Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Text: drg. Puti Aulia Rahma, MPH, CFE

Virus corona yang mulai mewabah sejak Desember 2019 lalu, kini membawa cerita baru. Sambil berdampak pada meningkatkan angka kesakitan dan kematian di seluruh dunia, virus ini membuka potensi terjadinya fraud, atau COVID-19 related fraud. Dilansir dari situs FBI, nilai potensi kasus fraud terkait COVID-19 ini mencapai USD 5juta atau setara Rp. 79,4M. Biaya sebesar ini dapat digunakan untuk memberi makan sehari 3 kali bagi 1,7juta lebih masyarakat terdampak pandemi.

Istilah fraud – menurut koalisi Association of Certified Fraud Examiner (ACFE), American Institute of Certified Public Accountants (AICPA), dan The Institute of Internal Auditors (IIA) – merujuk pada perbuatan yang disengaja untuk melanggar aturan sehingga menyebabkan pihak lain menderita atau pelaku mendapat keuntungan. Perbuatan seperti menimbun sembako, menimbun alat medis esensial untuk penanganan pasien, maupun mengirimkan informasi palsu terkait penyakit akibat corona untuk mencuri data pribadi masyarakat, masuk dalam kategori perbuatan berpotensi fraud. Untuk membuktikan perbuatan ini benar fraud atau tidak, perlu dilakukan investigasi.

Di Indonesia perbuatan berpotensi fraud yang mulai muncul ke permukaan adalah terkait kelangkaan masker dan hand sanitizer yang sangat penting dalam pelayanan pasien corona. Setelah dilakukan penyelidikan oleh pihak berwenang, kejadian kelangkaan alat medis ini terjadi karena ada pihak yang menimbun dan berniat menjualnya kembali dengan harga tak wajar. Polisi sudah menetapkan 33 tersangka dalam kasus ini (CNN Indonesia).

Potensi fraud lain yang mungkin akan berkembang adalah terkait pengelolaan anggaran untuk penanganan pandemi COVID 19 di Indonesia. Presiden Jokowidodo mengucurkan dana sebesar 405,1 T dengan alokasi: dana kesehatan sebesar 75T, jaring pengaman sosial sebesar 110T, pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional sebesar 150T, dan insentif perpajakan dan stimulus KUR sebesar 70,1T. Potensi fraud dapat terjadi karena belum diketahui mekanisme pasti pemanfaatan dana ini selama dan setelah pandemi. Belum adanya mekanisme pengawasan untuk memastikan bahwa penggunaan dana ini sesuai peruntukannya, juga dapat membuat anggara rentan dicurangi.

Lalu bagaimana caranya mencegah COVID-19 related fraud ini terjadi di Indonesia?

Pertama, perlu ada sosialisasi massal mengenai bentuk-bentuk potensi fraud yang mungkin berkembang selama pandemi COVID-19 di Indonesia. Fraud risk awareness ini perlu dibangun untuk mencegah berbagai pihak terjerumus melakukan fraud atas dasar ketidaktahuan. Edukasi anti fraud ini secara luas melalui berbagai media ini juga dapat menjadi bentuk “teguran halus” kepada pihak-pihak yang mulai berusaha berbuat curang, bahwa modus aksi mereka mulai ketahuan.

Kedua, pembuat kebijakan perlu bersegera menetapkan mekanisme pemanfaatan anggaran yang mudah dipahami pelaksana. Saat ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menyosialisasikan berbagai rambu-rambu pemanfaatan anggaran dan pengadaan barang dan jasa melalui media massa. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah (LKPP) pun menerbitkan panduan pengadaan barang jasa sesuai SE Kepala LKPP tanggal 23 Maret 2020 Nomor 3 Tahun 2020. Mekanisme pemanfaatan anggaran serta pengadaan barang jasa ini perlu juga disosialisasikan dengan baik sehingga mudah dipahami pelaksana.

Ketiga, perlu dibuat sarana pengaduan terpadu untuk melaporkan dugaan kecurangan yang terjadi. Menurut pemberitaan media massa, saat ini dugaan kecurangan dapat dilaporkan ke polsek dan polres terdekat. Pelaporan juga dapat disampaikan melalui website KPPU yang dapat diakses di www.kppu.go.id/id/hubungi-kami /. Saran pengaduan sebaiknya dibuat terpadu dalam satu rumah untuk memudahkan koordinasi pihak pengelola dan menetapkan rencana tindak lanjutnya. Menurut ACFE, sistem pelaporan yang baik dapat membantu mengetahui dugaan fraud hingga 50% lebih cepat dibanding pelaksanaan audit.

