Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Diabetes melitus kini menjadi ancaman yang serius bagi manusia dan telah menjadi penyebab kematian urutan ketujuh di dunia. Diabetes melitus atau kencing manis adalah penyakit yang ditandai tingginya kadar gula dalam darah. Penyakit ini timbul perlahan-lahan dan biasanya tidak disadari oleh si penderita. Indonesia sendiri kini berada di urutan ke empat setelah Amerika, China dan India. Di Amerika bahkan diprediksikan akan mengalami peningkatan dari 23 Juta kasus menjadi 48,3 Juta kasus pada tahun 2050 mendatang. Hal yang sama juga diprediksikan di Indonesia, apabila tidak ditangani dengan serius, maka tidak menutup kemungkinan urutan Indonesia akan mengalami peningkatan 2-3 kali lipat dari kasus yang ada saat ini.

Berbagai intervensi peningkatan mutu pelayanan pasien diabetes dilakukan untuk mengatasi prediksi peningkatan kasus dengan upaya kolaborasi dalam berbagai disiplin ilmu, karena sebagian besar pasien diabetes dikelola oleh perawatan dokter primer, tetapi kelemahan klinis adalah keterbatasan waktu yang menghambat upaya untuk memenuhi tujuan pengobatan pasien. Keberhasilan pelayanan mutu manajemen penyakit diabetes membutuhkan strategi baru. Ada beberapa upaya yang dilakukan untuk mencapai perbaikan dalam proses klinis dan hasil dengan biaya yang terjangkau.
Beberapa program di bawah ini cocok untuk diterapkan pada praktek perawatan dasar diantaranya strategi peningkatan kualitas pada intervensi:

  1. Manajemen Kasus:
    Koordinasi, pemantauan, dan dukungan dari kebutuhan medis pasien, sering dilakukan oleh perawat atau apoteker (yaitu, perawat ditugaskan untuk memantau pasien diabetes berisiko tinggi serta mengkoordinasikan perawatan spesialis dan membantu pasien dengan diet dan manajemen obat-obatan)
  2. Manajemen Terapi Obat
    Resep dan penyesuaian obat oleh perawat praktek yang lebih maju atau apoteker klinis, biasanya menggunakan algoritma; dilakukan melalui telepon dan secara pribadi serta bekerja sama dengan dokter perawatan atau independen.
  3. Pendidikan kedokteran
    Pendidikan kedokteran lebih diarahkan pada dokter tentang pedoman obat-obatan, dan teknik pengobatan terbaru.
  4. Telemedicine
    Sebuah sistem untuk memfasilitasi konsultasi dan kolaborasi dokter di daerah terpencil.
  5. Audit dan feedback
    Ringkasan penyedia atau kelompok kinerja pada indikator klinis atau proses yang dikirim ke dokter untuk meningkatkan kesadaran kinerja (yaitu, laporan bulanan dikirim ke penyedia tentang persentase pasien diabetes, dimana sudah mereka selesaikan)
  6. Sistem pengingat pasien.
    Pesan untuk pasien seperti panggilan telepon, surat, atau email untuk memberikan pengingat tentang janji atau aspek penting tentang penilaian diri pasien.
  7. Pendaftaran elektronik pasien
    Catatan medis elektronik yang memungkinkan pelacakan tindakan klinis penyedia atau populasi diabetes klinik; memfasilitasi manajemen agar lebih proaktif bagi pasien yang belum mencapai hasil.
  8. Peningkatan kualitas yang berkelanjutan
    Teknik untuk memeriksa dan mengukur proses klinis, merancang intervensi, menguji dampaknya, dan kemudian menilai kebutuhan untuk perbaikan lebih lanjut (yaitu, mengidentifikasi hambatan vaksinasi pneumonia efektif pada pasien diabetes klinik dan menerapkan solusi sementara menilai perubahan frekuensi vaksinasi).
  9. Pendidikan pasien
    Intervensi untuk mempromosikan pemahaman pasien tentang penyakit, pengobatan, manajemen diri, atau strategi pencegahan; sering disampaikan melalui sesi kelompok atau kunjungan satu-satu dengan pendidik diabetes atau dengan bahan cetak.
  10. Perubahan tim
    Restrukturisasi tim penyedia untuk memaksimalkan efektivitas peran setiap orang dalam memberikan perawatan pasien (yaitu, praktisi perawat lebih rutin tindak lanjut dalam melihat pasien diabetes dibanding dokter)
  11. Pengingat dokter
    Pesan diarahkan pada praktisi selama praktek klinis bahwa tindakan yang cepat berdasarkan kebutuhan pasien atau parameter fisiologis (yaitu, pesan rekam medis elektronik mengingatkan dokter untuk memesan profil lipid tahunan ketika mereka jatuh tempo).
  12. Promosi manajemen diri
    Strategi yang meningkatkan kemampuan pasien untuk mengelola kondisi mereka; ini termasuk perangkat untuk pemantauan diri (yaitu, tekanan darah di rumah cuff), penyediaan hasil untuk pasien (yaitu, mengirimkan hasil lab pasien) atau tindak lanjut panggilan telepon dari penyedia dengan rekomendasi.
  13. Insentif keuangan, regulasi, dan kebijakan
    Strategi yang memperkuat perilaku tertentu seperti insentif keuangan untuk penyedia atau pasien atau perubahan peraturan, kebijakan, lisensi, atau akreditasi.

