terbaik. Selain itu, dorong kolaborasi internal lintas disiplin, seperti antara IGD, kardiologi, dan laboratorium, untuk menciptakan inovasi dan efisiensi layanan. Ingat, mengelola teknologi dan merumuskan strategi relatif lebih mudah, tantangan terberat adalah mengelola kompetensi dan motivasi sumber daya manusia serta memastikan kepatuhan terhadap proses yang telah diperbaiki.

________________________________________

Pertanyaan untuk direnungkan:

Setelah mengidentifikasi berbagai inovasi dan strategi dari HMA 2025, langkah konkret apa yang akan Anda para pimpinan ambil dalam 90 hari ke depan untuk memulai atau melanjutkan transformasi ini di RS Anda?

*catatan: reportase ini disusun dengan bantuan aplikasi voice to text dan AI untuk membuat ringkasan awal, dilanjutkan dengan editing bahasa oleh satu orang asisten. Editor melakukan editing konten yang meliputi perbaikan isi, kejelasan tulisan, merangkai benang-merah antar sesi, dan memasukan “atmosfir” konferensi serta pendapat pribadi editor.

hma hanevi

Ho Chi Minh City,
10-11 September 2025
Hanevi Djasri

 

 

Link Terkait:

btn hma0

btn hma2

btn hma2

 

 

 

Sesi Pleno

Opening Remarks by VN Ministry of Health,
oleh Professor Tran Van Thuan, MD, PhD, Vice Minister of Health, Vietnam


Dalam pembukaan HMA 2025 dihadapan 1.200 peserta, Prof Tran menyampaikan tekad Pemerintah Vietnam untuk memperkuat sistem kesehatan berkelanjutan dengan menekankan pergeseran dari pola “mengobati penyakit” menuju “mengelola kesehatan secara proaktif”. Hal ini sejalan dengan strategi kesehatan nasional Vietnam yang menekankan pentingnya inovasi, sains, dan transformasi digital di sektor kesehatan.

Dalam satu dekade terakhir (catatan editor: kondisi dibawah ini menarik karena sangat mirip dengan Indonesia), Vietnam mencatat berbagai pencapaian penting. Standar mutu rumah sakit nasional dengan 83 indikator telah diterapkan di seluruh negeri. Saat ini, pemerintah tengah menyusun standar mutu lanjutan agar lebih mendekati standar internasional. Sejumlah rumah sakit, baik publik maupun swasta, juga telah mendapatkan akreditasi global. Transformasi digital kesehatan berkembang pesat melalui penerapan rekam medis elektronik, pembayaran non-tunai, serta perluasan jaringan layanan hingga ke wilayah terpencil.

Model satellite hospital juga telah dinilai mampu mengurangi beban rumah sakit pusat dengan menyediakan layanan berkualitas di daerah. Pemerintah juga menekankan bahwa etika kedokteran, keselamatan pasien, dan kualitas pelayanan tetap menjadi fondasi utama. Meski begitu, tantangan besar masih dihadapi, termasuk kepadatan pasien di rumah sakit rujukan, keterbatasan tenaga medis di daerah sulit, serta kebijakan pembiayaan kesehatan yang belum sepenuhnya selaras. Transformasi digital juga dinilai belum merata di seluruh tingkatan layanan.

Prof Tran sangat mengapresiasi tema yang diangkat pada HMA 2025: “Quality, Experience, and Leadership in Healthcare – Integrate, Inspire, Innovate” dan berharap forum ini dapat menjadi wadah untuk berbagi pengalaman manajemen, membahas model inovatif dari berbagai negara, serta merumuskan solusi konkret guna meningkatkan mutu layanan, modernisasi tata kelola rumah sakit, dan mempercepat transformasi digital.

“Vietnam berkomitmen menjadi anggota aktif, bertanggung jawab, dan penuh aspirasi dalam membangun pusat-pusat keunggulan kesehatan di Asia,” tegas perwakilan pemerintah dalam sambutannya (catatan editor: setelah industri manufaktur, Vietnam akan/sudah menjadi saingan utama Indonesia dalam pelayanan kesehatan).

Sesi 1: Digital Transformation in the Field of Medical Examination and Treatment
oleh Dr Ha Anh Duc, General Director of the Department of Medical Services Administration, Ministry of Health, Vietnam.


(catatan editor: editor merasa sesi ini terlalu awal disampaikan, seharusnya sesuai dengan tema HMA 2025, sesi pleno perlu diawali dengan pembahasan tentang quality, experience, dan leadership, sebelum membahas teknologi yang dapat mendukungnya, termasuk digital transformation) dr. Ha menyampaikan bahwa transformasi digital menjadi agenda utama sektor kesehatan Vietnam. Pembicara menekankan bahwa perubahan ini merupakan tren global sekaligus kebutuhan politik dan kebijakan yang tidak bisa dihindari. Menurut WHO, saat ini sudah ada 75 negara yang memiliki strategi transformasi digital kesehatan nasional, dan Vietnam berkomitmen berada di garis depan.

Pemerintah Vietnam telah menindaklanjuti kebijakan nasional yang menempatkan sains, teknologi, inovasi, dan transformasi digital sebagai pilar utama pembangunan. Dalam sektor kesehatan, langkah ini diwujudkan dengan penerapan rekam medis elektronik (EMR), pengembangan smart hospital (catatan editor: banyak RS di Indonesia saat ini menurut editor baru pada tahap digitaliasi hospital, belum sampai tingkat ke smart hospital), pemanfaatan analitik cerdas, kecerdasan buatan, serta kolaborasi dengan sektor swasta seperti FinBrain dan NVIDIA.

Strategi transformasi digital Vietnam dibagi dalam beberapa tahap. Pada periode 2025, fokus utama adalah membangun basis data kesehatan terpusat dan memastikan seluruh rumah sakit menerapkan EMR (catatan editor: pada sesi ini perwakilan pemerintah Vietnam menginformasikan bahwa mereka akan membangun data base kesehatan secara masis, namun pada sesi yang berbeda, pembicara yang berbeda dari pakar transformasi digital mengingatkan pentingnya berhati-hati dalam membangun basis data kesehatan untuk tidak terlalu komenpleks sehingga justru sulit diolah menjadi informasi dan dasar pengambilan keputusan. Menghindari DRIP - Data Rich Information Poor yang sering editor ingatkan kepada para COI di RS). Tahun 2026 Vietnam juga menargetkan penyelesaian infrastruktur digital kesehatan nasional dan standarisasi data lintas fasilitas, sehingga pada 2030 diharapkan Vietnam telah memiliki ekosistem kesehatan digital terintegrasi, terhubung dengan data kependudukan dan asuransi kesehatan, serta memberikan setiap warga profil kesehatan digital untuk mendukung layanan prediktif dan personalized medicine.

