Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Lucia Evi Indriarini, SE

art-8apr-3Gambaran menjadi pasien di rumah sakit yang identik dengan berbagai jenis pelayanan kesehatan yang diberikan oleh pihak rumah sakit, acap kali memberikan ketakutan tersendiri bagi pasien akan rasa nyeri yang dapat menyertai proses pemberian pelayanan kesehatan tersebut. Sebagai contoh, bagaimana proses transfusi darah dapat memberikan rasa nyeri bagi si pasien, ataupun tindakan medis lainnya yang dapat memberikan rasa nyeri pada pasien. Sumber-sumber nyeri dapat meliputi; prosedur tindakan medis, tindakan keperawatan, dan prosedur diagnostik.

Nyeri sendiri dapat didefinisikan sebagai "pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial atau dilukiskan dalam istilah seperti kerusakan" (The International Association for the Study of Pain, 1979).

Namun dewasa ini, banyak rumah sakit yang telah melakukan upaya intensif untuk mengelola rasa nyeri tersebut, sehingga rasa nyeri yang menyertai tindakan medis, tindakan keperawatan, ataupun prosedur diagnostik pada pasien dapat diminimalkan atau dilakukan tindak lanjut yang teratur, sesuai dengan kriteria yang dikembangkan oleh rumah sakit dan kebutuhan pasien. Nyeri yang dirasakan pasien dikelola dengan melakukan pemantauan secara kontinyu dan terencana. Bahkan dalam akreditasi Joint Commission International (JCI) isu manajemen nyeri ini menjadi salah satu elemen penilaian yang dipersyaratkan untuk dipenuhi oleh pihak rumah sakit. Berbagai bentuk pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien harus mengacu pada pedoman pengelolaan rasa nyeri. Hal ini seperti tercantum dalam standar akreditasi JCI berikut:

  1. Patient and Family Rights (PFR)
    PFR 2.4 Rumah sakit mendukung hak pasien untuk mendapatkan asesmen dan pengelolaan rasa sakit yang tepat.
  2. Assessment of Patients (AOP)
    AOP 1.7 Semua pasien rawat inap dan rawat jalan diperiksa apakah mengalami rasa nyeri dan diperiksa mengenai rasa nyeri tersebut jika ada.
  3. Care of Patients (COP)
    COP 6. Pasien didukung secara efektif dalam mengelola rasa nyerinya.

COP 7.1. Perawatan pasien dalam keadaan menjelang ajal mengoptimalkan kenyamanan dan martabatnya.
Proses penerapan manajemen nyeri ini memerlukan peran aktif dari seluruh civitas hospitalia yang memberikan pelayanan kesehatan pada pasien, serta peran langsung dari pasien itu sendiri, dimana pasien didorong untuk menyampaikan rasa nyeri yang mereka alami. Sedangkan pada proses pelaksanaannya, pihak rumah sakit dapat mempergunakan beberapa alternatif tools yang dapat dipergunakan untuk mengukur dan mengkaji intensitas nyeri. Skala pengukuran nyeri sendiri dapat didasarkan pada self report, observasi (perilaku), atau data fisiologis.

Berikut adalah beberapa tools yang dapat dipergunakan berdasar pada 'self report' pasien :

  1. Verbal Rating Scale (VRS): Verbal Rating Scale merupakan jenis pengukuran nyeri yang telah lama dipergunakan dan merupakan pengukuran nyeri dalam bentuk sederhana. Dapat berupa pertanyaan sederhana 'apakah anda merasa nyeri?', yang dapat dijawab pasien dengan 'iya' atau 'tidak'. Namun, biasanya dalam pengukuran ini mempergunakan 4 sampai dengan 5 titik intensitas skala dengan deskripsi seperti; tidak nyeri, sedikit nyeri, nyeri sedang, sangat nyeri.
  2. Visual Analog Scale (VAS): Visual Analog Scale (VAS) adalah instrumen untuk mengukur besarnya nyeri pada garis sepanjang 10 cm. Biasanya berbentuk horizontal atau vertikal, dan garis ini digerakkan oleh gambaran intensitas nyeri yang memiliki range dari tidak nyeri sampai dengan rasa nyeri yang ekstrim.
  3. Numerical Rating Scale (NRS): Numerical Rating Scale (NRS) hampir sama dengan Visual Analog Scale, tetapi memiliki angka-angka sepanjang garisnya, kisaran angka 0-10 dan pasien diminta untuk menunjukkan rasa nyeri yang dirasakannya.
  4. Faces Rating Scale dari Wong Baker: Instrumen dengan menggunakan Faces Rating Scale terdiri dari 6 gambar skala wajah yang bertingkat dari wajah yang tersenyum untuk "no pain" sampai wajah yang berlinang air mata. Pasien dapat menunjukkan dengan gambar, tingkat rasa nyeri yang dirasakannya.