Selain strategi program di atas ada juga contoh tim dan proses struktur yang dapat mendukung kemitraan perawat atau apoteker dalam perawatan dasar. Untuk berhasil mengelola diabetes, pasien perlu lebih banyak kontak dengan tim dokter. Ada kunjungan tambahan dan koordinasi perawatan dengan penyedia lainnya adalah salah satu solusi yang dapat dilakukan.

Bagian berikut menyoroti dua model yang sukses yang telah dilaksanakan dan dievaluasi secara mendalam.

  1. Sebuah program manajemen penyakit yang dipimpin apoteker
    Membentuk tim apoteker klinis dalam klinik perawatan dasar yang menyediakan pendidikan pasien, manajemen kasus, dan manajemen obat untuk pasien diabetes. Apoteker memiliki kontak dengan pasien setiap 2-4 minggu melalui telepon atau secara pribadi. Konseling individual dan pendidikan dan pengobatan. Selain itu, koordinator perawatan menghubungi pasien secara teratur untuk mengingatkan mereka tentang janji, mengidentifikasi hambatan, dan alamat penyedia layanan pengobatan. Pasien bisa memilih apakah mereka ingin menerima rekomendasi dengan penyesuaian obat dari apoteker atau diberitahu setelah perubahan telah dibuat. Manajemen lebih proaktif dengan me-review rutin database elektronik pasien. Dengan dilakukan program ini menurut penelitian yang dialkukan oleh David Willens dapat dilihat bahwa biaya yang terkait dengan program ini lebih dapt menekan biaya dibandingkan dengan sebagian besar intervensi medis modern karena penghematan biaya dapat dilakukan dari penurunan potensial pasien gawat darurat atau pemanfaatan rumah sakit. Manajemen penyakit yang dipimpin oleh apoteker meningkatkan peluang untuk pendidikan pasien, manajemen kasus, dan manajemen efisien obat dapat meningkatkan hasil diabetes dengan biaya yang wajar.
  2. Praktek perawat lanjutan dan model tim dokter
    Dengan menciptakan proses terstruktur perawatan, dokter perawatan dasar dan praktisi perawat dapat bekerja dalam tim dan dapat meningkatkan baik perawatan pasien diabetes maupun hasil klinis. Hal ini terlihat pada kelompok intervensi, dimana praktisi perawat dijadikan sebagai kontak lini pertama untuk perawatan dan diikuti algoritma berbasis bukti untuk memandu keputusan manajemen independen. Mereka terlibat dalam manajemen penyakit melalui kontak telepon dengan pasien dan kesepakatan janji tindak lanjut. Jika masalah muncul yang tidak dibahas dalam algoritma maka perawat membahasnya dengan dokter perawatan dasar pasien dan segera membuat rencana perawatan. Para perawat ditujukan untuk memberikan pendidikan pada pasien dan terutama apabila terjadi hambatan psikososial untuk kepatuhan pengobatan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh David Willens dkk bahwa kolaborasi selama 12 bulan tim berhasil meningkatkan pemberian perawatan preventif, pendidikan pada pasien diabetes.

