Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Kepuasan pasien merupakan kunci penting meningkatkan quality care dalam pelayanan kesehatan, health care provider perlu menyadari bahwa keuntungan utama sistem pelayanan kesehatan adalah pasien. Pasien yang puas akan selalu nyaman di rumah sakit dalam waktu lama, selalu kembali dan merekomendasikan kepada orang lain. 3 hal ini merupakan bagian indikator pengukuran kepuasan pasien dalam penilaian health care provided, dengan meningkatnya pertumbuhan rumah sakit yang berbanding lurus dengan peningkatan pengetahuan pasien tentang apa yang seharusnya didapatkan, maka pasien membutuhkan rumah sakit yang menyediakan semua yang dibutuhkan.

Selain 3 indikator diatas, ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi kepuasan pasien antara lain: prosedur administrasi, pelayanan diagnosis, perilaku staff, kebersihan, kepedulian perawat, makanan, komunikasi, kedekatan psikologi, housekeeping, pelayanan teknis, akses dan alat yang memadai. Jika semua ini berjalan baik maka akan meningkatkan jumlah pasien dan tentu meningkatkan pendapatan rumah sakit. Vera (1993) mengatakan bahwa peningkatan kualitas pelayanan kesehatan adalah kewajiban health care provider. Peningkatan kualitas pelayanan misalnya keamanan kontrasepsi dan efektif. Pelayanan yang buruk dapat mengakibatkan infeksi, luka bahkan kematian.

  • Perilaku staf
    Pengalaman pasien tentang bagaimana respect dokter, skill perawat, paramedical staff dan support staff, serta pertemuan dan interaksi secara intensif berdampak pada kepuasan pasien. Bitner (1990) menyatakan hubungan yang lama antara dokter dan pasien meningkatkan kepuasan pasien, selain itu skills perawat, paramedical staff dan support staff juga berperan penting dalam mempengaruhi kepuasan pasien.
  • Lingkungan rumah sakit
    Pasien biasanya judges rumah sakit berdasarkan apa yang dilihat, sebelum mendapatkan pelayanan pasien sudah memutuskan apakah harus kembali ke rumah sakit ini? Ada hubungan yang kuat antara lingkungan rumah sakit dan kepuasan pasien sehingga rumah sakit perlu menyediakan fasilitas yang memadai, lingkungan yang asri, dan ruang tunggu, ruang pasien, ruang administrasi yang nyaman. Zineldin (2004) mengemukakan bahwa peran management penting dalam meningkatkan kualitas pelayanan pasien, berdampak pada lingkungan eksternal, performance rumah sakit, networking, interaksi dengan pasien dan kolaborasi dengan organisasi lain.
  • Pelayanan diagnosis
    Campbell J, 1999 mengemukakan bahwa kepuasan pasien umumnya dijelaskan sebagai gambaran pelayanan yang diterima dan hasil dari perlakuan itu. Membatalkan atau menunda pelayanan diagnosis menurunkan level kepuasan pasien, pelayanan ini mencakup pelayanan laboratorium dan radiologi.
  • Makanan
    Makanan yang layak juga mempengaruhi kepuasan pasien, sudah tersedia penyedia jasa makanan yang dapat bekerja sama dengan rumah sakit. Banyak pasien membenci makanan rumah sakit karna diet sehingga managemen perlu mempersiapkan counselor, pasien dikonseling tanpa merusak program diet.
  • Kebersihan
    Persepsi pasien tentang kebersihan rumah sakit berdampak positif pada kualitas rumah sakit, kebersihan yang dimaksud bukan hanya didalam ruangan namun diluar ruangan, hygiene, teknik mencuci tangan dan lain-lain. Pasien dan staff perlu menyadari akan pentingnya kebersihan diri dan lingkungan rumah sakit, hal ini akan meningkatkan kepuasan pasien dan meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit.

16feb-5

Tingginya pendapatan rumah sakit dapat meningkatkan kualitas pelayanan dan pasien akan mempertimbangkan untuk terus memanfaatkan rumah sakit tersebut misalnya berdasarkan pengalaman memanfaatkan rumah sakit sebelumnya dan kesalahan pelayanan yang pernah dilakukan.