Mari waspada dengan potensi fraud selama dan sesudah masa pandemi. Segera laporkan bila menemukan aksi-aksi kecurangan yang muncul. Jangan biarkan virus fraud merajalela dan jadi penumpang gelap dalam pandemi COVID-19.

 

 

Kepuasan pasien masih merupakan salah satu faktor penting untuk menilai mutu pelayanan kesehatan dan memperkirakan outcome pelayanan yang positif. Pada artikel ini akan dipaparkan hasil studi pengaruh persepsi pasien HIV/AIDS terhadap mutu pelayanan kesehatan yang terkait dengan penggunaan antiretroviral sebagai pengobatan di Manaus Brazil.

Penelitian menggunakan non-randomized dan analisis cross sectional untuk mengeksplorasi hubungan antara kepuasan pasien dan kepatuhan penggunaan obat antiretroviral sebagai perawatan pasien HIV/AIDS. Studi ini juga membandingkan antara kepuasan pasien di rumah sakit utama di kota dengan fasilitas kesehatan di daerah. Menggunakan data respon dari survei terhadap 812 pasien dan data kesehatan dari 713 pasien, analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan regresi untuk mengidentifikasi karakteristik fasilitas kesehatan yang berhubungan dengan tingginya tingkat kepuasan pasien dan tingginya tingkat kepatuhan menggunaan obat antiretroviral.

Berikut adalah tabel distribusi responden dalam penelitian ini:

tb1

Responden penelitian merupakan pasien dengan HIV/AIDS berusia 18 tahun atau lebih, berjenis kelamin pria dan wanita, yang pernah setidaknya berkunjung satu kali di fasilitas kesehatan. Pasien baru tidak dijadikan responden dalam penelitian ini karena survei kepuasan yang dilakukan berdasarkan pada kepuasan terhadap konsultasi terakhir pasien pada saat berobat ke fasilitas kesehatan. Sedangkan demografi karakteristik responden secara detil adalah sebagai berikut:

tb2

Dua pertanyaan utama dalam penelitian ini mencakup:

  1. Apa yang paling relevan di fasilitas kesehatan terkait faktor yang berhubungan dengan tingkat kepuasan pasien yang tinggi (Model spesifikasi yang dipergunakan: Kepuasan Pasien= F(karakteristik fasiitas kesehatan, karakteristik pasien)
  2. Apakah tingkat kepuasan pasien yang tinggi menyebabkan tingginya tingkat kepatuhan penggunaan obat antiretroviral (Model spesifikasi yang dipergunakan: Kepatuhan penggunaan obat antiretroviral= F(kepuasan pasien, karakteristtik pasien)

Hasil penelitian menyebutkan bahwa ditemukan hubungan yang jelas dan positif antara kepuasan pasien terhadap mutu pelayanan kesehatan dan kepatuhan penggunaan obat antiretroviral. Pasien yang memilik akses lebih baik terhadap fasilitas kesehatan dan pelayanannya (kenyamanan lokasi, kemudahan waktu perjalanan, dan waktu tunggu yang singkat) memiliki tingkat mutu pelayanan yang tinggi dan juga kepatuhan penggunaan obat antiretroviral. Studi ini juga menemukan bahwa tingkat kepuasan pasien lebih tinggi di fasilitas kesehatan daerah dibandingkan dengan pasien yang memperoleh pelayanan di rumah sakit utama.

Berikut adalah tabel kepuasan pasien secara umum dan indikator aksesbilitas yang dihasilkan pada penelitian ini:

Sedangkan faktor-faktor yang berhubngan dengan kepuasan pasien ditampilkan secara lengkap pada tabel berikut:

Penelitian ini juga membandingkan antara faktor-faktor terkait kepuasan pasien yang ada di rumah sakit pusat/utama dengan faktor-faktor terkait kepuasan pasien di fasilitas kesehatan daerah, yang hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut:

Selain membandingkan tingkat kepuasan pasien di dua fasilitas kesehatan tersebut. Penelitian ini juga mengkaji dampak kepuasan pasien terhadap tingkat kepatuhan penggunaan obat antiretroviral, yang secara lengkap ditampilkan pada tabel berikut:

Penelitian ini membuktikan bahwa pengalaman pasien pada saat memperoleh perawatan di fasilitas kesehatan dapat meningkatkan outcome kesehatan yang diharapkan. Banyak faktor lain berperan penting pada kepatuhan atau ketidakpatuhan pasien menggunakan obat antiretroviral yang berada di’luar’ kendali fasilitas kesehatan. Namun temuan yang perlu ditekankan adalah fasilitas kesehatan dapat berkontribusi untuk meningkatkan kepatuhan penggunaan obat antiretroviral dengan meningkatkan pengalaman postif pasien saat mendapatkan perawatan di fasilitas kesehatan. Studi ini juga dapat menunjukkan adanya manfaat potensial dari pelayanan kesehatan daerah untuk meningkatkan kepuasan pasien dan kepatuhan penggunaan obat antiretroviral.