Jalan menuju 2030 teresebut tidak mudah. Tantangan yang dihadapi antara lain keterbatasan regulasi dan mekanisme kebijakan, infrastruktur TI yang belum merata, serta keamanan data dan kerahasiaan informasi kesehatan. Data kesehatan saat ini masih terfragmentasi, kurang akurat, dan belum tersedia secara real-time. Selain itu, kapasitas SDM masih terbatas, baik dari sisi tenaga IT maupun tenaga kesehatan yang belum terlatih penuh, ditambah resistensi masyarakat dalam berbagi data pribadi. Untuk mengatasi tantangan tersebut, Kemenkes Vietnam merumuskan sejumlah solusi: memperkuat kerangka regulasi, menambah investasi dan pendanaan, membangun pusat data terpusat, meningkatkan kapasitas SDM melalui pelatihan, serta mendorong kemitraan publik-swasta dalam pengumpulan, pengelolaan, dan pemanfaatan data. “Transformasi digital membutuhkan komitmen kepemimpinan, kerangka hukum yang jelas, dan keterlibatan seluruh pihak, termasuk masyarakat,” ujar perwakilan Kemenkes.

Dengan langkah tersebut, Vietnam menargetkan bukan hanya mempercepat transformasi digital kesehatan, tetapi juga meningkatkan mutu layanan, memperluas akses, serta menjadikan hasil kesehatan masyarakat sebagai ukuran utama keberhasilan sistem kesehatan.

Sesi 2: Fireside Chat: Yesterday’s Lessons, Today’s Practices, and Tomorrow’s Innovations
oleh Dr Lisa Ishii, Senior Vice President (Operations), Johns Hopkins Health System, USA


(catatan editor: Sesi ini merupakan salah satu dari dua sesi yang paling menarik pada hari I HMA 2025. Dibawakan oleh dr. Lisa yang menjabat sebagai direksi RS namun juga masih tetap menjalankan praktek dokter bedah plastik, suatu keputusan yang diambil untuk tetap dapat mempertahankan “sense of clinician”. Hampir 25 tahun yang lalu, pentingnya direktur RS memiliki sense of clinician pernah disampaikan oleh salah satu direktur RS di Indonesia, yang saat ini telah berkembang menjadi jaringan RS besar di Indonesia)

Pada sesi ini Dr. Ishii mengawali dengan refleksi pengalamannya memimpin sejak 2018. Saat itu, Johns Hopkins Health System menghadapi krisis keselamatan pasien di salah satu rumah sakit anak di Florida yang telah diakuisisi sejak 2011. Investigasi menunjukkan belum adanya struktur dan proses sistematis untuk menjamin mutu dan keselamatan. “Kami belajar bahwa budaya dan struktur harus dibangun sejak awal. Setiap tenaga kesehatan, mulai dari teknisi hingga perawat, harus merasa berdaya untuk bersuara bila ada masalah,” tegasnya.

Saat ini Dr. Ishii bertanggung jawab atas enam rumah sakit, tujuh pusat bedah rawat jalan, serta fungsi korporat seperti rantai pasok, kontrak, layanan makanan, hingga manajemen darurat. Menariknya, ia tetap berpraktik sebagai dokter bedah plastik satu hari dalam seminggu. “Dengan tetap berpraktik, saya merasakan langsung dampak keputusan manajemen, misalnya jika ada perubahan bahan implan, sayalah yang menggunakannya di ruang operasi,” ujarnya.

Isu krusial lain adalah kesejahteraan tenaga kesehatan. Dengan lebih dari 40 ribu karyawan, Johns Hopkins rutin melakukan survei karyawan untuk memantau kepuasan dan burnout. Hasil survei menjadi indikator kinerja manajer. “Kami ingin memastikan tenaga kesehatan bekerja sesuai kompetensi tertinggi mereka, dan melihat adanya jalur pengembangan karier,” jelasnya. (catatan editor: Indonesia juga telah memiliki regulasi agar setiap RS melakukan survei kepuasan karyawan setidaknya 1 kali dalam setahun dan dikerjakan oleh lembaga independen).

Untuk mengurangi beban administrasi dokter, Johns Hopkins mengimplementasikan teknologi ambient listening di seluruh sistem. Dengan ini, percakapan dokter dan pasien otomatis ditranskripsi dan masuk kedalam EMR sehingga dokter dapat fokus pada pasien, bukan layar komputer. (catatan editor: dalam sesi coffee break, editor bertemu dengan salah satu direksi RS Akademik di Indonesia yang juga telah menerapkan teknologi serupa, jadi ini bukan suatu hal yang baru bagi kita, namun kembali, yang terpenting adalah pemanfaatan data yang dihimpun untuk menjadi informasi dan dasar pengambilan keputusan)

Menatap 3–5 tahun ke depan, Dr. Lisa menekankan tiga arah utama: Digital: Memberikan pasien akses penuh melalui ponsel—mulai dari membuat janji, berkomunikasi dengan dokter, hingga mengakses rekam medis; Virtual: Memperluas layanan telemedis dan perawatan di luar gedung rumah sakit (catatan editor: baca lebih lanjut pada sesi Hospital @ Home); dan AI: Meski sudah digunakan dalam fungsi non-klinis seperti rantai pasok dan manajemen keuangan, kedepan akan dikembangkan untuk analisis prediktif, termasuk pemanfaatan kapasitas ICU dan optimalisasi tempat tidur rumah sakit.“Pasien kini memiliki ekspektasi setara dengan layanan digital komersial. Jika mereka bisa memesan barang di Amazon hanya dengan satu klik, maka mereka juga berharap interaksi kesehatan yang mudah dan cepat,” ujar Dr. Ishii. (catatan editor: hal serupa sudah banyak disuarakan oleh pasien dan juga staf RS, dimana mereka membandingkan kemudahan penggunaan e-banking, e-commerce, dan "Super App” seperti Gojek dan Grab dengan aplikasi di rumah sakit yang sering dianggap tidak mudah digunakan)

Sesi 3: Accelerating the Journey to Cancer Survivorship
oleh Sasa Mutic, President of Radiation Oncology Solutions, Varian, USA


Sasa Mutic adalah President dari Radiation Oncology Solutions, Varian, sebuah unit bisnis dari Siemens Healthineers, bertugas untuk mengawasi R&D, manufaktur, pemasaran, dan operasional komersial untuk radioterapi eksternal, brakiterapi, dan produk perangkat lunak terkait pelayanan radioterapi.

Sesi ini banyak membahas tentang bagaimana kemajuan dalam radioterapi dapat mempercepat pengobatan, antara lain melalui perbaikan alur kerja yang dioptimalkan dengan AI untuk mempercepat perencanaan pengobatan, dan memastikan terapi yang sangat personal untuk setiap pasien.

Berdasarkan berbagai penelitian, pasien kanker sering kali menghadapi penundaan berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan untuk memulai pengobatan radioterapi. Penundaan ini tentu berdampak signifikan pada efektivitas pengobatan, kesejahteraan pasien, dan biaya perawatan hingga ke kelangsungan hidup pasien (menurunkan angka survivor rate). Sasa Mutic menegaskan bahwa setiap penundaan empat minggu dalam pengobatan kanker dapat meningkatkan risiko kematian hingga 10%.

Tantangan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, seperti sistem kesehatan yang overload, kekurangan staf medis, ketersediaan teknologi radioterapi yang terbatas, dan proses manual yang rumit dalam perencanaan pengobatan.