Sofaer dan Firminger, 2005 mengidentifikasi 7 kategori penting untuk pasien antara lain:
Patien centered care, akses, kesopanan, komunikasi dan informasi, skill, efisiensi dan fasilitas yang memadai. 7 kategori ini perlu ditingkatkan dan dibuat dalam perencanaan, implementasi dan evaluasi untuk mencapai kualitas pelayanan sesuai standar, selain itu perlu meningkatkan komunikasi secara efektif dengan pasien sehingga terbangun hubungan yang harmonis dan leluasa dalam mengidentifikasi masalah dan memperbaiki performance rumah sakit untuk mencapai kualitas pelayanan berbasis kepuasan pasien.

Oleh: Dedison Asanab, S.KM (Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan Kesehatan dan Kedokteran Undana)
Sumber: Ross Sharon D. et al. An Empirical study of the factors influencing quality of healthcare and its effects on patient satisfaction. International Journal of Innovative Research in Science, Engineering and Technology. Vol. 4, Issue 2, February 2015.

http://www.rroij.com/

(Upaya Peningkatan Kualitas Pelayanan Kesehatan dengan Pendekatan Sistem)

Tak dapat dipungkiri bahwa Perawat dan berbagai tugas serta tanggung jawab yang melekat padanya (nurse staffing) merupakan garda terdepan dalam sebuah rangkaian sistem layanan kesehatan. Ia menjadi bagian penting yang merepresentasi sekaligus menjadi tolak ukur dari kualitas sistem keorganisasian dan manajemen yang dimiliki oleh sebuah Rumah Sakit atau Jasa Layanan Kesehatan lainnya. Bahkan, persepsi konsumen terhadap tingkat kualitas Penyedia Jasa Layanan Kesehatan sangat dipengaruhi oleh bagaimana tugas-tugas keperawatan di regulasi dan dijalankan. Oleh karenanya disamping aspek penting lain (seperti ketersediaan fasilitas dan tekhnologi medis) yang memadai, nurse staffing adalah salah satu hal utama yang perlu diperhatikan dengan seksama guna meningkatkan peluang keselamatan dan kesembuhan pasien.

Berbagai pendekatan konvensional yang mengkaji persoalan mutu/kualitas layanan kesehatan, biasanya hanya memaknai upaya optimalisasi tugas keperawatan dan peningkatan peluang keselamatan pasien dari persfektif instrumentatif belaka. Artinya hal-hal yang berkaitan dengan keselamatan pasien dan kinerja keperawatan ditempuh melalui pendekatan teknis dengan melengkapi berbagai instrument penunjang kinerja dan keselamatan. Tidak heran jika selama ini penekanan dalam berbagai diskursus yang telah terselenggara sekedar berkutat di ranah ketersediaan fasilitas. Sementara itu, terdapat aspek lain yang berkaitan dengan dua hal tersebut (nurse staffing dan keselamatan pasien) yang jarang mendapat perhatian dan belum dikaji secara serius, yakni aspek keorganisasian dan regulasi internal (kebijakan Rumah Sakit tentang Nurse Staffing).

Hal demikian salah satunya disebabkan oleh minimnya jumlah penelitian yang mengkaji relasi/keterkaitan antara sistem keorganisasian pada lembaga penyedia jasa layanan kesehatan dengan mutu pelayanan dan tingkat keselamatan pasien. Sepintas veriabel-variabel tersebut nampak tidak memiliki kaitan secara langsung. Namun dewasa ini di Negara-negara maju, aspek keorganisasian dan regulasi internal pada lembaga penyedia jasa layanan kesehatan menjadi objek perhatian dan pengkajian khusus.

Sebuah hasil penelitian yang dilakukan di beberapa Negara (cross-country riset) pada tahun 2000 oleh The International Hospital Outcomes Study Consortium dan University of Pennsylvania’s Center for Health Outcomes and Policy Research membuktikan adanya hubungan/pengaruh yang signifikan antara sistem dan corak/bentuk keoragnisasian, regulasi internal tentang nurse staffing dengan tingkat keselamatan pasien. Dijelaskan bahwa bentuk dan sistem keorganisasian serta regulasi internal ikut menentukan tingkat kecepatan dan relevansi respon terhadap pasien.

