Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Oleh : Nasiatul Aisyah Salim SKM.,MPH

Doc. RS Bedah SurabayaPemanfaatan informasi kesehatan dari internet dalam pelayanan kesehatan terus meningkat dan dapat dikatakan sebagai revolusi bagi pasien. Aktivitas yang biasa dilakukan pasien dalam penggunaan internet antara lain untuk (1) memutuskan cara mengobati penyakit, (2) menanyakan hal-hal baru atau meminta pendapat kedua dari dokter lain, (3) membuat keputusan untuk berkunjung ke dokter, dan (4) mencari cara merawat diri sendiri. Sehingga penggunaan internet dapat menimbulkan model consumerist yang membuat hubungan pasien dan dokter menjadi lebih efektif.

Dokter akan menghadapi pertanyaan-pertanyaan dari pasien terkait informasi yang mereka peroleh dari internet seperti ketika pasien mempertimbangkan untuk berkonsultasi dengan dokter tentang kondisi kesehatan, beberapa pasien mungkin akan melakukan banyak riset sebelum melakukan kunjungan medis karena pasien akan merasa lebih percaya diri dalam menangani kondisi medisnya. Akan tetapi, dokter yang terbiasa dengan peran otoriter atau selalu dituruti mungkin akan kesulitan menyesuaikan diri dengan model consumerist ini dan pasien yang mengerti informasi akan dipandang sebagai tantangan terhadap kewenangan medis yang "tradisional".

Dampak Positif. Penggunaan informasi internet dapat mempererat kerjasama dan komunikasi antara dokter dan pasien. Jika akses internet semakin mudah di ruang pemeriksaan maka dokter dan pasien dapat meninjau informasi kesehatan bersama-sama melalui internet lalu mengembangkan informasi tersebut dengan cara pasien mengemukakan pendapatnya dan dokter memberikan saran secara langsung. Bagaimanapun, tenaga medis tidak hanya menanggapi pasien yang berpendidikan, tetapi juga membantu untuk mendidik mereka. Berbagai pendekatan konstruktif bisa dilakukan seperti penggunaan website yang mana dokter berperan menjadi konsultan, dokter menyediakan pelayanan berbasis website kepada pasien misalnya perangkat penatalaksanaan penyakit dan protokol perawatan pasien. Sehingga dokter yang "akrab dengan internet" akan lebih efektif menjalin hubungan yang tulus dengan pasien sehingga berkontribusi pada pelayanan kesehatan yang berkualitas dan menciptakan hubungan dokter-pasien yang lebih saling mempercayai.

Dampak negatif. Namun yang perlu diperhatikan, walaupun internet menjadi alat yang sangat berguna bagi pasien ketika mencari informasi kesehatan yang dibutuhkan, tetapi juga bisa sangat membingungkan karena beberapa situs yang mungkin tidak akurat (tidak update informasi). Sehingga pasien perlu selektif dalam mencari informasi medis dari internet walaupun sumbernya "dapat dipercaya" misalnya

  1. Alamat Website : carilah alamat website dari badan pemerintah yang menggunakan (.gov atau .go.id), institusi pendidikan yang menggunakan (.edu atau .ac.id), organisasi profesional dan rumah sakit yang menggunakan (.org atau .com)
  2. Currency (kekinian) : Website harus mengandung informasi terkini dengan mencantumkan tanggal pembaruan terakhir
  3. Informasi Aktual : Informasi harus faktual dan bersumber dari informasi yang andal seperti literatur profesional, intisari penelitian. Referensi dan sumber harus dicantumkan dengan jelas. Penulis atau kontributor disebutkan sebagai tenaga medis. Informasi kontak meliputi alamat email pengurus website harus dicantumkan. Informasi yang mengandung pendapat harus dijelaskan sebagai opini dan narasumber haruslah orang atau organisasi yang berkualifikasi. Klaim tentang perawatan, produk dan pelayanan harus didukung dengan bukti.
  4. Keterbukaan : Kepemilikan web, pihak-pihak komersial terkait dinyatakan dengan jelas. Potensi konflik kepentingan dicatat. Iklan dipisahkan dari isi situs yang sebenarnya. Sasaran web untuk konsumen atau petugas kesehatan dinyatakan dengan jelas. Informasi rahasia tentang pribadi pasien atau pengunjung website tidak boleh diungkapkan.

