Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Di Belanda, resiko peningkatan pasien kardiovaskular berangsur berkurang sejak diterapkannya sistem pencegahan berbasis Nurse Coordinated Prevention Programmes (NCPPs). Kemajuan ini mendorong European Society of Cardiology (ESC) pada 2012, merekomendasikan agar NCPPs diintegrasikan ke dalam praktik klinis pada sistem perawatan kesehatan di negara-negara Eropa. Meskipun tentu saja harus diakui bahwa, sebagai salah satu bentuk pendekatan pencegahan tersistem, NCPPs bukanlah sebuah program sederhana yang dapat diduplikasi dengan mudah. Faktanya Untuk membuat NCPPs berjalan dengan baik diperlukan rangkaian persiapan matang yang meliputi penyiapan sumber daya manusia yang memadai dari segi kompetensi, keahlian dan wawasan penunjang tambahan. Oleh karenanya ESC menekankan pula perlunya riset guna mengetahui jenis kompetensi dan keahlian apa saja yang harus dimiliki serta tahapan pendidikan tambahan apa saja yang diperlukan untuk menjamin kesiapan kualitas sumber daya manusia agar NCPPs sebagai kegiatan pencegahan kardiovaskular tersistem dapat berjalan secara efektif.

Adapun gambaran umum NCPPs sendiri secara singkat merupakan serangkaian kegiatan prevensi resiko kardiovaskular yang terdiri dari konseling, motivasi, konsultasi, pemeriksaan fisik berkala, intervensi terhadap pola dan gaya hidup, wawancara tentang tingkat kepatuhan konsumsi obat sesuai resep dan jadwal, hingga rekomendasi rujuk jika diperlukan. Dalam implementasinya NCPPs dijalankan oleh perawat yang direkrut melalui proses seleksi tertentu serta diwajibkan menyelsaikan beberapa tahapan pelatihan dan kursus yang diselenggarakan oleh Departemen Psikologi Medis dan Academic Medical Center Universitas Amsterdam, Belanda.

Dalam NCPPs berbagai rangkaian kegiatan prevensi di lapangan dilakukan oleh perawat dengan merujuk pada panduan nasional dan pedoman tekhnis yang telah ditetapkan. Panduan nasional berfokus pada (1) gaya hidup sehat, (2) faktor resiko biometrik dan (3) kepatuhan konsumsi obat. Sementara pedoman teknis dirumuskan untuk memenuhi target tertentu seperti gaya hidup bebas rokok, pemilihan makanan sehat, olahraga teratur, pengendalian indeks massa tubuh 25Kg/m² atau kurang, kontrol diabetes, kontrol hipertensi dan dislipidaemia serta kepatuhan terhadap rangkaian proses pengobatan. Berikut contoh daftar singkat intervensi tekhnis yang dilakukan perawat pada program NCPPs;

art okt1

Adopsi dan Integrasi NCPPs dengan Program Perkeskom dan Promkes di Puskesmas

Data Riset Kesehatan Dasar 2013 oleh Badan Litbangkes Kementrian Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan jumlah pasien dengan gejala kardiovaskular berdasarkan diagnosa dokter mencapai angka 2.650.340 jiwa, dan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Fakta ini tentu bisa saja mengindikasikan banyak hal, mulai dari rendahnya kualitas pola dan gaya hidup dari segi kesehatan hingga belum efektifnya program dan kegiatan pencegahan peningkatan resiko kardiovaskular oleh berbagai lembaga, intansi dan penyedia layanan kesehatan. Sebuah kondisi yang tentunya laik dikhawatirkan mengingat hingga saat ini kardiovaskular/penyakit jantung koroner termasuk dalam daftar penyumbang angka kematian tertinggi di dunia.


Sejauh ini berbagai kalangan sepakat bahwa cara paling efektif dalam mencegah dan meminimalisir resiko kematian akibat kardiovaskular adalah melalui pola dan gaya hidup sehat. Namun sayangnya kesadaran dan pemahaman sebagaian besar masyarakat terutama kalangan menengah kebawah, masih sangat terbatas terkait pola dan gaya hidup sehat. Pada akhirnya pilihan paling rasional dalam menyikapi situasi semacam ini adalah dengan memaksimalkan kegiatan pencegahan melalui berbagai kegiatan promosi dan edukasi kesehatan secara langsung dan berkesinambungan kepada masyarakat.