Manajemen nyeri menjadi salah satu isu penting dalam proses pemberian layanan kesehatan kepada pasien. Pada implementasinya pelayanan bermutu diberikan dengan mempedulikan rasa nyeri yang dialami pasien, didukung dengan tools pengkajian nyeri yang sesuai dan terdokumentasi dengan baik serta pemberian manajemen nyeri sesuai pedoman yang ditetapkan.

Referensi:

D. Gould et al. (2001). Journal of Clinical Nursing. Blackwell Science Ltd.
Hockenberry MJ, Wilson D (2009). Wong's Essentials of Pediatric Nursing. 8th Edition. St. Louis. Mosby.
John Hughes. (2008). Pain Management: From Basic to Clinical Practice, 1st Edition. Churchill Livingstone Elsevier.
Joint Commission International Standar Akreditasi Rumah Sakit. Edisi Ke-4. Tahun 2010.

Oleh : dr.Sitti Noor Zaenab, M.Kes.

art-18mar-2Judul tulisan ini menggambarkan bahwa setiap minggu di wilayah Indonesia ada sekitar 300 lebih ibu mati/meninggal karena hamil, melahirkan, dan nifas. Bayangkan setiap minggu ada 300 nyawa ibu melayang yang dalam setahun identik dengan 52 kali pesawat jumbo jet jatuh dan penumpangnya mati semua. Dan yang melayang itu nyawa sungguhan, siapa yang peduli? Sepertinya biasa saja, tapi pernahkah anda membayangkan kalau yang kena musibah itu adalah anda sendiri atau keluarga dekat anda? Bagaimana kesedihan dan rasa kehilangan yang dialami? Yang lebih membuat miris lagi adalah kenyataan bahwa sekitar 60% kematian itu sebenarnya bisa dicegah (avoidable). Penggambaran di atas menggunakan angka "absolut", tetapi selama ini kita sering hanya menggunakan angka"rates".

Seperti kita ketahui bahwa di tahun 2015 kita harus bisa mencapai target MDG 4 yaitu kematian bayi (AKB) sebesar 23/1000 KH, dan target MDG 5 yaitu kematian ibu (AKI) sebesar 102/100.000KH. Menurut SDKI (Survei Demografi Kesehatan Indonesia) AKI tahun 1991 sebesar 390/100.000KH, turun menjadi 228/100.000KH pada tahun2007. Apakah kita bisa mencapai target 102/100.000KH pada tahun 2015 yang tinggal 2 tahun lagi?

Menurut Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc. Ph.D, situasi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di Indonesia memprihatinkan, kematian ibu dan kematian bayi tidak menurun, justru meningkat di berbagai provinsi dan kabupaten/kota. Mengapa kita tidak awas pada kematian yang meningkat? Apa yang kurang tepat selama ini? Apakah kesehatan ibu dan anak bukan merupakan isu penting? Dengan latar belakang seperti itu, terlihat bahwa selama ini sistem monitoring kinerja program KIA hanya menggunakan angka "rates" bukan angka "absolut". Angka "rates" ini merupakan hasil dari berbagai survei, dan survei yang menggunakan metode berbeda akan membuahkan hasil yang berbeda pula. Dengan hanya mengandalkan data survei yang berupa rates, program KIA menjadi tidak riil karena hanya berhadapan dengan gambaran angka, tidak sempat membayangkan bahwa yang mati itu adalah manusia nyata. Penggunaan data rates juga berarti selalu ketinggalan dengan kejadian riil di lapangan. Mengkonkritkan program KIA menjadi penting karena selama ini sistem kesehatan dan segala programnya jarang yang berani menggunakan penurunan kematian ibu dan kematian bayi sebagai tujuan terukur. Kita tidak tahu bagaimana menghubungkan penurunan kematian ibu dan kematian bayi dengan program. Akibatnya dalam pelaksanaan program KIA tidak ada pacuan (peningkatan adrenalin) untuk para pelaku kegiatan.