Sejumlah penelitian saat ini menunjukkan bahwa meningkatkan kontrol diabetes dapat mengurangi komplikasi dan kemungkinan mengurangi biaya dan pengurangan risiko komplikasi dapat menurunkan sistem perawatan kesehatan atau beban masyarakat terkait dengan diabetes sehingga pasien dengan riwayat diabetes dapat segera melakukan pemeriksaan dengan biaya rendah.

Oleh : Andriani Yulianti, SE., MPH.
Sumber : Interdisciplinary Team Care for Diabetic Patients by Primary Care Physicians, Advanced Practice Nurses, and Clinical Pharmacists. Willens et al. Clinical Diabetes Journal. Volume 29, Number 2, 2011.
http://clinical.diabetesjournals.org/content/29/2/60.full.pdf+html 

Peningkatan pelayanan terhadap pasien di rumah sakit telah diatur oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit melalui kegiatanasesmen pasien (AP) serta peningkatan mutu dan keselamatan pasien (PMKP). Tujuannya untuk menganalisis kebutuhan pasien sejak datang, hingga standar pelayanan pengobatan yang diperlukan pasien selama berada di rumah sakit. Salah satu penyakit dengan kompleksitas tinggi adalah diabetes melitus tipe 2 (DM-2). Setiap pasien DM-2 pasti memiliki kebutuhan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, mulai pemberian kalori dalam diet yang berbeda hingga penanganan komplikasi berbeda. Belum lagi dengan adanya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sejak 2014 lalu berakibat pada lonjakan kunjungan pasien DM-2 ke rumah sakit, hal ini dikarenakan pasien dimudahkan untuk mendapatkan obat secara murah. Jika hal ini tidak mendapatkan perhatian khusus maka dapat terjadi pemborosan bahan habis pakai dan juga obat-obatan yang digunakan oleh rumah sakit. Untuk dapat terus bertahan, rumah sakit perlu memperhatikan prinsip kendali mutu dan kendali biaya.

Studi tentang diabetes 1 menunjukkan adanya peningkatan resiko jatuh yang lebih besar pada pasien DM-2 dikarenakan adanya komplikasi yang berupa neuropathy dan retinopathy. Hal ini terjadi bukan karena masa tulang yang berkurang, tetapi akibat adanya penurunan kekuatan tulang untuk menahan beban karena adanya perubahan arsitektur mikro dalam tulang penderita DM-2.

art-20apr

 

Resiko jatuh di rumah sakit lebih besar pada pasien usia tua dibandingkan muda dan lebih besar pada pasien DM dibandingkan yang tidak, dan pasien wanita juga diketahui lebih mudah terjatuh dibandingkan pria, terlebih apabila pasien tersebut memiliki gejala komplikasi seperti seperti neuropathy, retinopathy, vestibulopathy, gangguan kognitif atau kelemahan otot gerak. Neuropathy DM menyebabkan terjadinya gangguan sensoris, motoris, otonom hingga hypotensi orthostatik pada saat berdiri. Seluruh gejala itu menyebabkan kecepatan gerak dan ayunan langkah sering tidak terkoordinasi dengan baik, kondisi ini juga diperberat dengan adanya hypotensi ortostatik dimana pasien akan pingsan apabila melakukan gerakan bangun secara tiba-tiba dari posisi tidur. Resiko jatuh akan meningkat dengan adanya gangguan ini.

Rumah sakit memang tidak dapat mencegah 100% pasien terjatuh dari kasur, tetapi berdasarkan data bahwa 30% pasien jatuh dapat dihindari dengan adanya pengawasan yang baik dari keluarga ataupun dari perawat jaga. Di Amerika, kejadian pasien jatuh tidak besar, sebanyak 1 kasus dari 700.000 rawat inap, namun tentunya hal ini tidak dapat dilihat secara statistik, karena pastinya akan berdampak buruk pada kesehatan pasien. Luka memar merupakan bentuk ringan dari pasien DM-2 yang terjatuh, tetapi pasien banyak pula yang mengaami kejadian patah tulang pinggul. Pemeriksaan menggunakan dual energy x-ray absorptiometry atau asessment dengan kuisoner algoritma resiko patah tulang FRAXÒ yang dikeluarkan oleh WHO. Adanya pemeriksaan ini akan menjadi sebuah panduan bagi perawat untuk melakukan pengawasan terhadap pasien yang memiliki resiko tinggi untuk jatuh.

