Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

temp

Japan's Quality Improvement Body–Its Achievement and Future Role In Public Healthcare Service as Private Sector Entity

shinSesi pembukaan pleno hari II dibawakan oleh Shin Ushiro dari Jepang. Sesi ini menjelaskan bagaimana lembaga mutu pelayanan kesehatan di Jepang (Japan Council for Quality Health Care/JQ) berkembang sejak didirikan pada tahun 1995. Bagaimana JQ mengembangkan sistem akreditasi, pelaporan kejadian sentinel, EBM dan juga sistem pemberian kompensasi (khususnya untuk dokter obsgin terkait dengan penanganan cerebral palsy)

Japan Accreditation Council - JQ menyusun laporan yang diberikan setiap bulan dengan berfungsi lebih untuk memberikan peringatan dan lebih lanjut mendorong adanaya kegiatan edukasi dan pencegahan, serta laporan setiap 3 bulan dan tahunan yang bersifat lebih untuk penyusunan strategi.

Seluruh laporan tersebut bersifat transparan dengan konsep anonimous dan non-punitive. Sistem pelaporan ini berdasarkan laporan data yang sebagian ada yang bersifat wajib dan sukarela, meski demikian pelaporan wajib pun masih belum dipatuhi oleh seluruh fasyankes, sehingga saat ini sedang didiskusikan agar ada payung regulasinya.

Menarik pembelajaran dari sesi ini adalah JQ tidak hanya berkutat pada standar dan proses akreditasi, namun juga meluas dengan beberapa aspek lain yang sedikit banyak terkait dengan standar akreditasi, yaitu sistem pelaporan keselamatan pasien dan penyusunan EBM serta pelaporan upaya peningkatan mutu.

Di Indonesia meski keempat hal tersebut juga telah dikerjakan namun masih terfragmentasi satu sama lain, akreditasi RS oleh KARS, keselamatan pasien oleh Komite Nasional Keselamatan Pasien, EBM oleh organisasi profesi (terutama IDI) dalam penyusunan PNPK, serta pelaporan upaya peningkatan mutu oleh masing-masing fasyankes. Ke depan, diusulkan agar minimal ketiga lembaga tersebut (KARS, KNKPRS dan IDI) dapat mengintegrasikan kegiatan mereka masing-masing. Tentunya hal ini perlu difasilitasi oleh Kemenkes (Direktorat Mutu dan Akreditasi Fasyankes).

Effective Use of Accreditation from the Experience of Three Countries

daftarnarasumberSesi ini merupakan salah satu sesi pararel yang diikuti penulis pada hari II adalah sesi dengan judul, dibawakan oleh Michio Hashimoto dan Tomonori Hasegawa dari Jepang dan Leslee Thompson dari Kanada serta Cliff Hughes dari Australia. Keempat pembicara menjelaskan bawa meski akreditasi dapat mendorong RS untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan namun banyak RS merasa kesulitan dalam menggunakan akreditasi secara efektif untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan tersebut.

Lembaga akreditasi diharapkan dapat mendukung RS dalam penerapan standar akreditasi dalam bentuk yang berbeda beda seperti pengalaman di 3 negara. Sesi ini di samping membagi pengalaman tentang upaya meningkatkan efektivitas namum juga mengidentifikasi berbagai faktor dan hambatan dalam penggunaan akreditasi untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan

Hasegawa menjelaskan bahwa pada saat ini Jepang sedang menghadapi masyarakat yang menua serta biaya pelayanan kesehatan yang juga meningkat. Jepang telah memiliki UHC sejak tahun 1961 (dengan tarif yang direvisi tiap tahun) dimana ini merupakan sumber pendapat bagi RS (pemerintah dan swasta) sebesar 85-90% dari total pendapatan. Sebagai catatan jumlah RS di Jepang sebanyak 8,540.

