Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Obat adalah salah satu jenis terapi yang diberikan kepada pasien. Tujuan dari terapi menggunakan obat adalah untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan meminimalkan resiko yang akan terjadi kepada pasien. Dalam proses pengobatan kepada pasien ada beberapa kesalahan yang terjadi, diantaranya adalah kesalahan pemberian resep, kesalahan dalam pemberian dosis obat, kesalahan dalam rekomendasi waktu minum obat, kesalahan pemberian obat dan kepatuhan pasien.

Untuk mengurangi kesalahan dalam proses pengobatan, sebaiknya dibuat pedoman yang bisa dijadikan rekomendasi dalam pemberian obat yang tepat kepada pasien. Dalam hal ini perlu dibuat suatu badan atau departemen yang khusus bertugas menangani rekomendasi untuk mencegah kesalahan pemberian obat, departement ini bertugas untuk memberikan rekomendasi pengobatan kepada staff manajemen rumah sakit, dokter, apoteker, perawat dan lainnya. Isi rekomendasi untuk staff klinis diantaranya adalah menggunakan prinsip-prinsip formularium, menempatkan petugas yang tepat dibidang obat, adanya wewenang dan tanggung jawab yang jelas dalam administrasi, pemesanan dan pengeluaran obat, adanya evaluasi yang berkelanjutan dalam proses pengobatan.

Resep adalah bagian paling dasar dimana kesalahan dalam pemberian obat terjadi. Untuk mengatasi kesalahan dalam peresepan perlu dibuat rekomendasi untuk para pembuat resep. Adapun rekomendasi yang dibuat untuk mengatasi kesalahan dalam persepan yaitu sebaiknya resep dibuat mengikuti perkembangan obat, dalam hal ini harus ada kerjasama antar dokter dan apoteker, pembuat resep harus mengetahui kondisi keseluruhan pasien, resep yang ditulis harus jelas dan lengkap dari mulai nama pasien, jenis obat nama obat (merek dagang), dosis obat dan frekuensi pemberian obat. Selain itu tulisan yang dalam pembuatan resep harus jelas agar mudah dibaca. Dalam pemberian resep selain dalam bentuk tulisan pemberi resep pun bisa menyampaikan apa yang tertulis lewat lisan untuk memastikan bahwa pasien atau keluarga pasien sudah paham.

Apoteker memegang peran penting dalam proses mencegah kesalahan dalam pengobatan. Rekomendasi yang dibuat untuk apoteker yaitu , apoteker harus berpartisipasi penuh dalam pemantauan pengobatan (termasuk dalam kesesuain pemberian obat, data klinis, data laboratorium pasien). Seorang apoteker harus mampu bekerja sama dengan dokter, perawat atau pun staf medis dan pasien. Selain petugas administrasi, apoteker juga harus mengetahui ketersediaan obat. Jika terjadi kesalahan dalam proses pengobatan, apoteker harus cekatan dalam menganalisa penyebab kesalahan tersebut dan proses penyelesaiannya.

Dalam proses pengobatan staf medis lain yang terlibat adalah perawat, hal ini kaitannya dengan pasien rawat inap yang setiap saat membutuhkan tenaga perawat. Rekomendasi untuk perawat pun dibuat agar proses pengobatan berlangsung dengan baik, adapun rekomendasi untuk perawat yaitu seorang perawat harus mengetahui obat-obatan yang digunakan pasien (mulai dari isi resep sampai pemesanan obat), sebelum diberikan kepada pasien rawat inap, perawat harus mengecek obat terlebih dahulu apakah sudah tepat atau belum. Perawat juga sebaiknya memberikan informasi kepada pasien rawat inap atau pun keluarga pasien terkait obat yang dikonsumsi oleh pasien.

Selain petugas medis, pasien dan keluarga pasien diberikan rekomendasi dalam proses pengobatan. Rekomendasi yang diberikan kepada pasien yaitu pasien atau keluarga pasien harus memberikan informasi yang lengkap terkait dengan kondisi yang dialami saat ini, hal ini agar proses pemberian resep sesuai dengan kondisi pasien, selain itu pasien juga harus paham dengan obat yang diberikan (dalam hal pemahaman ini bisa dibantu dengan keluarga atau orang terdekat yang merawatnya) mulai darijenis obat yang diberikan, frekuensi pemberian, waktu minum obat serta efek samping dari konsumsi obat tersebut.