Salah satu fokus dalam penelitian tersebut adalah mengidentifikasi model/bentuk organisasi serta regulasi internal yang paling tepat dan efektif. Tolak ukur yang digunakan adalah dengan menguji sejauh mana model dan sistem organisasi yang dijalankan serta regulasi internal mampu mengakomodasi berbagai kendala tekhnis maupun non-tekhnis yang dialami perawat saat bertugas (sumber data diambil dari laporan harian perawat dan wawancara). Tingkat akomodasi kemudian dideteksi dari respons dan fleksibilitas sistem organisasi dalam menanggapi kendala dan persoalan tugas keperawatan tersebut. Dalam kalimat lain organisasi (struktur Rumah Sakit) diumpamakan sebagai sistem yang mengakomodir dan merespon Outcomes yang berupa laporan dan hasil wawancara perawat. Komponen-komponen lain yang diteliti meliputi kecukupan jumlah perawat dan model supporting manajemen yang diberikan organisasi (struktur organisasi dalam RS) kepada perawat dalam menjalankan tugas-tugas keperawatannya (nurse staffing).

Hal penting yang perlu dicatat adalah tentang beberapa hal terkait hasil dari penelitian tersebut. Disebutkan bahwa pada salah satu RS yang menerapakn sistem keorganisasian yang relative fleksibel serta reponsif memiliki supporting manajemen (berupa regulasi internal) yang lebih efektif dan efisien dalam menunjang optimalisasi nurse staffing serta berdampak positif pada kondisi pasien. Rumah sakit tersebut ditemukan memiliki seperangkat atribut organisasi: yaitu berupa struktur organisasi yang datar, pengambilan keputusan terdesentralisasi oleh pengasuh samping tempat tidur (perawat yang secara langsung mendampingi pasien), masuknya eksekutif perawat kepala di manajemen puncak pengambilan keputusan (menjadi jajaran inti dari struktur organisasi RS), penjadwalan perawat yang fleksibel, otonomi dan wilayah otoritas perawat yang luas, serta investasi oleh manajemen dalam pendidikan berkelanjutan perawat. Faktor-faktor tersebut kemudian berdampak pada terciptanya iklim serta lingkungan kerja yang nyaman sekaligus kondusif sehingga memungkinkan perawat untuk mengontrol pasien secara optimal dan berkoordinasi dengan dokter dalam konteks relasi yang baik dan lancar. Dan yang terpenting adalah rumah sakit ini memiliki angka kematian pasien yang lebih rendah.

Eksampelar berdasarkan pada hasil penelitian tersebut tentu saja menjadi referensi yang layak dikaji dan dipertimbangkan untuk konteks peningkatan mutu pelayanan kesehatan di Indonesia. Aspek keorganisasian yang meliputi supporting manajemen dan regulasi internal dalam rangka mengoptimalkan nurse staffing (kinerja keperawatan) nampaknya menjadi model pendekatan yang patut diuji lebih jauh untuk melihat kemungkinan penerapannya di Indonesia. Unsur yang paling esensial tentunya adalah upaya untuk menciptakan sebuah sistem dan model organisasi yang akomodatif dan reponsif terhadap Outcomes yang berasal dari temuan kendala-kendala tekhnis maupun non-tekhnis yang terjadi dilapangan dalam nurse staffing. Agar kedepan pendekatan pengkajian yang berkaitan dengan peningkatan mutu pelayanan kesehatan tidak hanya semata-mata berkutat pada faktor fasilitas fisik belaka. Semoga bermanfaat.

Oleh : Eva Tirtabayu Hasri, S.Kep., MPH.
Sumber: Aiken H. Linda et al. Hospital staffing, organization, and quality of care: cross-national findings. International Journal for Quality in Health Care 2002; Volume 14, Number I: pp.5-13. 

Era saat ini sedang berfokus pada penyediaan pelayanan kesehatan dengan kualitas tinggi, baik dari segi perawatan dan keterjangkauan biaya. Pelayanan kesehatan dengan kualitas tinggi salah satu faktor yang mendukung yaitu tenaga kesehatan yang profesional, mereka melakukan upaya pelayanan dari mulai pencegahan dan pengobatan. Pengobatan yang dilakukan selama di rumah sakit bukan hanya berfokus pada obat, melainkan juga terapi gizi juga berperan di dalamnya. Penanganan gizi kepada pasien di rumah sakit sebaiknya dilakukan secara kolaboratif antara ahli gizi, dokter, perawat dan apoteker. Untuk pelayanan gizi secara keseluruhan, melibatkan pula pihak manajemen, karena sebagian besar pengeluaran di rumah sakit adalah untuk kebutuhan makanan.

