Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Disarikan Oleh: dr.Novika Handayani (Divisi Mutu PKMK FKKMK UGM)

Glaukoma, khususnya glaukoma sudut terbuka primer, adalah neuropati optik kronis progresif yang ditandai dengan penipisan lapisan serat saraf retinal dan hilangnya penglihatan secara bertahap mulai dari bidang penglihatan perifer dan meluas ke penglihatan sentral pada kondisi lebih lanjut. Glaukoma adalah penyakit yang berpotensi membuat buta tetapi jika terdeteksi pada tahap awal penyakit ini dapat dikontrol, sehingga penglihatan tetap terjaga. Orang yang berisiko tinggi terkena glaukoma seringkali berasal dari populasi dengan tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan mata yang rendah, sebagian akibat faktor akses yang kurang, biaya, dan pengetahuan yang tidak memadai tentang pentingnya pelayanan kesehatan mata. Diperkirakan bahwa hampir setengah dari penderita glaukoma mungkin tidak mengetahui bahwa mereka mengidap penyakit tersebut karena gejala muncul di akhir perjalanan penyakit.

Intervensi yang meningkatkan deteksi dini glaukoma, termasuk yang membuat pelayanan lebih mudah diakses dan nyaman dan yang meningkatkan pengetahuan pasien, melalui penggunaan pendidikan kesehatan mata berbasis bukti, dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan orang yang berisiko terkena glaukoma. Telemedicine yang secara khusus dimasukkan dalam deteksi dan manajemen glaukoma, adalah intervensi yang berpotensi menjangkau segmen populasi yang berisiko terkena glaukoma serta memudahkan aksesibilitas ke pelayanan kesehatan mata. Pendidikan kesehatan mata dapat dibangun menjadi interaksi antara staf klinis dan pasien, dengan tujuan meningkatkan pengetahuan pasien tentang penyakit mata, kepatuhan untuk datang saat jadwal pemeriksaan mata yang direkomendasikan dan meningkatkan kepatuhan terhadap rekomendasi pengobatan.

Rhodes dkk telah melakukan studi dengan program bernama EQUALITY (Eye Care Quality and Accessibility Improvement in the Community) dimana program ini menggunakan edukasi kesehatan mata berbasis bukti yang secara khusus dirancang untuk mengedukasi pasien tentang glaukoma secara langsung melalui berbagai materi dan juga untuk mendidik staf klinis mata tentang glaukoma, sehingga mereka dapat dengan terampil memberikan informasi kepada pasien. Tujuan dari studi ini adalah menilai dampak program edukasi kesehatan mata terhadap program telemedicine EQUALITY tentang pengetahuan pasien berisiko tentang glaukoma dan perilaku terhadap perawatan kesehatan mata. Tujuan kedua adalah untuk menggambarkan kepuasan pasien dengan pengalaman pelayanan mata dalam program EQUALITY.

Kuesioner diberikan sebelum pasien menjalankan pemeriksaan mata komprehensif pasien dan sebelum pasien menerima program edukasi kesehatan mata berbasis bukti (melalui video, poster dan paket yang dimasukkan brosur tentang glaukoma). Setelah itu kuesioner tindak lanjut diberikan 2-4 minggu kemudian melalui telepon. Tanggapan pasien saat awal (baseline) dan tanggapan saat tindak lanjut mengenai pengetahuan tentang glaukoma dan perilaku terhadap perawatan mata dibandingkan dengan menggunakan tes McNemar. Model regresi logistik digunakan untuk menilai hubungan karakteristik tingkat pasien dengan peningkatan pengetahuan dan perilaku. Kepuasan pasien secara keseluruhan dirangkum.

Hasil menunjukkan bahwa setelah menerima program edukasi kesehatan mata tentang glaukoma, pengetahuan dari pasien berisiko glaukoma dalam program EQUALITY meningkat. Peningkatan yang signifikan dalam pengetahuan pasien dalam klinik yang dapat diakses ini mungkin telah dicapai dalam penelitian ini karena penggunaan multimedia, seperti video, pamflet, dan poster, untuk menyampaikan edukasi, karena pendekatan multimedia dapat menangani berbagai gaya belajar pasien. Selain itu, program ini melatih staf klinik tentang bagaimana menyebarkan pengetahuan tentang glaukoma kepada pasien. Interaksi staf klinik dengan pasien selama pemeriksaan mata komprehensif mungkin juga membantu meningkatkan pengetahuan tentang glaukoma. Secara keseluruhan, pengetahuan mereka yang tidak bekerja atau memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah cenderung tidak meningkat.

Selain itu, hasil menunjukkan bahwa peserta EQUALITY memiliki perilaku yang secara umum positif tentang perawatan mata bahkan sebelum program edukasi kesehatan mata. Pada saat tindak lanjut, 80% pasien menyadari pentingnya pergi ke dokter mata setiap 2 tahun dan kebutuhan untuk menerima pelayanan mata meski tidak ada masalah mata. Setelah program EQUALITY, 98% peserta melaporkan niat mereka untuk melengkapi pemeriksaan mata komprehensif dalam 2 tahun ke depan. Tingginya persentase pasien yang menyatakan niat mereka ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, program edukasi kesehatan mata mungkin berhasil mencapai tujuannya untuk mengedukasi pasien yang berisiko terkena glaukoma tentang pentingnya perawatan mata rutin dalam mendeteksi glaukoma. Kedua, ada kemungkinan bahwa sifat "high technology" dari program telemedicine dengan tinjauan subspesialis pada akhir membuat mereka merasa bahwa mereka menerima pelayanan tingkat tersier tanpa harus melakukan perjalanan ke pusat tersebut.

