Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Tanggal 7 Januari 2013 lalu, Joint Commission International (JCI) mengumumkan bahwa edisi baru Standar Akreditasi Rumah Sakit JCI akan segera terbit menggantikan edisi 4 yang saat ini berlaku. Standar Edisi 5 yang telah disusun sejak tahun 2012 ini akan diterbitkan pada tanggal 1 September 2013 dan akan diberlakukan pada tanggal 1 April 2014. Beberapa hal baru dalam edisi ini meliputi proses survey di lapangan, misalnya akan ada survey tanpa pemberitahuan dan beberapa tipe telusur (tracers) baru.

Berita ini mungkin akan mengejutkan bagi beberapa RS yang sedang menyiapkan diri untuk mendapatkan sertifikasi akreditasi dari JCI berdasarkan standar edisi 4, terlebih edisi 4 tersebut juga diadopsi sebagai standar akreditasi KARS versi tahun 2012 dimana terakreditasi KARS dijadikan batu loncatan sebelum terakreditasi internasinoal (JCI). Apakah dengan adanya edisi baru tersebut KARS perlu juga memperbaharusi edisi standarnya? Apakah pengelola RS harus segera mempelajari edisi baru dari JCI ?

Akreditasi RS merupakan salah satu pendekatan pengelolaan mutu yang meliputi semua aspek RS (organisation-wide basis) dengan harapan dapat membangun budaya mutu RS meliputi aspek pembelajaran bagi seluruh staf RS, komunikasi organisasi, kerjasama multidisplin, etika bekerja hingga reputasi rumah-sakit.

Meski standar akreditasi dibutuhkan untuk membangun budaya mutu RS, namun proses membangunnya secara umum sama: memahami dan menetapkan perubahan budaya yang diinginkan (sesuai standar), menilai kondisi yang ada pada saat ini (self asssessment), menyusun rencana kerja, menerapkan rencana kerja (dimulai dari penyusunan dokumen akreditasi, sosialiasi, pelatihan dan supervisi), dan melakukan monitoring evaluasi pemenuhan standar secara periodik.

Bila proses membangun budaya mutu tersebut telah berjalan sehari-hari dimana program akreditasi telah menjadi bagian dari pekerjaan sehari-hari bukan hanya berupa sebuah "project", maka terbitnya sebuah edisi baru dari standar akreditasi tidak akan menjadi sebuah masalah bagi pimpinan dan staf RS. Edisi baru (bahkan standar akreditasi dari lembaga akreditasi yang berbeda) akan langsung masuk kedalam "mesin" budaya mutu RS. (hd)

 

Oleh : Nasiatul Aisyah Salim, SKM.,MPH

artjan28-aisMenetapkan indikator mutu pelayanan klinis, mengukur dan mengevaluasinya secara periodik lalu melakukan intervensi berdasarkan hasil evalusi terbukti efektif meningkatkan mutu. Di Amerika Utara berkurangnya angka kematian di rumah sakit akibat penyakit cardiovascular terutama myocardial infarction akut (AMI) terjadi setelah banyak rumah sakit melaporkan indikator mutu secara rutin untuk membandingkan dan menilai rumah sakit.

 

Berbagai cara dapat dilakukan untuk menetapkan indikator mutu pelayanan klinis, salah satunya dilakukan oleh Hongpeng Sun dan kawan-kawan yang menetapkan 3 jenis indikator mutu yang potensial yaitu indikator struktur, indikator proses dan indikator hasil untuk AMI.

Indikator struktural didefinisikan sebagai aspek lingkungan atau teknis perawatan pasien. Indikator proses atau pengukuran kinerja klinis, meliputi bagaimana dokter menangani pasien. Indikator hasil didefinisikan sebagai perubahan status kesehatan pasien. American Heart Association (AHA) merekomendasikan bahwa aspek struktural perawatan AMI meliputi sarana dan prasarana yang diberikan sejak masa pre-hospitalisasi, IGD, rawat inap dan rawat jalan. Indikator proses didasarkan pada perawatan pharmakologis dan non-pharmakologis sesuai pedoman pelayanan klinis.