Tugas JQ selain akreditasi juga untuk memfasilitasi pembuatan EBM, mengumpulkan data incident dan accident serta terlibat dalam proses pemberian kompensasi bagi kasus cerebral palsy. Terkait akreditasi JQ dari tahun 1997 telah menerbitkan 3 generasi standar (masing-masing mengalami 3 kali revisi), dengan jumlah RS terakreditasi saat ini sebanyak 71% (55% untuk RS acute care, 21% untuk RS chronic care dan 22% untuk psyciatric care).

Dalam meningkatkan efektivitas akreditasi JQ melakukan edukasi, publikasi (terutama panduan untuk memenuhi standar akreditasi) dan membuat laporan publik (membuat masyarakat dapat mengakses informasi hasil akreditasi dari setiap RS karena hingga saat ini public awareness masih rendah). Hasil kegiatan ini disajikan oleh Mitsubishi UFJ Research dan Consulting, tahun 2010 dimana efek akreditasi terutama dalam memperbaiki bisnis proses, meningkatkan keselamatan pasien dan mendengarkan suara konsumen.

Thompson menyajikan upaya Kanada dalam meningkatkan efektivitas akreditasi antara lain melibatkan (mantan) pasien sebagai surveyor (yang tentu tidak mudah) sedangkan Hughes menyajikan upaya Australia dalam meningkatkan efektivitas akreditasi dengan merubah berbagai cara pandang dalam akreditasi. Hal ini terkait dengan pengalaman Huges sebagai klinisi, guru, kepala departemen dan juga pasien.

Hughes yang juga presiden ISQua menyarankan yang utama adalah bahwa sistem akreditasi harus benar-benar diperhatikan ("under microscope"). Antara lain sertifikat akreditasi yang umumnya berlaku 3 tahun sering dipandang sebagai sebuah pencapaian yang juga berlaku selama 3 tahun, padahal seharusnya bersifat dinamis.

standarNSQHS telah merevisi standar, dimana prioritas pertama adalah governance, dan kedua adalah partnering dengan konsumen baru kemudian fokus kepada pelayanan kesehatan yang lebih spesifik (pengendalian infeksi dan pengguanan obat, dan lain-lain). NSQHS juga meminta banyak lembaga-lembaga lain untuk mengevaluasi proses akreditasi mereka secara terbuka.

Huges mengingatkan bahwa sistem akreditasi jangan sampai melupakan bahwa yang dihadapi adalah manusia, baik pada penyedia pelayanan maupun yang menerima pelayanan, mereka bukan hanya angka ataupun nilai pada elemen-elemen penilaian. Pada poin ini Huges juga mengingatkan bahwa ada yang kurang dalam triple AIM dari IHI (gambar 1), yaitu (seharusnya) juga meningkatkan pengalaman dari klinisi (gambar 2).

Akreditasi seharusnya merupakan "lukisan potret" dari fasyankes yang dilukis oleh pelukisnya (surveyor) dengan interaksi dari yang dipotret (RS), yaitu sebuah proses yang meski dapat bersifat subyektif namun memberikan detail gambaran dengan proses yang interaktif dan juga "penuh perasaan"

akre

Pembelajaran dari sesi ini, di Indonesia adalah perlunya lembaga yang mejadi semacam regulator dan evaluator bagi lembaga akreditasi Fasyankes, pada saat ini paling tepat bila dilakukan oleh Direktorat Mutu dan Akreditasi, atau bahkan juga dapat dilakukan oleh internal lembaga akreditasi misalnya oleh bagian/ bidang penelitian dan pengembangan (Litbang) di KARS.

Saat ini KARS telah memiliki banyak data terkait dengan proses akreditasi, data tersebut dapat diolah untuk menunjukkan bagian mana dari standar akreditasi yang telah dapat dipenuhi oleh banyak RS dan sebaliknya bagian mana yang sulit dipenuhi. Informasi tersebut juga akan berguna saat akan membuat prioritas program dan pembiayaan pemenuhan standar akreditasi tertentu.