Dalam studi ini, ditemukan juga bahwa persentase hasil kepuasan pasien tinggi yaitu 99%. Hasil ini konsisten dengan studi telemedicine glaukoma lainnya. Telemedicine adalah strategi yang mungkin untuk meningkatkan deteksi dan manajemen penyakit dengan meningkatkan akses dan kepatuhan terhadap pelayanan mata rutin. Dengan menggunakan teknologi saat ini, program telemedicine EQUALITY memungkinkan penerapan evaluasi klinis tingkat tinggi dari jarak jauh ke klinik pelayanan mata primer berbasis komunitas dan menyediakan program edukasi kesehatan mata berbasis bukti yang meningkatkan pengetahuan tentang glaukoma dan perilaku terhadap perawatan mata. Meningkatkan pengetahuan pasien tentang glaukoma dan sikap terhadap perawatan mata pada kelompok berisiko adalah penting, karena hal itu dapat meningkatkan pemanfaatan perawatan mata dan meningkatkan deteksi dini penyakit, sehingga menurunkan risiko kebutaan.

Dari studi ini, dapat kita kaitkan dengan kondisi pandemi Covid-19 yang cukup menantang bagi sistem Kesehatan di seluruh dunia, dimana pelayanan kesehatan menggunakan telemedicine menjadi alternatif. Provider pelayanan kesehatan di Indonesia yang juga sudah menggunakan telemedicine untuk beberapa pelayanan. Telemedicine ataupun penggunaan konsultasi online tetap tidak menggantikan pelayanan tatap muka dokter dan pasien, tapi ini merupakan salah satu langkah untuk mengurangi risiko transmisi Covid-19 dan sebagai media edukasi kesehatan serta media untuk tetap follow-up kondisi kesehatan pasien.

Sumber: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/27274329/

 

 

Penulis: Andriani Yulianti (Divisi Mutu, PKMK FK-KMK UGM)

Penyakit kardiovaskular masih menjadi ancaman dunia dan merupakan penyebab kematian nomor satu di seluruh dunia. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan 17,9 juta orang di dunia meninggal akibat penyakit jantung dan pembuluh darah, dan 80% berasal dari serangan jantung dan stroke, serta 75% dintaranya terjadi di negara berkembang. Dalam Agenda Sustainable Development Goals (SDG’s) 2030 pemerintah telah berkomitmen untuk meningkatkan tindakan untuk mengurangi kematian dini akibat penyakit kardiovaskular dan penyakit tidak menular lainnya untuk meningkatkan dan mendorong pembangunan kesehatan.

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, angka kejadian penyakit jantung dan pembuluh darah di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Setidaknya, di Indonesia terdapat 15 dari 1000 orang yang menderita penyakit jantung. Oleh karena itu, peringatan hari Jantung Sedunia (World Heart Day) sebagai platform peningkatan kesadaran terbesar untuk kesehatan kardiovaskular. Dikhawatirkan kondisi status kesehatan populasi setelah pandemi berakhir nanti akan lebih buruk dibandingkan saat ini, yang akan menambah beban pada sistem kesehatan nasional dan daerah, sehingga peran layanan kesehatan primer menjadi semakin krusial dalam menjaga ketahanan sistem kesehatan.

Diketahui bahwa pasien dengan kardiovaskular merupakan pasien yang memiliki kerentanan terinfeksi COVID-19 dan berpotensi mengalami perburukan jika telah terinfeksi covid-19. Penyakit jantung juga masuk dalam urutan ke-3 sebagai penyumbang kondisi penyerta pasien dengan COVID-19 dengan jumlah 19,9 % (Data Satgas COVID-19 per tanggal 30 September 2020). WHO juga mengungkap beberapa temuan bahwa layanan kesehatan telah terganggu sebagian atau seluruhnya di banyak negara.

Lebih dari separuh (53%) negara yang disurvei sebagian atau seluruhnya telah mengganggu layanan pengobatan hipertensi; 49% untuk pengobatan diabetes dan komplikasi terkait diabetes; serta 42% untuk pengobatan kanker, dan 31% diantaranya untuk keadaan kardiovaskular yang emergensi. Di awal Pandemi, keadaan seperti ini dapat dipahami karena terdapat rekomendasi awal WHO untuk meminimalkan perawatan berbasis fasilitas yang tidak mendesak sambil menangani pandemi.

Saat ini, guna memaksimalkan penanganan pasien penyakit tidak menular, WHO telah melakukan penilaian cepat terhadap pelayanan pasien tidak menular yakni didapatkan beberapa strategi alternatif yang telah ditetapkan di sebagian besar negara untuk mendukung orang yang berisiko tinggi untuk dapat terus menerima pengobatan untuk layanan penyakit tidak menular yang membutuhkan perawatan. Data yang didapatkan bahwa secara global, sebesar 58% negara menggunakan telemedicine untuk menggantikan konsultasi langsung; dan untuk negara-negara berpenghasilan rendah angka ini berkisar 42%.