Pembicara menyampaikan inovasi dalam perbaikan alur radioterapi sebagai solusi untuk meningkatkan kelangsungan hidup pasien. Inovasi dalam bentuk kombinasi perancangan ulang alur kerja dan penggunaan teknologi inovatif terutama dalam penggunaan kecerdasan buatan (AI) untuk pra-perencanaan pengobatan yang dimulai sejak diagnosis.

Sesi Paralel I: Efficiency, Advocacy & Partnership

Sesi 1: Implementing Patient Experience Programmes Centred Around People, Process and Design
oleh Dr Maria Glenda T. Montaña, Patient Experience Division Head, Davao Doctors Hospital, Philippines


Dr. Maria membagikan perjalanan transformasi rumah sakit dalam meningkatkan pengalaman pasien. Fokus utama adalah mempercepat proses perpindahan pasien dari IGD ke ruang rawat (ER-to-admission turnaround).

Sebelum 2023, pasien rata-rata menunggu 6–8 jam akibat proses manual, komunikasi antar-departemen yang terputus, serta kurangnya sistem pemantauan. Hal ini memunculkan keluhan pasien yang merasa cemas, bingung, dan tidak mendapat kepastian.
Rumah sakit kemudian mengadopsi kerangka People–Process–Design:

  • People: membangun akuntabilitas, kolaborasi, dan mengatasi resistensi staf melalui playbook standar, turnaround champions, serta real-time dashboard.
  • Process: memperbaiki alur penempatan tempat tidur dengan sistem manajemen terintegrasi, mempercepat respon dokter, dan mengganti proses berlapis dengan sistem one-call admission.
  • Design: digitalisasi antrian, pemantauan pergerakan pasien secara real-time, serta dashboard otomatis untuk memastikan integritas data.

Hasilnya, waktu tunggu berkurang signifikan menjadi rata-rata 3 jam. Lebih penting lagi, perubahan ini menciptakan pengalaman pasien yang lebih positif: komunikasi lebih jelas, perawatan lebih cepat, serta staf yang merasa lebih berdaya.

Maria menekankan bahwa tujuan utama bukan sekadar kecepatan, tetapi menciptakan sistem yang efisien sekaligus penuh empati. “Pasien harus merasa didengar, dibantu, dan dihargai sebagai manusia,” tutupnya.

Sesi 2: From Patients to Partners: A Shared Patient Advocacy Journey at SGH
oleh Serena Chua, Deputy Director, Patient Experience, Singapore General Hospital, Singapore dan Ellil Mathiyan Lakshmanan, Patient Expert and Mentor, SingHealth Patient Advocacy Network, Singapore General Hospital (SPAN SGH), Singapore


(catatan editor: Sesi ini merupakan sesi kedua yang paling menarik pada hari I HMA 2025. Dibawakan secara tandem oleh Serena yang mewakili staf RS dan Ellil yang mewakili pasien)

Ellil, seorang patient partner sekaligus mentor di SingHealth Patient Advocacy Network (SPAN), Singapore General Hospital (SGH), menekankan pentingnya melibatkan pasien secara bermakna dalam pengambilan keputusan dan kebijakan kesehatan. SPAN lahir tahun 2022 sebagai adaptasi dari inisiatif SingHealth pada 2017. Tantangan awal adalah bagaimana merekrut pasien dan keluarga yang tepat untuk menjadi partners. Solusinya adalah melalui jalur umpan balik pasien, poster rekrutmen, serta proses onboarding workshop yang memastikan mereka memahami peran, komunikasi, dan ekspektasi.

Serena menjelaskan bahwa SPAN dibangun di atas empat strategi: 1) Partnership in Care – meningkatkan komunikasi pasien–tenaga kesehatan agar lebih jelas dan terpercaya. 2) Patient Safety – keterlibatan dalam Root Cause Analysis (RCA), kampanye keselamatan, dan kolaborasi dengan pusat kualitas. 3) Value-Based Care – memberi masukan agar layanan berfokus pada hal yang penting bagi pasien dan mengurangi prosedur yang tidak perlu. Dan 4) Patient Journey – terlibat dalam setiap titik perjalanan pasien, mulai dari penamaan kampus baru hingga desain layanan.

Lebih dari sekadar memberi masukan, pasien di SPAN juga menjadi co-creators dalam kebijakan. Ellil menekankan pentingnya psychological safety: menciptakan ruang aman bagi pasien maupun staf untuk berbicara terbuka. Maskot Sora (boneka orang utan) hadir sebagai simbol bahwa suara pasien dihargai dalam setiap pertemuan.

SGH kini melihat pasien bukan hanya sebagai penerima layanan, tetapi sebagai “experiential experts” yang memperkaya perspektif rumah sakit. “Kita tidak kehilangan kendali dengan melibatkan pasien, justru kita mendapatkan kejelasan dan kebijaksanaan baru,” ujar Ellil dan Serena.

hma h1

Sesi 3: Centralised Intelligence, Decentralised Impact – Harnessing Command Center Technology to Drive Efficiency and Improve Patient Outcomes
oleh Esther Ocrah, Senior Director, Command Center International, GE Healthcare, UK


(catatan editor: ini merupakan salah satu dari beberapa sesi yang disponsori oleh perusahaan besar teknologi kesehatan, seperti GE Healhtcare, Siemmens Healthcare, Abbot, dan sebagainya. Meski disponsori namun pembicaraan tidak terlalu terkait dengan penjualan produk, namun lebih kearah pemaparan berbagai penelitian yang telah mereka lakukan, konsep implementasi yang mereka telah kembangkan, hingga evaluasinya)

Pada sesi ini, Esther Ocrah membahas bagaimana teknologi command center dapat menjadi jawaban atas tantangan operasional rumah sakit yang semakin kompleks. Dengan mengusung konsep Centralised Intelligence, Local Action, ia menekankan bahwa integrasi data, penggunaan AI, dan desain alur kerja baru mampu meningkatkan efisiensi dan hasil perawatan pasien.

Esther menguraikan beberapa kendala utama yang sering ditemui, antara lain: Breakdown in Care Coordination: data yang terisolasi dan alur kerja manual menyebabkan keterlambatan, misalnya pada proses discharge; Lack of Systemness and Visibility: tidak adanya bahasa operasional bersama membuat rumah sakit sulit memanfaatkan sumber daya secara optimal; Staffing and Workflow Misalignment: jadwal kerja yang reaktif tanpa terhubung pada proyeksi kebutuhan pasien; Data Overload and Decision Paralysis: banyaknya dashboard yang terfragmentasi tanpa menghasilkan wawasan yang dapat langsung ditindaklanjuti.

Dalam mengatasi kendala tersebut Esther menawarkan kerangka solusi melalui tiga pilar utama: Centralised Intelligence – integrasi data real-time lintas sistem, penggunaan AI, visualisasi, dan dashboard untuk memberikan situational awareness menyeluruh; Decentralised Impact – tim garda depan menerima alert dan wawasan langsung di tempat kerja mereka, sehingga keputusan dapat diambil cepat sesuai kebutuhan lapangan; dan Scalable System Wide – dapat diterapkan di berbagai tipe rumah sakit, baik publik maupun swasta, dengan memanfaatkan data yang sudah ada dan tanpa harus mengganti infrastruktur teknologi secara menyeluruh.