Dalam penyediaan obat di Rumah sakit atau pelayanan kesehatan lainnya, erat kaitannya dengan pabrik obat atau produsen farmasi. Berikut adalah rekomendasi untuk industri farmasi atau regulasi pemerintah terkait farmasi yaitu produsen obat dan makanan dalam pemberian nama, labeling dan kemasan sebaiknya melibatkan apoteker, perawat dan dokter. Informasi terkait obat tersebut (dosis, komposisi, frekuensi minum, pengenceran sebelum pemberian) harus ditulis jelas dalam kemasan obat. Produsen obat harus berkomunikasi dengan tenaga pelayanan kesehatan (dokter, perawat dan apoteker) terkait dengan perubahan dalam formulasi produk atau bentuk sediaan.

Pemantauan dalam kesalahan pengobatan perlu dilakukan secara berkelanjutan, karena kesalahan dalam pemberian obat harus diidentifikasi, didokumentasikan dan dipelajari penyebabnya. Beberapa pementauan kesalahan dalam pemberian obat bisa dalam bentuk laporan yang disesuaikan dengan tingkat kesalahan. Program pemantauan kesalahan dalam pengobatan haruslah memepertimbangkan faktor-faktor risiko yang terjadi.

Klasifikasi tingkat kesalahan pengobatan ada beberapa level, diantaranya :

  • Level 0 : dalam level ini tidak ada kesalahan dalam pengobatan
  • Level 1 : dalam level ini terjadi kesalahan dalam pengobatan, tetapi tidak menimbulkan bahaya pada pasien
  • Level 2 : dalam level ini terjadi kesalahan dalam pengobatan, tetapi tidak ada perubahan tanda-tanda vital yang membahayakan pasien
  • Level 3 : Dalam level ini terjadi kesalahan dalam pengobatan yang menyebabkan peningkatan pemantauan pasien dengan adanya perubahan tanda vital dan perubahan laboratorium
  • Level 4 : dalam level ini terjadi kesalahan dalam pengobatan, sehingga mengakibatkan kebutuhan akan obat lain dan menyebabkan bertambahnya lama rawat inap.
  • Level 5 : dalam level ini terjadi kesalahan dalam pengobatan yang menyebabkan beberapa kerugian pada pasien
  • Level 6 : Dalam level ini terjadi kesalahan dalam pengobatan yang menyebabkan kematian pada pasien.

Kesalahan dalam pengobatan mengakibatkan peningkatan program peningkatan mutu dalam pemberian obat kepada pasien dengan membuat panduan yang berisikan rekomendasi terhadap tenaga pelayanan kesehatan yang terkait dalam proses pengobatan.

Oleh : Elisa Sulistyaningrum
Sumber : American Society of Hospital Pharmacists. ASHP Guidelines on Preventing Medication Errors in Hospitals. Am J Hosp Pharm.1993; 50:305–14. http://www.ashp.org/s_ashp/docs/files/MedMis_Gdl_Hosp.pdf 

Medical error merupakan salah satu topik yang masih banyak dibahas dalam berbagai kesempatan di bidang pelayanan kesehatan. Medical error sendiri merupakan suatu adverse event yang dapat dicegah dengan adanya pengetahuan medis saat ini (Institute of Medicine, 1999). Medical error dapat terjadi pada berbagai aspek pemberian layanan kesehatan seperti; pemberian obat, operasi, diagnosa, peralatan, dan hasil laboratorium sekalipun dapat berpeluang terjadinya suatu kesalahan medis. Banyak kajian yang dilakukan terkait dengan terjadinya medical error ini, namun demikian informasi yang terkait dengan perspektif pasien terhadap medical error ini dirasakan masih terbatas.

Penelitian yang terkait dengan pemahaman pasien terhadap medical error dinilai terbatas, rata-rata penelitian lebih berfokus pada bagaimana pasien menginginkan kejadian medical error diungkapkan kepada mereka. Beberapa penelitian juga mengungkapkan bagaimana pasien menginginkan dukungan emosi atas terjadinya kesalahan medis tersebut, termasuk di dalamnya permintaan maaf.