Alternatif lainnya yakni Pengalihan tugas (task shifting), pendekatan pengeluaran untuk obat-obatan penyakit tidak menular, melakukan triase untuk mengidentifikasi penyakit prioritas hingga pengalihan pasien dengan penyakit tidak menular ke fasilitas perawatan kesehatan alternatif. Hal tersebut dilakukan karena sangat penting bagi negara-negara untuk menemukan cara inovatif untuk memastikan ketersediaan akses pada layanan penyakit tidak menular dapat terus berlanjut (WHO, 2020)

Di sisi lain, Pandemi COVID-19 merupakan kesempatan untuk merefleksikan sistem pelayanan kesehatan dan praktik klinis saat ini. Strategi pengambilan keputusan yang efektif dan efisien mutlak digunakan selama pandemi COVID-19 dan telah menyoroti pentingnya keteraturan setiap individu terhadap protokol yang ada. Meskipun demikian, tentunya dampak pandemi tidak dapat terhindarkan namun dapat diminimalkan. Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa diperkirakan lebih dari 50% kasus bedah elektif yang dilakukan penundaan atau pembatalan operasi elektif dapat mengakibatkan kerusakan jantung yang progresif. (Stahel P, 2020).

Untuk menghindari dampak pandemi yang lebih besar pada layanan kardiologi di masa depan, optimalisasi layanan telemedicine adalah yang terpenting (Adam S et al, 2020). Selain itu, melatih staf dan pasien untuk menggunakan telemedicine dan perawatan fasilitas kesehatan jarak jauh juga penting. Kedepan, lebih awal mengkomunikasi kepada pasien dan menjamin bahwa rumah sakit dapat memberikan perawatan jantung yang memadai, sementara memastikan terpenuhinya kebijakan pengendalian infeksi di fasilitas kesehatan, hal ini dilakukan agar dapat mengurangi kecemasan dan ketakutan pasien untuk melakukan kunjungan ke fasilitas kesehatan.

Meskipun telemedicine menjadi alternatif pilihan, banyak tantangan dalam implementasinya, seperti pemenuhan infrastruktur, SDM yang terlatih sehingga penting mendorong sebuah institusi untuk memanfaatkan teknologi ini untuk mengoptimalkan pelayanan pasien. Metode dalam melakukan pelayanan kesehatan jarak jauh penting didiskusikan antara pasien dan klinisi yang disesuaikan secara individual dengan pasien untuk mengetahui kebutuhan medis pasien.

Selain itu, home care dan pelayanan klinik keliling juga bisa ditawarkan kepada pasien kardiologi; ini akan membantu mengurangi keterlambatan diagnosis dan pengobatan. Selain itu, perubahan dalam birokrasi pelayanan kesehatan juga akan bermanfaat yakni melatih ahli jantung junior untuk membuat keputusan yang seharusnya dibuat oleh para senior. Semua tindakan ini akan membantu penyedia layanan kesehatan menjadi lebih siap dan mengurangi dampak pandemi pada layanan kardiologi di masa depan. (Adam S et al, 2020).

Sumber bacaan:

  • Adam S et al. 2020. COVID-19 pandemic and its impact on service provision: A cardiology prospect Sana Adam. Acta cardiologica, Taylor and francis grup.
  • Gorodeski E, Goyal P, Cox Z, et al. 2020. Virtual visits for care of patients with heart failure in the era of COVID-19: a statement from the Heart Failure Society of America. J Card Fail.;26(6):448–456.
  • Satgas COVID Nasional. 2020. Peta sebaran kasus, diakses tanggal 30 September 2020
  • https://covid19.go.id/peta-sebaran ,
  • Stahel P. 2020. How to risk-stratify elective surgery during the COVID-19 pandemic? Patient Saf Surg.;14(1):8.
  • WHO. 2020. Covid 19 and NCD, Retrieve from
    https://www.who.int/publications/m/item/rapid-assessment-of-service-delivery-for-ncds-during-the-covid-19-pandemic 

 

Penulis: dr. Robertus Arian Datusanantyo, M.P.H., M.Ked.Klin., SpBP-RE
( Dokter spesialis alumni Universitas Gadjah Mada dan Universitas Airlangga)

Disrupsi terhadap rutinitas pelayanan di masa pandemi COVID-19 menyisakan pertanyaan mengenai keberlangsungan pengukuran dan kawalan mutu pelayanan kesehatan. Pengukuran mutu dan keselamatan pasien yang telah berjalan rutin dari waktu ke waktu ditantang dengan perubahan kondisi yang tiba-tiba di masa pandemi. Komite mutu dan keselamatan pasien di rumah sakit dituntut untuk tanggap dan mampu beradaptasi dengan cepat pada masa turbulensi ini.

Sebuah opini di Journal of American Medical Association (JAMA) menyoroti soal bagaimana pandemi Covid-19 telah menunjukkan berbagai kelemahan dalam pengukuran mutu pelayanan rumah sakit (Austin and Kachalia, 2020). Kelemahan ini antara lain adalah terlalu padat karya, kelambatan data yang signifikan, dan ketiadaan standar yang memungkinkan pembagian data dengan cepat. Kelemahan-kelemahan ini pun kerap kita jumpai pada rumah sakit di Indonesia.