Referensi :

Hedy S., Catherine E., David C. 2007. Untangling the Web – The Impact of Internet Use on Health Care and The Physician-patient relationship. Patient Education and Counseling.

oleh: Citra Jaya, Donni Hendrawan, Ni MAS Ratna Sudewi, dan Tono Rustiano
Direktorat Perencanaan, Pengembangan dan Teknologi Informasi PT Askes (Persero)

Sejak tahun 2008, Indonesia telah membayar rumah sakit yang melayani program Jamkesmas dengan sistem pembayaran prospektif yang dikemas dalam bentuk DRG (Diagnosis-Related Group). Sistem ini akan berlanjut di tahun 2014 melalui program Jaminan Kesehatan Nasional. BPJS Kesehatan akan membayar Rumah sakit berdasarkan besaran yang sudah ditetapkan sesuai dengan diagnosa pasien.

Meskipun telah dilaksanakan lebih dari lima tahun, belum ada studi yang mempelajari dampak sistem pembayaran prospektif terhadap kualitas dan biaya layanan kesehatan di Indonesia. Proses verifikasi rawat inap yang dilakukan di Indonesia masih bersifat administratif tanpa memeriksa dampak sistem pembayaran prospektif terhadap kualitas dan biaya pelayanan kesehatan.
Padahal, dampak perubahan sistem pembayaran perlu dipantau. Berbagai literatur menunjukkan bahwa rumah sakit mengantisipasi perubahan sistem pembayaran ini dengan menyesuaikan layanan rawat inap agar tetap memperoleh keuntungan.

Penurunan Kualitas Layanan

Dampak buruk penyesuaian sistem pembayaran rumah sakit terhadap kualitas layanan rawat inap telah banyak dipublikasikan dalam jurnal-jurnal internasional. Berbagai jurnal juga menjelaskan peningkatan biaya pelayanan kesehatan yang harus dibayarkan oleh asuransi kesehatan akibat implementasi DRG.

Perubahan kualitas layanan rawat inap pasca perubahan sistem pembayaran rumah sakit telah banyak terjadi khususnya di Amerika Serikat. Rata-rata durasi rawat inap turun drastis pasca penerapan sistem pembayaran prospektif dalam bentuk Diagnosis-Related Groups/DRG. Untuk pasien psikiatri misalnya, durasi rawat inap turun 15% sejak sistem pembayaran prospektif diterapkan.

Tidak hanya di Amerika Serikat, penurunan durasi rawat inap pasca perubahan sistem pembayaran juga terjadi di negara-negara Eropa seperti Belgia, Swiss, Israel dan Austria.

Pengurangan durasi rawat inap menjadi salah satu strategi rumah sakit untuk menghemat biaya untuk memaksimalkan keuntungan dengan memanfaatkan selisih antara tarif DRG dengan biaya rawat inap yang sesungguhnya. Setidaknya di Amerika Serikat, strategi ini telah berhasil menghemat biaya pelayanan rawat inap7 yang berimplikasi pada peningkatan keuntungan rumah sakit.

Selain itu, strategi rumah sakit dalam mengendalikan biaya dapat dilakukan dengan cara melakukan tindakan operasi di pelayanan rawat jalan, menolak pasien yang kondisinya parah atau tanpa asuransi, serta mengurangi pemberian layanan kesehatan penunjang diagnostik.

Bagi perusahaan asuransi kesehatan, strategi rumah sakit ini perlu dianalisis lebih lanjut. Upaya penghematan biaya cenderung berbanding terbalik dengan upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan. Dampaknya, biaya yang harus dikeluarkan asuransi kesehatan meningkat.

Di Kanada misalnya, turunnya durasi rawat inap memiliki dampak pada meningkatnya kunjungan balik pasien, yang merupakan salah satu indikator kualitas layanan kesehatan. Kunjungan balik pasien uterine atau prosedur adnexal juga meningkat secara signifikan di dua tahun pertama pasca perubahan sistem pembayaran.

Hal serupa ditemui di Norwegia dimana pasien dengan durasi rawat inap yang relatif singkat akan meningkatkan risiko kunjungan balik ke rumah sakit. Studi lain juga menemukan bahwa selain meningkatnya kunjungan balik, kondisi kesehatan pasien saat kunjungan balik juga makin buruk jika dibandingkan masa sebelum sistem pembayaran prospektif.