Untuk menentukan indikator mutu AMI, Hongpeng Sun dkk menggunakan 3 tahap melalui diskusi panel yaitu :

  1. Menetapkan definisi: Empat panelis dan dua ahli biostatistik dari Harbin diundang dalam pertemuan pertama tatap muka untuk mendiskusikan definisi dari masing-masing indikator, signifikansi klinis dan bagaimana menggunakan indikator.
  2. Menilai indikator mutu yang potensial: Kuesioner penilaian semua indikator dibuat dan dikirim ke anggota panel untuk memperoleh opini ahli. Panelis diminta untuk menilai masing-masing indikator yang potensial sesuai karakteristik berikut : berdasarkan bukti, kegunaan, kamampuan interpretasi, validasi, kemampuan mencegah akibat, kelayakan, dan dugaan secara keseluruhan. Masing-masing karakteristik, menggunakan skala 5 poin : tidak setuju (nilai=1), agak setuju (nilai=2-4), dan setuju (nilai=5).
  3. Menentukan indikator mutu: Dalam diskusi tatap muka kedua, hasil dari penilaian awal dipresentasikan ke para ahli. Panelis mendiskusikan variasi aspek indikator. Fokusnya mendiskusikan apakah indikator ini cocok dengan lingkungan perawatan kesehatan China atau tidak serta menguraikan alasannya. Jika anggota panel setuju ada indikator yang tidak sesuai dengan China maka indikator tersebut dibuang. Opini terakhir para ahli, diambil ketika mencapai sebuah konsensus.

Hasil penetapan indikator mutu pelayanan untuk pelayanan AMI yang disusun oleh Hongpeng Sun adalah sebagai berikut:

  1. Indikator struktur meliputi review administrasi ilmiah rumah sakit, menguatkan peraturan, menaikkan fasilitas medis, dan menjadi latar belakang dasar pemikiran alokasi sumber daya manusia.
  2. Indikator proses meliputi empat indikator pengobatan untuk mengevaluasi prosedur pemberian obat bagai pasien rawat inap meliputi aspirin, clopidogrel, beta-adrenoceptor blocking agent dan terapi thrombolytic.
  3. Indikator hasil meliputi angka kematian di rumah sakit.

Daftar Pustaka :

Hongpeng Sun, Meina Liu & Shuang Hou. Quality Indicators for Acute Myocardial Infarction Care in China. International Journal for Quality in Health Care 2011; Volume 23, Number 4: pp 365-374

 

 

replaIHI

Institute for Healthcare Improvement (www.ihi.org) baru-baru ini mengumumkan bahwa mereka telah mengembangkan alat bantu peningkatan mutu pelayanan kesehatan secara on-line yang disebut sebagai "The IHI Improvement Map". Tools ini menyediakan pedoman yang jelas untuk para pengelola sarana pelayanan kesehatan terutama manajer rumah-sakit untuk menetapkan agenda, memilih prioritas, mengorganisasi kegiatan dan mengelola sumber daya secara efisien dalam upaya peningkatan mutu.

IHI telah mengeluarkan versi percobaan pada bulan Juni 2009, namun demikian versi sebenarnya baru akan dikeluarkan pada bulan September 2009. Pada versi ini para fasilitator upaya peningkatan mutu akan mendapatkan akses interaktif, web-based, yang akan menyediakan informasi terbaik secara manajerial dan klinis untuk membantu rumah-sakit menyediakan pelayanan yang terbaik.

Halaman awal web ini akan ditampilkan pilihan tujuan peningkatan mutu sesuai prioritas yang ditetapkan oleh Institute of Medicine, yang dapat dipilih para pengguna, yaitu: Efektifitas; Efisiensi; Keadilan; Fokus kepada pasien; Keselamatan; dan Ketepatan waktu. Berdasarkan tujuan yang dipilih kemudian akan disajikan berbagai upaya peningkatan mutu yang pernah dilakukan berikut dengan hasil, waktu, biaya dan kesulitan serta level evidence-nya. Lebih lanjut setiap upaya tersebut juga dapat dibaca secara detail untuk mempelajari indikator keberhasilan yang digunakan, hubungannya dengan inisiatif nasional, instrumen dan referensi lain yang digunakan.

Informasi lebih lanjut pada:

http://www.ihi.org/IHI/Programs/ImprovementMap/ImprovementMapPreview.htm

Meski tools ini didesain terutama untuk digunakan oleh rumah-sakit di Amerika, tidak ada salahnya kita pelajari dengan baik untuk kemudian kita kembangkan tools serupa bagi rumah-sakit di Indonesia demi kemajuan bangsa. Dirgahayu Indonesia !