Di sisi lain, pelatihan-pelatihan mengenai peningkatan mutu dan keselamatan pasien yang telah dilakukan kepada para tenaga kesehatan memungkinkan respon yang adekuat terhadap tantangan pandemi COVID-19 (Fitzsimons, 2020). Pengalaman di Cleveland Clinic menunjukkan bahwa untuk tetap melakukan peningkatan mutu di masa pandemi, diperlukan pendekatan gegas PDSA (plan - do - study - act) dan kepemimpinan di semua level yang mampu mengkoordinasi, mengembangkan protokol, dan mengimplementasikan perubahan (Oesterreich et al., 2020).

Meskipun prinsip-prinsip tersebut tidak baru, memaknainya dalam konteks pandemi menjadi penting. Sebagai contoh adalah kebiasaan pengumpulan data mutu dan analisisnya. Sebagian, bila tidak semua, rumah sakit mengukur berbagai indikator mutu sebagai tambahan atas beban utama dan dilakukan setelah pelayanan. Keadaan ini menjadi hambatan pengukuran dan analisis pada proses peningkatan mutu berkelanjutan pada saat terjadi puncak kebutuhan sumber daya saat pandemi.

Beberapa indikator keselamatan pasien dan indikator mutu seperti contohnya infeksi daerah operasi (IDO) yang memiliki kelambatan 6 sampai 12 bulan tergantung periode waktu analisis yang ditetapkan setiap rumah sakit. Saat data selesai dianalisis, umpan balik yang direncanakan kemungkinan sudah tidak sesuai karena tidak tepat waktu untuk memunculkan intervensi yang berdampak. Dalam krisis seperti misalnya pandemi, efek buruk kelambatan data ini membesar karena kinerja pelayanan dalam situasi krisis ini tidak dapat terukur pada waktu yang tepat.

Dalam waktu inilah peran kepemimpinan diperlukan untuk mentransformasi kegiatan-kegiatan peningkatan mutu yang pada kondisi biasa adalah kegiatan elektif menjadi kegiatan yang dapat diaplikasi pada kondisi akut atau gawat darurat. Para tenaga kesehatan sudah mengenal dan dilatih untuk menggunakan improvement science dan patient safety science (Fitzsimons, 2020). Lewat kedua pengetahuan inilah persoalan padat karya, kelambatan, dan ketiadaan standar berbagi indikator-indikator mutu bisa diatasi pada masa pandemi.

Pendekatan rapid learning cycle (RLC) adalah inti dari peningkatan mutu dengan cara menetapkan tujuan perubahan, menentukan cara pengukuran perubahan, dan menciptakan perubahan untuk menghasilkan peningkatan mutu. Ini diikuti dengan siklus plan - do - study - act yang diulang untuk memvalidasi atau memperbesar perubahan (Fitzsimons, 2020). Siklus PDSA dilakukan dengan sesedikit mungkin disrupsi pada pelayanan klinis dan harus bersandar pada cara pengukuran perubahan yang adekuat. Pengukuran perubahan harus teliti sehingga perubahan hasil pengukuran dapat diinterpretasikan dengan benar.

Perubahan perilaku juga merupakan hal penting pada peningkatan mutu di masa pandemi. Economic and Sosial Research Institute di Irlandia mengumpulkan cukup banyak bukti berbagai pendekatan untuk perubahan perilaku baik di tingkat organisasi maupun di tingkat masyarakat umum (Lunn et al., 2020). Walaupun bukan suatu systematic review, Lunn dkk menemukan bahwa komunikasi yang efekif di saat krisis melibatkan kecepatan, kejujuran, kredibilitas, empati, dan mendorong perilaku individu yang bermanfaat. Intervensi perilaku yang efektif terbukti meningkatkan kebiasaan cuci tangan walaupun tidak terbukti untuk mengurangi kebiasaan menyentuh wajah.

Selain improvement science, rumah sakit dapat juga melakukan peningkatan mutu dengan pendekatan patient safety science seperti misalnya menggunakan model system engineering initiative for patient safety (SEIPS) yang terakhir diusulkan pembaruannya menjadi versi ketiga (Carayon et al., 2020). Melalui model ini, rumah sakit di masa pandemi dapat melakukan intervensi seperti crisis resource management (CRM), brifing harian dengan durasi pendek, dan after action review (AAR) (Fitzsimons, 2020). Penerapan model SEIPS dapat mengidentifikasi berbagai isu keselamatan yang muncul dari interaksi pasien dengan beberapa pemberi pelayanan baik dalam sistem mikro klinis maupun yang lebih luas.

Selain harus bersandar betul pada pengukuran mutu (Austin and Kachalia, 2020; Fitzsimons, 2020), komite mutu dan keselamatan pasien juga harus dapat mengidentifikasi ulang apa yang dimaksud dengan pelayanan yang bermutu pada situasi krisis dengan mengedepankan prinsip keadilan, kewajiban untuk melayani, kewajiban untuk menjaga sumber daya, transparansi, konsistensi, proporsionalitas, dan akuntabilitas (Fitzsimons, 2020). Menggunakan dasar-dasar improvement science dan patient safety science, mutu pelayanan rumah sakit di masa pandemi COVID-19 dapat terus dijaga kelangsungannya bahkan ditingkatkan. Semoga bermanfaat!