Di Indonesia berbagai program yang terfokus dan berorientasi pada promosi dan edukasi kesehatan telah ada dan telah terselenggara cukup lama, hanya saja belum kunjung menunjukkan hasil yang signifikan terutama dalam kaitannya dengan upaya menekan angka penderita kardiovaskular. Di tingkat fasilitas kesehatan primer Sumber: Diolah berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar2013, Badan Litbangkes Kementerian (PUSKESMAS) misalnya, kita dapat menjumpai banyak program yang berkutat pada promosi kesehatan lingkungan, keluarga dan komunitas, dua diantaranya yakni Program Perawat Kesehatan Komunitas (PERKESKOM) dan Program Promosi Kesehatan (PROMKES) akan di bahas secara singkat dalam ulasan ini.

Dua program tersebut yakni PERKESKOM dan PROMKES sebenarnya memiliki potensi untuk dapat dimaksimalkan dan diandalkan dalam menekan angka resiko peningkatan kardiovaskular. Dikatakan demikian karena dua program tersebut memiliki beberapa syarat utama yang membuatnya mungkin menjadi instrument prevensi (pencegahan) yang efektif. Misalnya bahwa dua program tersebut memuat sejumlah aktivitas kongkrit seputar promosi dan edukasi kesehatan disamping memiliki intensitas pertemuan yang tinggi secara langsung dengan masyarakat, merupakan dua modal utama yang sangat mungkin dimaksimalkan.

Sementara beberapa faktor yang membuat dua program tersebut (PERKESKOM dan PROMKES) atau program lain yang sejenis belum mampu menunjukkan signifikansi pengaruhnya pada penurunan angka radiovaskular adalah karena tugas dan fungsinya yang terlampau umum dan luas. Dengan kata lain, tidak seperti program NCPPs di belanda yang memang sejak awal di desain untuk tujuan dan tugas yang sangat spesifik dibidang pencegahan dan penanganan kardiovaskular.

Kembali pada upaya memaksimalkan program PERKESKOM dan PROMKES, penulis melihat terdapat peluang dua program tersebut dapat mengadopsi dan mengintegrasikan pola dan strategi yang diterapkan di NCPPs. Meskipun adopsi/duplikasi ini bukanlah susatu yang sederhana dan mudah mengingat terbatasnya sumber daya medis yang kita memiliki, namun bukan berarti proses adopsi dan integrasi konsep program tersebut tidak mungkin dilakukan. Kita bisa misalnya memulai dengan proses adopsi dan integrasi bertahap. Sebagai contoh, PERKESKOM dan PROMKES yang sebelumnya memiliki tugas dan sasaran yang bersifat sangat umum dalam keseluruhan aktivitas dan kerjanya, perlahan dapat diarahkan untuk menyediakan sebagian ruang dan waktu khusus dalam rangkaian aktivitasnya guna menempatkan kegiatan promosi dan edukasi yang berkaitan dengan prevensi kardiovaskular sebagai salah satu agenda prioritas.

Selanjutnya proses adopsi dan integrasi NCPPs ke dalam PERKESKOM dan PROMKES tentu membutuhkan proses pra-kondisi yang cukup. Misalnya dengan mempersiapkan tenaga petugas lapangan melalui proses literasi dan studi banding terhadap NCPPs serta berbagai bentuk persiapan dan adaptasi lain yang diperlukan. Dengan demikian ke depan PREKESKOM dan PROMKES bukan tidak mungkin dapat diandalkan serta memberikan kontribusi signifikan dalam kaitannya dengan prevensi atau pencegahan kardiovaskular.

Oleh: Eva Tirtabayu Hasri, S.Kep., MPH.

Keselamatan pasien merupakan salah satu topik yang paling sering mendapat perhatian di rumah sakit maupun puskesmas. Kerap kali pelatihan, seminar, dan workshop tentang keselamatan pasien selalu menjadi agenda tahunan tetap di rumah sakit dan puskesmas.

Namun sangat disayangkan, nampaknya keselamatan pasien sangat sulit dicapai, banyak kasus kematian maupun komplikasi yang terjadi akibat dari medical error oleh tenaga medis, minimnya peralatan, penanganan yang terlambat, dan sebagainya. Di era JKN ini, pencapaian pelayanan yang bermutu tinggi dengan mengedepankan keselamatan pasien menjadi prioritas utama demi menegakkan kendali mutu kendali biaya di pelayanan kesehatan.