Pembelajaran lain yang juga sangat penting adalah penyusunan standar yang sesuai dengan kondisi, masalah dan tujuan yang spesifik untuk Indonesia.

Pay for Performance and Value Based Payment to Accelerate Improvement

jhonSesi sore setelah istirahat siang antara lain diisi oleh salah satu pakar internasional tentang cost of quality, yaitu John Øvretveit yang didampingi juga oleh Michael Counte dari US. Øvretveit menjelaskan bahwa upaya peningkatan mutu saat ini dikendalikan oleh sistem pembiayaan. Berbagai bukti menunjukkan bahwa fenomena tersebut di salah satu sisi bisa meningkatkan mutu namun di sisi lain justru menurunkan mutu. Øvertveit ini menjelaskan "economic quality" termasuk berbagai sistem "pay for performance" dan atau "value-based payment systems" untuk klinisi dan organisasi lengkap dengan efektivitas, kelemahan dan kekuatan setiap sistem.

Salah satu poin kunci dari Øvertveit adalah pay for performance (P4P) dan pengukuran mutu harus memiliki indikator mutu yang jelas, namun penetapan indikator ini sulit ditetapkan (perlu konsensus nasional) dan juga sulitnya memperoleh data indikator berdasarkan data pelayanan sehari-hari (sehingga membutuhkan sistem IT yang handal).

Tujuan utama pada sesi ini adalah untuk membahas pemahaman sistem pembayaran berdasarkan kuantitas dan kualitas, bagaimana cara mengukur mutu, keterkaitan dengan akreditasi, pelaporan indikator serta implikasinya kepada upaya peningkatan mutu.

Berberapa intervensi P4P di USA seperti: penurunan nilai klaim untuk kasus re-admision (< 30 hari setelah pulang) yang berlaku untuk kasus antara lain AMI, dan Pnuemonia; Pemberian insentif bagi GP yang melakukan screening sesuai standar; hingga pembayaran tetap untuk pengelolaan penyakit-penyakit kronis.

Øvertveit menjelaskan sejarah sistem pembayaran terkait mutu, dimulai dengan: 1. Pembiayaan berdasarkan budget (tanpa ada insentif untuk mutu). 2. Pembiayaan berdasarkan budget dengan regulasi (dibayar bila memenuhi standar, misalnya bila telah lulus akreditasi) 3. Pembiayaan berdasarkan cost and volume (menggunakan DRG namun masih belum mengukur mutu), dan 4. Pembiayaan berdasarkan value based payment/ VBP (cost for specitied and measured quality).

Sesi dilanjutkan oleh Conte yang menjelaskan reformasi sistem kesehatan USA yang bertujuan meningkatkan akses, mutu, fokus kepada pencegahan daripada kuratif, dan menurunkan biaya dengan salah satunya menerapkan VBP. Conte menjelaskan prinsip VBP program tahun 2015, yaitu sistem keseimbangan antara kinerja proses klinis (bobot 20% dengan 12 indikator), patient experience (bobot 30% dengan 8 indikator), outcomes (bobot 30% dengan 5 indikator termasuk mortality) dan efficiency (bobot 20% dengan 1 indikator)

Conte juga kemudian menjelaskan bahwa sistem ini kemudian telah ditiru di berbagai negara dengan perbaikan perbaikan yang baik, misalnya di Taiwan dengan penerapan sistem IT dalam mengukur mutu untuk berbagai penyakit utama berdasarkan data klaim JKN mereka. Korea juga melakukan hal yang mirip, yaitu dengan menerapkan Value Incentive Program termasuk dengan mengembangkan sistem pelaporan kepada masyarakat. Berdasarkan pengalaman USA, Taiwan dan Korea, Conte mengingatkan bahwa VBP sangat tergantung dari cost acconting system dan juga quality matric baik untuk proses dan outcome.