Kepustakaan

  • Austin, J. M. and Kachalia, A. (2020) ‘The State of Health Care Quality Measurement in the Era of COVID-19: The Importance of Doing Better’, JAMA: the journal of the American Medical Association, 324(4), pp. 333–334.
  • Carayon, P. et al. (2020) ‘SEIPS 3.0: Human-centered design of the patient journey for patient safety’, Applied ergonomics, 84, p. 103033.
  • Fitzsimons, J. (2020) ‘Quality & Safety in the time of Coronavirus-Design Better, Learn Faster’, International journal for quality in health care: journal of the International Society for Quality in Health Care / ISQua. doi: 10.1093/intqhc/mzaa051.
  • Lunn, P. D. et al. (2020) ‘Using Behavioral Science to help fight the Coronavirus’, Journal of Behavioral Public Administration. doi: 10.30636/jbpa.31.147.
  • Oesterreich, S. et al. (2020) ‘Quality improvement during the COVID-19 pandemic’, Cleveland Clinic journal of medicine. doi: 10.3949/ccjm.87a.ccc041.

 

 

(Catatan kecil: refleksi tentang kualitas hidup pasien demensia di tengah pandemi)

Penulis:
Sabar P Siregar (Psikiater Dokdiknis (NIDK)
RSJ Prof dr Soeroyo, Magelang)

Seorang wanita 60 tahun dibawa oleh keluarganya ke poliklinik psikiatri. Dari informasi yang disampaikan bahwa belakangan menunjukkan perubahan perilaku. Awalnya tampak jadi pendiam dibanding biasanya, jarang senyum, jarang mengungkapkan apa yang dirasakan dan jarang memberi respon terhadap ungkapan perasaan orang lain terhadap dirinya. Masih dapat beraktivitas sehari-hari tetapi beberapa hal kegiatan harus diingatkan. Puncak perubahan perilaku itu terjadi saat klien suatu waktu mau memasak nasi.

Kegiatan ini sudah dilakukan bertahun-tahun. Seperti biasa sebelum memasak nasi, beras dicuci dulu dengan wadah berbahan plastik. Setelah itu baru ditempatkan ke tempat memasak nasi lalu ditaruh diatas kompor dan kompor dinyalakan. Tapi yang terjadi adalah wadah pencuci beras berbahan plastik yang biasa digunakan untuk mencuci beras, langsung ditaruh diatas kompor dan kompornya dinyalakan. Gejala lain yang bertambah berat adalah semakin lama penderita semakin pelupa terhadap banyak hal dan tambah banyak diam. Rawat diri, misal: makan dan mandi, harus dibantu.

***

Belakangan ini banyak aspek kehidupan di hubungkan dengan situasi pandemi yang sedang terjadi hampir di seluruh dunia. Tulisan ini mencoba membuat sedikit catatan untuk refleksi dampak pandemi terhadap klien demensia.

Literatur tentang demensia dapat banyak ditemukan dari berbagai sumber. Masih banyak hal yang belum diketahui tentang demensia. Walaupun demikian, sudah ada beberapa pemahaman yang telah diterima secara luas. Dari beberapa literatur disampaikan bahwa demensia adalah suatu terminologi yang digunakan untuk mendeskripsikan adanya berbagai gangguan kognitif (sindrom), terutama gangguan memori, yang disebabkan karena “sakit” otak.

Jadi demensia bukanlah suatu penyakit. Akan tetapi terjadinya demensia disebabkan berbagai penyakit, salah satunya adalah penyakit Alzheimer, yang bulan ini diperingati. Demensia Alzheimer adalah demensia yang disebabkan penyakit Alzheimer. Jenis demensia ini yang paling banyak terjadi dibandingkan jenis demensia lainnya. Selanjutnya pada tulisan ini, demensia yang dimaksud adalah demensia Alzheimer.

Dampak dari demensia sangat luas. Dapat berdampak langsung kepada klien demensianya sendiri maupun kepada sekitarnya, terutama bagi keluarganya. Dampak yang luas ini dilandasi seberapa luas jaringan otak yang “sakit” dimana hal ini akan menentukan tingkat gangguan kognitifnya. Definisi tentang kognitif yang dikemukakan dari berbagai literatur juga beragam. Pada tulisan ini yang dimaksud kognitif adalah kemampuan untuk berpikir dan mengetahui, menggunakan intelektual, logika, pertimbangan, memori dan semua fungsi tertinggi dari kortikal.

Kognitif yang utuh memungkinkan seseorang mampu menghargai dunia luar maupun dunia di dalam dirinya sendiri, juga memampukan seseorang berinteraksi dengan orang lain dan bernegosiasi dalam kehidupannya sehari-hari. Selanjutnya, komunikasi dan pemahaman yang tepat dari seseorang, tidak hanya tergantung pada kemampuan bahasa dan berbicara serta tidak adanya gangguan pada pikiran tetapi tergantung juga pada keadaan fungsi otak lainnya yaitu kognitif dan intelektual yang dimiliki. Fungsi kognitif adalah satu hal penting dalam kehidupan setiap orang.

Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa pada demensia ditemukan beberapa gangguan kognitif. Dengan pemahaman fungsi kognitif seperti di atas dan pada klien demensia ditemukan beberapa gangguan kognitif maka dapat dipahami kenapa klien-klien demensia mengalami hambatan pada hampir setiap aspek kehidupan pribadinya. Aspek yang paling terdampak adalah menurunnya kemampuan untuk mandiri.

