Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Disarikan oleh: Andriani Yulianti (Divisi Manajemen Mutu, PKMK FKKMK UGM)

Dalam rangka menyemarakkan pekan ASI sedunia, diketahui bahwa sejak tahun 1992 setiap pekan awal Agustus selalu diperingati sebagai pekan asi sedunia. Begitu pentingnya ASI sehingga semua komponen masyarakat diingatkan untuk selalu mendukung pemberian ASI dan tidak menyerah untuk selalu memberikan kualitas hidup yang baik terhadap anak. Peringatan ASI sedunia tahun ini sangat relevan dengan kondisi saat ini, dimana dunia dihadapkan pada permasalahan Pandemi COVID-19 yang secara tidak langsung membuat kita memikirkan bagaimana cara menyehatkan bumi melalui pemberian ASI. Tema ini sesuai dengan yang dikembangkan oleh WHO yakni pemberian ASI yang dikaitkan dengan lingkungan.

Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan menyelenggarakan diskusi pekan ASI Sedunia bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Provinsi DIY dan academic health system (AHS) yang mengahadirkan beberapa narasumber, salah satunya yakni dr Setyo Wandito, M.Kes, Sp.A (K) membawakan materi terkait dengan dampak menyusui terhadap lingkungan. Disampaikan bahwa menyusui tidak hanya memiiliki dampak yang baik terhadap ibu, bayi dan dampak ekonomi namun juga untuk bumi.

Diketahui bahwa substitusi ASI adalah biasa kita sebut susu formula yakni bahan dasarnya berasal dari susu sapi, yang membutuhkan proses produksi, penyesuaian nutrient hingga proses distribusi. Sehingga dari proses yang dibutuhkan tersebut pastinya memiliki beban tersendiri terhadap lingkungan. Saat ini kita ketahui bahwa di Indonesia tersendiri terjadi perubahan iklim, jika tidak diatasi maka akan memiliki resiko diantaranya; tingkat kekeringan akan tinggi, kekeringan dari yang dulunya terjadi setiap 4 tahunan maka akan berkurang dan akan terjadi menjadi tiap 3 tahun, dan akan terjadi kemarau yang panjang. Kenaikan permukaan air laut, keterbatasan air bersih, resiko terjadinya bencana alam, banjir dll. Jika tidak diatasi maka akan terjadi perubahan iklim yang sangat besar.

Bagaimana dengan susu formula? sudah banyak penelitian yang mengemukakan bahwa menyusui dapat mengurangi perubahan iklim. Jika melihat skema dampak susu formula, terdapat proses di peternakan sapi, mulai dari sapi diperah, diangkut, diproses dipabrik susu, pohon pinus ditebang, proses di pabrik kertas, diangkut dan dipacking, setelah dipacking didistribusikan ke distributor, dari pengecer hingga sampai ke rumah tangga. Ketika sampai pada level rumah tangga juga perlu proses mulai dari botol, disterilisasi, air bersih dll yang dapat berdampak pada lingkungan sehingga membutuhkan energi dan memberikan dampak terhadap lingkungan.
.
Bagaimana dengan produksi karbon dioksida? Disampaikan pula oleh dr Setyo Wandito bahwa estimasi menurut penelitian dalam memberikan susu formula selama 6 bulan dibutuhkan 21 kg. kemudian menjadi pertanyaan bagaimana produksi CO2 dalam 6 bulan tersebut? Dampak produksi susu formula jika dikonversikan, jika dikaitkan dengan emisi gas rumah kaca maka di 6 negara di asia akan menghasilkan 720.450 ton SF/ tahun, 2,9 milyar ton gas rumah kaca (30%) dan akan menghasilkan 1,03 milyar ton sampah. Produksi susu sapi juga membutuhkan air hingga 4.700 liter per kilogram bubuk. Dalam hal limbah, setiap tahun terdapat 550 juta kaleng susu formula bayi, yang terdiri atas 86.000 ton logam dan 364.000 ton kertas dan tentunya menambah beban tempat pembuangan sampah.