Øvertveit melanjutkan dengan pengalaman dari Uganda dan Swedia. Dari project USAID di Uganda didapat bahwa prinsip utama dalam VBP adalah kejelasan: apa yang dihargai dan bagaimana menilainya. Di Uganda VBP dilakukan untuk pelayanan KIA (karena masih tingginya AKI dan AKB) dan disana disebut sebagai "Result Based Financing" dimana ada penghargaan berbasis kinerja terkita dengan pelayanan ANC, PNC dan maternitas. Prinsip utama dalam BVP di Uganda adalah: Adanya feedback yang cepat bagi fasyankes (termasuk kecepatan pembayaran insentif); jumlah insentif yang bersifat progresif dari setiap peningkatan kinerja (tidak hanya 1 nilai insetif besar pada kinerja yang tinggi)

Di Indonesia P4P ataupun BVP umumnya baru diterapkan pada level organisasi, itupun terbatas pada beberapa fasyankes terutama RS swasta maupun pemerintah yang telah BLU/ BLUD dengan mengembangkan sistem remunerasi. Sistem remunerasi yang dikembangkanpun sering sekali masih hanya menggunakan penilaian kinerja staf/ klinisi yang bersifat umum, belum terkait dengan mutu pelayaan (hanya sedikit RS yang telah menggunakan indikator mutu dalam sistem remunerasinya)

Di lain pihak, sistem JKN juga belum mengadopsi VBP, pembayaran kapitasi dan juga INA CBG's lebih banyak dikaitkan dengan infrastruktur dari fasyankes di samping lokasi geografis, belum mempertimbangkan mutu pelayanan kesehatan. Kemenkes bersama BPJS sebaiknya sudah mulai mempertimbangkan pembayaran klaim INA CBG's berdasarkan mutu, tidak hanya berdasar kelas RS maupun regionalisasi.

An International Campaign to Reduce Unnecessary and Harmful Care

wendySesi penutup pada hari kedua dibawakan oleh Wendy Levinson dari Kanada. Levinson mengutip penelitian IHI yang memperkirakan bahwa waste di fasyankes menjadi masalah utama, dimana telah diidentifikasi bahwa 30% dari pelayanan kesehatan sebenarnya tidak diperlukan dan tidak menambah value bagi pasien (atau istilah Levinson adalah over diagnosis and over procedures)

Beberapa "alasan" overuse yang sering diajukan klinisi adalah karena permintaan pasien, juga karena didorong adanya teknologi baru serta karena dirujuk oleh dokter keluarga/ umum, serta kekhawatiran akan tuntutan hukum dan juga bisa karena ingin mendapatkan pendapatan serta karena kebiasaan. Alasan-alasan yang tidak dapat diterima inilah yang mendasari kampanye untuk mengajak para klinisi dan pasien untuk mempertimbangkan pelayanan secara hati-hati (tests, treatments, and procedures) yang diberikan kepada pasien, kampanye yang diberi nama Choosing Wisely berusaha menyadarkan bahwa overuse dari pelayanan kesehatan sangat terkait dengan mutu dan keselamatan pasien (dan juga pembiayaan).

Prinsip kampanye ini adalah: 1. Dipimpin oleh para klinisi (bahkan Levinson mengatakan inisiatif harus dari organisasi profesi, pemerintah dan lainnya harus mendukung dari balik layar saja), 2. Berdasarkan bukti terkini, 3. Membawa pesan utama tentang mutu dan keselamatan pasien, 3. Fokus pada pasien dimana komunikasi sangat penting, 4. Multi profesional dan 5. Transparan.

Dimulai di US tahun 2012 lalu diikuti di Kanada pada tahun 2014, kampanye ini telah diterapkan di sekitar 17 negara saat ini. Kegiatan kampanye antara lain: Menyusun daftar "Do not do lists", misalnya tidak memeriksa rontgen bila menemui keluhan nyeri pinggang, dsb; Membuat motto "MORE is not always better"; Membuat 5 daftar pertanyaan kritis (apakah pemeriksaan ini perlu? Apakah ada efek samping? Apakah ada alternatif lain? Apa yang terjadi kalau tidak dilakukan? Berapa biayanya atau apa diganti oleh asuransi?); Hingga membuat video edukasi bagi para residen.