Dirangkum oleh : Lucia Evi Indriarini, MPH.
Sumber : Leon et al. (2019). HIV/AIDS health services in Manaus, Brazil: patient perception of quality and its influence on adherence to antiretroviral treatment. BMC Health Service Research. 19:344. https://doi.org/10.1186/s12913-019-4062-9. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6543648/pdf/12913_2019_Article_4062.pdf 

 

Oleh: Hanevi Djasri

Tata kelola pelayanan klinis yang baik atau Good Clinical Governance kembali hangat dibicarakan di Indonesia pada era Jaminan Kesehatan Nasional, dimana fasilitas pelayanan kesehatan dituntut untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu namun tetap dapat menjaga biaya pelayanan tetap efisien (kendali mutu dan kendali biaya).

Sejak tahun 2006, penulis telah melakukan pendampingan penerapan tatakelola klinis diberbagai rumah sakit (RS) pemerintah dan swasta dan juga diberbagai Puskesmas. Meskipun detail penerapan tata kelola klinis di pelayanan kesehatan tingkat pertama dan tingkat sekunder-tersier
berbeda, namun secara umum konsep dasarnya tetap sama.

Konsep dasar yang perlu dipahami sebelum mulai menerapkan berbagai kegiatan terkait tata kelola klinis yang baik adalah pemahaman mengenai pilar/komponen yang membangun clinical governance serta standar yang dapat digunakan untuk menilai/mengaudit ketepatan penerapan good clinnical governace.

Berikut ini akan penulis paparkan mengenai ke 4 pilar dan 8 standar clinical governance serta cara melakuan audit/ penilaian dengan contoh aplikasi di RS namun juga dapat berlaku di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama.

Pilar Good Clinical Governance

Banyak konsep tentang komponen kegiatan clinical governance akan tetapi secara garis besar terdiri atas empat pilar seperti yang dikembangkan di negara bagian Australia Barat (gambar 1)

gb1

Gambar 1. Clinical Governance for the Western Australian Public Health System

1. Fokus pada customer (customer value)

Pilar pertama adalah nilai konsumen, yang mendorong pelayanan kesehatan untuk melibatkan konsumen dan stakeholder dalam mempertahankan dan meningkatkan kinerja pelayanan dan dalam perencanaan untuk masa depan organisasi. Konsumen dalam hal ini bukan hanya pasien, akan tetapi juga meliputi pemerintah setempat dan organisasi non-pemerintah.

Dalam menerapkan pilar pertama ini selain melibatkan konsumen, rumah sakit juga harus memperhatikan nilai-nilai yang dianut oleh konsumen tersebut. Contoh nilai-nilai yang dianut oleh konsumen misalnya pasien meyakini bahwa suatu rumah sakit yang baik adalah rumah sakit yang dokternya mampu menjelaskan dengan baik mengenai penyakit yang dialami oleh pasien dan juga dokter dapat menjelaskan rencana tindakan medis yang akan dilakukan.

Keterlibatan konsumen yang efektif memerlukan kepemimpinan yang baik pula untuk memastikan bahwa keterlibatan tersebut bermanfaat, efektif dan memberikan hasil yang positif hasil bagi pelayanan kesehatan. 

Berikut adalah hal-hal penting dari customer value: a) Hubungan yang berkelanjutan, yaitu melibatkan konsumen yang menekankan komunikasi dua arah antara konsumen dan rumah sakit. Contohnya adalah termasuk informed consent, manajemen keluhan, survei kepuasan pasien dan memberikan informasi tentang layanan bagi pasien dan keluarganya. b) Partisipasi konsumen, yaitu melibatkan konsumen dalam perencanaan rumah sakit, kebijakan pembangunan dan pengambilan keputusan. Hal ini dilakukan untuk memastikan kepada konsumen bahwa rumah sakit benar-benar menyediakan pelayanan yang mudah diakses, adil dan responsif terhadap prioritas-prioritas setempat.

