Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Oleh : Christina Maria Aden MPH

Menurut Kongstvedt (2000) perilaku praktik dari dokter merupakan unsur terpenting dalam kendali biaya dan mutu pada sistem managed care. Dokter yang mempraktikkan ilmu kedokteran yang berkualitas tinggi dengan biaya yang efisien merupakan cara terbaik untuk mencapai keberhasilan. Penolakan yang paling sering timbul oleh para dokter terhadap kendali biaya dan kendali mutu adalah bahwa sistem ini akan mengurangi mutu layanan. Padahal menurut Mukti (2007) bahwa layanan yang bermutu justru dapat menciptakan efisiensi yang luar biasa.

Sampai sejauh ini beberapa penelitian menemukan bahwa persepsi dokter terhadap pelayanan kesehatan yang terkelola sebagian besar masih negatif. Penelitian terhadap sejumlah dokter keluarga di Medan menemukan bahwa sekitar 60 % responden masih memiliki persepsi negatif terhadap managed care (Karyati, Mukti & Nusyirwan, 2004).

Penelitian di Ontario menemukan bahwa walaupun dokter ingin memberikan layanan yang terbaik bagi pasiennya, tapi dokter seringkali tidak menyadari dirinya sebagai bagian dari pengendalian biaya kesehatan (Suggs et al, 2009). Penelitian Tietze (2003) mendapatkan bahwa persepsi positif terhadap managed care justru lebih dijumpai pada petugas administrasi pada layanan kesehatan dibandingkan para dokternya.

Sebagai salah satu penerapan kendali biaya dan kendali mutu, formularium obat juga masing mengundang persepsi beragam dari para dokter. Suggs et al (2009) menemukan bahwa sejumlah dokter di Ontario memiliki persepsi negatif tentang formularium obat. Menurut mereka formularium hanya membatasi dokter dalam penulisan resep. Khan et al (2008) dalam penelitiannya di Minnesota mendeskripsikan persepsi positif dari para dokter tentang pentingnya meminimalkan copayment pasien untuk obat.

Menurut Anggriani (2002) pemakaian formularium milik rumah sakit sebenarnya mengakomodasi permintaan dokter. Masih belum dapat dipungkiri bahwa tantangan terbesar adalah adanya kepentingan yang saling menguntungkan antara dokter dan perusahaan farmasi (Rothman et al, 2006). Keadaan ini bisa menyebabkan besarnya komponen biaya obat dalam klaim rawat inap.

Oleh : Nasiatul Aisyah Salim SKM.,MPH

art-14ags-2Kematian neonatal telah menyumbang sekitar 40 % dari perkiraan 7,7 juta kematian dibawah 5 tahun pada tahun 2010 (Rajaratnam et al, 2010). Dan 50 % persen kematian neonatal diperkirakan terjadi pada hari pertama setelah kelahiran dan 25 % terjadi pada akhir minggu pertama (Lawn et al, 2005). Sekitar 80 % kematian neonatal disebabkan oleh intra-partum asphyxia, infeksi dan complications of premature birth yang mana ketiganya sebagian besar dapat dicegah atau diobati jika kesehatan yang terencana disediakan selama intra partum dan periode pasca persalinan dini (Lawn et al, 2005 & 2010).

Di Ghana, 40 % kematian neonatal berasal dari kematian anak dibawah 5 tahun. Padahal strategi medis untuk menyelamatkan nyawa bayi yang baru lahir telah dilakukan dengan baik seperti biaya untuk pengaturan sumber daya yang rendah. Namun intervensi tersebut tidak dapat diterapkan jika ibu dan bayi baru lahir tidak mengakses perawatan kesehatan selama intrapartum dan pasca persalinan awal. Di daerah pedesaan Ghana, penyediaan post-natal care (PNC) memiliki cakupan yang rendah yaitu 43 % dibandingkan di daerah perkotaan 84 %. Adanya persepsi budaya menjadi penunda dalam mencari perawatan untuk bayi sakit. Selain itu, tidak adanya kebijakan pencegahan pada perawatan minggu pertama kehidupan.

Dalam rangka mengurangi angka kematian neonatal, oktober 2008 Ghana Health Service (GHS) mengusulkan kebijakan baru mengenai post-natal yaitu mempromosikan kesehatan yang terampil selama persalinan, pasca-partum dan pengawasan dalam minggu pertama kehidupan untuk mendorong perilaku sehat dan mendeteksi tanda peringatan dini penyakit pada ibu dan anak. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan quality improvement (QI) yang dilakukan untuk memperbaiki akses intra-partum dan awal PNC dalam kelompok jaringan fasilitas kesehatan yang dikenal 'Improvement Collaboration' sebagai tahap pertama dari proyek quality improvement Nasional. Komponen lain dari proyek Quality improvement adalah memfokuskan pada perawatan antenatal dan perawatan anak dibawah 5 tahun.