Di Provinsi DIY dan Provinsi NTT dilakukan kegiatan dengan menggunakan data absolut untuk meningkatkan adrenalin para pelaku kegiatan. Di NTT program dilakukan sejak tahun 2010 dengan bertumpu pada program Sister Hospital, sementara di DIY dilakukan pada tahun 2012 dengan menggunakan model surveilans respons dan peningkatan perhatian pada kejadian nyata kematian ibu dan kematian bayi. Kedua provinsi ini juga menata sistem rujukan dengan mengembangkan manual rujukan KIA.

Berangkat dari permasalahan dan pengalaman tersebut maka pada tanggal 8 dan 9 Maret 2013 Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM dalam rangka Annual Scientific Meeting (ASM) 2013 FK UGM, menyelenggarakan Semiloka mengenai: Penggunaan data Kematian "absolut" untuk Peningkatan Kinerja Program MDG 4 dan MDG 5 di level kabupaten/kota. Semiloka ini bertujuan merumuskan model penggunaan data absolut untuk meningkatkan kepedulian dan memacu adrenalin pelaku kegiatan KIA, dan mengenalkan manual rujukan KIA di level kabupaten/kota. Juga membahas keuntungan dan kerugian menggunakan data absolut dalam konteks penghitungan rates.

Semiloka ini sangat menarik karena para pembicara adalah para pelaku dan pengambil kebijakan di daerah, seperti Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTT dan Provinsi DIY, Kepala Dinas Kesehatan kabupaten Ende dan Kabupaten Kulon Progo, Direktur RSUD Bajawa dan RSUD Panembahan Senopati Bantul. Tampil sebagai pembahas utama adalah para pakar di bidangnya yaitu: Dirjen Bina Gizi dan KIA Kementerian Kesehatan yang diwakili oleh dr.KiranaPritasari, MQIH., pakar manajemen kesehatam Prof.dr. Laksono Tisnantoro, M.Sc, Ph.D., pakar epidemiologi Prof.dr. Bhisma Murti, MPH, M.Sc., dan pakar KIA Prof.dr.Endang Basuki, MPH. Acara ini dibuka dan ditutup oleh Dr.dr. Ova Emilia, Sp.OG (K), M.Med.Ed selaku Wakil Dekan Bidang Akademik, Kemahasiswaan, dan Alumni FK UGM.

Menurut dr.Sarminto, M.Kes (Ka.Dinkes DIY) keuntungan pemakaian angka absolut adalah bahwa angka bisa diperoleh bulanan sehingga lebih mudah dipakai untuk memantau perkembangan program, tetapi angka rates juga punya kelebihan yaitu angka lebih bisa dipercaya karena berdasar survei. Hal tersebut didukung pula oleh dr.Hambang Haryatno,M.Kes (Ka.Dinkes Kulon Progo), bahwa nilai positif dari penggunaan angka absolut adalah dapat dengan mudah diamati peningkatan atau penurunannya tanpa perlu melihat jumlah kelahirannya, artinya dapat secara actual menunjukan progress angka kematian. Angka absolut lebih cocok digunakan untuk analisis dalam wilayah, kenaikan satu angka saja sudah berarti atau berpengaruh bagi suatu wilayah, dan intervensi terhadap kejadian kematian Ibu dan Bayi dapat langsung ditindak lanjuti. Adapun nilai positif dari penggunaan angka rates yaitu bagus untuk membandingkan dengan wilayah lain. Juga penggunaan angka rates lebih adil karena secara proporsional menghitung jumlah kematian dengan jumlah penduduk / kelahiran hidup. Pendapat-pendapat tersebut dilengkapi pula oleh dr. Johanes Don Bosco Do, M.Kes. (Ka.Dinkes Ende) bahwa angka absolut sangat cepat untuk digunakan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Sedang angka rates cocok untuk penentuan target kinerja program.