Pada salah satu penelitian kualitatif deskriptif yang dilakukan dengan melibatkan 38 pasien sebagai responden, diungkapkan bahwa pasien lebih fokus pada aspek akses pelayanan kesehatan, gangguan komunikasi antara pasien dan provider dibandingkan aspek teknis terkait terjadinya medical error itu sendiri (Kuzel et al., 2004). Hal ini mendasari ketertarikan dilakukannya suatu penelitian untuk menggali lebih jauh perspektif pasien terhadap medical error yang terjadi, karena perspektif penerima layanan adalah salah satu alat yang dapat mendukung peningkatan proses pemberian pelayanan kesehatan. Pada artikel ini, penelitian dilakukan dengan melibatkan 30 anggota komunitas yang merupakan sampel yang diambil secara acak dari suatu komunitas yang besar. Metode pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan metode wawancara melalui telepon. Sejumlah 29 responden bersedia berpartisipasi dan satu responden tidak bersedia berpartisipasi. Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan analisis konten kualitatif. Hasil dari penelitian yang dilakukan secara ringkas adalah sebagai berikut:

  • Arti Medical Error
    Pada penelitian ini definisi medical error bagi responden disamakan dengan buruknya komunikasi. Medical Error dirasakan oleh responden sebagai adanya gap komunikasi, missed communication, kemampuan dan gaya komunikasi interpersonal dokter ataupun provider pelayanan kesehatan lain yang kurang baik.
  • Kurangnya Rasa Hormat
    Medical error dirasakan oleh responden dari berbagai hal seperti; kurangnya rasa respek yang dirasakan oleh responden terkait penampilan fisik responden, adanya gap pemahaman terkait dengan budaya, serta perasaan inferior yang dirasakan responden terkait komunikasi yang dilakukan oleh provider.
  • Menyalahkan
    Responden merasa 'disalahkan' dan juga 'dihakimi' oleh provider terkait gaya hidup dan kebiasaan yang mereka pilih sehingga menyebabkan keadaan yang terjadi saat ini.
  • Stigma
    Responden merasa di'labeli' memiliki gangguan mental, emosional yang tidak seimbang, potensi ancaman keamanan. Terdapat responden yang berpendapat bahwa telah terjadi perilaku yang tidak profesional dalam proses komunikasi antara provider dan pasien. Salah satu contohnya adalah provider yang mengungkapkan masalah personal pasien dan tekanan harian yang dialami pasien di ruang gawat darurat atau psikiatri yang membahas keinginan bunuh diri dengan pasien gangguan mental dan keluarganya. Beberapa contoh tersebut dilihat sebagai suatu error.
  • Cara Untuk Meningkatkan Komunikasi Antara Pasien-Provider Pelayanan Kesehatan
    Medical error dirasakan sebagai error dalam komunikasi, penelitian yang dilakukan dengan 30 responden mengarah pada bagaimana meningkatkan komunikasi antara provider dengan pasien. Responden meyakini bahwa dengan meningkatkan komunikasi antara provider dan pasien maka akan dapat mengurangi terjadinya berbagai jenis error. Kemampuan 'mendengarkan' pasien menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan serta pengakuan provider pelayanan kesehatan terhadap adanya gap pengetahuan.

Seperti telah disampaikan sebelumnya bahwa medical error dapat terjadi pada setiap aspek dalam proses pemberian pelayanan kesehatan termasuk didalamnya pada saat pemberian obat kepada pasien (medication error). Hal ini juga menjadi salah satu topik yang terus menerus dibahas karena masih banyaknya kasus medication error yang terjadi, dimana terjadinya kesalahan obat tersebut dapat diakibatkan oleh sistem pengelolaan obat yang diterapkan oleh saranan pelayanan kesehatan maupun diakibatkan oleh kelalaian dari petugas. Mengacu hasil penelitian pada artikel ini dapat ditarik suatu benang merah bahwa pada upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan, provider juga harus memperhatikan masukan dari pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan. Perspektif pasien menjadi penting karena ternyata dapat menggali lebih jauh, apa yang sebenarnya menjadi pendapat dan pandangan pasien terkait medical error ini.