Tingkat kunjung balik ke rumah perawatan (nursing homes) setelah dipulangkan dari rumah sakit meningkat tiga kali lipat pada pasien yang baru dipulangkan satu minggu, pasca penerapan sistem pembayaran prospektif. Pada studi khusus orang-orang cacat, penurunan durasi rawat inap selama 6.07 hari (standar deviasi 3.23) dan peningkatan tingkat kunjung balik ditemui di seluruh jenis kecacatan. Peningkatan tingkat kunjung balik bervariasi dari 6.7% untuk pasien amputasi, dan 1.4% untuk pasien ortopedi.

Hubungan antara durasi rawat inap dengan tingkat kematian juga dipelajari di beberapa penelitian. Pada tahun 1991-1997, pasien myocardial infarction di Amerika Serikat yang dipulangkan dini tingkat kematiannya meningkat sebesar 21% sampai 72%. Selain itu, studi lain juga menyimpulkan kondisi pasien yang dipulangkan lebih dini cenderung belum stabil.

Di sisi lain, durasi rawat inap yang lebih singkat dari seharusnya, setelah mempertimbangkan diagnosa dan tingkat keparahan, menjadi indikator upaya rumah sakit untuk menurunkan biaya dan meningkatkan keuntungan dengan memulangkan pasien lebih cepat.

Studi lain mempelajari hubungan antara durasi rawat inap dengan tingkat kunjungan balik dan menyimpulkan bahwa meningkatnya kunjungan balik ke rumah sakit lebih disebabkan karena upaya rumah sakit memperoleh tambahan keuntungan ketimbang karena morbiditas.

Jelaslah, bahwa durasi perawatan dapat digunakan sebagai indikator kinerja rumah sakit dan ukuran pemanfaatan sumber daya. Durasi perawatan juga sering menjadi indikator kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit. Dipulangkannya pasien rawat inap lebih cepat daripada seharusnya dapat diasosiasikan dengan pengurangan kualitas pelayanan kesehatan. Di sisi lain, durasi perawatan yang panjang juga bisa disebabkan layanan kesehatan yang buruk. Jadi durasi perawatan bisa menjadi sebab dan akibat dari kualitas layanan yang buruk. Ambiguitas ini menyebabkan perlunya indikator tambahan untuk mengukur kualitas pelayanan kesehatan.

Verifikasi Medicare

Perusahaan asuransi mengevaluasi pelayanan rawat inap untuk dua tujuan. Pertama, untuk memastikan perawatan yang diberikan rumah sakit kepada pasien rawat inap memang benar diperlukan dan sesuai. Kedua adalah untuk mengendalikan biaya yang berhubungan dengan pelayanan rawat inap.

Beberapa literatur menggunakan 'kunjungan balik pasien pasca pemulangan rawat inap' atau 'tingkat kematian pasien pasca pemulangan rawat inap' sebagai ukuran kualitas layanan. Pasien yang dipulangkan lebih cepat diasumsikan belum sepenuhnya pulih dari penyakitnya, sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama setelah dipulangkan akan kembali membutuhkan layanan kesehatan. Logika yang sama dapat diterapkan untuk hubungan antara durasi rawat inap dengan tingkat kematian pasca layanan rawat inap.

Di Amerika Serikat, evaluasi dilakukan ketika pasien melakukan kunjungan balik, ditransfer dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain, dan juga pada pelayanan rawat inap. Pada pelayanan yang disebutkan terakhir, evaluasi dilakukan dengan mengamati durasi rawat inap. Misalkan, durasi rawat inap untuk diagnosa tertentu yang melenceng jauh dari rata-rata (kurang dari satu standar deviasi dari rata-rata durasi rawat inap), durasi rawat inap yang melebihi rata-rata, atau biaya kesehatan anak-anak yang jauh melebihi rata-rata akan dievaluasi kebutuhan medisnya pasca dipulangkan.

Contoh lain dari evaluasi utilisasi pelayanan rawat inap. Ada rumah sakit yang ingin memulangkan pasien dan kembali memasukkannya untuk mendapatkan dua tagihan yang berbeda. Pihak pembayar dapat menghalangi praktek ini dengan menolak pembayaran untuk perawatan kedua. Evaluasi dilakukan secara acak pada kasus-kasus outlier (tidak lazim) seperti kunjungan balik 15 hari pasca rawat inap, dan pada kasus-kasus tanpa diagnosa. Hasil evaluasi dapat digunakan untuk mengurangi kunjungan rawat inap pada prosedur yang bisa dilakukan dipelayanan rawat jalan, atau prosedur yang dirasakan tidak perlu atau tidak pantas.