Kemampuan untuk hidup mandiri pada level demensia tertentu, sangat menurun. Tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri bahkan untuk kebutuhan hidup yang paling dasar. Sehingga klien demensia sangat tergatung pada lingkungannya. Penurunan kemandirian ini juga terkait dengan menurunnya kemampuan memilih apa yang tepat untuk dirinya sendiri, termasuk keputusan-keputusan moral, kehilangan kesempatan menikmati aktivitas sehari-hari yang sebelumnya menyenangkan bagi dirinya dan terganggunya hubungan pribadi.

Pada klien demensia juga dapat terjadi beberapa masalah gejala-gejala psikopatologi seperti apatis, agitasi, depresi dan psikosis. Adanya gejala-gejala psikiatri ini tentu akan membuat keadaan akan lebih rumit karena gejala-gejala itu dapat berupa bagian gejala dari demensianya sendiri, juga dapat berupa kondisi klinis yang berdiri sendiri atau gejala itu merupakan cara klien demensia mengekspresikan apa yang dirasakan di dalam dirinya atau cara respon klien terhadap lingkungannya.

Jadi ekspresi adanya gejala-gejala psikopatologi pada klien demensia tidak selalu menunjukkan adanya gangguan-gangguan psikiatri. Untuk itu sangat diperlukan evaluasi yang komprehensif dan cermat dalam menganalisa gejala-gejala psikopatologi pada klien demensia. Karena pastinya hal ini akan terkait dengan penanganan lebih lanjut.

Level terakhir demensia adalah level dimana fungsi kognitif sudah terganggu total. Kontrol motorik hilang. Kontrol motorik yang hilang ini semakin berat karena biasanya klien demensia sudah lanjut usia (lansia). Seorang lansia pada umumnya sudah mengalami penurunan kontrol motorik. Sehingga ketika digabungkan, keadaan demensia dan lanjutnya usia maka dapat diprediksi hilangnya kontrol motorik bertambah berat.

Hal lain yang paling bermakna pada demensia level akhir adalah gangguan komunikasi. Gangguan komunikasi yang berat akan membuat seorang klien demensia tidak mampu menyampaikan: apa yang mereka pikirkan, rasakan, termasuk apa yang mereka inginkan, maupun butuhkan dan menyampaikan gejala-gejala medis yang mereka alami. Walaupun belakangan alat-alat medis sudah semakin maju dan itu adalah hal yang harus disyukuri, akan tetapi komunikasi antara terapis dan klien pada pelayanan medis adalah hal prinsip yang tidak dapat diganti alat-alat modern.

Hambatan komunikasi tentu akan mempengaruhi kualitas pelayanan kesehatan yang sebagian besar membutuhkan komunikasi dua arah antara terapis dan klien. Jika ada bias dalam komunikasi antara terapis dan kliennya dapat mengakibatkan tidak akuratnya diagnosis yang tentunya diikuti kurang maksimalnya hasil terapi.

Di tengah pandemi covid-19 yang tidak ada seorangpun dapat memprediksi kapan berakhirnya, klien demensia adalah salah satu kelompok yang memiliki resiko ganda. Kenapa resiko ganda? Seperti disampaikan melalui media-media bahwa kelompok lansia adalah kelompok paling rentan terinfeksi covid-19. Dari sisi usia klien demensia rata-rata sudah lansia, dengan demikian secara alami sudah memilki satu faktor resiko. Faktor resiko lainnya adalah klien demensia sangat tergantung kepada orang lain. Kontak klien demensia dengan yang merawat mereka adalah salah satu jalur kemungkinan terinfeksinya klien demensia.

Jadi sudah ada dua faktor resiko yaitu usia dan ketergantungannya dirawat orang lain. Hal lain adalah jika klien demensia positip terinfeksi covid-19, tentu ada gangguan komunikasi, maka klien demensia tidak mampu menyampaikan apa yang mereka alami karena lupa. Untuk pemeriksaan dan terapi yang membutuhkan prosedur-prosedur tertentu untuk kepentingan perawatan medis, tentu juga sulit dilakukan. Hambatan disebabkan berkurangnya kemampuan untuk mengingat tahapan-tahapan prosedur yang diinstruksikan, padahal prosedur-prosedur sangat dibutuhkan untuk mencapai hasil terbaik.

Evaluasi progres penanganan pasien juga membutuhkan komunikasi. Terutama jika ada hal-hal yang tidak sesuai dengan efek dari terapi. Sebagian efek terapi memang dapat diobservasi tetapi ada efek terapi yang hanya dapat dilaporkan klien. Pada klien demensia sering lupa instruksi-instruksi yang diberikan sehingga tidak dapat melaporkan apa efek obat yang dialami dan sangat mungkin muncul efek yang tidak diharapkan. Klien demensia juga dapat salah melaporkan efek obat yang dialami. Karena klien demensia sulit mengingat kejadian-kejadian baru yang dialami maka yang dilaporkan adalah pengalaman efek obat lain yang sebelumnya pernah dipakai.

Permasalahan gangguan kognitif pada demensia ini sering juga memunculkan masalah dalam keluarga atau dengan pihak yang merawatnya. Masalah sering dimulai dari keseharian klien demensia. Sering mengatakan belum diberi makan, padahal sudah. Hal sebaliknya dapat terjadi, menolak makan karena merasa sudah makan, padahal belum. Menolak minum obat karena merasa sudah minum obat atau sebaliknya.