Penelitian sederhana yang dilakukan oleh dr Setyo Wandito, bahwa jika dihitung dari dampak ekonomi dari penggunaan susu formula, dapat dihitung dengan estmasi kelahiran anak di indonesia yakni sebesar 4.500.000/tahun dengan bayi cukup bulan 3.825.000, data juga menunjukkan bahwa sekitar 62,7% bayi yang lahir tidak ASI ekslusif, dengan rata-rata jika mengkonsumsi susu formula sebesar 21 kg selama 6 bulan dengan harga susu estimasi di harga 90.000/kg, maka biaya yang dibutuhkan selama 6 bulan sebesar: 3.825.000 bayi × 21 kg × 90.000 = 7.229,25 M

Oleh karena itu, ditekankan kembali untuk mendorong pemberian ASI eksklusif karena menyusui merupakan salah satu pondasi kesehatan, perkembangan dan kesintasan. Menyusui juga dapat melindungi bayi dari kesakitan dan juga menyelamatkan bumi. Menyusui juga dapat berdampak pada fertilitas sehingga dapat mengendalikan jumlah penduduk, hemat sumber daya alam serta menyusui juga dapat berpengaruh pada morbiditas yakni mencegah penyakit baik jangka pendek maupun jangka panjang. ASI adalah makanan yang terbaik, natural dan terbarukan, tanpa polusi dan energi bersih (low carbon economi). Susu formula jelas berdampak pada lingkungan. Dengan mendukung ibu menyusui kita telah melakukan penghematan emisi karbon yaitu setara dengan mengurangi jumlah mobil hingga 77.500 setiap tahunnya. Selain itu, peternakan sapi yang memproduksi susu formula akan menghasilkan gas metana sehingga menimbulkan efek rumah kaca secara signifikan.

Bagaimana dengan situasi pemberian ASI di Indonesia? belum semua ibu dapat memberikan ASI secara optimal sesuai anjuran. Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2018 menunjukkan baru 58,2% bayi lahir di Indonesia yang mendapatkan IMD. Kemudian pada usia 0-5 bulan sebanyak 37,3% bayi yang diberi ASI eksklusif; 9,3% bayi diberi ASI secara parsial (ditambah dengan makanan atau minuman lain); dan 3,3% mendapatkan cairan lain sebelum ASI keluar (ASI predominan). Dengan kata lain, masih banyak bayi di Indonesia yang tidak mendapatkan ASI.

Tak heran jika pekan ASI Sedunia tahun 2020 oleh WHO mengambil tema “mendukung menyusui untuk planet yang lebih sehat” karena terbukti jelas bagaimana proses menyusui mampu mengurangi produksi limbah, mengemat air bahkan membantu mencegah perubahan iklim. Masyarakat perlu mendukung pemberian ASI pada bayi mulai dari ruang bersalin, setelah bayi lahir, bahkan ketika dilakukan rawat gabung, jika bayinya sakit agar bagaimana terus diupayakan untuk diberikan ASI. Menyusui baik untuk ibu, bayi dan baik untuk planet.

Materi diambil dari materi narasumber pada link berikut: https://fk.ugm.ac.id/ahs-ugm-webinar-memperingati-pekan-asi-sedunia-2020/

 

Hepatitis B adalah infeksi virus yang menyerang hati dan dapat menyebabkan penyakit akut dan kronis. Virus ini paling umum ditularkan dari ibu ke anak selama kelahiran dan persalinan, serta melalui kontak dengan darah atau cairan tubuh lainnya, termasuk hubungan seks dengan pasangan yang terinfeksi, penggunaan narkoba suntikan yang melibatkan berbagi jarum, jarum suntik, atau peralatan persiapan obat. dan jarum suntik atau pajanan pada instrumen tajam. Namun, Hepatitis B dapat dicegah dengan vaksin yang aman, tersedia dan efektif.

Pada tahun 2015, WHO telah memperkirakan terdapat 257 juta orang hidup dengan infeksi virus hepatitis B kronis (HBV) di seluruh dunia, dan 900.000 diantaranya meninggal karena infeksi HBV, sebagian besar melalui perkembangan infeksi sirosis dan karsinoma hepatoseluler. Di seluruh dunia, mayoritas orang dengan infeksi hepatitis B kronis dan kematian di masa dewasa terkait dengan telah memperoleh infeksi saat lahir melalui penularan perinatal dari ibu ke anak atau pada anak usia dini. Pencegahan penularan HBV perinatal dan anak usia dini adalah kunci untuk mengurangi infeksi kronis yang menghasilkan beban morbiditas dan mortalitas terbesar. Hal ini Ini bisa dicapai melalui imunisasi universal bayi terhadap hepatitis B, imunisasi dosis bayi baru lahir, dan intervensi lain untuk mencegah penularan HBV dari ibu-ke-bayi.