Lebih lanjut Esther menjelaskan bahwa keberhasilan command center ditopang oleh empat aspek: People: pembentukan tim, kolokasi, dan ekspeditor fokus; Process: re-engineering, manajemen perubahan, dan pekerjaan standar; Technology: transparansi real-time, prediksi, dan preskriptif; Strategy: visi strategis yang besar namun dapat dioperasionalkan. (catatan editor: diskusi saat coffee break dengan CEO dan Chief Information Officer (CIO) dari RS swasta besar di Indonesia menunjukan bahwa RS tidak terlalu sulit untuk mengelola teknologi dan merumuskan strategi, namun yang berat adalah mengelola kompetensi dan motivasi SDM, serta menyusun perbaikan proses serta kepatuhan terhadap proses).

Menurut Esther, GE Healthcare telah mengimplementasikan command center di lebih dari 300 rumah sakit, dengan capaian: Penghematan hingga USD 40 juta dari efisiensi; Pengurangan 1 hari rata-rata lama rawat inap; Peningkatan kapasitas untuk 500 pasien baru per tahun; Penurunan 87% pembatalan operasi; dan Pengurangan 50% kebutuhan tenaga kerja sementara.

hma h1 2

Sesi Paralel II: Putting Patients First

Sesi 4: How AI can Empower Patient Care in ER
oleh Umar Ansari, Global Head of AI Clinical Solutions, Abbott, UAE


(catatan editor: sesi ini penuh dengan cerita pengalaman pribadi pembicara yang kemudian dimasukan kedalam konteks pembicaraan dengan sangat tepat. Salah satu kalimat pembicara yang menurut editor sangat tajam adalah “AI tidak akan menggantikan dokter, tapi dokter yang menggunakan AI akan menggantikan dokter yang tidak”).

Umar memulai dengan analogi sederhana: perubahan generasi dalam cara mengemudi. Jika dulu mobil manual adalah standar, kini anak muda bahkan menganggap mobil yang dihidupkan dengan kunci (bukan dengan tombol “start”) adalah sebagai mobil “manual”. Begitu pula dengan kesehatan—generasi mendatang akan menghadapi sistem kesehatan yang sangat berbeda karena percepatan inovasi.

Perkembangan AI, ujarnya, melaju pesat. Hanya dalam hitungan bulan, kemampuan model seperti GPT-3.5 hingga GPT-5 melonjak signifikan, hingga mampu menembus skor ketepatan menjawab ujian medis di atas 90%. Namun, ia mengingatkan bahwa 97% data kesehatan dunia masih belum terpakai, padahal, volume data mencapai 50 petabyte per hari, dengan 70% berasal dari diagnostik. “Tantangan kita adalah bagaimana menyaring data agar yang relevan bisa sampai ke tangan dokter, bukan membanjiri mereka,” jelasnya.

Sejumlah studi membuktikan dampak nyata AI, di Amerika Serikat, algoritma sederhana berbasis biomarker berhasil menurunkan tingkat rawat ulang pasien gagal jantung dari 26% menjadi hanya 4%, sekaligus menghemat ratusan ribu dolar (catatan editor: tahun 2020 editor bersama salah satu guru besar FK UGM pernah mengikuti workshop yang diselenggarakan oleh World Bank untuk membahas mengenai regulasi pembiayaan yang dapat mendorong mutu pelayanan kesehatan, pengalaman di Amerika Serikat ini mungkin salah satu best practice yang dapat diterapkan di Indonesia).

Studi lain di Spanyol menunjukan pemanfaatan AI untuk pasien sepsis dapat memangkas waktu pemberian antibiotik hingga tiga jam—selisih yang bisa menyelamatkan nyawa. Meski potensinya besar, AI masih menghadapi tantangan: keakuratan, bias data, hingga fenomena hallucination atau jawaban keliru. Karena itu, kata pembicara, kuncinya adalah penggunaan bijak. “AI bisa menghitung, menafsirkan, dan memberi saran. Tapi hanya manusia yang bisa merasakan emosi, empati, dan penderitaan pasien,” ujarnya.

Ia menutup dengan penegasan bahwa masa depan kesehatan harus dapat memadukan dua hal: bisnis dan kemanusiaan. “Tidak salah melihat kesehatan sebagai bisnis. Tapi jangan lupakan bahwa inti dari layanan kesehatan adalah kemanusiaan. AI harus membantu kita menjalankan keduanya.”

hma h1 3

Sesi 5: Biomarkers in the Emergency Department: Rapid Diagnosis in the Management of Mild Traumatic Brain Injury
oleh Dr Maria Fuentes, ER Physician, Andaluz Health Services, Spain


(catatan editor: sesi ini sangat teknis klinis, namun mengingatkan kepada para praktisi RS baik klinisi maupun manajemen, bahwa salah satu cara meningkatkan patien experience adalah dengan melakukan inovasi teknis medis/klinis termasuk dengan mengembangkan metode/teknologi terbaru dalam diagnosa dan tatalaksana penyakit, tidak cukup hanya dengan perbaikan dari aspek manajerial. Disinilah peran penting dari Clincal Research Unit yang mulai banyak dikembangkan di Indonesia. Saat ini editor sedang mendampingi beberapa top management RS untuk menerapkan sistem manajemen pengelolaan CRU-RS)

Sesi ini menghadirkan Dr. Mariola Fuentes, dokter spesialis emergensi di Rumah Sakit Granada, Spanyol, yang berbagi pengalaman klinis mengenai penggunaan biomarker dalam penilaian cedera otak traumatik ringan (mild traumatic brain injury atau TBI). Menurutnya, penggunaan biomarker telah mengubah praktik sehari-hari di unit gawat darurat dengan memberikan data objektif yang mendukung diagnosis cepat, efisiensi pelayanan, dan peningkatan keselamatan pasien.

Dr. Fuentes menekankan bahwa setiap menit sangat berarti di instalasi gawat darurat (IGD). Dokter seringkali harus mengambil keputusan cepat dengan informasi klinis yang terbatas. Kondisi overcrowding menambah tekanan, baik bagi tenaga medis maupun pasien yang harus menunggu lama. Selama ini, pemeriksaan fisik dan keterampilan klinis memiliki keterbatasan subjektivitas, sementara pemeriksaan pencitraan (CT scan) berisiko memberikan paparan radiasi yang tidak selalu diperlukan.

Seperti halnya biomarker troponin yang telah merevolusi penanganan nyeri dada dan infark miokard, kini muncul biomarker untuk TBI yang membantu mengurangi ketidakpastian diagnostik. Dua biomarker utama yang digunakan adalah GFAP (Glial Fibrillary Acidic Protein) dan UCH-L1 (Ubiquitin Carboxy-terminal Hydrolase-L1). Keduanya dilepaskan segera setelah trauma kepala, spesifik pada jaringan otak, dan memberikan bukti biokimia objektif adanya cedera. Kombinasi GFAP dan UCH-L1 terbukti memiliki nilai prediktif negatif mendekati 99%. Artinya, bila hasil biomarker negatif, dokter dapat dengan aman menyatakan bahwa pasien tidak mengalami lesi intrakranial signifikan, sehingga CT scan tidak perlu dilakukan.