Intervensi ini juga diterapkan di RS Cedars-Sinai dengan pendekatan elektronik, dimana klinisi akan diberi alert kalau akan memerintahkan pemeriksaan tertentu pada pasien dengan kondisi tertentu.

Program JKN Indonesia melalui kegiatan Kendali Mutu dan Biaya perlu mempelajari kampanye ini dengan baik, BPJS juga dapat mendorong kampanye ini dengan memberikan insentif bagi fasyankes yang melaksanakan kegiatan ini. Tapi langkah awal adalah dengan membangun dukungan dari organisasi profesi untuk menyadarkan para klinisi bahwa waste dalam bentuk pelayanan overuse merupakan masalah besar (sebenarnya telah ada contoh baik adalah kampanye Kemenkes mengenai penggunaan obat generik maupun penggunaan antibitotik rasional).

Konferensi hari ini ditutup tepat pada pukul 16:30 waktu Tokyo.

Foto Delegasi Indonesia

delegasiindo2

Oleh : dr. Tjahjono kunjoro, MPH, DrPH

h3isquaMorning Plenary: A New Approach to Managing Complexity in Healthcare: Bridgepoint's Transformative Solution. Sebagai akibat keberhasilan pelayanan kesehatan, maka life expectancy meningkat sehingga banyak pasien yang mengalami chronic illness dan membutuhkan pelayanan chronic care yang semakin kompleks. Perlu didefinisikan ulang pengertian "old people". Sebaiknya orang lanjut usia tidak dimasukkan dalam nursing home, tetapi mendapat perawatan bersama dengan keluarga di rumah. Sehingga perlu adanya kesadaran, kemitraan, pengetahuan dan kapasitas untuk menangani pasien dengan chronic care disesase, oleh karena itu perlu melakukan pelatihan tentang kompleksitas mulai dari penyedia pelayanan primer.

Suatu model dari Kaiser Permanente diperkenalkan sebagai pyramid:

  1. Case management: merupakan puncak piramit disebutkan sebagai level 1: Highly complex patient
  2. Specialist Disease Management: merupakan level dua: high risk patients
  3. Supporting care and self care: merupakan dasar pyramid: level tiga: 70-80 % chronic disease yang ada pada populasi

Kelemahan clinical pathway juga didiskusikan karena clinical pathway disusun untuk pasien yang tidak memiliki kompleksitas. Untuk mengatasi permasalahan kompleksitas perlu ada suatu model dan cara baru untuk mengatasi. Tiga butir penting perlu diperhatikan: 1). apa yang sebenarnya terjadi pada pasien, 2). think differently to deal with complexity, dan 3). Filled with data untuk mencari new knowledge tentang kompleksitas. Diusulkan suatu complexity framework yang merupakan suatu siklus yang elemen-elemennya adalah:

  1. Health and social experience
  2. Demography
  3. Mental Health
  4. Socio-political & Physical environment
  5. Social capital
  6. Medical/Physical Treatment

Dalam model Bridgepoint tersebut: pada level individual perlu dilakukan 360 degree assessment for every single patient, sedangkan pada level organisasi diupayakan seamless care, sedangkan pada level sistem dilakukan pengukuran terhadap hasil yang dicapai. Prinsip dasar adalah: put the patient on the center of the system, dengan demikian diharapkan pasien dengan chronic disesase akan mampu untuk cope to live with the disease, and adopt various way of life with complexity. Diperkenalkan terkait dengan bridgepoint model: The health hub yang merupakan suatu siklus yang terdiri dari:

  1. Family health team
  2. Acute care
  3. Specialized ambulatory care
  4. Shortstay evaluation unit
  5. Complexity specialist team
  6. Day hospital
  7. Home primary Care
  8. Commity partnership

Perlu adanya research lebih lanjut dan inovasi untuk menangani kasus-kasus chronic illness.
Dikemukakan permasalahan terkait dengan maternal mortality rate di Negara berkembang, rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas, dan beban pelayanan kesehatan terhadap infeksi. Proporsi health expenditure yang rendah (< 25 %). Banyak pasien yang harus membayar dari kantung sendiri yang berakibat masalah pada akses terhadap pelayanan kesehatan. Faktor yang mendasari adalah: lack of humanity, crowded, lack of integration, and does not meet the community needs.