Mencegah Penularan hepatitis B dari ibu ke anak adalah strategi paling penting untuk mengendalikan penyakit dan menyelamatkan nyawa. Bahkan di tengah pandemi COVID-19, harus dapat memastikan bahwa ibu dan bayi baru lahir memiliki akses ke layanan kesehatan termasuk vaksinasi hepatitis B melalui pengujian wanita hamil dan pemberian profilaksis antivirus kepada mereka yang membutuhkan dan mempertahankannya serta memperluas akses ke imunisasi hepatitis B dan vaksin dosis kelahiran. Memperluas akses ke dosis vaksin hepatitis B untuk bayi baru lahir yang tepat waktu sebagai upaya mencegah penularan HBV dari ibu-ke-anak.

Cara tambahan untuk melindungi anak-anak adalah memberikan ibu hamil perawatan antivirus untuk mengurangi penularan HBV dari ibu-ke-bayi. WHO sudah merekomendasikan pengujian rutin semua wanita hamil untuk HBV, serta HIV dan sifilis sedini mungkin dalam kehamilan mereka. Mengingat bukti baru tentang keamanan dan kemanjuran profilaksis antivirus pada wanita hamil dan anak-anak, maka WHO mengeluarkan 2 rekomendasi baru, diantaranya:

  1. Wanita hamil yang dites positif terinfeksi hepatitis B dan memiliki tingkat HBV yang tinggi dalam darah (viral load HBV) harus menerima terapi antivirus preventif dengan tenofovir dari minggu ke-28 kehamilan sampai kelahiran. Obat antivirus, tenofovir tersedia dengan biaya rendah di banyak negara di dunia dengan harga kurang dari US $ 3 per bulan.
  2. Di rangkaian di mana tes viral load HBV tidak tersedia, WHO merekomendasikan penggunaan tes biaya rendah alternatif (HBeAg) untuk menentukan apakah seorang wanita memenuhi syarat untuk terapi antivirus preventif.

Eliminasi Penularan Hepatitis B bersama-sama atau yang sering disebut “triple eliminasi” ini dilakukan untuk memastikan bahwa sekalipun ibu terinfeksi HIV, Sifilis, dan/atau Hepatitis B sedapat mungkin tidak menular ke anaknya. Oleh karena itu, di Indonesia sendiri sudah ada pedoman khusus yang membahas upaya mencapai Eliminasi Penularan HIV, Sifilis, dan Hepatitis B dari ibu ke anak sebagai acuan bagi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, tenaga kesehatan sesuai kompetensi dan kewenangannya, masyarakat, dan pemangku kepentingan terkait yang tertuang dalam Permenkes Nomor 52 Tahun 2017 tentang eliminasi penularan human immunodeficiency virus, sifilis, dan hepatitis b dari ibu ke anak.

Link Selengkapnya

 

 

Sampai saat ini, situasi COVID-19 di tingkat global maupun nasional masih dalam risiko sangat tinggi. Selama pengembangan vaksin masih dalam proses, dunia dihadapkan pada kenyataan untuk mempersiapkan diri hidup berdampingan dengan COVID-19. Oleh karenanya, diperlukan pedoman dalam upaya pencegahan dan pengendalian COVID-19 untuk memberikan panduan bagi petugas kesehatan agar tetap sehat, aman, dan produktif, dan seluruh penduduk Indonesia mendapatkan pelayanan yang sesuai standar.

Pedoman pencegahan dan pengendalian COVID-19 ini disusun berdasarkan rekomendasi WHO yang disesuaikan dengan perkembangan pandemi COVID-19, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, berisi strategi dan indikator penanggulangan, surveilans epidemiologi, diagnosis laboratorium, manajemen klinis, pencegahan dan pengendalian penularan, komunikasi risiko dan pemberdayaan masyarakat, penyediaan sumber daya, dan pelayanan kesehatan esensial. Pedoman ini merupakan revisi dari pedoman serupa yang diterbitkan pada bulan 27 Maret 2020 dengan perubahan pada substansi sesuai perkembangan situasi dan pengetahuan, namun bersifat sementara dan akan diperbaharui sesuai dengan perkembangan penyakit dan situasi terkini.

download pedoman

 

 

Disarikan oleh Andriani Yulianti, Divisi Manajemen Mutu PKMK FK-KMK UGM

Hepatitis B adalah infeksi virus yang menyerang hati dan dapat menyebabkan penyakit akut dan kronis. Virus ini paling umum ditularkan dari ibu ke anak selama kelahiran dan persalinan, serta melalui kontak dengan darah atau cairan tubuh lainnya, termasuk hubungan seks dengan pasangan yang terinfeksi, penggunaan narkoba suntikan yang melibatkan berbagi jarum, jarum suntik, atau peralatan persiapan obat. dan jarum suntik atau pajanan pada instrumen tajam. Namun, Hepatitis B dapat dicegah dengan vaksin yang aman, tersedia dan efektif.