Dr. Fuentes memaparkan hasil implementasi biomarker di rumah sakitnya yang kini menjadi pionir di Spanyol, dengan menghasilkan dampak: Pengurangan CT scan yang tidak perlu, sehingga pasien terhindar dari radiasi berlebihan; Waktu tunggu lebih singkat, rata-rata menghemat 111 menit per pasien di IGD; Efisiensi biaya signifikan, dengan potensi penghematan sekitar 700 ribu Euro per tahun atau setara 200 Euro per pasien; Optimalisasi sumber daya, baik di IGD maupun departemen radiologi; dan Peningkatan kepuasan pasien, karena keputusan diagnosis lebih cepat dan lebih pasti. Dr. Fuentes menutup paparannya dengan menekankan bahwa biomarker membawa pergeseran besar: dari ketidakpastian menuju keyakinan diagnostik. Inovasi ini bukan hanya meningkatkan hasil klinis pasien, tetapi juga mendukung keberlanjutan sistem kesehatan melalui efisiensi biaya dan pemanfaatan sumber daya.

 

Link Terkait:

btn hma0

btn hma2

btn hma2

 

 

 

Sesi Pleno

Sesi Keynote: Wellness-centred Healthcare: The Time to Act is Now
oleh: Vahe Ayvazian, Divisional Vice President, Global Marketing, Core Diagnostics, Abbott, USA


(catatan editor: kembali sesi ini merupakan contoh salah satu sesi yang disponsori oleh industri besar pelayanan kesehatan, dan sama seperti sesi-sesi mereka sebelumnya, presenter dan lembaga yang diwakili tidak memaparkan secara langsung produk, namun lebih kearah menjelaskan konsep dan inovasi yang mereka gunakan. Meski demikian memang waktu yang dialokasikan lebih banyak pada paparan latar belakang masalah, sedangkan inovasi dan evaluasinya porsinya lebih sediit, mungkin ini salah statu strategi marketing mereka. Hal ini berbeda dengan beberapa pembicara praktisi RS, khususnya dari sesi SingHealth dan Jhon Hopkin yang para pembicaranya langsung to the point memaparkan inovasi yang mereka kerjakan dan hasil evaluasi serta tindak lanjutnya)

Vahe Ayvazian, telah berkarier lebih dari 17 tahun di dunia pemasaran dan transformasi kesehatan, saat ini memfokuskan dirinya pada kolaborasi global untuk menghadirkan kinerja layanan kesehatan yang lebih baik melalui inovasi laboratorium, dengan mengatakan bahwa “diagnostik adalah benang biru yang menyatukan seluruh ekosistem kesehatan”.

Ayvazian menekankan bahwa 70% keputusan klinis didasarkan pada tes laboratorium. Namun, apakah data laboratorium sudah benar-benar dimanfaatkan untuk mendorong hasil yang lebih baik? Lebih lanut dia menyampaikan sebuah studi kasus dari Inggris yang memperlihatkan kekuatan transformasi diagnostik, dimana penggunaan high-sensitivity troponin mampu memangkas lama rawat inap hingga 58%, menurunkan rawat inap dari IGD sebesar 37%, serta menghemat hampir 800 ribu euro dalam satu rumah sakit. “Pencapaian ini tidak mungkin terjadi tanpa kolaborasi lintas disiplin seperti IGD, kardiologi, perawat, hingga laboratorium,” tegasnya.

Ke depan, ia memetakan lima tren besar: kesehatan holistik, manajemen kesehatan masyarakat, integrasi teknologi diagnostik ke dalam kehidupan sehari-hari, desentralisasi layanan, serta penciptaan kesehatan (beyond not being sick). Tren ini menuntut kolaborasi semua pihak termasuk industri, pemerintah, dan sistem kesehatan, untuk mengoptimalkan peran diagnostik dalam menciptakan nilai dan hasil kesehatan yang lebih baik.

“Pasien tidak hanya ingin tidak sakit. Mereka ingin sehat, bugar, bahkan dapat berlari maraton. Laboratorium punya peran besar untuk mewujudkan itu,” pungkasnya.

hma h2 8

Sesi 1: From Vietnam to the World: Building Centres of Excellence in Southeast Asian Healthcare: Establishing Quality Benchmarks in Local Healthcare that Meet Global Standards; Leading a Patient-centric Healthcare Evolution; Sustainable Leadership and Talent Development; Positioning Vietnam as a Regional Medical Tourism Hub.

Oleh: Dr Truong Vinh Long, Deputy Chairman, Strategic Committee of Hoa Lam Shangri-La High Tech Healthcare Park, Hoa Lam Group, Vietnam; Dr Jean-Marcel Guillon, Founder & CEO, FV Hospital, Vietnam; Le Thuy Anh, Chairwoman, Vinmec International Healthcare System, Vietnam; Huynh Bich Lien, Group Chief Executive Officer, Hoan My Medical Corporation, Vietnam Niru Rajakumar, CEO, Amalga (by McCrae Tech), New Zealand


Sesi ini dibawakan dalam sebuah diskusi panel, untuk berbagi pengalaman terkini Vietnam dalam mengembangkan pelayanan kesehatan pada tingkat excellence. Dibuka oleh Neeru, perwakilan dari Selandia Baru yang memiliki pengalaman luas di Asia Pasifik, Eropa, dan Amerika, menyoroti pentingnya kemitraan antara rumah sakit lokal dengan organisasi global. Ia mencontohkan kasus di Vietnam, di mana kapasitas rumah sakit seringkali melebihi 150–300% hingga pasien harus berbagi tempat tidur. “Masalah ini tidak hanya terjadi di Vietnam, tapi di seluruh dunia. Kita perlu belajar dari praktik terbaik global, khususnya dalam memperkuat pencegahan dan manajemen penyakit tidak menular seperti diabetes dan penyakit jantung,” ujarnya.

Dari sisi sektor swasta, Ms. Lien, pimpinan Hoan My, menjelaskan bahwa rumah sakit swasta kini menjadi pemain penting, melayani sekitar 25% dari jumlah rumah sakit di Vietnam. Hoan My, yang sudah beroperasi selama 28 tahun, terus meningkatkan kualitas layanan dengan mengadopsi teknologi terbaru seperti MRI 3.0 dari GE serta membangun laboratorium otomatis. “Kami tidak hanya memenuhi standar Kementerian Kesehatan, tetapi juga mengadopsi akreditasi internasional seperti Australian Council for Healthcare Standards,” katanya.

Ms. Han dari Greenlight Healthcare menambahkan bahwa standardisasi praktik medis dan perubahan budaya kerja menjadi kunci untuk menghadirkan kualitas global ke konteks lokal. Greenlight, dengan sembilan rumah sakit di seluruh negeri, menerapkan safety huddle harian serta Patient Reported Outcome Measures (PROMs) untuk memastikan kualitas pelayanan benar-benar dirasakan pasien. “Budaya dimulai dari kepemimpinan. Pemimpin harus menjadi teladan dalam membangun budaya keselamatan dan kualitas,” tegasnya.