Tim QI dari masing-masing fasilitas kesehatan menguji kelayakan pelaksanaan kebijakan baru PNC selama 10 bulan (oktober 2008-Juli 2009) dengan mengembangkan checklist untuk membantu bidan dan perawat dalam menyaring kondisi dengan resiko tinggi pada periode antenatal dan perinatal. Selain itu, tim QI setiap 3-4 bulan mengadakan pertemuan (lokakarya) di tingkat kabupaten untuk belajar metode dalam mengidentifikasi kegagalan proses di dalam system kesehatan di daerah mereka, mengembangkan dan menguji ide-ide lokal untuk meningkatkan proses perawatan (gagasan perubahan), mengukur apakah perubahan tersebut merupakan faktor utama untuk perbaikan dan berbagi kemajuan dengan rekan-rekan.

Hasil selama 24 bulan, terjadi peningkatan PNC awal dari rata-rata 15 % menjadi 71 % untuk kunjungan dalam 48 jam pertama dan dari 0 % menjadi 53 % untuk kunjungan pada hari ke 6 atau 7. Namun terjadi peningkatan yang lambat dalam pengiriman terampil (rata-rata dari 56 % menjadi 82 %) dalam jangka waktu 35 bulan.
Kesimpulannya, adanya kegunaan pendekatan QI dalam pengujian, pelaksanaan dan scaling. Pendekatan ini memberikan model untuk meningkatkan pelaksanaan kebijakan kesehatan nasional untuk mempercepat pencapaian tujuan pembangunan Milenium di Ghana dan Negara dengan sumber daya minim.

Referensi :

Nana AY et al (2013) Using Quality Improvement Methods to Test and Scale Up a New National Policy on Early Post-natal Care in Ghana. Health Policy and Planning

Oleh : Christina Maria Aden MPH

Penyelenggaraan jaminan kesehatan menggunakan prinsip-prinsip managed care yaitu suatu teknik yang mengintegrasikan pembiayaan dan pelayanan kesehatan melalui penerapan kendali biaya dan kendali mutu yang bertujuan untuk mengurangi biaya pelayanan yang tidak perlu dengan cara meningkatkan kelayakan dan efisiensi pelayanan kesehatan (Mukti, 2009). Managed care bertujuan untuk memberi pelayanan kesehatan yang bermutu tinggi dengan biaya yang bersaing (Kongstvedt, 2000). Teknik managed care dimaksudkan untuk meniadakan moral hazard dalam pelayanan kesehatan yang dapat mengakibatkan kerugian kesejahteraan masyarakat.

Organisasi managed care mempunyai ciri-ciri menjalin kontrak dengan penyedia pelayanan kesehatan (PPK), pembayaran pra upaya, utilization review, pelayanan berjenjang, program jaminan mutu dan kesesuaian ganti rugi dengan jasa dokter dan rumah sakit (Health Insurance Association of America, 2008a). Pengendalian biaya layanan kesehatan dengan cara managed care dilakukan dari dua sisi yaitu dari sisi PPK (supply) dan dari sisi peserta (sisi demand).

