Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Berita CoP Fraud

Sejumlah kecurangan diduga mewarnai implementasi program Jaminan Kesehatan Nasional ( JKN) yang digulirkan pemerintah di berbagai fasilitas kesehatan, seperti rumah sakit, klinik dan puskesmas.

Koordinator Divisi Kampanye Indonesia Corruption Watch (ICW) Siti Juliantari mengungkapkan bahwa pihaknya bersama dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil di 15 provinsi se-Indonesia menemukan ada 49 kecurangan selama pemantauan pada Maret-Agustus 2017.

"Sebanyak 49 temuan kecurangan program JKN itu berpotensi menghambat efektivitas program JKN dan layanan fasilitas kesehatan," kata Tari di hotel Grand Sahid, Jakarta, Kamis, (14/9/2017).

Dari semua temuan kecurangan yang ada, pemerintah dianggap perlu memberi perhatian lebih pada kecurangan pembayaran klaim tagihan yang diminta rumah sakit kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Sebab, kata Tari, pembayaran tagihan itu sangat potensial terjadi kecurangan, karena verifikasi klaim masih memiliki celah penyimpangan.

Kecurangan misalnya terjadi pada sisi konsumsi obat, frekuensi tindakan medis, atau penggunaan alkes pada dokumen klaim rumah sakit.

"Jadi meski ada tanda tangan pasien pada lembar tagihan rumah sakit, tapi verifikator BPJS Kesehatan tidak memverifikasi klaim diajukan rumah sakit pada pasien," kata Tari.

"Inilah yang akan menjadi peluang bagi rumah sakit untuk melakukan mark up konsumsi obat dan alat kesehatan serta tindakan medis," tutur dia.

(Baca juga: Bermitra atau Tidak dengan BPJS, RS Wajib Layani Pasien Darurat)

Temuan kecurangan tersebut diklasifikasikan sesuai dengan Peraturan Menkes Nomor 36 Tahun 2015.

Antara lain, memalsukan status kepesertaan untuk memperoleh pelayanan kesehatan, memanfaatkan haknya untuk pelayanan yang tidak perlu dengan cara memalsukan kondisi kesehatan.

Selain itu, memberikan gratifikasi kepada pemberi pelayanan agar bersedia memberi pelayanan yang tidak sesuai/tidak ditanggung, melakukan kerja sama dengan pemberi pelayanan untuk mengajukanKlaim palsu.

Kecurang lain, memperoleh obat dan/atau alat kesehatan yang diresepkan untuk dijual kembali dan kecurangan lainnya.

Pemantauan terhadap program JKN itu dilakukan di 54 fasilitas kesehatan yang terdiri dari 18 rumah sakit pemerintah, 13 rumah sakit swasta, dan 27 puskesmas.

Adapun provinsi yang dipantau adalah Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat.

http://nasional.kompas.com/

PROKAL.CO, BALIKPAPAN – Indikasi adanya fraud atau kecurangan yang dilakukan rumah sakit dalam melayani pasien peserta BPJS Kesehatan membuat Persatuan Rumah Sakit Indonesia (Persi) wilayah Kaltim bersuara. Mereka mempertanyakan kecurangan yang diarahkan ke rumah sakit. Padahal hingga kini menurut Persi belum ada laporan resmi soal itu.

"Kecurangan atau fraud apa? Rumah sakit mana? Harus dijelaskan. Tidak mudah untuk mengatakan adanya kecurangan. Apalagi sifatnya sengaja dalam hal mencari keuntungan lewat sistem JKN (Jaminan Kesehatan Nasional)," kata Ketua Persi Kaltim, Edy Iskandar, kemarin (19/5).

Edy menyebut, perlu ada verifikasi dan pemeriksaan setiap kasus yang dianggap kecurangan. Sementara itu, Persi belum melihat adanya indikasi yang mengarah hal tersebut. Kalau memang ada niat, Persi disebutnya siap untuk terlibat dan membantu melakukan penelusuran.

"Ini kan masih dugaan. Sementara yang terjadi saat ini, rumah sakit berlomba-lomba melakukan pelayanan secara baik, profesional, bermutu dan aman. Kalau memang diperlukan, kami siap bantu investigasi untuk membuktikan apakah ada fraud ini. Sedangkan sampai saat ini belum ada anggota kami yang melakukan kecurangan," beber Dirut RSUD Dr Kanujoso Djatiwibowo itu.

Persi juga selama ini sudah melakukan upaya agar kecurangan tidak sampai terjadi. Persi memiliki kompartemen hukum dan kompartemen jaminan kesehatan yang siap untuk membina anggotanya. "Sebenarnya sistem JKN sudah ada tim verifikasi. Dimiliki oleh BPJS Kesehatan untuk meminimalisasi terjadinya kecurangan. BPJS pun mempunyai tim pertimbangan medis yang akan mempelajari kasus-kasus medis biar tidak terjadi kesalahan secara klinis," lanjutnya.

Lalu bagaimana dengan pasien yang merasa dicurangi oleh rumah sakit? Edy menyebut kasus-kasus yang dikeluhkan masyarakat beragam dan sangat spesifik. Lebih banyak menyangkut perilaku dan emosional saat menerima pelayanan.