Sementara itu, Dr. Long menekankan pentingnya kepemimpinan dan digitalisasi untuk menyatukan layanan yang saat ini masih terfragmentasi. Ia menyoroti perlunya sistem rekam medis elektronik (EMR) yang terhubung lintas rumah sakit publik maupun swasta agar data pasien terintegrasi. “Masa depan kesehatan adalah menempatkan pasien sebagai prioritas utama, bukan hanya mesin atau pendapatan rumah sakit,” ujarnya.

Diskusi ditutup dengan pandangan Dr. Gillian mengenai potensi Vietnam sebagai hub wisata medis. Ia menyebut bahwa transformasi layanan kesehatan Vietnam dalam dua dekade terakhir membuka peluang besar untuk menarik pasien dari luar negeri. “Vietnam punya fasilitas, tenaga dokter, dan teknologi yang memadai, ditambah biaya yang kompetitif. Namun, dukungan kebijakan pemerintah tetap krusial untuk menjadikan Vietnam sebagai destinasi medis seperti Thailand, Malaysia, atau India,” jelasnya.

Dengan semangat kolaborasi antara publik dan swasta, serta adopsi standar global yang disesuaikan dengan konteks lokal, para panelis sepakat bahwa Vietnam tengah berada di jalur penting menuju sistem kesehatan yang lebih efisien, aman, dan berorientasi pada pasien.

hma h2 7

Sesi Paralel I: Hospital @ Home

(catatan editor: Sesi ini sebenarnya masuk kedalam sesi Leadership, namun ketiga pembicara menyampaikan hal teknis tentang bagaimana mengembangkan dan menerapkan konsep “hospital without wall” yang sudah lama dikenal, dalam sesi ini para pembicara memberikan detail pelaksanaan konsep ini di rumah sakit masing-masing dan menurut editor merupakan salah satu inovasi luar biasa dalam penerapan patient experience, suatu hal yang perlu segera diterapkan oleh RS di Indonesia)

Dalam konferensi ini, tiga pembicara dari Singapura, Australia, dan Taiwan berbagi pengalaman, tantangan, dan peluang dalam mengembangkan layanan Hospital at Home (H@H) atau istilah lain Hospital in the Home (HIHT). Meskipun konteks dan pendekatannya berbeda, ketiganya menekankan bahwa H@H bukan sekadar memindahkan perawatan dari rumah sakit ke rumah, melainkan membutuhkan transformasi sistem kesehatan secara menyeluruh—mulai dari sumber daya manusia, teknologi, infrastruktur, hingga regulasi dan indikator kinerja.

Sesi I: 10 reasons why you shouldn’t scale Hospital-at- Home
oleh Johnny Chan, Operations Lead, NUHS@Home, National University Health System (NUHS), Singapore


Pembicara dari National University Health System (NUHS) Singapura memaparkan bagaimana NUHS mengembangkan hospital@home yang diawali dengan “virtual ward” yang terdiri dari 3 tempat tidur pada tahun 2020, berkembang menjadi 100 tempat tidur pada tahun 2025, serta diharapkan meningkat menjadi 400 tempat tidur pada tahun 2030. Pembicara menekankan kompleksitas dalam melakukan scaling up layanan tersebut. Tantangan pertama adalah keterbatasan tenaga medis, terutama perawat, yang tidak bisa direkrut secara instan. Oleh karena itu, rumah sakit perlu menentukan keseimbangan antara tenaga lokal yang dipekerjakan langsung dan layanan yang di-outsourcing ke vendor.

Permasalahan lain adalah sulitnya memprediksi permintaan. Tingkat okupansi virtual ward berfluktuasi seperti grafik pasar saham, sehingga menyulitkan perencanaan jumlah tenaga dan sumber daya. Di sisi lain, meski disebut “virtual hospital”, layanan ini tetap memerlukan infrastruktur fisik, seperti command centre, ruang logistik, transit lounge, serta pusat pelatihan.

Skalabilitas juga menuntut redefinisi indikator kinerja. KPI tradisional rumah sakit seperti bed occupancy rate atau length of stay tidak sepenuhnya relevan karena setiap 1 rumah pasien dapat dianggap sebagai 1 tempat tidur. Maka, tim perlu merancang indikator baru sambil tetap bisa meyakinkan manajemen rumah sakit dengan bahasa KPI yang familiar.

Singapura juga menghadapi hambatan teknologi. Sistem informasi rumah sakit tidak dirancang untuk proses di luar dinding rumah sakit. Misalnya, tidak ada “pneumatic tubes” untuk mengirim sampel laboratorium dari rumah pasien, sehingga harus mengandalkan kurir, jadi meski disebut sebagai virtual bed, namun mereka tetap membutuhkan pelayanan penunjang dan pendukung yang secara fisik “riil”.

Pembicara menekankan bahwa scaling up H@H bukanlah proses linear, melainkan serangkaian breakdowns yang mengharuskan perombakan struktur, pembagian peran yang lebih spesifik, inovasi teknologi, dan manajemen perubahan di level staf. Kesimpulannya, HaH hanya dapat berkembang jika tenaga kesehatan dan manajemen berani “membangun ulang rumah sakit tanpa dinding” dan siap melakukan transformasi total.

hma h2 6

Sesi 2: Comprehensive Care at Home: Managing Complex Care Needs and Coordinating Services While Ensuring Patient Safety in The Home
oleh Dr AnnMarie Crozier, HITH Medical Director, Sydney Local Health District, Australia


Pembicara dari New South Wales (NSW), Australia, menyoroti sejarah panjang Hospital in the Home (HITH) di negaranya, khususnya di Victoria yang sudah berjalan lebih dari 30 tahun. COVID-19 mempercepat adopsi model ini, karena banyak pasien memilih dirawat di rumah bersama keluarga. Pemerintah Australia, baik federal maupun negara bagian, kini aktif mendukung HITH melalui pendanaan signifikan: AUD 31 juta dari NSW dan AUD 56 juta dari pemerintah pusat, serta AUD 140 juta untuk perawatan lansia. Dengan dana tersebut, layanan HITH diharapkan tumbuh 10–15% per tahun, dengan target minimal dapat merawat 5% dari seluruh rawat inap di rumah sakit publik NSW. (catatan pertanyaan editor: bagaimana dengan Indonesia? Apa sudah ada regulasi, prosedur, mekanisme pembiayaan, dan sebagainya?).

Tim HITH di NSW terdiri dari dokter umum, geriatricians, spesialis penyakit infeksi, perawat berpengalaman di ICU atau gawat darurat, serta tenaga allied health. Selain perawatan medis akut, tim juga menilai kebutuhan sosial, dukungan keluarga, dan menghubungkan pasien dengan layanan aged care atau disabilitas.