Pencegahan terhadap medical error dapat dilakukan dengan berbagai metode, salah satunya seperti yang disampaikan oleh Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ), US Department of Health & Human Services, dimana cara terbaik untuk membantu mencegah terjadinya medical error adalah menjadi pasien yang terlibat aktif dengan anggota tim pelayanan kesehatan dengan memperhatikan berbagai aspek dalam pelayanan kesehatan seperti; pengobatan, waktu tinggal di rumah sakit, operasi, serta beberapa langkah lainnya terkait pelayanan kesehatan yang diterima oleh pasien. Secara lengkap AHRQ merilis 20 tips yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya medical error tersebut (link terlampir).

Oleh : Lucia Evi I.

Sumber :

Medication errors menjadi 'musuh' perawat sehingga diperlukan pelayanan terbaik dan profesional untuk mengurangi kesalahan pengobatan. Selain menjaga kualitas sistem pelayanan kesehatan, pelayanan terbaik mencegah kompleksitas keadaan memburuknya pasien dan peningkatan biaya kesehatan serta mencegah anggapan ketidak profesionalan kerja dan menumbuhkan kepercayaan diri. Di USA, dari tahun 1993 medication errors memberikan kerugian rumah sakit 10% sampai 18%, selain itu pasien meninggal karena medication errors berjumlah 7391 dan lama perawatan pasien meningkat 4-6 hari dengan peningkatan biaya $4685 setiap pasien.

Sulit membaca tulisan dokter, kesalahan penafsiran resep dokter, pembagian obat, perhitungan obat, pengawasan obat dan administrasi berimplikasi pada peningkatan medication errors. Hal ini membutuhkan peran serta semua pihak untuk mencegah kesalahan-kesalahan yang dimungkinkan terjadi. Di USA seorang pasien dapat menerima 18 resep setiap hari dan seorang perawat memberikan 50 resep setiap shift, hal ini menempatkan perawat di garis depan dalam menjaga akuntabilitas administrasi dan paling berpotensi melakukan medication errors.

Pengaruh negatif dan trauma psikologis adalah dampak negatif bagi perawat ketika melakukan medication errors, merasa marah, bersalah dan takut serta mengalami kehilangan kepercayaan diri dalam kemampuan praktek klinis. Penelitian Hume et al. di USA, menunjukan sebagian besar perawat tidak melaporkan medication errors secara sistematis menggunakan form insident reports sehingga berdampak pada beragamnya interpretasi laporan setiap kasus dan memberikan informasi yang minim sehingga berdampak pada kualitas sistem pelayanan dalam mengambil solusi untuk menghindari risiko.

Kualitas laporan medication errors tergantung perawat mengenali kesalahan, yakin akan kesalahan dan kesediaan mengatasi rasa malu dan siap tidak melakukan kesalahan yang sama. Menurut Osborne et al. hanya 25% dari semua medication errors dilaporkan menggunakan form insident reports. Laporan yang minim karena perawat menganggap pasien tidak dirugikan dalam situasi ini, selain itu perawat takut tindakan disipliner punishment, takut kehilangan pekerjaan, takut diberi label perawat yang membuat kesalahan dan takut akan memburuknya reputasi unit. Selain itu menurut Osborne et al . perawat mempunyai beragam definisi medication errors dan pentingnya laporan.

Diperlukan kesamaan persepsi dalam sebuah sistem pelayanan dalam mengidentifikasi dan melaporkan medication errors, ini membutuhkan kesamaan persepsi dan teknik penulisan laporan. Perawat sudah harus bisa mengidentifikasi medication errors, kapan dilaporkan dan kepada siapa laporannya disampaikan. Di setiap pelayanan kesehatan diperlukan unit mutu dan keselamatan pasien dalam mengontrol, mengawasi dan mengintervensi terkait medication errors sehingga meminimalisir kelalaian dalam pembuatan insident report secara sistematik.

Kesenjangan definisi antara perawat dengan pengatahuan dan perawat dengan pengetahuan serta pengalaman mempengaruhi pencegahan terjadinya medication errors, diperlukan kesamaan persepsi sehingga tidak ada keberagaman interpretasi perawat dan berguna dalam sistematika pembuatan insident reports. Diperlukan capacity building sehingga perawat dengan tipe dan pemahaman berbeda bisa memiliki kesamaan persepsi tentang medication errors. Fasilitas pelayanan kesehatan diharapkan memiliki panduan yang menggambarkan keadaan masing-masing unit dan situasi yang memungkinkan terjadinya medication errors, sehingga panduan ini bisa digunakan, mengantisipasi, mengenali dan kapan akan dilaporkan ke unit mutu keselamatan pasien.