"Ini belum bisa kami katakan kecurangan. Tim anti-fraud juga sudah dibentuk di Dinas Kesehatan. Jadi, silakan mereka mempelajari kasus-kasus yang dikeluhkan tersebut. Pertanyaannya adalah, apakah hal tersebut fraud atau lebih banyak terjadi karena faktor kurangnya komunikasi. Yang dilakukan petugas kurang baik sehingga belum dimengerti masyarakat," paparnya.

Edy bahkan mengatakan, penyimpangan atau kecurangan dalam sistem jaminan kesehatan, tidak hanya bisa dilakukan oleh rumah sakit. Tetapi bisa dilakukan oleh pihak penjamin, yaitu BPJS atau dilakukan oleh masyarakat sendiri.

"Jika ada masyarakat yang tidak cocok terhadap pelayanan suatu rumah sakit, maka masyarakat tersebut bisa memilih rumah sakit lain yang lebih pas buat mereka. Kan, masih ada rumah sakit lain yang bisa menerima peserta JKN. Sehingga rumah sakit yang tidak melayani dengan baik dengan sendirinya akan ditinggal oleh masyarakat," katanya.

Perlu lebih banyak sosialisasi kepada masyarakat agar tuduhan kecurangan tidak mudah dilayangkan. Pendidikan kepada peserta penting agar mereka paham betul hak dan kewajibannya sebagai peserta JKN. Untuk itu, pihak terkait seperti BPJS, Dinas Kesehatan Kota, dan Persi harus duduk bersama mempelajari keluhan. Mencari solusi dan perbaikan ke depannya.

"Masyarakat juga perlu dididik bagaimana menggunakan JKN ini secara bijaksana dan arif. Semua pihak harus bijak memberi komentar sehingga masyarakat dapat tenang dan tidak kehilangan kepercayaan terhadap sistem JKN. Tidak membuat rumah sakit jauh dari masyarakat. Tidak perlu cari kesalahan. Pasti ada kekurangan, baik dalam sistem JKN, rumah sakit maupun masyarakat itu sendiri," pungkasnya.

Sumber: http://kaltim.prokal.co/

Jakarta - KPK, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bekerja sama membentuk tim penanganan kecurangan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Tim ini akan mengawasi potensi kecurangan program JKN mulai dari peserta, fasilitas, penyedia obat hingga alat kesehatan.

"Kita sudah menjalin kerja sama KPK, Kemenkes dan BPJS hari ini ditujukan untuk melakukan bagaimana pendeteksi awal kecurangan maupun bagaimana mencegahnya. Kalau ketemu kecuragan begitu bagaimana penyelesaiannya apakah akan mengarah ranah hukum," ujar Ketua KPK Agus Rahardjo saat konferensi pers bersama Menkes Nila Moeloek dan Dirut BPJS Fachmi Idris di Gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta, Rabu (19/7/2017).

Menurut Agus, tim ini akan membuat pedoman penanganan kecurangan. Dalam pedoman tersebut akan disebutkan melakukan analisis dan mekanisme hukum dan sanksinya.

"Hari ini BPJS tidak mengelola dana yang tidak kecil sekitar 73 triliun dan selalu terjadi defisit, ya pengalaman negara lain Amerika itu pun masih ada fraud 5 persen. Anda bayangkan Amerika 5 persen sudah bagus sistemnya, kita sementara baru menyusun sistem itu bisa anda bayangkan 73 triliun kalau fraudnya 5 persen berapa," ujar Agus.

Di kesempatan yang sama, Dirut BPJS Fachmi Idris mengatakan tim ini terdiri koordinator, kelompok kerja pencegahan kecurangan, kelompok kerja deteksi kecurangan dan kelompok kerja penyelesaian kecurangan. Koordinator akan bertugas me-review pedoman yang disusun kelompok kerja, melakukan koordinasi, pembentukan peraturan perundang-undangan, sosialisasi pedoman, analisis data dan evaluasi kinerja kelompok kerja.

"Kelompok kerja pencegahan kecurangan bertugas menyusun pedoman pencegahan kecurangan JKN yang harus dilalukan fasilitas kesehatan serta koordinasikan pakar atau ahli yang diperlukan menyusun pedoman," ujar Fachmi.

Selain itu, Fachmi mengatakan tugas kelompok kerja deteksi kecurangan menyusun pedoman yang mencakup tata cara pertukaran data, menganalisis data yang berpotensi kecurangan serta melalukan deteksi awal. Sedangkan kelompok kerja penyelesaian kecurangan bertugas menyusun pedoman yang mencakup tingkat kecurangan, tata cara penyelesaian dan saksi.

"Prinsipnya kami fokus menjalankan good governance. BPJS kesehatan tidak berjalan sendiri dalam mengelola JKN-KIS melainkan diawasi oleh banyak pihak, mulai dari tingkat satuan pengawas internal, Dewan Pengawas, Dewan Jaminan Sosial Nasional, OJK, BPK, hingga KPK. Tiap tahun kami juga diaudit oleh kantor akuntan publik independen dan telah 25 kali mendapat predikat WTP jika dihitung sejak PT Persero," kata Fachmi.