Oleh: dr. M. Hardhyanto Puspowardoyo

Sumber: 1.E.A.C. de Waard et al. 2014. Increased Fracture Risk In Patients With Type 2 Diabetes Mellitus: An Overview Of The Underlying Mechanisms And The Usefulness Of Imaging Modalities And Fracture Risk Assessment Tools. Maturitas 79 (2014) 265–274

http://www.maturitas.org/article/S0378-5122(14)00264-3/pdf

(Sebuah Analisis Komparatif antara Indonesia dan Amerika Serikat)

Salah satu penyakit paling berbahaya di dunia adalah Diabetes Melitus, dengan jumlah penderita di seluruh dunia diperkirakan mencapai angka 382 juta jiwa. Jumlah yang cukup besar jika dibandingkan dengan populasi dunia saat ini. Di Amerika Serikat, jumlah pengidap diabetes melitus mencapai 25,8 juta, menempati peringkat ketujuh dalam urutan penyakit paling mematikan di negara tersebut.

Indonesia sendiri merupakan salah satu negara dengan jumlah pengidap diabetes melitus tertinggi di dunia. Hasil survei yang dilakukan World Health Organitation (WHO) menempatkan Indonesia di peringkat ke-4 teringgi di dunia. Data yang tentu saja mengambarkan masih buruknya kondisi kesehatan masyarakat dalam skala nasional terutama dalam kasus Diabetes Melitus.

Terdapat banyak faktor yang menyebabkan tingginya angka pengidap DM di Indonesia, jika sekilas dilakukan analisis perbandingan mengenai jumlah pengidap DM di Indonesia dan AS maka akan muncul pertanyaan apakah faktor tingkat "kemajuan" sebuah negara juga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh signifikan?

Diabetes Melitus –bahkan dalam dunia medis- merupakan kasus yang masih "kabur" (setidaknya dalam memastikan penyebab utama kemunculannya). Semisal bahwa sejauh ini ilmu medis belum memberi kepastian yang tegas tentang hubungan antara kemunculan diabetes melitus dengan faktor genetik seseorang. Penelitian lanjutan masih dibutuhkan untuk setidaknya memastikan apakah diabetes melitus masuk dalam kategori penyakit generatif atau degeneratif. Namun hal ini tidak berarti perkembangan dunia medis tidak memberi sumbangsih yang berarti dalam upaya penanganan masalah Diabetes Melitus. Banyak hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa gaya hidup merupakan salah satu penyebab utama kemunculan diabetes melitus telah terbukti sebagai hasil temuan keilmuan yang berharga. Bahkan di Amerika, perkembangan dunia keperawatan (terutama dalam pengembangan metode penanganan dan perawatan pasien pengidap diabetes melitus) sangat dipengaruhi oleh hasil-hasil penyimpulan penelitian yang terus bekembang.

Tanpa mengesampingkan banyaknya faktor yang menyebabkan seseorang dapat mengidap penyakit diabetes, satu hal menarik yang patut ditelaah dalam kasus diabetes melitus adalah perkembangan metode penanganan dan perawatan pasien pengidap. Di Indonesia hal ini mungkin belum begitu terasa dan masih relatif sulit dilacak. Namun tidak demikian dengan yang terjadi di Amerika Serikat, pendekatan-pendekatan dan metode keperawatan baru dengan hasil yang relatif lebih optimal dapat dengan mudah ditemui dalam aktivitas medis perawatan pasien pengidap diabetes. Salah satu aspek yang paling menarik sekaligus menjadi pembeda antara proses perawatan di AS dengan Indonesia yakni pada tingkat intervensi dan improfisasi yang dapat dilakukan dalam tindakan perawatan oleh perawat. Namun hal ini hanya berlaku pada penanganan medis untuk diabetes tipe 2 atau yang dikenal dengan sebutan diabetes melitus tidak tergantung insulin (non-insulin-independent diabetes melitus).

Adapun bentuk intervensi dan improvisasi perawat dalam proses penanganan dan perawatan pasien pengidap diabetes di Amaerika Serikat dikenal dengan istilah Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) dan Nurse Practition (NP). Hal-hal yang dilakukan diantaranya ialah menilai kebutuhan dasar pasien, menjelajahi sejarah/rekam medis pasien, melakukan pemeriksaan fisik hingga pada mengubah dan menyesuaikan resep dengan atau tanpa seizin dokter. Kemampuan mengubah dan menyesuaikan resep inilah yang kemudian dianggap sebagai sesuatu yang berharga dalam perawatan pasien karena terbukti menunjukkan hasil klinis yang lebih optimal.