Sebuah studi kualitatif oleh Aveling, Kayonga, Nega, and Dixon-Woods (2015) pada 57 tenaga medis di 2 rumah sakit di Afrika Timur mungkin bisa dijadikan pedoman dalam menemukan intervensi yang tepat untuk masalah ini. Aveling et al. (2015) menemukan ada 3 faktor yang mempengaruhi sulitnya menegakan keselamatan pasien pada 2 rumah sakit tersebut yakni material yang mencakup lingkungan fisik, peralatan dan medical supply; sumber daya manusia; dan hubungan internal yang mencakup kerjasama tim dan struktur organisasi.

Berdasarkan analisis kualitatif terhadap jawaban responden beberapa masalah yang ditemukan menyangkut material merupakan masalah klasik yang sering kita temui di rumah sakit pada umumnya di negara-negara berkembang seperti kondisi bangunan yang buruk, pintu dan jendela yang tidak berfungsi dengan baik, listrik dan air yang tidak lancar dan sebagainya. Minimnya peralatan kesehatan juga menjadi salah satu masalah yang sering dikemukakan oleh responden, masalah ini erat kaitannya dengan keterbatasan dana. Terlepas dari itu, responden juga mengeluhkan manajemen pemeliharaan yang buruk untuk peralatan yang ada yang menyebabkan peralatan tersebut tidak dapat berfungsi dengan baik walaupun tergolong peralatan baru. Hal lain yang menjadi hambatan adalah proses pengadaan dan distribusi peralatan oleh pemerintah setempat yang masih lemah sehingga menyebabkan keterlambatan, alat rusak karena penyimpanan yang tidak sesuai, dan sebagainya.

Masalah sumber daya manusia juga menjadi perhatian dari responden, kurangnya pelatihan terkait keselamatan pasien seperti pencegahan infeksi pada perawat dan bidan. Selain itu seringnya rotasi juga memberikan dampak yang negatif, staf baru dengan minim pelatihan terkait keselamatan pasien sering kali menjadi sumber medical error dalam memberikan perawatan kepada pasien. Masih berkaitan dengan sumber daya manusia, hubungan internal antar staf dan struktur organisasi juga menjadi keluhan dari responden. Seringnya konflik antar staf dan lemahnya kerja sama tim merupakan faktor utama dalam menegakan keselamatan pasien.

Adanya gap antara dokter dan perawat merupakan salah satu yang dikeluhkan responden, dalam banyak kasus dokter tidak mempertimbangkan masukan dari perawat yang mana berdampak pada kondisi pasien seperti meningkatkan resiko infeksi dan gagal dalam menerapkan SOP. Selain itu minimnya supervisi dan evaluasi juga menyebabkan banyak SOP yang dilanggar dalam proses perawatan pasien.

Aveling et al. (2015) menemukan bahwa masalah keselamatan pasien di negara maju dan berkembang sesungguhnya hampir sama dan dipengaruhi oleh faktor manusia, sumber daya, budaya kerja dan perilaku tenaga medis.

Oleh karena itu, dalam menegakan keselamatan pasien investasi pada sumber daya manusia dan peralatan saja tidak akan cukup tanpa reformasi sistem dan perubahan budaya kerja. Investasi merupakan hal yang esensial, namun menurut Aveling et al. (2015), untuk memastikan investasi tersebut memberikan kontribusi yang signifikan proses pengadaan, distribusi, dan pemeliharaan harus mendapakan perhatian lebih. Sama halnya dengan sumber daya manusia, staf yang ada perlu medapat dukungan baik dari segi insentif maupun lingkungan kerja untuk memotivasi mereka dalam mempraktekkan keselamatan pasien dalam pekerjaan mereka.

Pendekatan bottom-up merupakan hal yang perlu dipertimbangkan, suara dan saran dari front liner staf sangat diperlukan guna menemukan masalah yang paling mendasar dalam menegakan keselamatan pasien.

Oleh: Stevie A. Nappoe, Master Student-The University of Alabama at Birmingham, Fulbright Scholar 2016

Referensi: Aveling, E.-L., Kayonga, Y., Nega, A., & Dixon-Woods, M. (2015). Why is Patient Safety so Hard in Low-Income Countries? A Qualitative Study of Healthcare Workers’ Views in Two African Hospitals. Globalization and health, 11(1), 6.