Dari semiloka ini ada beberapa hal yang disimpulkan bersama yaitu:

  1. Penggunaan angka absolut dan rates keduanya dibutuhkan bersama-sama
    • Angka absolut untuk melihat secara cepat kasus kematian dan memberi respon cepat di suatu wilayah. Juga melihat secara nyata (berapa kepala/nyawa yang hilang) dari tahun ke tahun. Bisa memacu adrenalin!!
    • Angka rates dipakai untuk membandingkan antar wilayah yang berbeda, dipakai untuk respon terencana.
  2. Untuk mengurangi kegaduhan sewaktu menghadapi kedarurutan obstetri perlu menata sistem rujukan KIA dengan menyusun manual yang jelas dan berdimensi lokal, dengan menyertakan sumber pendanaannya yang jelas.
  3. Konsep Surveilans Respons penting sekali diterapkan dalam program KIA, terutama deteksi kasus kematian ibu dan bayi, dan konfirmasi kasus dalam kegiatan AMP
  4. Jumlah kematian maternal cenderung menurun, tapi kematian neonatal masih tetap/cenderung meningkat
  5. Presentasi jumlah kematian yang bisa dicegah lebih tinggi daripada yang tidak bisa dicegah
  6. Untuk mengetahui permasalahan KIA dari hulu ke hilir dan menentukan intervensi yang tepat (yang berdimensi lokal/kab/kota) maka sebelumnya perlu melakukan Mapping Intervention
  7. Soft Skill tenaga kesehatan dalam berkomunikasi dan memberi informasi sangat penting dalam mensukseskan MDG 4-5
  8. RSUD mendukung MDG 4-5 (RS PONEK, RSSIB)

Upaya mempercepat penurunan kematian ibu dan kematian bayi dalam mencapai MDG 4-5, maka direkomendasikan:

  1. Dibudayakan penggunaan angka "absolut " untuk memacu adrenalin para pemangku kepentingan, disamping angka "rates"
  2. Perlu menata sistem rujukan KIA dalam Manual Rujukan KIA yang berdimensi lokal (kab/kota) disertai sumber pembiayaan yang jelas
  3. Begitu ada kasus kematian maka segera dilakukan AMP dan direspons segera dalam konsep Surveilans Respons
  4. Untuk menentukan intervensi yang tepat dari permasalahan KIA dari hulu ke hilir , maka perlu didahului dengan kegiatan Mapping Intervention yang berdimensi lokal (kab/kota)
  5. Perlu peningkatan soft skill tenaga kesehatan dalam berkomunikasi dan memberi informasi kepada para stakeholders
  6. Semua kegiatan harus dilengkapi Standar Operating Procedure (SOP), dan SOP harus dipatuhi.

Semoga ke depan dengan komitmen kuat, dan kerja sistematis dan terarah dari para pemangku kepentingan, pesawat jumbo jet berisi ibu hamil, tidak harus jatuh setiap minggu di wilayah Indonesia tercinta ini. Amin

 

Oleh : Nasiatul Aisyah Salim SKM.,MPH

art-25mar-2Standar JCI meliputi standar yang berfokus pasien dan standar manajemen organisasi pelayanan kesehatan. Dalam standar manajemen organisasi pelayanan kesehatan, terdapat 6 standar yang salah satunya adalah pencegahan dan pengendalian infeksi (prevention and control of infections) yang bertujuan untuk mengurangi risiko penularan diantara pasien, staf, profesional kesehatan, pekerja kontrak, relawan, mahasiswa dan pengunjung.

Program pencegahan dan pengendalian infeksi harus dilakukan dengan pendekatan berbasis risiko infeksi yang ada di rumah sakit, sehingga tiap rumah sakit akan memiliki program pencegahan dan pengendalian infeksi yang berbeda tergantung dari risiko infeksinya karena memiliki perbedaan layanan klinis, populasi pasien yang dilayani, lokasi geografis, volume pasien dan jumlah pegawai rumah sakit.