Bentuk inisiatif lain yang tidak kalah menarik adalah perawat menjalin komunikasi dengan ahli gizi untuk mngkonsultasikan kebutuhan diet yang tepat dengan kondisi pasien. Hal ini memungkinkan pasien mendapatkan penangan dan perawatan maksimal dan holistik karena dalam proses tersebut perawat mengupayakan integrasi persfektif dan pendekatan dari berbagai praktisi ahli yang berbeda. Sehingga proses pemulihan dan penyembuhan pasien yang menjadi mungkin dilakukan melalui berbagai sisi.

Sebuah kasus menarik, pasien 69 tahun menderita DM tipe 2. Tahun 1997 menderita DM tipe 2. Pasien tinggal dengan seorang istri dan telah memiliki 2 orang anak yang telah menikah. Kedua orang tua penderita menderita diabetes tipe 2. Pasien memiliki pengetahuan yang terbatas tentang manajemen perawatan diri dan menyatakan tidak mengerti mengapa dia menderita diabetes karena dia tidak pernah mengonsumsi gula. Sejarah diet pasien menunjukkan asupan karbohodrat yang berlebih dalam bentuk roti dan pasta. Berdasarkan riwayat kesehatan, catatan, pemeriksaan fisik, laboratorium pasien dinilai menderita diabetes tipe 2 tidak terkontrol. Kasus ini ditangani oleh perawat. Tugas pertama perawat dalam memberikan perawatan adalah memilih masalah kesehatan yang paling mendesak dan memprioritaskan perawatan medis untuk mengatasinya.

Rujukan ke ahli gizi menjadi priortas pertama. Perawat menghubungi ahli diet melalui telpon untuk fokus terhadap penurunan berat badan dan meningkatkan diabetes kontrol. Ahli gizi meminta agar selama intervensi, pasien merekam asupan makanan dan mencoba memperkirakan porsi makanan. Pasien juga melakukan jalan kaki 15-20 menit setiap hari. Rencana ini ditulis oleh perawat termasuk tanggal dan waktu untuk telpon serta evaluasi obat, dan memberikannya kepada pasien. Dalam kunjungan tersebut, pasien diajarkan cara menggunakan alat pengukur glukosa yang dapat diguanakan 2 kali sehari yakni saat sarapan dan makan malam. Dalam kasus ini NP memenuhi kebutuhan dasar pasien dengan cara mengubah gaya hidup pasien sehingga dihasilkan klinis yang optimal.

Sayangnya hal yang sama belum dipraktekkan di Indonesia. Perkembangan metode perawatan di Indonesia memang belum menunjukkan tanda-tanda yang memuaskan. Padahal hal tersebut merupakan faktor yang sangat penting karena berkaitan dengan tingkat harapan hidup atau peluang kesembuhan pasien. Kata kuncinya bisa saja pada hal-hal yang berkenaan dengan penelitian terkait perkembangan teknologi keperawatan. Entah karena minimnya jumlah penelitian atau karena tidak adanya "link and match" antara hasil-hasil penelitian dengan kebijakan-kebijakan di bidang kesehatan?.

Oleh : Eva Tirtabayu Hasri S.Kep, MPH
Sumber : Geralyn Spollett, MSN, C-ANP, CDE. Case Study: A Patient With Uncontrolled Type 2 Diabetes and Complex Comorbidities Whose Diabetes Care Is Managed by an Advanced Practice Nurse. Diabetes Spectrum Volume 16, Number 1, 2003.
http://spectrum.diabetesjournals.org/content/16/1/32.full.pdf+html 

Upaya besar diperlukan oleh pasien yang mengidap penyakit Diabetes tipe 2, dimana edukasi diperlukan untuk meningkatkan kesehatan dengan tetap menghormati kebutuhan individu serta pilihan sukarela mereka. Artikel ini akan menyampaikan hasil penelitian ujicoba konstruk teori intervensi edukasi tersebut, dengan berfokus pada perspketif pasien terkait nilai yang mereka peroleh dengan adanya intervensi edukasi.

