Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

agenda

kuntIHQN-Yogyakarta. Dalam seminar yang dibawakan oleh dr. Kuntjoro Adi Purjanto, M.Kes sebagai Ketua PERSI ini, beberapa hal yang disampaikan adalah untuk memerankan seorang Direktur tampaknya akan lebih paham jika sebagai arsitektur dalam manajemen, yang paling sulit dan penting adalah “Management Mindset”. Diperlukan seorang Direktur yang bukan sekedar manajer, bukan sekedar leader, mempunyai jiwa intership, mempunyai jiwa interprenuership dan driver dalam mengubah attitute.

Industri Rumah Sakit berbeda dengan industri lainnya dan masih ada Direktur Rumah Sakit yang berpikir sebagai passenger bukan sebagai driver. Seharusnya seorang Direktur Rumah Sakit berperan dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pelaporan program PMKP di Rumah Sakit, mendorong budaya mutu dan keselamatan pasien di Rumah Sakit, dan membangun sistem manajemen mutu dan keselamatan.

Dalam sesi tanya jawab, pembicara mendapatkan satu pertanyaan yaitu melihat konteks Rumah Sakit, perubahan yang banyak dan semua harus segera diselesaikan, adakah perubahan atau hak-hak Rumah Sakit dalam akreditasi untuk tahun 2019?, pertanyaan ini langsung dijawab oleh pembicara bahwa peran persi saat ini sedang begerak menjadi power dengan melalui pemegang kebijakan. Tenaga di Rumah Sakit nantinya akan dibagi menjadi 3 bilik yakni pertama, tenaga yang ahli dibidang teknis, kedua, tenaga yang berkompetensi leadership, dan tenaga yang ahli dalam public relation.

Reporter : Agus Salim, S.KM., MPH

 

eka vioraIHQN-Yogyakarta. Dalam penguatan pelayanan kesehatan diharapkan terwujudnya akses pelayanan kesehatan dasar dan rujukan yang berkualitas bagi masyarakat. Terdapat 2 upaya program yang dilakukan saat ini yaitu peningkatan akses berupa sarana dan prasarana, kompetensi SDM dan ketersediaan alat kesehatan, dan peningkatan mutu berupa akreditasi Rumah Sakit dan Puskesmas. Upaya ini didukung dengan regulasi dan sistem informasi yang ada, diharapkan ke depan masyarakat mendapatkan pelayanan yang berkualitas dapat terwujud.

Pelayanan kesehatan yang berkualitas terdiri dari 3 perspektif yaitu perspektif pertama dari pelayanan kesehatan itu sendiri berupa perspektif pasien dimana pelayanan sesuai dengan harapan, perspektif professional dimana pelayanan mengikuti prosedur dan evidence-based dan perspektif manajemen dimana pelayanan berjalan dengan efektif dan efisien.

Perspektif kedua yaitu perspektif dari sistem pelayanan yang ada jika terdapat kesinambungan pelayanan mulai dari primer hingga rujukan baik rujukan tingkat kabupaten, provinsi dan nasional maupun rujukan balik dan terakhir perspektif dari public health jika pelayanan kesehatan menjangkau dan dapat diakses oleh semua orang yang membutuhkan.

Dalam era JKN, mutu pelayanan kesehatan dalam Permenkes Nomor 99 Tahun 2016 sebagai revisi dari Permenkes Nomor 71 Tahun 2014 bahwa pihak BPJS mau bekerjasama dengan pelayanan kesehatan yang berkualitas yang telah terakreditasi dengan batas waktu Puskesmas sudah harus terakreditasi di tahun 2021 dan Rumah Sakit di tahun 2019.

Upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang telah ada dengan melalui mekanisme perijinan, sertfikasi, dan akredeitasi. Selain itu, terdapat upaya inovasi peningkatan mutu dengan pengembangan tim quality assurance, pengembangan sistem peningkatan kinerja klinis, penerapan standar ISO, penerapan audit mutu dan pengembangan clinical pathways akan tetapi tidak berjalan secara berkelanjutan dan tidak dilakukannya evaluasi untuk menilai efektivitas. Adanya urgensi kerangka kerja nasional dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan diharapkan dapat memberikan penjelasan mengenai area mana yang akan diprioritaskan, apa saja upaya yang perlu dilakukan, tugas dan kewenangan dari berbagai pihak yang ikut terlibat untuk semua stakeholder dan membuat berbagai upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan menjadi lebih baik untuk meningkatkan keselamatan, equity, efisiensi, akses dan akseptabilitas.