Hand hygiene merupakan salah satu cara untuk mengurangi infeksi yang berkaitan dengan perawatan kesehatan. Penelitian menjelaskan bahwa hand hygiene yang dilakukan oleh semua pegawai rumah sakit dapat mencegah terjadinya hospital acquired infections (HAIs) sebesar 15-30 % (Grol R, 2003 & Lautenbach, 2001). Banyak upaya dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan hand hgyiene namun umumnya tidak efektif dan berjangka pendek. Sehingga penting untuk mencari strategi berbasis bukti yang jelas untuk meningkatkan kebiasaan hand hygiene.

Huis, A et al (2012) mencoba menggambarkan secara berurutan mengenai strategi meningkatkan kepatuhan hand hygiene yang baik seperti dalam langkah-langkah seperti dibawah ini.

  • Langkah 1 : mendeskripsikan Hand Hygiene yang baik
  • Langkah 2 : Memperkirakan pemenuhan hand hygiene saat ini
  • Langkah 3 : Memperkirakan berbagai penghambat dan fasilitator yang berkaitan dengan pemenuhan hand hygiene
  • Langkah 4 : Merancang strategi peningkatan hand hygiene dan menghubungkan aktivitas implementasi dengan faktor pengaruhnya
  • Langkah 5 : Menguji dan mengeksekusi strategi peningkatan hand hygiene
  • Langkah 6 : Menguji keefektivan biaya dalam strategi peningkatan hand hygiene
  • Langkah 7 : Menilai dan menetapkan kembali strategi peningkatan hand hygiene

Daftar Pustaka :

Huis,A., et al (2012) A Systematic Review of Hand Hygiene Improvement Strategies : A Behavioural Approach. Implementation Science; 7 :92

Oleh : Nasiatul Aisyah Salim SKM.,MPH

art-10mar-3Audit perinatal merupakan analisis sistematis mutu pelayanan klinis yang meliputi prosedur diagnosis dan perawatan, penggunaan sumber daya, hasil yang muncul serta kualitas hidup ibu dan anak. Audit kematian perinatal dapat dianggap sebagai suatu cara untuk meningkatkan proses-proses perawatan bagi semua wanita hamil dan bayi. Selain itu, audit kematian perinatal memberikan kesempatan untuk bisa mempelajari kejadian-kejadian yang tidak diinginkan dalam proses perawatan melalui identifikasi, analisis dan pengambilan langkah-langkah untuk mencegah agar tidak terjadi lagi.

Audit perinatal dapat dilakukan dengan bermacam metodologi misalnya audit eksternal yang mana proses perawatan dievaluasi oleh auditor eksternal independen dan audit berbasis unit atau yang biasa dikenal sebagai audit internal yaitu petugas kesehatan mengevaluasi pelayanannya sendiri, melakukan pengukuran secara langsung dan cepat dengan tujuan untuk meningkatkan perawatan. Namun, audit internal memiliki kelemahan yang menyangkut hubungan antar personal dan persaingan sehingga akan dapat mempengaruhi analisis. Walaupun begitu, audit internal yang dilakukan sendiri akan menghasilkan pemecahan yang lebih detail yang mana harapannya akan membawa lebih banyak peningkatan efisiensi di tingkat internal pelayanan kesehatan dan menjadi tanggung jawab kelompok audit.

Pelaksanaan audit perlu diketahui faktor-faktor sub-standard (sub-standard factors/SSF) yaitu masalah manajemen perawatan yang menyangkut perawatan menyimpang dari batas-batas aman praktek yang telah ditentukan dalam panduan, standard, protokol-protokol atau praktek normal, dan yang memiliki potensi untuk menyebabkan hasil merugikan bagi pasien, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk mengetahuinya bisa menggunakan instrumen audit yang berdasarkan pada analisis akar penyebab. Penelitian Vincent (2003) dan Young (2000) membuat instrumen untuk kelompok-kelompok audit perinatal berbasis unit yaitu "6 What Questions". Dengan menjawab keenam pertanyaan ini maka SSF dapat dianalisis, asal-muasal SSF dapat dikenali, mengetahui keterlibatan kelompok petugas kesehatan, penarikan kesimpulan, dan merumuskan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mencegah SSF muncul kembali.