Medicare Fiscal Intermediaries (FI) dan Medicare Administrative Contractors (MAC) melakukan evaluasi medis untuk mencegah pembayaran yang tidak lazim untuk klaim rawat inap rumah sakit. Evaluasi medis adalah proses yang dilakukan kontraktor Medicare untuk memastikan tagihan rawat inap sesuai dengan ketentuan pada peraturan.

Selain mengandalkan sumber daya internal Medicare, proses evaluasi juga melibatkan sumber daya eksternal seperti perawat rumah sakit. Proses evaluasi ini dilakukan untuk mengevaluasi kebutuhan pasien akan perawatan di rumah sakit. Perawat mendiskusikan kebutuhan medis untuk pasien rawat inap. Pasien tidak boleh diberi layanan yang tidak perlu, tidak layak, berlebihan, atau layanan yang tidak diatur dalam peraturan. Kualitas dan durasi rawat inap harus sesuai dengan standar medis dan sesuai dengan gejala, tanda-tanda, serta diagnosa pasien.

Verifikasi Askeskin Jamkesmas

Sayangnya, evaluasi sistematis tentang kualitas layanan rawat inap pada program Askeskin dan Jamkesmas belum banyak dilakukan. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) mengindikasikan turunnya durasi rawat inap peserta Askeskin/Jamkesmas pada periode tahun 2004-2009, namun hubungannya dengan perubahan sistem pembayaran rumah sakit masih belum jelas. Studi tersebut juga menemukan bahwa metode verifikasi yang dilakukan oleh verifikator independen Jamkesmas baru sebatas pemeriksaan kelengkapan dokumen yang sifatnya administratif. Verifikasi belum sampai pada upaya memeriksa kualitas layanan kesehatan yang diberikan rumah sakit.

Sampai dengan saat tulisan ini disusun, belum ditemukan bukti ilmiah yang mendukung penurunan kualitas layanan rawat inap dihubungkan dengan penerapan tarif tarif INA-DRG pada program Jamkesmas.

Proses evaluasi klaim Jamkesmas baru berhasil mengidentifikasi DRG upcoding, yaitu kecurangan rumah sakit dalam pemberian kode diagnosa dengan memberikan kode diagnosa yang berbiaya lebih tinggi. Efektifitas sistem pembayaran INA-DRG terhadap pengendalian biaya sendiri belum jelas. Perubahan sistem pembayaran dari fee-for-service yang dianut Askeskin ke sistem pembayaran INA-DRG yang dianut Jamkesmas baru terbukti mempersingkat durasi rawat inap, namun dampaknya terhadap kualitas dan biaya pelayanan kesehatan yang dibayarkan belum terbukti.

Persiapan JKN dan BPJS Kesehatan

Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), pada tahun 2014 PT Askes (Persero) yang akan berubah menjadi BPJS Kesehatan diwajibkan menerapkan sistem pembayaran Indonesia Case Base Groups (INA-CBGs). Sayangnya, ketentuan ini tidak dibekali dengan informasi perubahan kualitas layanan kesehatan pasca penerapan sistem pembayaran prospektif. Hal ini akan membuat BPJS Kesehatan tidak dapat mengukur potensi kerugian finansial yang diakibatkan implementasi INA-CBGs, setidaknya pada tahun-tahun pertama penyelenggaraan JKN.

Kondisi ini berbeda dengan Amerika Serikat, di mana perusahaan asuransi mendapatkan informasi akurat tentang dampak implementasi DRG. Salah satu informasi penting adalah biaya akibat kunjungan balik. Kunjungan balik menjadi komponen biaya yang cukup besar pada pengeluaran kesehatan yaitu mencapai 24% dari total pengeluaran Medicare. Pada tahun 2010, tingkat kunjungan balik pasien Medicare adalah 19.2% (1.9 juta kunjungan balik dari total 10 juta kunjungan). Biaya yang ditimbulkan kunjungan balik pelayanan rawat inap mencapai US$ 17.5 milyar atau sekitar Rp 175 trilyun. Dengan demikian, angka kunjung balik menjadi perhatian serius pada sistem pembayaran prospektif.

Indonesia dapat mengambil pelajaran dari pengalaman negara lain dalam melakukan verifikasi layanan rawat inap dalam kondisi rumah sakit dibayar dengan sistem pembayaran prospektif. Penyusunan pedoman rinci tentang tata cara verifikasi layanan rawat inap sebaiknya menjadi tujuan studi di masa mendatang. Pelajaran lain yang bisa diperoleh dari proses evaluasi pelayanan kesehatan adalah dilakukannya evaluasi oleh lembaga independen di luar perusahaan asuransi. Pemisahan ini meningkatkan independensi karena menghilangkan potensi konflik kepentingan antara pembayar dengan pemeriksa.