Outcome yang diharapkan adalah:

  • Peningkatan pemahaman karyawan terhadap pelayanan kesehatan dan lebih responsive terhadap kebutuhan pelanggan/pasien.
  • Peningkatan pengetahuan pelanggan/pasien dan juga peningkatan partisipasi pelanggan/pasien dalam pelayanan kesehatan dan manajemen.
  • Peningkatan kepercayaan pelanggan/pasien terhadap organisasi pelayanan kesehatan/rumah sakit.
  • Peningkatan outcome pelanggan/pasien.

Dengan menerapkan Clinical Governance diharapkan RS dapat

lebih memperhatikan konsumen dengan memperhatikan nilai-nilai yang dianut oleh konsumen tersebut.

2. Clinical performance and evaluation

Pilar yang kedua ini bertujuan untuk menjamin penggunaan serta monitoring dan evaluasi standar klinis yang berbasis bukti (evidence-based). Hasilnya adalah sebuah budaya, di mana evaluasi organisasi dan kinerja klinis, termasuk audit klinis merupakan hal yang umum dan diharapkan ada di setiap organisasi pelayanan klinis. Terdapat tiga buah alat yang dapat digunakan untuk membantu organisasi layanan kesehatan
untuk mencapai hasil ini, yaitu standar klinis, indikator klinik, dan audit klinik.

Hal ini sudah diwujudkan oleh RS dengan telah dimilikinya daftar indikator klinik yang digunakan untuk mengukur kinerja klinik. Tahap yang masih harus dilakukan RS adalah melakukan evaluasi terhadap hasil dari pengukuran kinerja klinik tersebut. Perlu ada kerjasama dari semua pihak di rumah sakit, antara lain komite medis, keperawatan, hingga marketing. Jika pengukuran kinerja klinik menunjukkan hasil yang baik, maka hal ini dapat digunakan sebagai alat untuk marketing rumah sakit, yaitu dengan menunjukkan kepada masyarakat bahwa RS mampu memberikan pelayanan klinik dengan baik yang ditunjukkan dengan bukti pengukuran kinerja klinik.

Outcome yang diharapkan adalah:

  • Pengembangan clinical pathway di dalam praktek klinis.
  • Peningkatan kepatuhan terhadap praktek klinis berbasis bukti dan berkurangnya variasi dalam praktek klinis.
  • Peningkatan outcome pelanggan/pasien.
  • Berkurangnya biaya perawatan kesehatan melalui pengurangan efek samping.

3. Clinical risk management

Segala kegiatan di rumah sakit memiliki risiko, baik untuk pasien maupun untuk petugas yang berada di dalam rumah sakit tersebut. Meskipun demikian perlu dilakukan penjaminan bahwa risiko yang muncul minimal. Pilar ketiga ini menitikberatkan untuk meminimalisir risiko klinis dan
meningkatkan keamanan kepada pasien dan petugas secara keseluruhan. Hal ini dicapai dengan melakukan identifikasi, mengurangi risiko, dan mengurangi kejadian yang tidak diinginkan.

Aspek-aspek yang tercakup dalam manajemen risiko klinis adalah: a) pelaporan, monitoring, dan analisis trend kejadian yang tidak diinginkan, b) pelaporan, monitoring, dan penyelidikan klinis kejadian yang jarang terjadi (sentinel event), c) analisis risiko, termasuk identifikasi, penyelidikan, evaluasi dan analisis risiko klinis.

Sebagai catatan komite atau subkomite keselamatan pasien bukanlah satu-satunya pihak yang berperan dalam menerapkan pilar ini, namun menjadi tanggung jawab dari seluruh staf dan seluruh pihak yang ada di rumah sakit.

Outcome yang diharapkan:

  • Peningkatan monitoring dan pelaporan kejadian yang tidak diharapkan.
  • Peningkatan pemantauan terhadap insiden klinik dan kejadian yang tidak diharapkan.
  • Peningkatan proses risk management.
  • Pengurangan jumlah kejadian yang tidak diharapkan.

4. Profesional development and management

Pilar keempat ini mendukung proses pemilihan dan perekrutan staf klinis. Dalam hal ini profesionalisme terus dikembangkan, dijaga, dimonitor, dan dikontrol. Proses ini menjamin staf yang ditunjuk dan diperkerjakan adalah orang yang terampil dan berhati-hati terhadap prosedur baru. Hal yang tercakup dalam pilar keempat ini adalah standar kompetensi dan pengembangan profesional berkelanjutan.