Mandi berkali-kali karena lupa sudah mandi atau belum, tetapi dapat juga sebaliknya. Mengatakan ke orang-orang bahwa barang berharga miliknya hilang diambil orang, padahal karena lupa tempat menyimpannya. Pergi dari rumah dan lupa jalan pulang. Menetap disatu tempat di luar rumah dan ketika diajak pulang tidak mau, karena meyakini tempat itulah rumahnya. Kadang bangun malam lalu menghidupkan kompor untuk merebus air lalu pergi tidur lagi dan lupa sedang menghidupkan kompor merebus air. Merasa ketakutan karena meyakini ada orang lain di dalam rumah, padahal tidak ada.

Saat bicara, kadang-kadang tiba-tiba diam karena lupa mau menyampaikan apa. Menyampaikan bahwa dirinya bertemu dengan kerabat atau orang yang sudah lama meninggal dunia. Menggabungkan suatu peristiwa di masa lalu dengan situasi saat ini, padahal sesungguhnya hal itu adalah keadaan yang tidak ada hubungan sama sekali. Semakin parah ketika klien demensia lupa bagaimana seharusnya ke kamar kecil. Kejadian-kejadian tersebut, dan masih banyak kejadian lain, sering membuat ketegangan antara klien demensia dengan orang / anggota keluarga yang merawatnya.

Ketegangan semakin memuncak karena ketika kepada klien demensia disampaikan semua fakta-fakta tentang apa yang sudah dilakukan, klien demensia sering membantahnya bahkan sampai marah membantahnya. Karena bantahan dari klien, keluarga juga mungkin menjadi jengkel karena menganggap klien demensia melawan atau berbohong, padahal sesungguhnya klien demensia membantah karena mereka sendiri lupa apa yang sudah dilakukan. Karenanya klien demensia sangat berpotensi mengalami kecelakaan karena tidak memahami resiko dari apa yang dilakukannya.

Orang atau keluarga yang merawat klien demensia juga punya kebutuhan dasar yang harus dipenuhi tapi di sisi lain harus merawat klien demensia yang sulit dipahami. Walaupun demikian, kebanyakan dari keluarga yang merawat tetap lebih mendahulukan terpenuhinya kebutuhan klien demensia karena mereka menyadari bahwa klien demensia lebih memerlukan bantuan dibandingkan dengan diri mereka sendiri yang masih mampu mengurus diri sendiri.

Sementara di sisi lain, klien demensia tidak mengerti seberapa besarnya pengorbanan pihak yang merawatnya. Hal ini tentu dapat menimbulkan rasa lelah yang berat bagi yang merawat klien demensia. Sangat perlu dukungan bagi siapapun yang merawat klien demensia karena selain menghadapi gangguan kognitif yang sulit dipahami, perawatan demensia juga sering berlangsung lama dan harapan pulih sangat kecil. Keadaan ini sangat menguras energi psikis dan fisik.

Pada masa pandemi ini terjadi distraksi perekonomian, maka sangat mungkin pencari nafkah utama dalam keluarga yang salah satu anggota keluarganya adalah klien demensia, kehilangan pekerjaannya atau pendapatan usaha sangat menurun maka keadaan ini akan berdampak terhadap perawatan klien demensia selanjutnya baik secara psikis dan fisik.

Penulis pernah mendapatkan informasi seorang ibu yang memiliki beberapa anak dan anak-anaknya sudah pada menikah. Ibu ini tinggal dirumahnya sendiri ditemani anak perempuannya yang bungsu dan sudah menikah. Di saat usia bertambah lanjut ibu ini mengalami demensia. Lama kelamaan anak perempuan yang tinggal bersama ibu ini menyampaikan ke saudara-saudaranya yang lain sudah tidak kuat merawat ibu mereka dengan berbagai alasan dan salah satu alasannya karena memiliki anak-anak yang masih kecil. Anak-anak ibu ini, yang dilahirkan dari rahimnya, yang dirawat mulai janin sampai dewasa, saling melempar tanggung jawab.

Tetapi keputusan harus dibuat dan diputuskan anak pertama laki-laki dalam keluarga yang harus merawat. Keputusan tersebut diambil karena anak laki-laki tersebut secara ekonomi paling mapan dibanding saudara-saudara lainnya, rumahnya cukup besar dan juga tanggung jawab sebagai anak pertama. Seiring berjalannya waktu kondisi ibu ini bertambah sulit. Buang hajat sembarangan dan selalu mondar mandir. Tidak dapat dikendalikan. Sudah mendatangkan pengasuh lansia tapi semuanya minta berhenti karena tidak kuat. Akhirnya istri anak pertama marah dan mengatakan: “Itu bukan ibu saya, kenapa harus saya yang mengurus?”. Puncaknya, istri anak pertama itu minta supaya ibu mertuanya itu diurus anak-anaknya yang perempuan, kalau tidak, sang istri mau pergi.

Sebagai catatan, sang menantu (istri anak pertama) tidak berkarir di luar rumah. Reaksi pembaca mesti beragam kalau membaca kisah ini. Ini hanya sebagian konflik kecil yang dapat menggambarkan betapa sulit dan kompleksnya dampak merawat klien dengan demensia dan semoga sang menantu serta anak-anak yang lain tidak menjadi demensia di kemudian hari.