BPJS perlu menyusun metode evaluasi layanan rawat inap. Evaluasi yang dilakukan selama ini baru bersifat administratif dan belum menyentuh kualitas layanan kesehatan serta dampaknya pada biaya. Tentunya metode evaluasi akan lebih tajam jika didukung data layanan kesehatan yang lengkap dan benar. Evaluasi dapat dilakukan dengan mengambil sampel secara acak sebanyak 10%-30% kasus rawat inap setiap harinya.

Selain itu, BPJS juga bisa melakukan evaluasi dalam bentuk inspeksi mendadak ke beberapa rumah sakit untuk mengawasi proses entri data pelayanan kesehatan yang dilakukan pegawai rumah sakit. BPJS harus memastikan data-data yang dimasukkan ke perangkat lunak INA-CBGs adalah benar sehingga menghasilkan tagihan yang benar pula.

Metode lain yang lebih akurat adalah melakukan entri ulang berkas klaim yang diberikan oleh rumah sakit untuk memastikan besaran biaya yang dihasilkan kedua entri adalah sama, sekalipun cara ini akan memerlukan waktu yang lebih panjang dan biaya yang lebih tinggi.

Aspek lain dari metode evaluasi adalah perbandingan antara biaya penyelenggaraan evaluasi dengan biaya pelayanan kesehatan yang berhasil dihemat. Norma yang banyak digunakan adalah: "metode evaluasi tidak efektif jika biaya penyelenggaraannya melebihi biaya pelayanan kesehatan yang dihemat." Sebagai badan nirlaba yang bertanggungjawab untuk memastikan keberlangsungan dan efektifitas program, BPJS Kesehatan dapat mengabaikan norma ini dan tetap menentukan metode evaluasi yang paling efektif dan efisien untuk memastikan pasien memperoleh pelayanan yang maksimal.