  1. Kendali biaya dari sisi PPK (supply)
    1. Metode pembayaran fasilitas kesehatan.
      Menurut Liu & Mills (2007), metode pembayaran PPK yang ideal hendaknya mampu mendorong ke arah kendali biaya, jaminan mutu dan efisiensi internal. Selain itu disertai dengan tidak memberikan insentif kepada PPK yang memberikan pelayanan berlebihan atau bahkan sebaliknya dibawah standar.
    2. Utilization Review
      Utilization review merupakan suatu metode untuk menjamin mutu pelayanan terkait penghematan biaya. Mekanisme pengendalian biaya utilization review dengan memeriksa apakah pelayanan secara medis perlu diberikan dan apakah pelayanan diberikan secara tepat. Utilization review memiliki keuntungan yang jelas dan telah dipraktekkan oleh banyak perusahaan asuransi yaitu mengevaluasi ketepatan penggunaan pelayanan kesehatan agar menghilangkan dan mengurangi hal-hal yang tidak perlu serta resiko potensial pasien.
    3. Standarisasi Pelayanan. 
      Upaya pelayanan kesehatan untuk melakukan kendali biaya sekaligus kendali mutu adalah dengan menerapkan suatu standarisasi pelayanan. Salah satu bentuk standarisasi pelayanan kesehatan adalah dalam bentuk formularium obat. Obat merupakan komoditi menarik dari industri rumah sakit. Obat bahkan mencapai lebih dari 40 % komponen biaya pelayanan kesehatan. Peningkatan biaya kesehatan bisa disebabkan karena pemakaian obat diluar formularium yang telah disepakati (Adipratikto, 2004). Kondisi ini diperparah dengan kondisi dokter yang kurang peduli dengan harga obat yang diresepkan dan seringkali merasa tidak cocok dengan formularium yang berlaku (khan et al, 2008). Formularium obat merupakan suatu daftar obat yang disediakan untuk memebuhi kebutuhan medis dengan jenis obat yang dinilai lebih efektif dan lebih efisien (Kongstvedt, 2009). Nama obat yang tercantum dalam formularium adalah nama generik. Saat ini pemanfaatan obat generik di rumah sakit pemerintah belum mencapai 76 % (Depkes, 2009b). Kewajiban menggunakan obat generik pada PPK milik pemerintah diatur dalam Peraturan menteri kesehatan no HK 02.02 Tahun 2010 tentang kewajiban menggunakan obat generik di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah (kemenkes, 2010)
  2. Kendali Mutu. 
    Perusahaan asuransi, pembayar dan penanggung biaya layanan kesehatan memiliki persepsi yang berbeda tentang layanan kesehatan yang bermutu. Bagi suatu penjamin biaya layanan kesehatan, layanan kesehatan yang bermutu adalah layanan yang efisien dan dapat memberikan kepuasan kepada pasien. Sedangkan pengertian mutu secara luas dan komprehensif dari Cosby (1984), Donabedian (1980) dan Zeithaml e al (1990) adalah sejauh mana realisasi layanan kesehatan yang diberikan sesuai dengan kriteria dan standar profesional medis terkini dan baik yang sekaligus telah memenuhi atau bahkan melebihi kebutuhan dan keinginan pelanggan dengan tingkat efisiensi yang optimal (Mukti, 2007).

Menurut Brown et al (1990) mutu merupakan fenomena yang komprehensif dan multi faset yang memiliki beberapa dimensi dalam menjaga mutu yaitu kompetensi teknis, akses terhadap pelayanan, efektifitas, hubungan antar manusia, efisiensi, kelangsungan pelayanan, keamanan dan kenyamanan. Diantara 8 dimensi mutu tersebut, efisiensi pelayanan kesehatan merupakan dimensi yang penting karena efisiensi akan mempengaruhi hasil pelayanan kesehatan, apalagi sumber daya pelayanan kesehatan pada umumnya terbatas.

Menurut Mukti (2007) terdapat beberapa aktifitas yang dapat dilakukan untuk pencapaian mutu diantaranya manajemen risiko, utilization review (UR), peer review, indikator, prosedur tetap, audit medis, clinical pathway, algoritma. Bagi penjamin biaya layanan kesehatan, aktivitas yang biasa dilakukan untuk pencapaian mutu adalah melalui utilization review.

Berdasarkan waktu pelaksanaannya UR dapat dikelompokkan menjadi Prospective Review, Consurrent Review dan Retrospektif (HIAA, 2008). Prospective review merupakan UR yang digunakan untuk menentukan kebutuhan pelayanan kesehatan yang dilakukan sebelum pelayanan kesehatan diberikan, utamanya untuk penggunaan pelayanan di rumah sakit. Beberapa cara kajian jenis ini adalah case management, preadmission certification, outpatient presertification, referral authorization and second opinion (Kongstvedt, 2009). Concurrent review merupakan UR yang dilakukan ketika pelayanan diberikan kepada pasien. Tekniknya yang digunakan adalah menilai Length of stayed (LOS), Discharge planning dan continued stay Review. Retrospective review adalah UR yang dilakukan setelah pelayanan diberikan kepada pasien. Retrospective review umumnya dilakukan dengan claim review dan pattern review. Claim review merupakan kajian terhadap klaim:apakah klaim sesuai dengan paket manfaat yang disepakati atau apakah ada kekeliruan pada klaim. Pattern review melakukan kajian terhadap pola pemanfaatan pelayanan kesehatan sehingga diperoleh pola pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh peserta dan PPK serta pembiayaan pada msing-masing unit Penyedia Pelayanan Kesehatan (Hendrartini, 2010b). Salah satu indikator mutu pelayanan kesehatan dalam UR adalah kepuasan pasien (Hendrartini, 2009b)

Referensi :

Christina, M (2012) Implementasi kendali biaya dan kendali mutu pelayanan kesehatan program jaminan kesehatan daerah Kutai Kartanegara di RSUD Parikesit Tenggarong. Tesis. Universitas Gadjah Mada

Oleh : Nasiatul Aisyah Salim SKM.,MPH

art-14agsKesejangan antara pedoman berbasis bukti dan praktek dalam perawatan kesehatan sangatlah luas yang mana angka kematian ibu dan anak tinggi meskipun tersedia intervensi yang cost-effective. Pada tahun 2010, hanya 19 dari 68 negara yang telah mencapai Millenium Development Goal 4 (Pengurangan dua pertiga angka kematian pada anak kurang dari 5 tahun selama 1990-2015).