 

 

Implementasi Clinical Pathway Untuk Kendali Mutu
dan Kendali Biaya Pelayanan Kesehatan

Banyak jalan menuju Roma. Supaya tidak bingung, bacalah peta!

drg. Puti Aulia Rahma, MPH
(seperti ditulis dalam Majalah Dental&Dental edisi Januari-Februari 2013)

Ada yang bilang bahwa proses perawatan pasien adalah proses yang sarat seni "bernilai tinggi". Kalimat di atas tidak melulu salah melihat kenyataan bahwa dalam merawat pasien, dokter kadang memberikan pelayanan yang bervariasi sesuai denga ilmu pengetahuan dan "rasa" yang dimilikinya. Ada kalanya, variasi ini memang diperlukan, mengingat masing-masing pasien juga memiliki variasi kondisi tubuh saat bereaksi terhadap obat dan penyakit yang dideritanya. Namun tidak jarang, variasi yang diberikan malah tidak perlu dan bahkan beresiko membebani pasien. Beban yang paling "mudah" dirasakan adalah beban biaya. Agar kondisi seperti ini bisa dikendalikan, implementasi clinical pathway bisa menjadi jawaban.

Clinical pathway adalah alur yang menunjukkan secara detail tahap-tahap penting dari pelayanan kesehatan termasuk hasil yang diharapkan. Secara sederhana dapat dibilang bahwa clinical pathway adalah sebuah alur yang menggambarkan proses mulai saat penerimaan pasien hingga pemulangan pasien. Clinical pathway menyediakan standar pelayanan minimal dan memastikan bahwa pelayanan tersebut tidak terlupakan dan dilaksanakan tepat waktu. Clinical pathway memiliki banyak nama lain seperti: Critical care pathway, Integrated care pathway, Coordinated care pathway, Caremaps®, atau Anticipated recovery pathway.

Menurut dr. Hanevi Djasri, MARS, konsultan dari PMPK FK UGM, terdapat sekitar tujuh tujuan utama implementasi clinical pathway: (1) memilih pola praktek terbaik dari berbagai macam variasi pola praktek, (2) menetapkan standar yang diharapkan mengenai lama perawatan dan penggunaan prosedur klinik yang seharusnya, (3) menilai hubungan antara berbagai tahap dan kondisi yang berbeda dalam suatu proses dan menyusun strategi untuk mengkoordinasi agar dapat menghasilkan pelayanan yang lebih cepat dengan tahap yang lebih sedikit, (4) memberikan informasi kepada seluruh staf yang terlibat mengenai tujuan umum yang harus tercapai dari sebuah pelayanan dan apa peran mereka dalam proses tersebut, (5) menyediakan kerangka kerja untuk mengumpulkan dan menganalisa data proses pelayanan sehingga penyedia layanan dapat mengetahui seberapa sering dan mengapa seorang pasien tidak mendapatkan pelayanan sesuai dengan standar, (6) mengurangi beban dokumentasi klinik, (7) meningkatkan kepuasan pasien melalui peningkatan edukasi kepada pasien (misalnya dengan menyediakan informasi yang lebih tepat tentang rencana pelayanan).

Secara konvensional, clinical pathway ditulis dalam bentuk fomulir matrix dengan aspek pelayanan di satu sisi, dan waktu pelayanan disisi yang lain (gambar 1). Interval waktu biasanya dalam hitungan hari mengikuti instruksi klinik harian, namun hal ini dapat berbeda tergantung dari perjalanan dan perkembangan penyakit atau tindakan yang ada (misalnya clinical pathway untuk penyakit kronis mungkin memilik interval waktu perminggu atau bulan). Umumnya clinical pathway dikembangkan untuk diagnosa atau tindakan yang sifatnya "high-volume", "high-risk" dan "high-cost". Clinical pathway banyak dikembangkan di rumah sakit, namun saat ini secara bertahap sudah mulai diperkenalkan ke sarana pelayanan kesehatan lain seperti nursing home dan home healthcare.

formclinpath

Gambar 1. Formulir Clinical Pathway Konvensional

Menurut dr. Hanevi Djasri, MARS, berbagai proses dapat dilakukan untuk menyusun clinical pathway, salah satunya terdiri dari beberapa tahap sebagai berikut:

  1. Pembentukan tim penyusun clinical pathway.
    Tim penyusun clinical pathway terdiri dari staf multidisplin dari semua tingkat dan jenis pelayanan. Bila diperlukan, tim dapat mencari dukungan dari konsultan atau institusi diluar RS seperti organisasi profesi sebagai narasumber. Tim bertugas untuk menentukan dan melaksanakan langkah-langkah penyusunan clinical pathway.
  2. Identifikasi key players.
    Identifikasi key players bertujuan untuk mengetahui siapa saja yang terlibat dalam penanganan kasus atau kelompok pasien yang telah ditetapkan dan untuk merencanakan focus group dengan key players bersama dengan pelanggan internal dan eksternal
  3. Pelaksanaan site visit di rumah sakit.Pelaksanaan site visit di rumah sakit bertujuan untuk mengenal praktik yang sekarang berlangsung, menilai sistem pelayanan yang ada dan memperkuat alasan mengapa clinical pathway perlu disusun. Jika diperlukan, site visit internal perlu dilanjutkan dengan site visit eksternal setelah sebelumnya melakukan identifikasi partner benchmarking. Hal ini juga diperlukan untuk mengembangkan ide.
  4. Studi literatur.
    Studi literatur diperlukan untuk menggali pertanyaan klinis yang perlu dijawab dalam pengambilan keputusan klinis dan untuk menilai tingkat dan kekuatan bukti ilmiah. Studi ini sebaiknya mengasilkan laporan dan rekomendasi tertulis.
  5. Diskusi kelompok terarah.
    Diskusi kelompok terarah atau Focus Group Discussion (FGD) dilakukan untuk mengenal kebutuhan pelanggan (internal dan eksternal) dan menyesuaikan dengan kemampuan rumah sakit dalam memenuhi kebutuhan tersebut serta untuk mengenal kesenjangan antara harapan pelanggan dan pelayanan yang diterima. Lebih lanjut, diskusi kelompok terarah juga perlu dilakukan untuk memberi masukan dalam pengembangan indikator mutu pelayanan klinis dan kepuasan pelanggan serta pengukuran dan pengecekan.
  6. Penyusunan pedoman klinik.
    Penyusunan pedoman klinik dilakukan dengan mempertimbangkan hasil site visit, hasil studi literatur (berbasis bukti ilmiah) dan hasil diskusi kelompok terarah. Pedoman klinik ini perlu disusun dalam bentuk alur pelayanan untuk diketahui juga oleh pasien.
  7. Analisis bauran kasus.Analisis bauran kasus dilakukan untuk menyediakan informasi penting baik pada saat sebelum dan setelah penerapan clinical pathway. Meliputi: length of stay, biaya per kasus, obat-obatan yang digunakan, tes diagnosis yang dilakukan, intervensi yang dilakukan, praktisi klinis yang terlibat dan komplikasi.
  8. Menetapkan sistem pengukuran proses dan outcome.
    Contoh ukuran-ukuran proses antara lain pengukuran fungsi tubuh dan mobilitas, tingkat kesadaran, temperatur, tekanan darah, fungsi paru dan skala kesehatan pasien (wellness indicator).
  9. Mendisain dokumentasi clinical pathway.
    Penyusunan dokumentasi clinical pathway perlu memperhatikan format clinical pathway, ukuran kertas, tepi dan perforasi untuk filing. Perlu diperhatikan bahwa penyusunan dokumentasi ini perlu mendapatkan ratifikasi oleh Instalasi Rekam Medik untuk melihat kesesuaian dengan dokumentasi lain.

Setelah clinical pathway tersusun, perlu dilakukan uji coba sebelum akhirnya diimplementasikan di rumah sakit. Saat uji coba dilakukan penilaian secara periodik kelengkapan pengisian data dan diikuti dengan pelatihan kepada para staf untuk menggunakan clinical pathway tersebut. Lebih lanjut, perlu juga dilakukan analisis variasi dan penelusuran mengapa praktek dilapangan berbeda dari yang direkomendasikan dalam clinical pathway.

Hasil analisis digunakan untuk: mengidentifikasi variasi umum dalam pelayanan, memberi sinyal kepada staf akan adanya pasien yang tidak mencapai perkembangan yang diharapkan, memperbaiki clinical pathway dengan menyetujui perubahan dan mengidentifikasi aspek-aspek yang dapat diteliti lebih lanjut. Hasil analisis variasi dapat menetapkan jenis variasi yang dapat dicegah dan yang tidak dapat dicegah untuk kemudian menetapkan solusi bagi variasi yang dapat dicegah (variasi yang tidak dapat dicegah dapat berasal dari penyakit penyerta yang menyebabkan pelayanan menjadi kompleks bagi seorang individu).

Dengan implementasi clinical pathway, diharapkan pasien benar-benar mendapat pelayanan yang dibutuhkan sesuai kondisinya sehingga biaya yang dikeluarkan pun dapat sesuai dengan perawatan yang diterima dan hasil yang diharapkan. Adanya clinical pathway juga dapat membantu dokter saat melakukan perawatan. Rincian tahapan-tahapan perawatan pasien yang tertera dalam clinical pathway dapat menjadi panduan dokter saat "beraksi". Memang, banyak cara untuk menangani sesuatu, seperti banyaknya jalan menuju Roma. Tetapi bila sering nyasar, maka akan memakan waktu yang panjang untuk mencapai tujuan dan berdampak pada tingginya biaya yang harus dikeluarkan. Oleh karena itu... bacalah peta sebagai panduan.