RS melakukan upaya agar semua staf dapat meningkatkan kompetensinya, baik dalam skala besar maupun skala kecil. Dalam skala besar misalnya adalah dengan menjalani pendidikan formal, mengikuti pelatihan-pelatihan. Sedangkan peningkatan kompetensi dalam skala kecil dicontohkan dengan belajar melalui pengalaman yang ada sehari-hari yang muncul dan dibahas di dalam kegiatan morning meeting, yaitu
masalah yang ada dipecahkan berumah sakitama dan diupayakan kegiatan tindak lanjutnya.

Termasuk dalam profesional development and management adalah pengelolaan kinerja para staf. RS telah memiliki Key Performance Indicators (KPI), bahkan KPI yang ada telah sampai pada level individu. Perlu juga dikembangkan KPI untuk para dokter, KPI untuk para perawat, dan KPI untuk para profesional.

Bagian SDM bukanlah satu-satunya bagian yang bertanggung jawab terhadap profesional development and management di rumah sakit, namun merupakan tanggung jawab dari seluruh staf yang ada di rumah sakit, dan tugas tim auditor internal adalah memastikan bahwa semua staf terlibat di dalamnya.

Outcome yang diharapkan adalah: Peningkatan kredensial dokter; Peningkatan pengembangan profesional dan pelatihan keterampilan untuk karyawan; Peningkatan kinerja manajemen; dan Peningkatan kepuasan kerja karyawan.

baca selengkapnya pada link berikut

klik disini

 

Pasien osteoporosis lebih berisiko mengalami fraktur apabila terjatuh atau mengalami trauma lainnya. Risiko fraktur ini dapat diminimalkan dengan melakukan tes diagnosa yang sesuai, terapi farmakologi, dan penggunaan standar penilaian perawatan yang telah tersedia.

Studi pada artikel ini bertujuan mengembangkan penilaian performa klinis untuk menilai kualitas klinisi dalam penatalaksanaan pasien osteoporosis dan menentukan standar performa kompetensi dan pelayanan prima. Responden pada studi dengan disain retrospective cohort study ini terdiri dari 381 dokter penyakit dalam dan sub spesialis bersertifikasi terbatas. Penilaian berdasarkan 8 dasar penilaian yang dipergunakan oleh American Board of Internal Medicine (ABIM) Osteoporosis Practice Improvement Module (PIM), berdasarkan web-based tool yang menggunakan kajian grafik medis untuk membantu klinisi menilai dan meningkatkan pelayanan pasien. Studi ini juga menggunakan Physician Practice Connections Readiness Survey (PPC-RS) untuk menilai validitas kesimpulan yang dibuat dari skor komposit.

Sedangkan metodologi studi ini mengadaptasi dari metode pengaturan Standar Angoff dan metode Dunn-Rankin yang dipatenkan dengan melibatkan panel ahli dalam membuat komposit pada perawatan osteoporosis dan menetapkan standar perawatan yang kompeten dan pelayanan prima.

Hasil studi menunjukkan bahwa skor rata-rata komposit adalah 67,54 dari nilai maksimum 100, dengan reliabilitas 0,92. Standar kompetensi yang diperoleh adalah 46,87 dan untuk pelayanan prima adalah 83,58. Kedua standar tersebut memiliki klasifikasi akurasi yang tinggi yakni 0,95. Sebanyak 16% dokter memiliki performa di bawah standar pelayanan yang kompeten, 22% memiliki standar pelayanan prima. Capaian performa dokter spesialis lebih tinggi dibanding dokter umum dan adanya hhbungan antara praktik infrastruktur yang baik dengan tingginya skor komposit menunjukkan adanya bukti yang valid.

Berikut adalah tabel Penilaian Standar Kompetensi dan Pelayanan Prima menggunakan ABIM Osteoporosis PIM:

140ktmutu

Sedangkan distribusi skor komposit untuk standar performa adalah sebagai berikut

140ktmutu1 

Pada studi ini, umpan balik performa dokter bergantung pada standar absolut pelayanan yang diberikan oleh dokter, dengan pendekatan ‘berarti’ untuk evaluasi diri dalam upaya meningkatkan pelayanan pasien. Umpan balik yang disampaikan dalam studi ini diharapkan dapat membantu dokter untuk mengidentifikasi area mana saja yang dapat ditingkatkan dalam pelayanan pasien osteoporosis, menurunkan angka kematian, ketergantungan, dan biaya pelayanan kesehatan.

Disarikan Oleh: Lucia Evi Indriarini, MPH.

Sumber: Weng, W., Hess, B.J., Lynn, L.A., and Lipner, R.S. (2015). Assessing the Quality of Osteoporosis Care in Practice. J Gen Intern Med 30(11):1681–7. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4617929/