Reporter : Agus Salim, S.KM., MPH

 

keynote2

IHQN-Yogyakarta. Dalam era JKN ini, tenaga kesehatan adalah sebuah the game changer. Tenaga kesehatan harus bekerja sesuai dengan tuntutan untuk memiliki standar-standar yang baru yang sangat berbeda dengan era sebelumnya, memiliki kapasitas bagaimana untuk menghandle demand yang baru dan mampu beradaptasi, mengadopsi dan memodifikasi cara bekerjanya supaya sesuai dengan tuntutan yang baru.

Jika melihat siituasi dilapangan, rumah sakit memiliki antrian yang panjang dalam melayani pasien, masih ada satu dokter memeriksa banyak pasien, kendali mutu kendali biaya masih bisa teratasi atau tidak, dan masih adanya mal-aligning antara struktural melihat pada paradigma efisiensi dan fungsional melihat pada paradigma efektiveness.

Training development dalam SDM memiliki peranan penting, semakin baik institusi melakukan seleksi maka tidak sulit bagi pihak Rumah Sakit, Puskesmas atau institusi dinas dalam melakukan training development karena SDM yang datang sudah sesuai dengan institusi harapkan. Diharapkan dengan adanya training dapat mereduksi gap dalam sebuah institusi yaitu pengetahuan, sikap, kemampuan, stres dan komunikasi. Sedangkan adanya training dalam lingkup bakat dapat meningkatkan kinerja berupa kompetensi, engagement dan kontribusi.

Topik-topik training untuk saat ini belum menjadi perhatian dan masih menjadi persyaratan untuk akreditasi. Adanya re-desain training program yaitu visi training, tujuan training, model training, insentif dan penilaian, diharapkan Rumah Sakit mampu melakukan training-training yang lebih spesifik agar dapat survive. Training diharapkan dapat menyeimbangkan para tenaga kesehatan baik di Rumah Sakit maupun Puskesmas, dapat mengatasi atau menahan demand dengan kapasitas yang baik. Adanya training dapat memperkuat job resource dalam menghadapi job demand dan mengarahkan job crafting sehingga para tenaga kesehatan dapat nyaman bekerja di institusinya.

Reporter : Agus Salim, S.KM., MPH

 

prof iwanIHQN-Yogyakarta. Dalam mengatasi permasalahan yang menjadi fokus perhatian di bidang obat terdapat piramida permasalahan yaitu efikasi obat relatif terbatas, diagnosis tidak selalu tepat, medication error banyak terjadi, biaya terapetik tidak terjangkau, dan kendali mutu dan kendali biaya yang sulit.

Obat sebagai sebuah instrumen periodik tidak sepenuhnya menimbulkan hasil. Dalam studi, sekitar 75% dari 1000 pasien tidak minum/ menggunakan obat sesuai dengan petunjuk, 30% diantaranya tidak refill obat yang seharusnya direfill dan 20-22% tidak refill obat pada penyakit kronis. Banyak penyakit kanker terjadi bukan karena kurangnya obat tetapi telatnya dalam mendiagnosis. Dalam studi di Amerika tahun 2016, terdapat 18 juta kesalahan diagnosis dan 74 ribu diantaranya menyebabkan kematian tiap tahun.

Permasalahan medication error masih banyak terjadi dalam sistem pelayanan kesehatan yaitu 39% prescribing disebabkan kesalahan tenaga dokter, 12 % transcribing dan 11% dispensing disebabkan oleh tenaga farmasi,dan 38% administering disebabkan oleh tenaga perawat. Dalam studi tahun 2012, terdapat 1 dari 5 pasien di Rumah Sakit pasti mengalami medication error dan kecil sekali tiap orang memahami kesalahan tersebut. Selain itu, 2/3 diantaranya dokter tidak menulis efek samping dari peresepan obat yang diberikan kepada pasien.

Masih ada beban biaya yang terlalu besar dibandingkan dengan kontribusi masyarakat, dimana terdapat 180 juta penduduk yang menjadi peserta BPJS dan 192 juta penduduk yang memanfaatkan pelayanan BPJS. “Diantara yang menjadi anggota BPJS yang membayar tiap bulan per tahun ada berapa persen yang rutin membayar?” kata Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, M.Med.Sc., Ph.D Turbolensi ini bisa terjadi di era JKN dan harus sesuai dengan fornas, sehingga seorang dokter tidak boleh memberikan resep diluar dari formularium.

Untuk mengurangi risiko re-admisi perlu dilakukan implementasi “bundle-intervention” berupa intervensi pra-discharge, intervensi antara dan intervensi post-discharge. Medication management di era JKN perlu memperhatikan efisiensi penggunaan teknologi diagnostik, resepkan obat yang terbukti paling efficacious berbasis EBM, diagnosis harus tepat agar terapi bermanfaat, komunikasi dan informasi akurat, minimalkan risiko medication error dan libatkan pasien dalam proses terapetik.

Reporter : Agus Salim, S.KM., MPH