Inovasi terbaru di NSW adalah Emergency HITH—layanan berbasis mobil dengan dokter dan perawat yang bisa langsung datang ke rumah membawa peralatan medis lengkap (IV therapy, USG portabel, EKG, hingga point-of-care testing). Dalam 2,5 tahun, layanan ini menerima lebih dari 1.300 rujukan, dengan 90% pasien tetap dapat dirawat di rumah. Pasien dan keluarga menyatakan sangat puas karena perawatan diberikan di lingkungan rumah sendiri.

hma h2 5

Sesi 3: Creating a Virtual Hospital without Walls by Connecting Community Resources and Technology
oleh Dr Tzu-Hua Huang, Director, Good Home Clinic (Taiwan Society of Home Health Care), Taiwan


(catatan editor: sesi ini membuktikan bahwa inovasi luar biasa tidak harus datang dari rumah sakit besar, pembicara dari Taiwan ini berhasil menghadirkan perspektif unik karena berasal dari sebuah klinik komunitas. Ia mendirikan HealthSoul Clinic pada 2020, yang kini memiliki tim 60 orang dan fokus pada perawatan di rumah, rehabilitasi pasca-akut, hingga perawatan terminal).
Program Virtual Hospital without Walls di Taiwan baru dimulai pada 2023. Dalam enam bulan, telah terdaftar 2.000 pasien, dengan hasil positif: lama rawat lebih singkat (40% lebih pendek) dan biaya hanya setengah dari rawat inap di rumah sakit. Solusi yang dikembangkan adalah pembentukan regional home care support centers yang didukung pemerintah dan asosiasi profesi. Pusat ini menyediakan pelatihan, dukungan on-call 24 jam, logistik, perangkat medis portabel, serta koordinasi antara rumah sakit dan penyedia komunitas.

Kunci lain adalah digitalisasi. Taiwan sedang membangun platform data terstandarisasi berbasis FHIR, DICOM, LOINC, dengan integrasi EMR dan perangkat monitoring. Data terstruktur ini memungkinkan penggunaan AI, misalnya untuk optimasi rute kunjungan atau ringkasan catatan medis berbasis suara. Pemerintah akan berinvestasi lebih dari USD 30 juta per tahun selama empat tahun untuk mengembangkan teknologi ini.

Pembicara menutup dengan visi bahwa Virtual Hospital without Walls pada akhirnya bukan sekadar “hospital to home” (dari rumah sakit ke rumah) atau “hospital from home” (berbasis komunitas), melainkan “hospital is home”—layanan kesehatan yang sepenuhnya melebur dengan kehidupan sehari-hari pasien.

hma h2 4

Sesi Paralel II: Staf Experience

(catatan editor: sesi ini merupakan sesi terakhir pada rangkaian patient-staff expereince, konsep dasarnya adalah tidak mungkin dapat memberikan pelayanan dengan pengalaman pasien yang baik bila experience para staf dalam bekerja tidak dipastikan baik juga. Sesi ini menampilkan salah satu pembicara yang berasal dari Indonesia, meskipun delegasi peserta Indonesia termasuk yang terbanyak, lebih dari 100 orang, namun hanya ada 2 pembicara yang berasal dari Indonesia, diharapkan ditahun-tahun mendatang akan lebih banyak pembelajaran yang akan berasal dari negara kita)

Sesi 1: Integrating and Managing Total Workplace Safety and Health: Tan Tock Seng Hospital’s Strategic Approach
oleh Dr Pauline Yong, Director, Operations (Workplace Safety & Health), Tan Tock Seng Hospital, Singapore


hma h2 3

Pembicara dari Tan Tock Seng Hospital (TTSH), Singapura memaparkan perjalanan panjang rumah sakit yang telah berdiri sejak 1844 dengan kapasitas 2.500 tempat tidur dan menangani lebih dari 700 ribu kunjungan rawat jalan serta 8.000 kasus ambulans setiap tahun. Dengan ukuran yang besar dan sejarah panjang dalam penanganan penyakit menular, TTSH menjadi pusat utama pencegahan dan manajemen penyakit infeksi di Singapura.

Sebelum pandemi, sistem keselamatan kerja dan kesehatan di rumah sakit bersifat terpisah-pisah: fasilitas, kesehatan okupasi, komunitas, dan revenue berjalan sendiri-sendiri. Namun pada 2020, ketika COVID-19 merebak, terbentuk Local Safety Council yang menyatukan semua pihak. Krisis tersebut menekankan pentingnya resource management non-finansial, khususnya tenaga kerja, serta perlunya pergeseran mindset dari melihat staf hanya sebagai karyawan menjadi melihat mereka sebagai bagian dari workforce yang harus dijaga.

Tantangan besar muncul terkait penggunaan APD, terutama masker. Rumah sakit harus membuat keputusan cepat: apakah menyediakan untuk semua staf, termasuk tenaga kontrak, atau hanya sebagian. Hasilnya, TTSH mengedepankan prinsip “workforce safety first” dengan kalibrasi berbasis risiko. Rumah sakit juga memperkuat sistem pemantauan siapa saja yang masuk dan keluar area rumah sakit, serta memperkenalkan program staff protection yang melibatkan kontrak formal dengan vendor penyedia tenaga.

Selain itu, TTSH membentuk Office for the Protection of Employees (OPE) untuk menangani isu kekerasan di tempat kerja, termasuk pelecehan verbal maupun fisik yang sering dialami staf medis. Pendekatan yang dilakukan antara lain memberikan written reminder kepada pelaku, bahkan jika pasien atau keluarga melakukan pelecehan, untuk menekankan bahwa tindakan tersebut mengganggu keselamatan staf dan kualitas layanan.

Strategi lain yang diperkenalkan adalah penggunaan model CREST: Cultivating a Culture of Safety; Risk stratification; Engagement; Surveillance; Training. Pendekatan ini menekankan bahwa setiap staf, dari yang paling junior hingga senior, memiliki peran dalam keselamatan kerja. Melalui survei berkala setiap enam bulan, terlihat peningkatan resiliensi staf dan keterlibatan dalam membangun lingkungan kerja yang lebih aman.

Sesi 2: Using Wellness as a Business Strategy to Increase Hospital Staff Productivity
oleh Dr Pradono Handojo, CEO, RS Islam Jakarta Cempaka Putih, Indonesia


hma h2 2

Presentasi oleh CEO RS Islam Jakarta ini menyoroti bagaimana wellness program dijadikan strategi bisnis untuk meningkatkan produktivitas staf rumah sakit. Sejak menjabat pada 2020, pembicara melihat masalah serius: banyak dokter dan perawat mengalami obesitas, kelelahan, stres, pola makan buruk, dan gaya hidup tidak sehat, meski mereka bekerja di sektor kesehatan. Melalui pemeriksaan kesehatan tahunan, ditemukan pola bahwa semakin tinggi jabatan staf, semakin meningkat pula masalah obesitas dan penyakit metabolik (hipertensi, diabetes, kolesterol tinggi). Kondisi ini berdampak pada kehilangan dokter spesialis produktif di usia muda karena penyakit yang dapat dicegah.

Untuk mengatasi hal ini, RS Islam Jakarta meluncurkan program wellness dengan fokus pada lima aspek: Stress management; Sleep quality; Sports/exercise; Sustenance (pola makan sehat); Smoking reduction. Program ini menargetkan 10% staf dengan obesitas tertinggi, memberikan fasilitas seperti: Konseling gizi dan pendampingan oleh nutrisionis; Penyediaan makanan sehat dari kantin (menggantikan uang makan tunai); Olahraga kelompok wajib dua kali seminggu; Monitoring berat badan dan KPI mingguan; Kompetisi antar tim dengan sistem penghargaan; Grup WhatsApp untuk pendampingan harian dan peer pressure positif.

