Reportase ISQua London 2017, Hari Ketiga
Oleh:
Hanevi Djasri1, Novi Zein Alfajri2 dan Sugiarsih2
1Mewakili Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM, Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS), Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) dan Asosiasi Rumah Sakit Daerah (ARSADA), 2Mewakili RS Akademik UGM
What Works Best at What level from Government to Front Line Individuals?
Sesi plenary ini menjelaskan bagaimana kita dapat bekerjsa secara lebih cerdas, yaitu pendekatan kekuatan populasi. Disampaikan oleh Geraldine Strathdee, seorang clinical leader dari public health London, melalui studi kasus di kesehatan jiwa, dimana mereka menggunakan berbagai media sosial untuk memberikan informasi dan self management untuk pasien.
Geraldine menekankan betul "power of modern social media" untuk menggerakkan partisipasi masyarakat. Contoh ke "mental health intelligence network" membuat adanya kerjasama antar institusi untuk membangun sistem peningkatan mutu kesehatan, contoh lainnya dapat disimak di www.fingertips.phe.org.uk untuk melihat benchmark.
Melalui pendekatan tersebut, UK telah bersama-sama mengidentifikasi big quality isu untuk mental health (lihat foto) yang kemudian digunakan oleh semua stakeholder sebagai dasar perbaikan mutu.
Policy, Measurement & Activated Learning
Sesi ini disampaikan oleh Heitham Awadalla dari Sudan dan Ed Kelley serta Syams Syed dari WHO sebagai bagian dari sesi Triangulating for Quality Service Delivery, yaitu antara Policy-strategy, Measurment dan Learning.
Para pembicara memulai sesi dengan menyampaikan bahwa penyediaan layanan berkualitas memerlukan reformasi sektor kesehatan yang efektif, dimana upaya perbaikan dan pengukuran secara lokal (di suatu negara) memerlukan pembelajaran global sebagai masukan bagi penyusunan kebijakan dan strategi nasional.
Sesi ini berfokus pada tiga titik masuk utama dalam meningkatkan kualitas layanan kesehatan. Pertama, menggeser paradigma dari kebijakan top down menjadi bottom up untuk implementasi kebijakan dan strategi peningkatan mutu. Kedua, secara proaktif menerapkan pendekatan pengukuran untuk memaksimalkan dampak upaya peningkatan kualitas. Ketiga, pelajaran bertingkat terus - menerus di tingkat nasional dan global untuk memastikan pembelajaran aktif tentang upaya peningkatan mutu agar tercapai perubahan pada semua tingkat pemberian layanan kesehatan.
Delegasi Sudan memaparkan proses dan hasil dari penyusunan National Quality Policy and Strategy yang telah mereka kerjakan.
Pengalaman Sudan dalam membangun NQPS National Quality Policy and Strategy: Sudan telah mempunyai Direktorat Mutu sejak 2001 dengan kegiatan membuat SOP akreditasi, ps dan ppi, tapi masih tidak terintegrasi dan tidak sustain, kemudian Sudan membangun NQPS untuk: menyamakan persepsi tentang mutu; memperbaiki tata kelola dan kompetensi; memperbaiki SDM manajemen; serta membangun Health System.
Proses penyusunan NQPS sesuai yang disarankan oleh WHO (yang juga akan Indonesia kerjakan), yaitu: membuat task forces, didukung oleh WHO country office, konsultan dari WHO Pusat, analisis situasi saat ini, stakeholder meeting kemudian menyusun draft NQSP lalu melakukan proses advokasi.
Pembicara kemudian menyajikan hasil penyusunan dokumen NQSP yang terdiri dari: 1. visi dan misi; 2. dimensi dan definisi (dimensi mutu menggunakan 6 dimensi mutu WHO ditambah dimensi sustainability); 3. prioritas ada 4 (lihat foto); dan 4. Tata kelola yang dipimpin National health and sosial coordinator committee (NHSCC), semacam menteri koordinator kesehatan dan sosial.
Penulis dalam sesi tanya jawab menanyakan ada dimana metode perbaikan dan metode pembelajaran (sebagai bagian dari Triangulating for Quality Service Delivery) serta juga menanyakan apakah WHO akan menyusun daftar rekomendasi metode-metode tersebut yang telah memiliki bukti ilmiah terkait efektivitas metode tersebut dalam meningkatkan mutu dalam konteks negara-negara yang berbeda. Jawabannya, secara umum hal tersebut belum selesai disusun detail dan baru akan dipresentasikan pada pertemuan di Tokyo pada Desember tahun ini.
Gambar: Proses pengembangan NQPS yang disarankan oleh WHO
Gambar: Tampilan web WHO Global Learning Laboratory for Quality UHC (http://www.who.int/servicedeliverysafety/areas/qhc/gll/en/)
Catatan Delegasi Indonesia
Note 1
1. Working with the patient voice to improve their system
Halo sekedar sharing, setelah kita mendapatkan data dari patient voice, lalu bagaimana melakukan pengukurannya? Dari beberapa sesi perihal data driven, dan sesi patient voice, ditutup oleh sesi dari Health quality & safety commission new zealand, dengan judul: Working with the patient voice to improve their system. Melakukan pengukuran patient experienced untuk melakukan perbaikan sistem.
Aspek Patient experienced adalah hal yang penting saat ini. Rumah sakit harus bisa memberikannya secara konsisten, pada setiap individual, dan setiap waktu. Lantas setelah konsisten tentu harus diukur efektivitasnya.
Prinsipnya adalah: importance, evidently based, affordable, dan sustainable. Tools: survey; patient wall (semacam papan kaizen tapi untuk pasien); FGD (opsional)
Dari hasil survei ketidakpuasan pelanggan, justru kita fokuskan pada area dengan skor paling rendah. Mengapa? Karena disitulah akan terlihat minor issue yang sebenarnya sensitif. Dalam statistik, skor terbesar adalah angka hasil agregasi yang tidak bisa mendeteksi kedalaman masalah. Skor terkecil justru memberikan pengaruh korelasi terbesar terhadap variabel dependen. Survei dilakukan pada ruang ranap dewasa. Kemudian kita fokuskan kembali pada what matters to them, dari apa yang mereka utarakan.
Langkah peningkatannya: di ruang manakah hal tersebut terjadi?; hal apa yg akan ditingkatkan?; mengukur discharge complain, mengukur pulang paksa dan APS, lalu dihitung korelasinya; lantas membuat analisa bagaimana kita membangun proses komunikasi pada setiap kepulangan pasien, dari hasil korelasi tadi.
Challenge di Indonesia: menghubungkan hasil pengukuran ini dengan national measures, karena belum menjadi indikator standar mengenai seberapa baik rumah sakit melakukan improvement berdasarkan patient voice.
Ide improvement untuk RS kita: mengubah goal dari hasil pengukuran itu sendiri. Before: hasil survei kepuasan dan ketidakpuasan hanya melihat skor terbesar, After : melihat improvement yang dilakukan pada skor terkecil bertahap ke skor terbesar. Kemudian didokumentasikan sebagai tindakan korporasi dalam memberikan improvement dalam hal patient centeredness care. But... Always it is to be discussed further... 😊
(catatan Haryo Gumilar, R&D RS Pelni)
Video Delegasi Indonesia
KARS menerima International Accreditation Awards dari ISQua