Mencegah medication errors dilakukan juga dengan menerapkan monitoring, pengawasan dengan sistem online sehingga informasi yang dihasilkan komprehensif dan akurat serta sistem pelaporan yang tepat waktu serta mengevaluasi secara efektif dan efisien. Medication errors harus selalu dilaporkan agar bisa meningkatkan patient safety dan mengurangi secara berulang-ulang medication errors yang terjadi. Berikut beberapa pertanyaan bisa digunakan perawat dalam pembuatan laporan medication errors:

  1. Bagaimana perawat menentukan medication errors?
  2. Apakah ada definisi khusus dan berbeda antara medication errors yang dilaporkan dan tidak dilaporkan?
  3. Mengapa ada perbedaan penilaian perawat antara laporan medication errors untuk dokter dan laporan medication errors menggunakan incident reports?
  4. Apa yang dilakukan oleh organisasi untuk mempromosikan panduan medication errors?

Medication errors dapat dicegah secara akurat, tepat waktu dan komprehensif dengan menjunjung tinggi high patient safety kalau semua pihak mampu dan mau bekerja sama secara sistematik dan terpadu.

Oleh: Dedison Asanab, SKM-Pusat Penelitian Kebijakan Kesehatan dan Kedokteran Undana

Sumber : Ann M. Mayo, DNSc, RN:Denise Duncan, RN. 2003. Nurse Perceptions of Medication Errors What We Need to Know for Patient Safety. http://www.nursingcenter.com/lnc/pdfjournal?AID=514523&an=00001786-200407000-00007&Journal_ID=&Issue_ID= 

Malnutrisi protein-energi pada pasien rawat inap usia lanjut semakin sulit dikenali dan termasuk rendah tingkat perawatannya meskipun termasuk kategori prevalensi tinggi. Untuk mengenali kejadian malnutrisi, perlu dilakukan skrining malnutrisi. Skrining malnutrisi memungkinkan identifikasi dan perawatan malnutrisi dini yang bermanfaat sebagai tahap awal perawatan nutrisi. Skrining membutuhkan instrumen yang bersifat cepat-sederhana-dan akurat untuk mengidentifikasi pasien dengan kemungkinan malnutrisi.

Idealnya, instrumen skrining dapat mengidentifikasi semua pasien malnutrisi yang dinilai (tinggi sensitivitas) dengan skirining positif mengidentifikasi bahwa tidak ada pasien yang bernutrisi baik (tinggi nilai positif prediktif). Banyak instrumen skrining tervalidasi yang direkomendasikan digunakan baik untuk pasien usia lanjut maupun untuk populasi rumah sakit (tabel 1). Malnutrition Screening Tool (MST) adalah instrumen skrining yang yang paling banyak digunakan di rumah sakit di Australia. Sedangkan, Nutrition Risk Screening (NRS 2002) adalah instrumen yang sukses digunakan di seluruh Eropa. Mini-Nutritional Assessment Short Form (MNA-SF) telah direkomendasikan untuk skrining penduduk lanjut usia. Simplified Nutritional Appetite Questionnaire (SNAQ) dan Rapid Screen dikembangkan di populasi komunitas penduduk namun belum divalidasi untuk setting rumah sakit. Walaupun sudah banyak instrumen yang divalidasi, keterbatasan utama dalam proses validasi ini adalah ketiadaan "gold standard" untuk mendiagnosis malnutrisi. Terdapat kesamaan yang jelas antar instrumen-instrumen ini. Pada umumnya, seluruh instrumen ini mengandung perubahan berat badan, asupan makanan, perhitungan indeks massa tubuh, dan penyakit akut.

art-11feb15

Perlu dicatat bahwa skrining nutrisi berbeda dari penilaian nutrisi. Instrumen penilaian nutrisi seperti Subjective Global Assessment (SGA) dan Mini-Nutritional Assessment (MNA) umum digunakan sebagai instrumen penilaian nutrisi tervalidasi. Keduanya menggunakan parameter-parameter untuk membuat diagnosisi nutrisi dan perawatan awal. Instrumen-instrumen ini telah direkomendasikan sebagai keluaran dalam uji klinik dan memprediksi keluaran kesehatan pada pasien rawat inap usia lanjut.