Penyakit kardiovaskular adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia. Setelah usia 40 tahun, risiko sepanjang hidup terhadap penyakit kardiovaskular untuk laki-laki adalah 49% dan untuk wanita adalah 32%. Di Amerika Serikat, penyakit kardiovaskular menghabiskan biaya lebih dari 108 Milyar Dollar setiap tahunnya meliputi biaya pelayanan kesehatan, obat, dan hilangnya produktivitas.

Pada 2009, American Heart Association (AHA) menerbitkan penyataan ilmiah tentang self care sebagai bagian dari manajemen gagal jantung. Dalam literatur kardiovaskular, self care mengacu pada kepatuhan pasien terhadap rekomendasi pengobatan, respon sistem dan adopsi gaya hidup sehat seperti berhenti merokok dan manajemen berat badan. Menurut rencana strategi the National Institute of Nursing Research (NINR) yang juga menekankan self care terhadap penyakit kronis, tujuan utama dari program ini untuk meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup pasien dengan penyakit kronis. Self care interventions berjalan melalui: antar pasien dan penyedia layanan kesehatan; dalam suatu program edukasi grup penyakit tertentu; di fasilitas kesehatan ataupun di rumah; disampaikan oleh pemimpin grup sebaya (peer leaders) ataupun layanan kesehatan; dan melalui teknologi interaktif.

Dalam review penelitian oleh Dickson et al (2013) yang mengambil sampel studi nurse led self care interventions, dimana perawat yang merupakan penanggung jawab dalam program ini, intervensi dimulai saat pasien di rumah sakit dilanjutkan dengan follow up saat pasien di rumah. Pasien, dalam hal ini penderita gagal jantung, diberikan edukasi serta dukungan perilaku self care misalnya kepatuhan minum obat dan pengecekan tekanan darah secara mandiri. Studi oleh Suh et al (2010) yang memanfaatkan perkembangan teknologi untuk memonitor kesehatan pasien jantung di rumah adalah Weight and Activity with Blood Pressure Monitoring System (WANDA B System). WANDA B dikembangkan oleh para peneliti dari UCLA Wireless Health Institute dan UCLA School of Nursing. WANDA B menyediakan aplikasi pemantauan berbasis website, aplikasi di iphone serta SMS Reminder dan alert system bagi pasien. Hal ini memungkinkan dokter atau perawat memantau kondisi pasien yaitu denyut jantung, tekanan darah sistolik dan diastolik serta berat badan pasien kapanpun dan dimanapun secara berkesinambungan. Sistem ini juga dapat mencegah situasi bahaya pada pasien karena dokter atau perawat bisa segera menilai kondisi pasien yang emergensi dari data yang real time. Hasil dari pemantauan ketat berat badan pasien menghasilkan penurunan angka rawat inap, meningkatkan kualitas hidup pasien dan mengurangi beban dari penyakit kardiovaskular dalam sistem pelayanan kesehatan (Suh et al., 2010).

Ditinjau dari sistem mikro pada rantai mutu rumah sakit menurut konsep Berwick, solusi pemantauan pasien jarak jauh ini melibatkan peranan penting dari tenaga medis diantaranya dokter (baik dokter spesialis atau umum) dan perawat. Hasil data yang real time ini membutuhkan kecekatan oleh tenaga medis dalam membuat keputusan untuk penanganan terbaik bagi pasien yang masuk ke dalam kondisi emergensi. Tenaga medis yang terlibat harus mengerti tentang sistem yang diterapkan di tempat mereka bekerja, misalnya penggunaan website, aplikasi, SMS ataupun metode yang lainnya. Kunci dari program ini adalah edukasi oleh tenaga medis kepada pasien sehingga manajemen pengobatan terintegrasi berjalan baik dan pasien berperan aktif. Dilihat dari konteks organisasi yakni manajer atau kepala sarana layanan kesehatan, program ini sangat membutuhkan kesiapan dan komitmen manajemen RS ataupun puskesmas baik dari segi dana, SDM, dan hal-hal teknis lainnya yang mendukung. Ide self care atau self management untuk penyakit kardiovaskular sudah banyak dikembangkan oleh berbagai negara termasuk di Indonesia. Manfaat dari self management tentu saja dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien kardiovaskular. Bukan saja pasien yang mendapat dampak positif, tetapi klaim biaya pengobatan di sarana layanan kesehatan bisa ditekan sehingga, keberhasilan program ini terutama di Indonesia, perlu ditinjau lebih jauh lagi dan diterapkan dengan baik pada era JKN saat ini.