Pengertian Universal Health Coverage: all people are able to use needed health services of sufficient quality to be effective without their use imposing financial hardship. Tiga dimensi policy terhait dengan universal health coverage:

  1. Population: who is covered ?
  2. Services: Which Service are covered ?
  3. Financial protection: Proportion of the cost covered ? -> should reduce cost sharing

h3isqua-1Dimensi mutu yang dikemukakan oleh IOM (safe, effective, timely, efficient, equitable) perlu ditambah dengan people centered and integrated.Dengan demikian high quality people centered, and integrated care mempunyai 4 komponen, yaitu: affordability, accessibility, acceptability, dan availability. Type of strategy:

 

  1. Forward looking
  2. Evidence informed
  3. Action oriented
  4. Po9licy option, strategy and intervention: supply and supply side,topdown vs bottom up, relevant and adaptable
  5. Managing change

Strategy outline:

  1. A new of looking delivery of service
  2. Current structure and key service delivery challenge
  3. Setting new vision for service delivery
  4. The way forward
  5. Implementation
  6. Learning and evaluation

4 pertanyaan kritis dalam mengembangkan UHC:

  1. What are the key component required : 1). triad UHC: who is covered, which service covered, proportion of the cost covered, 2). Integration at multilevel of UHC system, 3). Safety as prerequisite, dan 4). Community Involvemen
  2. How should patient safety considered be utilized to define service packages
  3. How can patient safety be utilized to measure the UHC performance, ensure accountability, and enhance efficiency
  4. What are tha barriers to integrating Patient Safety Approach with UHC System: finance, structure, understanding the relation between safety and UHC, political will, motivation, theory not aligned with practice, and standard

Lunch session: mempresentasikan : Development a national accreditation standard and instrument for community health center in Indonesia. Concurent session sore: Patient Safety and Quality in Population Health. Dikemukakan suatu studi kasus mengapa perkembangkan life expectancy di Scotland paling rendah dibandingkan dengan Negara-negara lain di Eropa, ternyata banyak yang meninggal pada usia muda. Perlu dilakukan analisis tidak hanya pada klinik atau rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan, tetapi juga perlu dilakukan analisis pada sistem yang lebih besar termasuk perubahan social dan budaya. Dalam studi kasus dimulai dengan analisis apakah karena genetic, apakah karena mekanisme biological misalnya karena cancer, ataukah pada sistem yang lebih luas: social behavior and belief, struktur dari masyarakat (structure of society), ataukah inequality social ekonomi sebagai isu utama. Didiskusikan empat tipe public health response terhadap permasalahan kesehatan:

  1. Programmatically on individual issue
  2. National policy on individual issue
  3. On the cross cutting determinants operationg at individual and community level
  4. A truly whole-istic approach:
    • Different determinants with and across levels
    • Requires a move away from transactional deterministic mindsets
    • Much more challenging in practice

h3isqua-2Plenary session penutupan: An asset Approach to Health and Wellbeing. Dari kasus life expectancy yang lebih buruk dibandingkan Negara-negara Eropa, dilakukan analisis lebih lanjut: kematian usia muda karena: keracunan penggunaan "drug", alcohol, suicide, dan penyebab-penyebab eksternal, yang semuanya didorong oleh masalah social. Oleh karena itu perlu management of complex system:

  1. Destabilized the existing system
  2. Set some order generating rules
  3. Allow solution to emerge
  4. Beware the persistence of deep structure and archytypes
  5. Accept paradox and contradiction