Terdapat perbedaan kunci antara instrumen penilaian nutrisi dan skrining nutrisi. SGA dan MNA adalah penilaian komprehensif yang digunakan oleh profesional (seperti ahli gizi, dokter, perawat terlatih, atau asisten peneliti) untuk mendiagnosis malnutrisi dan menginisiasi intervensi nutrisi. Sebaliknya, instrumen skrining nutrisi (pada tabel 1) dimaksudkan sebagai metode cepat dan mudah untuk mengidentifikasi kemungkinan malnutrisi dan mentriase pasien untuk penilaian dan intervensi nutrisi komprehensif. Walaupun SGA dan MNA telah direkomendasikan untuk mendiagnosis malnutrisi pada orang tua, terdapat perbedaan substansial antara parameter-parameter penilaian ini. Perbedaan parameter ini memungkinkan adanya perbedaan pada identifikasi grup "beresiko".

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa status nutrisi menurun selama proses perawatan karena asupan nutrisi yang kurang optimal. Pada pasien rawat inap usia lanjut, jelas sekali bahwa malnutrisi saat rawat inap tidak serta merta memprediksi rendahnya asupan nutrisi saat perawatan. Faktanya, beberapa pasien bernutrisi baik ternyata makan dengan buruk, menunjukkan grup pasien kedua yang seharusnya diidentifikasi segera pada masa awal masuk ke rumah sakit untuk mecegah malnutrisi. Kondisi ini menunjukkan pentingnya skrining dan re-skrining pasien usia lanjut untuk mengidentifikasi tidak hanya pasien yang telah mengalami malnutrisi tetapi juga pasien yang berresiko mengalami rendah asupan gizi selama masa rawat inap. Walaupun skrining malnutrisi umum digunakan untuk mengidentifikasi malnutrisi yang telah ada, belum ada instrumen skrining yang secara proaktif mengidentifikasi pasien yang berresiko rendah asupan nutrisi selama rawat inap. Kenyataan ini melatari penelitian yang dilakukan Young et al.

Penelitian yang dilakukan Young et al ini bertujuan untuk membandingkan instrumen-instrumen skrining terhadap instrumen penilaian nutrisi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa MNA dapat mengidentifikasi pasien rawat inap usia lanjut yang termasuk resiko malnutrisi dan yang sudah mengalami malnutrisi. Sebaliknya SGA hanya dapat mengidentifikasi kasus malnutrisi saja. Ini berarti MNA dapat menjadi instrumen yang cocok ketika pelayanan yang diberikan bertujuan untuk mencegah malnutrisi atau bila disebuah rumah sakit terdapat tenaga ahli gizi yang memadai. Sedangkan, SGA akan lebih cocok pada seting akut untuk mengidentifikasi malnutrisi yang sudah ada untuk memprioritaskan perawatan dalam rentang waktu pendek selama masa rawat inap.

Secara ringkas, semua instrumen skrining nutrisi, selain Rapid Screen, akurat dalam mengidentifikasi malnutrisi menggunakan SGA sehingga direkomendasikan untuk digunakan pada pasien rawat inap usia lanjut. Walaupun MNA-SF juga akurat, sebaiknya hanya digunakan ketika rumah sakit memiliki sumber daya yang memadai untuk melakukan penilaian nutrisi dan melakukan intervensi bagi semua pasien berresiko. Ketika menentukan instrumen skrining yang akan digunakan dalam praktek, klinisi harus mempertimbangkan kesederhanaan dan kemudahan implementasi instrumen dan sumber daya yang tersedia untuk menyediakan perawatan nutrisi untuk merawat semua pasien berresiko. Instrumen yang masuk dalam kategori akurat dan mudah digunakan diantaranya adalah MST. Dalam proses perawatan nutrisi juga harus diperhatikan bahwa perlu ada re-skrining dan monitoring asupan nutrisi untuk memungkinkan identifikasi awal dan mencegah penurunan nutrisi. Alasannya, tidak ada satupun instrumen yang dapat memprediksi rendahnya asupan nutrisi selama masa rawat inap.

Sumber: Young AM et al., 2013, Malnutrition screening tools: Comparison against two validated nutrition assessment methods in older medical inpatients, Nutrition: 29 (2013) 101–106.

http://www.nutritionjrnl.com/article/S0899-9007(12)00174-8/pdf 

Text: drg. Puti Aulia Rahma, MPH