Oleh : dr. Novika Handayani

Referensi

DICKSON, V. V., NOCELLA, J., YOON, H. W., HAMMER, M., MELKUS, G. D. & CHYUN, D. 2013. Cardiovascular disease self-care interventions. Nurs Res Pract, 2013, 407608.

SUH, M.-K., EVANGELISTA, L. S., CHEN, V., HONG, W.-S., MACBETH, J., NAHAPETIAN, A., FIGUERAS, F.-J. & SARRAFZADEH, M. 2010. WANDA B.: Weight and activity with blood pressure monitoring system for heart failure patients. 1-6.

 

Antenatal Care (ANC) merupakan 1 dari 4 esensial elemen dalam menegakan persalinan yang aman dan berkualitas sesuai dengan standar WHO. Oleh karena itu, ANC merupakan hal yang perlu mendapat perhatian serius selain memastikan kondisi kesehatan ibu dan janin ANC juga merupakan salah satu indikator mutu kesehatan ibu dan anak yang penting. Dalam era JKN saat ini, ANC mengambil bagian dalam kendali mutu dan kendali biaya demi menjamin seluruh ibu hamil mendapatkan pelayanan yang bermutu sejak hari pertama kehamilan sampai dengan melahirkan. ANC yang berkualitas akan membantu tenaga kesehatan untuk mempersiapkan kelahiran yang aman bagi ibu dan bayi. Melalui ANC berkualitas kondisi ibu dan bayi dimonitor secara ketat, apakah ibu termasuk dalam resiko tinggi, apakah pada saat melahirkan nanti akan terjadi komplikasi, dan lain-lain. ANC berkualitas juga memasukkan elemen promosi kesehatan, memberikan pertimbangan kepada ibu dalam memilih persalinan, inisiasi menyusui dini, gizi, kontrasepsi dan keluarga berencana.

Walaupun sebagian besar ANC di Indonesia dilakukan di fasilitas kesehatan tingkat pertama namun tidak ada salahnya apabila kita menengok sedikit sebuah penelitian oleh Turan, Bulut, Nalbant, Ortayli, and Akalin (2006) dalam mengukur kualitas pelayanan ANC di 2 RS pemerintah dan 1 RS swasta di Turki. Turan et al. (2006) menggunakan framework yang dikembangkan oleh Bruce (1990) dengan mengkombinasikan data kuantitatif dan kualitatif dari responden pada ketiga rumah sakit tersebut, responden yang diwawancarai antara lain pasien, petugas bagian administrasi, rekam medik, serta dokter, perawat dan bidan yang melakukan ANC. Framework ini dapat juga digunakan untuk mengukur kualitas ANC di fasilitas kesehatan tingkat pertama.

Framework dari Bruce (1990) ini terdiri dari 6 elemen yang saling mendukung satu sama lain. Elemen-elemen ini tidak hanya mengukur mutu dari sisi provider tapi juga dari sisi pasien. Berikut adalah hasil pengukuran mutu ANC di 3 RS di Turki dengan menggunakan framework ini:

  1. Kompetensi teknis: masih ada disparitas dalam pelayanan ANC antar rumah sakit dimana masih ada rumah sakit yang minim peralatan dan tenaga sehingga ANC yang dilakukan kurang maksimal. Di sisi lain, penggunaan peralatan yang berlebihan seperti USG membuat antrian untuk menggunakan peralatan USG menjadi sangat panjang dan membuat pasien mencari pelayanan USG di klinik swasta atau praktik dokter di luar rumah sakit dengan membayar biaya tambahan. Hal lain yang menjadi sorotan Turan et al. (2006) adalah masalah personal hygiene dari petugas rumah sakit yang masih rendah seperti kebiasan mencuci tangan dan merokok di lingkungan rumah sakit.
  2. Mekanisme follow-up dan continuity of care: lemahnya manajemen data dan pengaturan jadwal praktek dokter membuat pasien yang melakukan ANC di rumah sakit pemerintah harus melakukan beberapa tes secara berulang-ulang. Hal ini disebabkan karena mereka ditangani oleh dokter yang berbeda dan dokumentasi riwayat ANC mereka terkadang kurang jelas. Selain itu, proses rujukan yang tidak menyertakan rekam medik pasien ditambah dengan tidak adanya tenaga kesehatan pendamping membuat penerima rujukan mengalami kesulitan dalam mengikuti proses perawatan dari pasien yang bersangkutan.
  3. Ketepatan paket pelayanan: beberapa rumah sakit yang memiliki tenaga dan fasilitas yang terbatas terpaksa memilah pelayanan ANC mereka sehingga menjadi terfragmentasi atau terpisah-pisah. Hal ini membuat pasien harus melalui proses administrasi yang lebih panjang dan terkadang pasien harus mengeluarkan biaya ekstra untuk beberapa tes laboratorium yang tidak tersedia di rumah sakit tersebut.
  4. Konseling dan penyampaian informasi: sebagian responden menyatakan bahwa mereka lebih banyak menerima informasi tentang perkembangan kehamilan dan bayi mereka pada saat ANC, sedangkan informasi mengenai komplikasi, pengenalan tanda-tanda bahaya, persiapan kelahiran, dan konseling mengenai kontrasepsi setelah melahirkan jarang disampaikan. Sementara hasil wawancara dengan tenaga kesehatan menyatakan bahwa mereka kesulitan untuk menjelaskan hal-hal tersebut karena tingkat pendidikan pasien yang rendah dan beban kerja mereka yang terlampau banyak.
  5. Pengambilan keputusan terkait persalinan/pasca persalinan: sebagian besar responden merasa lebih nyaman mendiskusikan opsi persalinan mereka dengan dokter berjenis kelamin perempuan namun secara umum dalam ANC jarang dibahas mengenai alternatif persalinan mereka termasuk perawatan bayi pasca-persalinan dan opsi penggunaan alat kontrasepsi setelah bersalin.
  6. Relasi interpersonal: konflik interpersonal baik antar tenaga kesehatan maupun tenaga kesehatan dengan pasien kerap terjadi di rumah sakit pemerintah dibandingkan rumah sakit swasta. Hal ini disebabkan karena tingginya beban kerja, kurangnya fasilitas, job description yang kurang jelas, dan insentif/kompensasi yang rendah.


Secara keseluruhan responden yang mendapatkan pelayanan ANC di rumah sakit swasta merasa lebih puas dibandingkan responden di rumah sakit pemerintah. Beberapa rekomendasi yang disarankan oleh Turan et al. (2006) untuk meningkatkan mutu ANC di rumah sakit di Turki antara lain merevisi standar mutu yang digunakan dengan diikuti oleh pelatihan yang rutin kepada bidan, perawat, dan dokter agar mereka dapat mengikuti standar yang ada. Implementasi electronical record system yang terhubung antara satu provider dengan provider lainnya untuk memastikan continuity of care.

Untuk mengurangi beban kerja tenaga kesehatan di rumah sakit Turan et al. (2006) menyarankan untuk memindahkan pelayanan ANC ke tingkat primary care dengan memanfaatkan kunjungan bidan namun tetap diawasi dengan ketat dan didukung dengan sumber daya yang memadai untuk memastikannya tetap berkualitas. Promosi kesehatan untuk ibu hamil juga perlu ditingkatkan minimal agar ibu hamil dapat mengetahui tanda-tanda bahaya selama kehamilan, inisiasi menyusui dini, dan pengambilan keputusan saat melahirkan. Untuk itu kemampuan komunikasi dari tenaga kesehatan harus terus ditingkatkan untuk bisa menyampaikan informasi tersebut kepada pasien dengan tepat.

Oleh: Stevie A. Nappoe-Master Student, The University of Alabama at Birmingham, Fulbright Scholar 2016

Referensi :
Bruce, J. (1990). Fundamental elements of the quality of care: a simple framework. Studies in Family Planning, 21(2), 61-91.
Turan, J. M., Bulut, A., Nalbant, H., Ortayli, N., & Akalin, A. A. K. (2006). The Quality of Hospital-based Antenatal Care in Istanbul. Studies in Family Planning, 37(1), 49-60. doi:10.1111/j.1728-4465.2006.00083.x