Meningkatnya penyakit kronis diantaranya penyakit diabetes, memerlukan manajemen yang baik sehingga tatalaksana penyakit tersebut dapat efektif, salah satu strategi yang dapat dilaksanakan adalah dengan melakukan edukasi yang memiliki tujuan jelas dan pasien terlibat dalam proses pelayanan kesehatan yang mereka terima. Pada artikel ini akan dibahas mengenai pemberdayaan edukasi pasien diabetes, penerapannya, serta penyampaian manfaat jangka panjang yang dapat diperoleh. Pengawasan diabetes sendiri merupakan suatu hal yang komplek serta memiliki berbagai perawatan dengan berbagai edukasi sesuai dengan jenis perawatan. Namun strategi manajemen diabetes yang saling memiliki ketergantungan, berpusat di tiga elemen kunci, yakni:

  • Pendidikan dan dukungan untuk manajemen diri (termasuk pengurangan faktor risiko gaya hidup)
  • Strategi pengobatan yang efektif untuk menjaga tingkat normal glukosa darah dan lipid, serta tekanan darah normal
  • Pengawasan yang efektif untuk deteksi dini dan pengobatan komplikasi

Pada studi ini dilakukan perbandingan antara teori yang berhubungan dengan pengalaman belajar orang dewasa (tabel I) dengan perilaku menjaga kesehatan (tabel II).

17art-1

Edukasi kesehatan adalah kegiatan yang sengaja dirancang dengan tujuan untuk pencapaian pada kesehatan atau penyakit yang berhubungan dengan pembelajaran, dan beberapa relatif membuat perubahan permanen dalam kemampuan dan disposisi individu. Efektivitas edukasi kesehatan dapat mengubah pengetahuan dan pemahaman cara berpikir, yang mungkin dapat berdampak pada perubahan perilaku atau gaya hidup.

Berikut adalah model kerja edukasi pasien yang mendasarkan pada berbagai teori yang saling berhubungan, dan menggambarkan bagaimana berbagai teori fokus pada lima domain pembelajaran, dimana perubahan dapat terjadi pada; pengetahuan, ketrampilan, pemahaman, sikap, dan aplikasi.

17art-3

Partisipan dalam penelitian ini dipilih secara acak dan dibagi kedalam beberapa kategori intervensi, yang terbagi menjadi:

  • Kelompok percobaan jangka pendek (0 bulan)
  • Kelompok kontrol jangka pendek (6 bulan)
  • Setelah itu kelompok jangka pendek digabung untuk membentuk kelompok percobaan jangka panjang
  • Kelompok kontrol jangka panjang (> 12 bulan)

Sedangkan percobaan ini dirancang, agar partisipan menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait edukasi, sebagai berikut:

  • Apakah berdampak pada keyakinan pasien terhadap penyakit?
  • Menyebabkan perubahan dalam perilaku perawatan diri?
  • Berdampak pada kontrol gula darah?

Jumlah sampel untuk kelompok percobaan sebesar 53 orang, dan kelompok kontrol sejumlah 36 orang. Sekitar 40% yang bersedia berpartisipasi dari jumlah keseluruhan yang diminta terlibat, sebagian menolak untuk berpartisipasi, penolakkan yang terjadi dengan berbagai alasan antara lain; kurangnya ketertarikan terhadap penelitian, keterbatasan waktu, kebutuhan pasien yang memiliki komitmen pada program edukasi selama 8 minggu. Hal-hal tersebut kemungkinan berpengaruh pada proses rekrutmen.

Untuk intervensi yang dipilih berdasarkan pada Program Otoritas Edukasi Kesehatan 'Look After Yourself". Intinya adalah memberdayakan edukasi kesehatan yang didasarkan pada anggapan bahwa akusisi pengetahuan tidak cukup membekali individu untuk melakukan tindakan mandiri. Intervensi 'The Diabetes Look After Yourself' dilaksanakan selama 8 minggu, yang masing-masing sesi setiap minggunya berlangsung selama 2 jam, dan disampaikan oleh tutor yang semuanya adalah perawat spesialis diabetes dan telah dilatih serta dilengkapi dengan panduan mengajar untuk memastikan standarisasi konten. Konten dari kursus meliputi; latihan olah raga dan relaksasi serta berbagai topik kesehatan yang berkaitan dengan self-management diabetes.