Program Departemen Kesehatan untuk kesehatan ibu, bayi dan anak mencakup promotif, preventif dan kuratif. Meskipun program tersebut nasional, implementasinya sangat bervariasi di tingkat kabupaten. Hal ini disebabkan tantangan sistem kesehatan termasuk kepemimpinan, manajemen, penggunaan data lokal untuk pengambilan keputusan dan tantangan masyarakat seperti sosiokultural, hambatan geografi dan finansial dalam mengakses perawatan kesehatan.

Juli 2008, The Institute for Healthcare Improvement (IHI), the National Catholic Health Service (NCHS) dan The Ghana Health Service (GHS) bekerjasama untuk membangun proyek 'Fives Alive'. GHS menyediakan sekitar 70 % dari perawatan kesehatan di sektor publik, sedangkan NCHS menyediakan sekitar 25 %. Keduanya adalah lembaga pelayanan dari Departemen kesehatan. IHI adalah organisasi yang berbasis di Amerika non pemerintah yang menggunakan quality improvement sebagai metode untuk meningkatkan hasil kesehatan. Proyek 'Fives Alive' bertujuan untuk menguji efektivitas quality improvement sebagai cara untuk mempercepat pencapaian MDG 4 sampai implementasi yang luas dan dapat diandalkan dari program nasional KIA.

Metode Quality Improvement (QI) yang digunakan dalam proyek ini didasarkan pada Model For Improvement (MFI) dan IHI Improvement Collaborative Model. MFI memerlukan pengembangan tujuan yang jelas yang dibagi dalam sistem tertentu, transparan dan seringnya pemantauan data untuk menentukan pengaruh perubahan system, ide untuk perbaikan yang diikuti oleh siklus PDSA (Plan-Do-Study-Act) untuk pengujian, pembelajaran dan perbaikan yang berkesinambungan. Sedangkan model peningkatan kolaboratif yaitu menyatukan staf kesehatan dari fasilitas yang berbeda untuk berbagi dan belajar dari satu sama lain untuk mempercepat peningkatan diseluruh jaringan. Desain ini cukup fleksibel untuk beradaptasi dengan konteks lokal, tidak memerlukan sumber daya yang besar dan dipromosikan keberlanjutannya dengan melibatkan kepemimpinan lokal dan penggunaan metode QI untuk pemimpin, manajer dan staf di lini depan.

Diagram pendorong pencegahan kematian anak merupakan pengembangan yang berasal dari ide-ide perubahan yang mana akan diuji, diadaptasi atau diterapkan dalam proyek ini dengan mengumpulkan pendorong primer (penyebab kematian balita) dalam konteks pedesaan di Ghana yang masing-masing menjadi titik fokus untuk diuji. Awalnya diagram ini didasarkan pada data yang tersedia dan hasil penilaian kontekstual. Berikut diagram pendorong pencegahan kematian Anak di Ghana

 

art-14ags-3

Gambar. Diagram Pendorong Pencegahan Kematian Anak di Ghana

Keberhasilan utama pada proyek ini adalah (1) keterlibatan pemangku kepentingan lokal untuk meningkatkan kinerja sistem, (2) kapasitas dari pemimpin, manajer dan penyedia pelayanan kesehatan lini depan dalam metode QI, (3) penggabungan ide lokal kedalam perubahan. Namun dalam mewujudkan implementasi ini terdapat tantangan yang perlu diketahui meliputi komitmen dan kepemimpinan di tingkat kabupaten; kesulitan dalam menentukan jadwal workshop yang tepat karena bersaing dengan prioritas program lain; kesulitan dalam merekrut staf proyek, keterlambatan dalam pelaporan; sistem data yang lemah karena akurasi data, kelengkapan dan ketepatan waktu; dan pelatihan berulang karena pergantian staf proyek.

Referensi :

Nana A et al. (2012) A Nationwide Quality Improvement Project To Accelerate Ghana's Progress Toward Millennium Development Goal Four : Design and Implementation Progress. International Journal for Quality in Health Care Vol 24 No 6.