Daftar Pustaka

  1. Ellis, R.P., dan McGuire, T.G. 1996. Hospital response to prospective payment: Moral hazard, selection, and practice-style effects. Journal of Health Economics 15: 257-277.
  2. Freiman, M.P., Ellis, R.P., dan McGuire, T.G. 1989. Provider Response to Medicare's PPS: Reduction in Length of Stay for Psychiatric Patients Treated in Scatter Beds. Inquiry 26: 192-201.
  3. Perelman, J. dan Closon, M-C. 2007. Hospital response to prospective financing of in-patient days: The Belgian case. Health Policy 84: 200-209.
  4. Schuetz, P., Albrich, W.C., Suter, I., Hug, B.L., Christ-Crain, M., Holler, T., Henzen, C., Krause, M., Schoenenberger, R., Zimmerli, W., dan Mueller, B. 2011. Quality of care delivered by fee-for-service and DRG hospitals in Switzerland in patients with community-acquired pneumonia. Swiss Medical Weekly 141: w13228.
  5. Shmueli, A., Intrator, O., dan Israeli, A. 2002. The effects of introducing prospective payments to general hospitals on length of stay, quality of care, and hospitals' income: the early experience of Israel. Social Science & Medicine 55: 981-989.
  6. Theurl, E., dan Winner, H. 2007. The impact of hospital financing on the length of stay: Evidence from Austria. Health Policy 82: 375-389.
  7. Carey, K. 2002. Hospital Length of Stay and Cost: A Multilevel Modeling Analysis. Health Services & Outcomes Research Methodology 3: 41-56.
  8. Horn, S.D. dan Backofen, J.E. 1987. Ethical Issues in the use of a prospective payment system: The issue of a severity of illness adjustment. The Journal of Medicine and Philosophy 12 (145-153).
  9. Harrison, M.L., Graff, L.A., Roos, N.P., and Brownell, M.D. 1995. Discharging Patients Earlier from Winnipeg Hospitals: Does It Adversely Affect Quality of Care? Canadian Medical Association Journal: 153 (6).
  10. Heggestad, T. 2002. Do Hospital Length of Stay and Staffing Ratio Affect Elderly Patients' Risk of Readmission? A Nation-wide Study of Norwegian Hospitals. Health Services Research 37:3.
  11. Anderson, M.A., Clarke, M.M., Helms, L.B., dan Foreman, M.D. 2005. Hospital Readmission From Home Health Care Before and After Prospective Payment. Journal of Nursing Scholarship 37:1, 73-79.
  12. Ottenbacher, K.J., Smith, P.M., Illig, S.B., Fiedler, R.C., dan Granger, C.V. 2000. Length of Stay and Hospital Readmission for Persons with Disabilities. American Journal of Public Health 90: 1920-1923
  13. Baker, D.W., Einstadter, D., Husak, S.S. and Cebul, R.D. 2004. Trends in Postdischarge Mortality and Readmissions: Has Length of Stay Declined Too Far? Archives of Internal Medicine; 164: 538-544.
  14. Rogers, W.H., Draper, D., Kahn, K.L., Keeler, E.B., Rubenstein, L.V., Kosecoff, J. and Brook, R.H. 1990. Quality of Care Before and After Implementation of the DRG-Based Prospective Payment System: A Summary of Effects. The Journal Of American Medical Association Vol. 264 No. 15.
  15. Feinglass, J., dan Holloway, J.J. 1991. The Initial Impact of the Medicare Prospective Payment System on U.S. Health Care: A Review of Literature. Medical Care Research and Review 48: 91.
  16. Cutler, D.M. 1995. The Incidence of Adverse Medical Outcomes Under Prospective Payment. Econometrica Vol. 63 No. 1 pp. 29-50.
  17. Thomas, J.W., Guire, K.E., Horvat, G.G. 1997. Is Patient Length of Stay Related to Quality of Care? Journal of Healthcare Management 42, 4: 489.
  18. Department of Health and Human Services. 2012. Medicare Program; Hospital Inpatient Prospective Payment Systems for Acute Care Hospitals and the Long-Term Care Hospital Prospective Payment System and Fiscal Year 2013 Rates; Hospitals' Resident Caps for Graduate Medical Education Payment Purposes; Quality Reporting Requirements for Specific Providers and for Ambulatory Surgical Centers; Final Rule.42 CFR Parts 412, 413, 424, & 476
  19. Sloan, F.A., Morrisey M.A., & Valvona, J. 1988. Effects of the Medicare Prospective Payment System on Hospital Cost Containment: An Early Appraisal. The Milibank Quarterly, Vol. 66, No. 2, pp. 191-220.
  20. Department of Health and Human Services. 2008. Inpatient Prospective Payment System Hospital and Long Term Care Hospital Review and Measurement Fact Sheet. Centers for Medicare & Medicaid Services.
  21. Department of Public Welfare. 2010. Manual for All Patient Refined Diagnosis Related Group Review of Inpatient Hospital Services. Office of Medical Assistance Programs 837 Institutional/UB-04 Claim Form.
  22. Harimurti, P., Pambudi, E., Pigazzini, A. Dan Tandon, A. 2009. The Nuts & Bolts of Jamkesmas: Indonesia's Government-Financed Health Coverage Program. The World Bank, Washington DC.
  23. Centers for Medicare & Medicaid Services. 2012. National Medicare Readmission Findings: Recent Data and Trends. Office of Information Product and Data Analytics.

Sumber: www.jamsosindonesia.com 

Oleh: Erich Richardo dan Hanevi Djasri

Pengukuran merupakan konsep sentral dalam peningkatan mutu. Dengan pengukuran akan tergambarkan apa yang sebenarnya sedang dilakukan sarana pelayanan kesehatan dan membandingkannya dengan target sesungguhnya atau harapan tertentu dengan tujuan untuk mengidentifikasi kesempatan untuk adanya peningkatan mutu (Shaw, 2003).

Mengukur mutu pelayanan kesehatan baik di tingkat primer seperti Puskesmas dan tingkat lanjut seperti rumah sakit memerlukan indikator mutu yang jelas. Namun menyusun indikator yang tepat tidaklah mudah. Kita perlu mempelajari pengalaman berbagai institusi yang telah berhasil menyusun indikator mutu pelayanan kesehatan yang kemudian dapat digunakan secara efektif mengukur mutu dan meningkatkan mutu.