Pelayanan gizi yang optimal dapat meningkatkan kesembuhan pasien, mempercepat lama rawat inap dan mengurangi biaya perawatan. Skrining gizi pada pasien merupakan tindakan awal yang harus dilakukan, untuk mengidentifikasi apakah pasien tersebut mengalami malnutrisi atau tidak. Menurut Kelly dan pakar nutrisi lain dalam jurnal Critical Role of Nutrition in Improving Quality of Care, terdapat enam prinsip yang dapat diterapkan dalam model penanganan asuhan gizi secara kolaboratif, diantaranya :

  1. Mensosialisasikan asuhan penanganan gizi (Nutritional Care Proses) kepada semua tenaga kesehatan yang terlibat. Tidak hanya sebatas sosialisasi tetapi bisa menjadi sebuah aturan baku dalam menangani pasien, dimulai dari anamnesa tidak hanya bersifat medis, tetapi dari segi skrining nutrisi juga disertakan.
  2. Pembagian tugas antara tenaga medis yang terlibat dalam penanganan asuhan gizi. Dalam hal ini tim interdisipliner harus mendiskusikan hambatan dan solusi dalam menangani dan mengobati pasien yang beresiko atau pasien malnutrisi.
  3. Skrining dan diagnosa pasien dengan malnutrisi dan yang beresiko malnutrisi. Tingginya kasus kekurangan gizi di rumah sakit, sehingga setiap pasien harus menerima skrining gizi yang tepat. Menggunakan alat skrining yang sudah tervalidasi dan dilakukan oleh ahli gizi. Hasil skrining selanjutnya dikomunikasikan dengan tim interdisipliner untuk menentukan diagnosa dan intervensi yang komprehensif.
  4. Melakukan intervensi gizi secara komprehensif dan pengawasan yang berkelanjutan. Ketika seorang pasien diidentifikasi kekurangan gizi, intervensi gizi yang tepat harus segera dilakukan sepenuhnya dengan cepat. Intervensi gizi yang dilakukan mencakup modifikasi pemberian diet, perhitungan kebutuhan pasien serta pemesanan makanan.
  5. Merencanakan dan mendokumentasikan asuhan penanganan gizi pasien. Asuhan gizi yang dilakukan secara resmi harus direncanakan dan didokumentasikan, dimasukan dalam catatan medis agar bisa menjadi alat komunikasi tim interdisipliner. Dari mulai hasil skrining gizi, pengukuran antropometri, diagnosa gizi, interaksi obat dengan nutrisi, intervensi gizi, tujuan pemberian diet, presentase asupan makan pasien serta monitoring dan evaluasi penanganan asuhan gizi secara berkelanjutan.
  6. Penanganan asuhan gizi secara komprehensif. Pengelolaan status gizi dari mulai pasien masuk hingga pasien keluar dari rumah sakit dilakukan secara komprehensif oleh tim interdisipliner. Pemberian terapi gizi kepada pasien dilakukan sesuai tujuan. Selama proses perawatan melibatkan pula keluarga pasien, terutama untuk edukasi gizi.

Berikut ini adalah gambaran dari tahapan enam prinsip penanganan asuhan gizi di rumah sakit yang dilakukan secara kolaborasi oleh tim interdisipliner.

art-11jan

The Alliance's Approach to Interdisciplinary Nutrition Care. AND¼Academy of Nutrition and Dietetics; A.S.P.E.N.¼ American Society for Parenteral and Enteral Nutrition; EHR¼electronic health record; ONS¼oral nutrition supplement; PCP¼primary care physician.

Dengan penanganan asuhan gizi yang dilakukan secara komprehensif oleh tim interdisipliner, diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit.

Oleh : Elisa Sulistyaningrum, MPH.
Sumber: Tappenden A. Kelly et al. Critical Role of Nutrition in Improving Quality of Care:
An Interdisciplinary Call to Action to Address Adult Hospital Malnutrition. Journal Of The Academy Of Nutrition And Dietetics. September 2013 Volume 113 Number 9.

Peningkatan mutu di rumah sakit merupakan sesuatu yang wajib di era JKN sekarang ini dimana persaingan antar provider semakin terbuka dan bisa jadi rumah sakit/faskes yang tidak bermutu akan kalah bersaing dan berdampak pada pendapatan yang menurun. Pada umumnya upaya peningkatan mutu saat ini hanya terfokus kepada pasien, persepsi/pendapat pasien mengenai pelayanan yang diberikan menjadi hal yang mutlak sebagai indikator mutu rumah sakit, padahal ada informan lain yang lebih mudah diakses untuk menentukan indikator mutu yakni perawat. Perawat merupakan tenaga siaga 24 jam dalam memberikan perawatan kepada pasien sekaligus sebagai jembatan antara pasien dengan dokter yang menangani. Tugas perawat yang lekat dengan pasien membuat mereka paham dan merasakan apa yang dirasakan pasien termasuk mutu pelayanan yang diberikan antara lain perawatan langsung, pengawasan status pasien, dukungan emosional kepada pasien, asistensi untuk kegiatan sehari-hari, profesional team collaboration, dan edukasi kepada pasien.