Studi kasus diawal tulisan ini menunjukkan gejala klinis dengan gangguan kognitif yang berat. Pasien tidak dapat lagi mencapai tujuannya (memasak nasi) dengan cara yang semestinya, padahal selama ini kegiatan itu sudah berulang-ulang dilakukan. Gejala diawali dengan gejala-gejala apatis. Gangguan memori terjadi belakangan. Jadi pada kasus-kasus demensia kadang diawali dengan gejala-gejala afektif bukan gangguan memori. Keluarga sangat memperhatikan keadaan klien dan mengantarkannya kontrol teratur. Tempat tinggal klien dekat dengan tempat tinggal anggota keluarga yang lain sehingga anggota keluarga dapat bergantian merawat klien. Kebersamaan keluarga klien memperhatikan klien ini adalah nilai positip untuk terjaminnya keberlanjutan perawatannya.

Sebagai catatan, penulis pernah menemukan kasus lain, seorang wanita lansia dengan demensia, diantar suaminya yang juga sudah lansia datang ke poliklinik. Klien ini sudah pada level demensia akhir, jadi harus total care. Memiliki seorang anak perempuan yang sudah nikah, tinggal di luar negeri dan tidak pernah lagi pulang ke Indonesia bahkan komunikasipun sangat jarang. Keluarga lansia ini hanya tinggal berdua di rumah. Semua kegiatan di rumah, termasuk merawat klien demensia ini, dilakukan sendiri oleh sang suami. Kadang ada asisten rumah tangga datang membantu. Saudara-saudara tinggal jauh dan tentunya saudara-saudaranya juga punya kehidupan masing-masing yang harus diurus jadi tidak mungkin diharapkan membantu secara terus menerus. Setelah beberapa kali pertemuan di poliklinik, suami klien bertanya pada penulis: “dokter, kalau saya “duluan”, istri saya ini bagaimana ya dok?”.

Di Undang-undang sudah diatur bagaimana tanggung jawab negara terhadap warganya termasuk lansia dan juga berarti lansia dengan demensia. Negara bukanlah hanya pemerintah tapi semua elemen yang ada dalam suatu negara. Seharusnya jika melihat undang-undang yang ada, maka keresahan sang suami yang disampaikan ke dokter, tidak perlu terjadi. Namun kesulitan suatu kebijakan adalah justru pada tataran pelaksanaan. Beberapa literatur melaporkan bahwa perhatian negara, terutama negara-negara berkembang, sangat terbatas pada kelompok demensia. Karena bagi negara-negara berkembang masih banyak kebutuhan lain yang lebih mendesak dan menyangkut kebutuhan khalayak lebih banyak.

Demensia memang dilematis. Bagaimanapun keberadaan seseorang, termasuk jika mengalami demensia, mereka tetap sebagai warga negara suatu negara. Negara harus merawatnya. Di sisi lain, seberapapun besar investasi yang diberikan untuk merawat dan penelitian untuk penanganan demensia, saat ini progresnya memang masih sangat terbatas. Sejarah mencatat beberapa pesohor dunia, dimasa tuanya mengalami demensia dan salah satunya adalah mantan presiden negara adidaya. Artinya siapapun dapat menjadi seseorang dengan demensia. Para pesohor dunia itu pun tidak mengerti sebelumnya bahwa mereka nantinya akan mengalami demensia. Seandainya mereka mengerti akan mengalami demensia, tentu para pesohor tersebut, saat lagi berkuasa, akan membuat kebijakan-kebijakan yang memprioritaskan penanganan demensia.

Alangkah indahnya jika para pesohor dunia dimanapun saat ini, selagi berkuasa, memberi perhatian yang berkualitas dan berkelanjutan terkait kebijakan bagi klien-klien demensia. Bukan tidak mungkin kebijakan yang dibuat saat ini, secara tidak sengaja dipersiapkan untuk para pembuat kebijakan itu sendiri, siapa tau dimasa mendatang akan mengalami demensia. Walaupun jika nantinya benar mengalami demensia, akan lupa bahwa dirinyalah dahulu yang mempersiapkan kebijakan-kebijakan terhadap klien-klien demensia.

Diakhir tulisan ini penulis mengajak semua pihak, sejenak merenung, tentang klien demensia dengan segala dinamikanya dan hidup sebatang kara, siapakah yang akan merawatnya? Marilah kita semua, mengingat sesama kita yang sudah tidak mampu mengingat kita.

Daftar Pustaka:

  • Edited by: Budson A E, Kowall N W. The handbook of alzheimer’s disease ant other dementias. Wiley-Blackwell. 2011.
  • Budson A E, Solomon P R. Memory Loss, alzheimer’s disease and dementia. 2nd edition. Elsevier. 2016.
  • Hay D P, Klein D T, Hay L K, Groosberg G T, Kennedy J S. Agitation in patient with dementia. American Psychiatric Publishing, Inc. 2003.
  • Weiner M F & Lipton A M. Textbook of alzheimer disease and other dementias. American Psychiatric Publishing, Inc. 2009.
  • Edited by: Weiner M F & Lipton A M. Clinical manual of alzheimer disease and other dementias. American Psychiatric Publishing, Inc. 2012.