Diem, M dkk (2012) menjelaskan bahwa keberhasilan audit kematian perinatal bisa dilakukan dengan strategi meliputi perencanaan informasi, perencanaan pelatihan dan perencanaan organisasi. Kriteria tim audit harus cukup besar yang meliputi perwakilan ahli bidang kebidanan dan perawatan neonatal di semua tingkat (bidan, perinatologis, dokter umum, bidan praktik swasta dan bidan rumah sakit, perawat bagian kandungan dan anak, dokter anak, ahli neonatalogi, ahli patologi dan ahli genetika). Tim audit mengajukan seorang wakil independen untuk mengikuti setiap pertemuan audit. Sebagai anggota tim, koordinator audit membantu kelompok inti dalam mengorganisir dan mempersiapkan pertemuan-pertemuan audit.

No

Pertanyaan dan sub-pertanyaan

1.

Apa yang Terjadi ?

Siapa saja petugas kesehatan yang terlibat?

2.

Kondisi apa saja yang terdapat SSF ?

contohnya kejadian-kejadian klinis yang mencolok, kerangka waktu, akhir pekan atau hari-hari kerja, kondisi fisik dan mental pasien, situasi lokal, beban kerja petugas kesehatan, dll)

3.

Apa Sebab yang menimbulkan SSF ? (analisis kasus yang muncul)

-      Menyangkut pasien

(misalnya: tekanan, tingkat keseriusan keadaan)

-      Menyangkut tugas

(contoh: ketersediaan protokol dan fasilitas-fasilitas laboratorium)

-      Menyangkut petugas kesehatan

(misal: motivasi, sikap, kecakapan)

-      Menyangkut tim

(komunikasi antara petugas kesehatan, keberadaan supervisi/pengawasan)

-      Lingkungan pekerjaan

(contohnya: pembauran pegawai, ketersediaan staf pendukung)

-      Menyangkut pengelolaan/manajemen

(kultur keselamatan, sumber-sumber keuangan)

Menentukan apakah penyebab-penyebab yang muncul hanya relevan dengan kasus yang dianalisis atau merupakan persoalan struktural dalam organisasi

4.

Apa hubungan antara SSF dan Kematian? (penggolongan keterkaitan)

-       Tidak ada: tidak ada kaitan antara SSF yang teridentifikasi dengan hasil yang muncul

-       Tidak mungkin: nampaknya tidak mungkin bahwa manajemen lain akan menimbulkan hasil yang berbeda

-       Mungkin: manajemen lain mungkin saja dapat membuat perbedaan dalam hasil

-       Bisa jadi: manajemen lain akan dapat diharapkan secara masuk akal untuk memberikan hasil yang berbeda

-       Sangat mungkin: faktor yang jelas dapat dihindari sehingga hasil yang berlawanan dapat dicegah.

5.

Apa kesimpulannya (analisis jawaban 1-4)

Memberikan daftar penyebab satu per satu yang menyebabkan timbulnya SSF

(misalnya supervisi yang tidak memenuhi, kegagalan pemantauan peralatan)

6.

Apa yang harus dilakukan untuk mencegah SSF tidak muncul lagi? (tindakan)

Memberikan daftar tindakan secara berurutan untuk peningkatan perawatan (sebagai contoh membuat program kecakapan dan pelatihan (termasuk membuat daftar nama) untuk semua personel terkait)

Menurut Diem, M dkk (2012) menjelaskan bahwa faktor penghambat dalam pelaksanaan audit perinatal adalah keterbatasan dana. Mengorganisir dan mempersiapkan pertemuan-pertemuan audit serta menyelenggarakan pertemuan-pertemuan tersebut memakan waktu dan oleh karenanya menjadi mahal. Akibatnya, keberlangsungan audit perinatal sangat tergantung pada motivasi para petugas kesehatan dalam menyampaikan perawatan. Selain itu pendidikan dan kerjasama yang baik antara kelompok petugas kesehatan dan penyedia layanan individu adalah prasyarat untuk menyediakan perawatan secara optimal. Walaupun kerjasama maupun pendidikan dianggap mempunyai manfaat tak langsung terhadap kualitas perawatan perinatal.

Daftar Pustaka :

Diem, Mariet et al. (2012). The Implementation of Unit Based Perinatal Mortality Audit in Perinatal Cooperation Units in The Northern Region of The Netherlands. BMC Services Research, 12:195