Sementara itu, Menkes Nila Moeloek menilai potensi kecurangan salah satunya berada di rumah sakit. Oleh sebab itu, pihaknya membentuk badan pengawas rumah sakit.

"Kami minta ikut awasi di rumah sakit ini. Betul fraud bisa terjadi di rumah sakit, contoh pengobatan diagnosanya dibuat beda-beda dengan niat makin banyak diperoleh untuk dapat reimburse BPJS. Tidak sakit ditulis sakit," ujar Nila.
(fai/dhn)

sumber: https://news.detik.com/

 

PEKANBARU - Hasil studi awal Fitra Riau, menunjukkan bahwa belum semua pelayanan kesehatan bagi peserta Kartu Indonesia Sehat (KIS) dilakukan secara baik oleh penyelenggara layanan kesehatan. Selain itu juga, ditemukan bentuk - bentuk tindakan yang berpotensi fraud / kecurangan dalam pelayanan.

Melihat kondisi tersebut Fitra Riau membentuk pusat konsultasi dan pendampingan bagi pasien peserta JKN KIS di Riau.

Tujuan pendirian pusat konsultasi dan pendampingan ini, adalah untuk memberikan arahan dan membantu pasien khususnya Peserta Bukan Iuran (PBI), jika mendapatkan kendala dalam mendapatkan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan baik tingkat pertama (FKTP) maupun tingkat lanjutan (FKTL).

Pendirian posko ini juga turut untuk memberikan pendidikan kepada masyrakat dalam mendapatkan layanan yang bermutu dan berkualitas. Karena tidak semua masyarakat diberikan pengetahuan secara jelas kepada penyelenggaran layanan, seperti BPJS, Rumah sakit maupun dinas kesehatan. sehingga banyak kejadian - kejadian di lapangan yang tidak diketahui oleh masyarakat, padahal sebenarnya masyarakat sedang dicurangi.

Upaya untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada warga, pemerintah secara nasional telah meluncurkan program Jaminan Kesehatan Nasonal (JKN) dalam bentuk Kartu Indonesia Sehat (KIS). Program jaminan ini memberikan jaminan kepada masyarakat khususnya warga tidak mampu untuk mendapatkan layanan kesehatan secara baik.

Di Provinsi Riau saja, terdapat lebih dari 1,7 juta warga kurang mampu yang mendapatkan bantuan iuran BPJS baik melalui APBN/D atau yang disebut Peserta PBI.

Fenomena yang paling banyak muncul, dalam penyelenggaran pelayanan kesehatan bagi peserta JKN KIS, berdasarkan studi awal Fitra Riau tersebut terbagi menjadi tiga. Yaitu, pada saat akan masuk ke RS (bagi pasien bukan darurat), pada saat dirawat di RS, dan pada saat berurusan dengan obat.

Pada saat pendaftaran pasien, pasien harus mengantri panjang untuk mendapatkan nomor antrian dan terdaftar sebagai pasein. Kondisi ini ditemukan dibanyak rumah sakit, dimana rumah sakit memberikan loket pendaftaran pasien yang tidak sesuai dengan jumlah pasien.

Selanjutnya, pada saat perawatan (bagi pasien rawat inap), pasien justru mendapatkan layanan alakadarnya, kunjungan dokter tidak rutin, dibiarkan tanpa tindakan lanjutan, bahkan ada pasien yang memilih pulang meski belum sembuh.

Temuan lainnya, terdapat pasien yang diminta untuk membeli obat sendiri, dengan alasan tidak tersedianya obat di rumah sakit bersangkutan. Padahal, pelayanan sebenarnya semuanya sudah di claim oleh BPJS berdasarkan tingkat penyakitnya.

Selain itu, pasien juga harus menanggung beban untuk membayar ambulan, padahal biaya tersebut mestinya sudah ditanggung oleh BPJS.

Tindakan-tindakan sedemikian tersebut, merupakan bentuk-bentuk kecurangan yang dilakukan oleh penyelenggara layanan kesehatan. dan banyak masyarakat tidak memahami dan mengetahui dan akhirnya menjadi korban atas kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mencari keuntungan.

Untuk itu, maka Fitra Riau sebagai organisasi masyarakat sipil, perlu memberikan perhatian yang lebih terhadap tindakan-tindakan yang mengakibatkan kerugian kepada masyarakat banyak. Karena UU 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, pasal 35 ayat 3, telah mengatur bahwa pengawasan pelayanan publik salah satunya dapat dilakukan oleh masayrakat dalam bentuk membuat laporan dan pengaduan.

Dalam proses ini, Fitra Riau akan membangun kerjasama dengan Ombudsman Perwakilan Riau dan Pemerintah sebagai pengawasan pelayanan publik yang memiliki otoritas yang kuat. Selain itu, juga Fitra Riau akan bekerjasama dengan BPJS ada perbaikan-perbaikan kedepannya dalam pelayanan kesehatan masyarakat ini.

Sumber: https://www.goriau.com