Salah satu pengalaman tersebut dapat dipelajari dari program Performance Assessment Tool for Quality Improvement in Hospital (PATH) dengan langkah-langkah sebagai berikut (WHO, 2006):

  1. Menyusun model konseptual: identifikasi dimensi dan sub-dimensi dan bagaimana hubungan antaranya satu sama lain
  2. Melakukan penapisan awal indikator kinerja yang ada dan critical review
  3. Menetapkan indikator komplementer untuk mengisi area-area yang belum ditunjang oleh indikator awal berdasarkan literatur ilmiah
  4. Melakukan pemilihan awal indikator berdasarkan expert opinion dan bukti-bukti awal
  5. Melakukan penelitian yang ekstensif untuk mendapatkan literatur mengenai angka prevalensi, bukti pendukung, reliabitas dan validitas, survey pada negara yang berpartisipasi
  6. Melakukan pemilihan akhir berdasarkan pakar, berdasarkan informasi yang didapatkan pada langkah 5, menggunakan nominal group tehnic (NGT)

Dalam pemilihan tersebut, WHO menggunakan kriteria-kriteria berikut ini (WHO, 2006):

Kriteria untuk indikator

  1. tingkat kepentingan dan relevansi: indikator harus menggambarkan aspek-aspek yang bermanfaat bagi penggunanya dan relevan dengan konteks kesehatan saat ini. Kepentingan tersebut dapat diperjelas dengan adanya kebijakan nasional ataupun internasional (seperti WHO Health for All Framework). Indikator klinis harus berfokus pada kejadian yang memiliki angka prevalensi tinggi (high prevalence rate) dan memiliki beban berat (high burden).
  2. berpotensi untuk dapat digunakan (dan disalahgunakan) dan hasilnya dapat ditindaklanjuti: rumah sakit harus dapat menindaklanjuti permasalahan yang muncul dari indikator yang ada. Dengan demikian, rumah sakit harus memiliki tanggung jawab, kontrol substansial, dan kemampuan untuk mengimplementasikan strategi untuk peningkatan kinerja.

Kriteria untuk alat ukur

  1. reliabilitas: Indikator diharapkan memiliki spesifikasi yang detail dan jelas untuk numerator dan denominatornya. Pengumpulan data yang seragam mudah dipahami dan mudah untuk diimplementasikan. Reliabilitas meningkat ketika pengukuran yang dilakukan hanya sesedikit mungkin bergantung pada penilaian subyektif. Ini juga termasuk konsep konsistensi internal, stabilitas test/test ulang, dan kesepahaman antar pengukuran.
  2. face validity (juga dikenal sebagai akseptabilitas): terdapat kesepakatan di antara pengguna dan pakar bahwa pengukuran ini berhubungan dengan dimensi (atau subdimensi) yang akan dijangkau.
  3. content validity: model teoritis mendukung bahwa pengukuran ini berhubungan dengan subdimensi kinerja yang akan dijangkau dan pengukuran ini menjangkau seluruh domain dan tidak hanya sebagian aspek spesifik saja.
  4. contruct validity: bukti empiris menunjukkan bahwa pengukuran ini berhubungan dengan pengukuran kinerja yang lainnya
  5. beban untuk pengumpulan data: ini termasuk juga pertimbangan ketersediaan data, biaya, ketepatan waktu sehingga didapatkan data yang berkualitas, dan derajat kemudahan untuk pengumpulan data. Indikator (misalnya kejadian sentinel) tidak harus dieksklusi hanya karena data yang dibutuhkan tidak akurat atau sering hilang. Justru adanya pengukuran ini dapat dipergunakan sebagai kesempatan untuk mengidentifikasi dan menanggapi kebutuhan akan pendidikan dan peningkatan untuk menunjang sistem informasi yang efektif. Demikian pula untuk indikator yang berdasarkan data yang dikumpulkan secara manual tidak harus dieksklusi karena malah dapat menjadi sarana latihan dan belajar bagi staf dan meningkatkan kualitas pengumpulan data.

Kriteria untuk kumpulan indikator

  1. face validity: Apakah kumpulan indikator tersebut dapat diterima oleh para penggunanya?
  2. content validity: Apakah semua dimensi dijangkau dengan tepat?
  3. construct validity: Bagaimana indikator-indikator tersebut saling terkait satu dengan yang lainnya? Apakah indikator dari dimensi yang berbeda saling berhubungan (discrimination criteria)? Apakah indikator dari dimensi yang sama saling berhubungan (convergence criteria)?