Pada tahun 2015, WHO telah memperkirakan terdapat 257 juta orang hidup dengan infeksi virus hepatitis B kronis (HBV) di seluruh dunia, dan 900.000 diantaranya meninggal karena infeksi HBV, sebagian besar melalui perkembangan infeksi sirosis dan karsinoma hepatoseluler. Di seluruh dunia, mayoritas orang dengan infeksi hepatitis B kronis dan kematian di masa dewasa terkait dengan telah memperoleh infeksi saat lahir melalui penularan perinatal dari ibu ke anak atau pada anak usia dini. Pencegahan penularan HBV perinatal dan anak usia dini adalah kunci untuk mengurangi infeksi kronis yang menghasilkan beban morbiditas dan mortalitas terbesar. Hal ini Ini bisa dicapai melalui imunisasi universal bayi terhadap hepatitis B, imunisasi dosis bayi baru lahir, dan intervensi lain untuk mencegah penularan HBV dari ibu-ke-bayi.

Mencegah Penularan hepatitis B dari ibu ke anak adalah strategi paling penting untuk mengendalikan penyakit dan menyelamatkan nyawa. Bahkan di tengah pandemi COVID-19, harus dapat memastikan bahwa ibu dan bayi baru lahir memiliki akses ke layanan kesehatan termasuk vaksinasi hepatitis B melalui pengujian wanita hamil dan pemberian profilaksis antivirus kepada mereka yang membutuhkan dan mempertahankannya serta memperluas akses ke imunisasi hepatitis B dan vaksin dosis kelahiran. Memperluas akses ke dosis vaksin hepatitis B untuk bayi baru lahir yang tepat waktu sebagai upaya mencegah penularan HBV dari ibu-ke-anak.

Cara tambahan untuk melindungi anak-anak adalah memberikan ibu hamil perawatan antivirus untuk mengurangi penularan HBV dari ibu-ke-bayi. WHO sudah merekomendasikan pengujian rutin semua wanita hamil untuk HBV, serta HIV dan sifilis sedini mungkin dalam kehamilan mereka. Mengingat bukti baru tentang keamanan dan kemanjuran profilaksis antivirus pada wanita hamil dan anak-anak, maka WHO mengeluarkan 2 rekomendasi baru, diantaranya:

  1. Wanita hamil yang dites positif terinfeksi hepatitis B dan memiliki tingkat HBV yang tinggi dalam darah (viral load HBV) harus menerima terapi antivirus preventif dengan tenofovir dari minggu ke-28 kehamilan sampai kelahiran. Obat antivirus, tenofovir tersedia dengan biaya rendah di banyak negara di dunia dengan harga kurang dari US $ 3 per bulan.
  2. Di rangkaian di mana tes viral load HBV tidak tersedia, WHO merekomendasikan penggunaan tes biaya rendah alternatif (HBeAg) untuk menentukan apakah seorang wanita memenuhi syarat untuk terapi antivirus preventif.

Eliminasi Penularan Hepatitis B bersama-sama atau yang sering disebut “triple eliminasi” ini dilakukan untuk memastikan bahwa sekalipun ibu terinfeksi HIV, Sifilis, dan/atau Hepatitis B sedapat mungkin tidak menular ke anaknya. Oleh karena itu, di Indonesia sendiri sudah ada pedoman khusus yang membahas upaya mencapai Eliminasi Penularan HIV, Sifilis, dan Hepatitis B dari ibu ke anak sebagai acuan bagi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, tenaga kesehatan sesuai kompetensi dan kewenangannya, masyarakat, dan pemangku kepentingan terkait yang tertuang dalam Permenkes Nomor 52 Tahun 2017 tentang eliminasi penularan human immunodeficiency virus, sifilis, dan hepatitis b dari ibu ke anak.

Selengkapnya Policy Brief  Prevention Of Mother To Child Transmission Of Hepatitis B Virus Guidelines On Antiviral Prophylaxis In Pregnancy

klik disini