Hasilnya cukup signifikan: dalam 30–90 hari, peserta mengalami rata-rata penurunan berat badan 2,6 kg, penurunan BMI, serta peningkatan kualitas tidur dan energi. HR mencatat peserta program lebih jarang sakit dan memiliki kepuasan kerja lebih tinggi. CEO menekankan bahwa dengan kesejahteraan staf, maka produktivitas meningkat, pelayanan pasien membaik, dan pada akhirnya berdampak pada kinerja bisnis rumah sakit.

Sesi 3: Integrating Safety, Efficiency, and Sustainability in Modern Healthcare Workforces
oleh Dr Jasperine Ho, Former Medical Director, Medical Innovation & Technology, CUHK Medical Centre, Hong Kong


Dr. Jasperine Ho, mantan Medical Director, Medical Innovation and Technology, CUHK Medical Center (Hong Kong), membagikan pengalaman membangun rumah sakit dengan pendekatan keselamatan, efisiensi, dan keberlanjutan sejak awal berdiri.

Hong Kong menghadapi krisis tenaga kesehatan: meningkatnya permintaan akibat penuaan populasi dan penyakit kronis, sementara terjadi ketidakseimbangan antara sektor publik (menangani 70–90% pasien rawat inap) dan sektor privat. CUHK Medical Center hadir sebagai jembatan dengan model unik: rumah sakit privat milik universitas publik, yang menawarkan layanan dengan harga transparan, cepat, dan aman.

Sejak awal, tim perencana bertanya: “Bagaimana jika kita tidak hanya membangun rumah sakit baru, tapi rumah sakit yang lebih pintar, hijau, dan humanis?” Hasilnya, dibangunlah infrastruktur modern berbasis digital dan keberlanjutan, namun tetap menekankan budaya (culture) dan perilaku (behavior) staf.

Dr. Ho menjelaskan kerangka 360-star complex dengan tiga pilar utama: 1) Trust, respect, and inclusion agar semua staf (profesor, perawat senior, porter, staf umum) punya suara yang didengar; 2) Cultural ambassadors untuk membangun transparansi, pembelajaran, dan akuntabilitas; 3) Continuous improvement melalui daily huddles di tiap departemen, dashboard kinerja, serta menjadikan pembelajaran sebagai DNA organisasi.

Selain budaya, dibangun pula operating system yang meliputi: Proses standar berbasis clinical pathways agar perawatan bisa diprediksi dan diajarkan; Keterlibatan pasien dan keluarga dalam rapat dewan, serah terima pasien, hingga keputusan klinis; Star Contracts untuk membangun kesepakatan non-legal yang menegaskan akuntabilitas tim manajemen dan staf untuk menjaga keselamatan, kualitas, dan keberlanjutan.

Dalam strategic workforce planning, CUHK Medical Center memanfaatkan afiliasi dengan Chinese University of Hong Kong untuk berbagi tenaga spesialis, serta mengembangkan riset bersama para start-up teknologi, termasuk AI. Hal ini membuat rumah sakit menarik bagi talenta baru. Presentasi ditutup dengan penekanan Dr. Ho bahwa integrasi culture, system, dan sustainability tidak datang otomatis, tapi memerlukan konsistensi, keberanian, serta dukungan top manajemen.

hma h2

Sesi 4: Beyond Compliance: Leadership-driven safety culture in hospitals
oleh Dr Kumaran Krishnan, Head of Unit (Occupational Safety and Health), Hospital Kuala Lumpur, Malaysia


Pembicara dari HKL yang mmemiliki 12.500 staf dengan 56 departemen dibuka dengan pernyataan pentingnya kepemimpinan rumah sakit dalam membangun budaya keselamatan dan kesejahteraan staf. Lebih lanjut Kumaran menyampaikan bahwa keselamatan staf tidak bisa hanya berbasis regulasi (compliance), tetapi harus ditanamkan sebagai budaya (culture). Direktur rumah sakit harus memberi contoh nyata kepemimpinan dengan: Mempublikasikan laporan setiap 100 hari dengan indikator utama kesejahteraan staf; Turun langsung ke lapangan, misalnya ke IGD saat penuh, untuk melihat situasi staf; dan Memimpin rapat OSH (Occupational Safety and Health) dan clinical governance round secara rutin. Pendekatan ini berhasil membangun kepercayaan bahwa staf diperhatikan, sehingga berdampak pada peningkatan kualitas layanan pasien.

Beberapa inisiatif utama yang dijalankan antara lain: Klinik khusus staf (melayani 100–120 staf per hari) dengan program imunisasi, screening, dan layanan kesehatan kerja; Sistem QR code untuk melaporkan masalah langsung ke tim OSH dan manajemen; Pelatihan keselamatan kerja yang disesuaikan dengan jenis pekerjaan (dokter, lab staff, perawat); Audit keselamatan rutin, dengan pendekatan kolaboratif sehingga staf nyaman menyampaikan masalah. Pesan utama dari sesi ini adalah bahwa kepemimpinan aktif direktur rumah sakit—dengan turun langsung, mendengar, dan menindaklanjuti—menjadi faktor kunci terciptanya budaya keselamatan, kesejahteraan staf, serta kualitas layanan pasien.

 

Link Terkait:

btn hma0

btn hma2

btn hma2

 

 

 

hma 25

Tahun 2025 ini, acara Hospital Management Asia (HMA) kembali fokus pada prinsip-prinsip inti manajemen rumah sakit, yaitu: Kualitas dan keselamatan layanan; Pengalaman pasien; dan Kepemimpinan yang efektif. Teknologi digital telah menjadi sorotan utama di HMA 2024 di Bali, dan HMA Vietnam 2025 ini memperdalam konteks bagaimana teknologi dapat meningkatkan area-area inti tersebut.

Berdasarkan hal tersebut maka sesi pararel HMA 2025 dibagi menjadi 3 bagian dan beberapa sub-bagian sebagai berikut:

A. Quality and Safety

  1. Early Detection & Clinical Decision-Making
  2. Transforming Care Delivery
  3. Preventing Hospital-Acquired Infection (HAI)
  4. Addressing Safety Risks & Concerns
  5. Turning Data into Operations

B. Patient and Staff Experience

  1. Efficiency, Advocacy & Partnership (patient)
  2. Putting Patients First (patient)
  3. PREMS, PROMS, Solutions & Results (patient)
  4. Engagement & Collaboration (staff)
  5. Staff Safety & Wellbeing (staf)
  6. Streamlining Workflow with Connected Patient Care

C. Leadership Summit

  1. Healthcare Cost VS Quality
  2. Value-Based Care
  3. Succession Planning & Emerging Leaders
  4. Hospital @ Home
  5. Medical Tourism
  6. Risk Management & ESG

Reportase ini berfokus kepada sesi Patient Experience and Staf Experience dengan mengambil intisari konsep dan penerapan dari para pembicara multi nasional.

btn hma1

btn hma1

btn hma1