Pengalaman lain yang dapat dicontoh adalah dari proses pemilihan indikator kinerja menurut USAID (1996), yang terdiri atas:

  1. Klarifikasi pernyataan hasil – Indikator kinerja yang baik diawali dengan pernyataan hasil yang baik yang dapat dipahami dan disetujui oleh semua orang.
  2. Susun daftar kemungkinan indikator yang ada – Biasanya terdapat beberapa macam indikator untuk suatu outcome yang diinginkan, tetapi beberapa lebih tepat dan lebih bermanfaat daripada yang lainnya. Dalam pemilihan indiator, jangan terlalu cepat menentukan pilihan pada indikator yang muncul pertama dalam pikiran karena nyaman atau dirasa lebih jelas. Lebih baik disusun daftar alternatif yang ada, kemudian dinilai dengan suatu kriteria.
  3. Lakukan penilaian pada setiap indikator yang memungkinkan – Dalam pemilihan ini dapat digunakan tujuh kriteria berikut untuk menilai ketepatan dan manfaat dari masing-masing indikator. Ketika menilai dan membandingkan masing-masing indikator yang ada, sangat baik apabila digunakan matriks dengan tujuh kriteria tersebut pada satu baris atas dan kandidat indikator yang ada didaftar ke bawah. Dengan skoring sederhana, seperti dengan angka 1-5, nilai masing-masing indikator terhadap masing-masing kriteria tersebut. Peringkat ini akan membantu dalam proses pemilihan. Bagaimanapun, proses ini dapat diterapkan secara fleksibel karena tidak semua tujuh kriteria tersebut sama-sama pentingnya.
  4. Pilih indikator kinerja yang terbaik – Langkah selanjutnya ialah dengan mempersempit daftar indikator tersebut menjadi daftar indikator final yang akan digunakan untuk menilai kinerja. Dalam hal ini juga harus diperhatikan untuk selektif dalam menetapkan indikator, karena dalam setiap pengumpulan dan analisis data selalu dibutuhkan biaya. Pembatasan jumlah indikator yang digunakan untuk suatu tujuan tertentu harus dilakukan (dua atau tiga indikator saja untuk suatu tujuan yang serupa). Pilih hanya indikator yang mewakili dimensi dasar dan penting dari tujuan yang ingin dicapai.

Oleh: Nasiatul Aisyah Salim, SKM, MPH

"Anda hanya akan mendapatkan orang yang pantas Anda dapatkan"

art-15jul-2Memilih orang yang tepat merupakan awal dari pembentukan tim yang sukses untuk suatu organisasi dan memiliki orang-orang hebat yang bekerja untuk organisasi adalah satu hal. Namun tidak bisa hanya berharap bahwa tim saja sudah cukup mengubah organisasi. Ada faktor lain yang turut berperan, salah satunya adalah kepemimpinan. Jika tim tidak didukung oleh kepemimpinan yang kuat maka hasilnya akan seperti supertanker yang berlayar di tengah samudera tanpa kemudi. Kepemimpinan yang kuat adalah hal yang krusial. Pemimpin yang kuat disini bukan hanya mengenai gaya kepemimpinannya melainkan kualitas kepemimpinannya. Tidak ada gaya kepemimpinan yang benar atau salah. Sehingga tidak perlu mengubah gaya kepemimpinan melainkan harus mengadaptasi gaya kepemimpinan supaya sesuai dengan situasi yang ada dan juga ketika situasi tersebut berubah.

Ciri dari seorang pemimpin yang kuat adalah semangat dan tanggungjawab. Kedua hal ini yang membedakan dari pemimpin yang biasa-biasa saja atau situasional. Orang selalu merespons dengan baik pemimpin yang memiliki semangat tentang pekerjaannya atau kehidupannya. Karena hal ini menular dan anggota tim akan menemukan bahwa dirinya termotivasi untuk melakukan yang terbaik ketika dipimpin oleh seorang pemimpin yang penuh semangat. Selain itu, pemimpin yang kuat adalah pemimpin yang juga menerima tanggungjawab atas tindakan seluruh tim. Pemimpin harus mampu mengambil keputusan dengan tegas yang artinya harus menerima tanggung jawab atas keputusan yang dibuat dan konsekuensi yang ditimbulkan. Tidak hanya itu, kemampuan untuk menindaklanjuti juga berperan penting yaitu mampu melihat konsekuensi dari keputusan manajerial sampai akhir dan menerima tanggung jawab penuh untuk tim.

Perbedaan antara manager dan pemimpin adalah pemimpin menaruh minat lebih besar pada area "hati dan semangat". Sehingga pemimpin harus menciptakan orang-orang luar biasa di dalam organisasi. Selain itu harus membantu tim tumbuh sehingga organisasi dapat tumbuh. Dan perbaharui pengetahuan tim. Maka jadilah pemimpin yang hebat sehingga akan mendapatkan orang-orang yang hebat.

Referensi :

Bradley J. Sugars. 2012. Instant Team Building. Kesaint Blanc Publishing.