Pada pelaksanaan penelitian, hasil yang diperoleh dibagi menjadi temuan klinis dan perspektif pasien. Berikut adalah tabel temuan klinis:

17art-4

Sedangkan untuk mengkaji perspektif pasien dilakukan penilaian kualitatif dengan melaksanakan 10 Focus Group Discussion (FGD), 5 FGD dilaksanakan segera setelah kursus selesai dan 5 FGD dilaksanakan setelah percobaan selesai dilakukan. Untuk menggali persepsi pasien terhadap intervensi dan dampak yang dihasilkan dipergunakan tool semi terstruktur. Hasil penilaian kualitatif dengan FGD seperti terangkum dalam tabel berikut:

17art-5

Penggalian data dilakukan pada dua kategori dan penentuan tema dikembangkan dari pertanyaan yang berkaitan dengan persepsi pasien tentang nilai apa yang diperoleh dari adanya intervensi. Berikut dua kategori yang ditentukan dalam studi kualitatif:

Kategori 1 : Kesesuaian intervensi untuk pasien dengan diabetes tipe 2
Tema 1 : Keahlian dan kemampuan bimbingan yang dimiliki perawat
Tema 2 : Negosiasi kurikulum
Tema 3 : Pengalaman pembelajaran
Tema 4 : Dukungan kelompok dan pembelajaran kolaboratif

Kategori 2 : Timeline beserta diagnosis
Tema 1 : Serapan edukasi yang berbeda
Tema 2 : Menyelaraskan kebutuhan pasien agar sesuai dengan intervensi

Artikel ini menguraikan bagaimana suatu teori dipergunakan untuk membuat suatu framework untuk mengarahkan edukasi terhadap pasien beserta evaluasinya. Mengacu pada hasil uji hipotesis yang dilakukan, diketahui bahwa terdapat hubungan antara data yang diperoleh. Sedangkan keterbatasan percobaan terletak pada jumlah partisipan yang bersedia terlibat dalam penelitian ini. Selain itu data secara terperinci juga tidak dihasilkan dalam penelitian ini, sehingga hasil studi ini memiliki keterbatasan untuk digeneralisasi. Sehingga kedepannya diperlukan penelitian lebih lanjut, terkait alasan kesediaan atau ketidaksediaan seseorang untuk terlibat dalam inisiatif edukasi.

Berdasarkan hasil studi ini, beberapa hal yang bisa disampaikan antara lain:

  • Pertama adalah studi ini fokus pada persepsi pasien bahwa apa yang mereka dapatkan membantu mereka.
    Mereka mendeskripsikan bagaimana penghargaan, kepercayaan, empati, dan keahlian adalah hal kritis yang penting bagi mereka, demikian juga dengan pembelajaran dari pasien lain dengan penyakit sejenis.
  • Kedua adalah intervensi menghasilkan outcome klinis yang positif atau baik untuk periode singkat, tetapi dampak ini tidak dirasakan secara longitudinal.
    Temuan dalam FGD menyebutkan bahwa alasan yang terkait dengan hasil ini adalah kurangnya pengetahuan khusus diantara tenaga kesehatan profesional dan pada sistem pelayanan kesehatan yang membatasi tanggungjawab personal dan keinginan untuk mengendalikan nasib mereka.
  • Ketiga adalah rendahnya serapan edukasi pasien mungkin tidak hanya mencerminkan iklim budaya yang menyebabkan ketergantungan, tapi kemungkinan juga mencerminkan keinginan pasien untuk 'meneruskan' peran pasif mereka

Konklusi dari studi ini dapat disampaikan bahwa edukasi dapat memberdayakan pasien untuk ambil bagian dalam tanggungjawab untuk mengelola penyakitnya, namun mereka tidak dapat mencapai kesuksesan jangka panjang tanpa bantuan dari tenaga kesehatan profesional yang dapat memberikan dukungan fasilitas untuk mencapai tujuan pasien. Peran ini memerlukan pemahaman mengenai teori edukasi pasien dan kemampuan komunikasi yang baik, sehingga diperlukan integrasi antara pengetahuan medis dan sosial ke dalam suatu edukasi profesional sehingga kemitraan dengan pasien dalam tatalaksana penyakit diabetes dapat terwujud.

Dirangkum oleh : Lucia Evi Indriarini
Sumber : Cooper et. al., Patients' perspectives on diabetes health care education. Health Research Education. Theory and Practice. Vol. 18 No. 2. 2003.
http://her.oxfordjournals.org/content/18/2/191.full.pdf+html