Peningkatan mutu pelayanan merupakan hal yang mutlak untuk pengambilan keputusan baik itu oleh regulator (Dinas Kesehatan/Pemda), consumer (pasien), maupun provider (RS dan faskes lain). Faktanya, memang masih banyak tantangan dalam peningkatan mutu hal ini bisa karena informasi yang diberikan oleh pasien kurang relevan atau kurang jelas, oleh karena itu menggunakan perawat sebagai salah satu informan dalam melaporkan kualitas mutu pelayanan bisa menjadi pertimbangan.

Sejak beberapa tahun lalu para ahli sudah mulai meneliti tentang penggunaan sumber lain (selain pasien) sebagai penentu indikator mutu rumah sakit, salah satu yang menarik untuk dipelajari adalah penelitian yang dipimpin oleh McHugh & Stimpfel tentang kemungkinan menggunakan perawat sebagai informan untuk melaporkan kualitas mutu rumah sakit pada 396 rumah sakit di empat negara bagian di USA (California, Florida, Pennsylvania, dan New Jersey). McHugh & Stimpfel meyakini bahwa laporan perawat tentang mutu layanan merupakan faktor penentu untuk pengukuran outcome dan proses perawatan penyakit di rumah sakit, diantaranya acute myocardinal infarction, pneumonia, dan tindakan operasi. Laporan tersebut secara statistik juga berhubungan erat dengan level skor rumah sakit yang berhubungan dengan evaluasi pasien terhadap pelayanan yang mereka terima.

McHugh & Stimpfel berpendapat bahwa menggunakan perawat sebagai salah satu informan untuk penentuan mutu pelayanan merupakan sesuatu yang valid dan sudah sesuai dengan konsep sosiologi organisasi, dimana kualitas secara umum diukur melalui struktural, proses, atau outcome. Cara langsung untuk menentukan indikator mutu pelayanan adalah melalu proses, dan perawat terlibat secara langsung dalam proses tersebut mempunyai sesuatu yang unik tentang proses pelayanan/perawatan kepada pasien. Perawat mempunyai persepsi yang luas tantang beberapa aspek pelayanan diantaranya interaksi provider dengan pasien, eduasi dan dukungan kepada pasien dan keluarganya, dan integrasi sistem informasi dan teknologi. Beberapa aspek ini tidak terdokumentasi dengan baik di status pasien. Informasi-informasi tersebut walaupun sedikit sangat memberikan perbedaan terhadap outcome yang dihasilkan.

Walaupun perpektif pasien merupakan indikator utama dalam peningkatan mutu layanan, namun pendapat dari perawat tidak bisa dikesampingkan, kedua hal ini bisa saling melengkapi. Misalnya pada saat pasien tidak bisa memberikan pendapat karena dalam perawatan yang kritis, atau meninggal dunia, atau pasien yang dibawah umur; perawat bisa dijadikan informan untuk memberikan masukan karena mereka yang tahu segala sesuatu yang dirasakan pasien pada saat perawatan. Selain itu data-data yang dikumpulkan dari perawat tersebut juga bisa dijadikan bahan untuk benchmarking dan quality improvement baik dalam rumah sakit maupun sebagai lesson learnt bagi faskes lain yang membutuhkan.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita mulai memikirkan perawat ataupun tenaga kesehatan yang lain dalam rangka meningkatkan kualitas layanan kesehatan, keterlibatan dari banyak pihak tentunya akan memperkaya informasi yang dibutuhkan untuk percepatan peningkatan mutu layanan di rumah sakit maupun faskes lain yang sampai saat ini masih belum signifikan.

Oleh : Stevie Ardianto Nappoe, SKM-Pusat Penelitian Kebijakan Kesehatan dan Kedokteran-UNDANA
Sumber : McHugh, D. Matthew and Stimpfel, W. Amy. 2012. Nurse Reported Quality of Care : A Measure of Hospital Quality. Wiley Periodicals : Research in Nursing & Health, 35, 566-575.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3596809/pdf/nihms448301.pdf