Diperkenalkan : Salutogenesis (as an assets approach), yang terdiri dari:

  1. Gratitude
  2. Self efficacy
  3. Hardiness
  4. Empathy
  5. Humour

Diperlukan sense of coherence untuk mengatasi kompleksitas:

  1. Are structured, predictable, explainable
  2. Internal resoruces
  3. Challenge, worthy of investment and engagement,

Resource with enhance resilience (antara lain: family, nurture, intelligence work, material resources, identity, cultural stability) --> sense of coherence --> well being
Penutupan kongres oleh David Bates (the president).

 

Pembukaan

lokasiPertemuan dibuka secara resmi oleh Cliff Hughes sebagai presiden ISQua dan Hirobumi Kawakita sebagai ketua Japan Council for Quality Health Care (JQ) serta oleh Yasuhisa Shiozaki The Minister of Health, Labour and Welfare dan Yoshitake Yokokura, President, Japan Medical Association.

Peserta berjumlah lebih dari 1.200 orang yang berasal lebih dari 50 negara termasuk dari Indonesia yang setidaknya terdapat 20 peserta yaitu: 5 peserta dari Kemenkes, 5 peserta dari KARS, 5 peserta dari RS (RS Pelni dan RSCM), 4 peserta dari perguruan tinggi (UGM dan UI) dan 1 peserta dari SCG.

Hughes mengucapkan banyak terima kasih kepada para peserta terutama para pengirim abstrak yang umumnya berusia muda yang menulis berbagai inovasi-inovasi upaya peningkatan mutu. Hughes juga mengajak para peserta memperhatikan program utama konferensi ISQua tahun ini yaitu sistem evaluasi mutu eksternal dan sistem edukasi mutu pelayanan kesehatan.

Kawakita mengucapkan selamat datang sebagai tuan rumah dan juga mengajak kepada para peserta untuk tetap mempertahankan upaya peningkatan mutu yang selama ini telah dilakuan, terutama terkait patient safety dimana pada tahun ini JQ kembali konsentrasi kepada basic quality ini.

menkes jepangMenteri Kesehatan Jepang membuka dengan menginformasikan bahwa mereka baru saja menyelesaikan "Health Care 2035" sebagai visi nasional ke depan termasuk untuk meningkatkan mutu dan keselamatan pasien.  Terdapat 2.200 RS di Jepang sudah diakreditasi oleh Japan Quality aat ini.

Yokokura juga menginformasikan bahwa 27% penduduk Jepang berusia di atas 65 tahun, sehingga mereka menghadapi masalah mutu pelayanan kesehatan yang agak berbeda. Salah satunya adalah dengan menegaskan kembali pentingnya pendidikan dokter berkelanjutan juga kembali mengembangkan sistem kesehatan berdasarkan "Kakaritsuke" atau dokter keluarga dalam menerapkan eldery care.

Can We Improve Quality Improvement?

marydixonMerupakan sesi pleno pertama yang membahas mengenai bagaimana cara meningkatan program peningkatan mutu. Sesi ini dibawakan oleh Mary Dixon-Woods dari Inggris yang mengidentifikasi berbagai tantangan dalam meningkatkan efektivitas upaya peningkatan mutu. Tantangan utama datang dari anggapan bahwa upaya peningkatan mutu (termasuk akreditasi RS) sering dianggap sebagai "magic bullet" yang jarang diikuti dengan proses evaluasi, minimnya laporan dan publikasi serta koordinasi antar kegiatan terkait.

Dixon sebagai sosiolog menggunakan pendekatan keseimbangan antara struktur/institusi pelaksana upaya peningkatan mutu dan agensi/individu yang melakukan upaya peningkatan mutu. Pada level individu, para peneliti harus menerapan prinsip-prinsip penelitian agar penelitiannya tidak bias karena sering sekali hasil kegiatan yang baru bersifat lokal telah digeneralisasi. Sedangkan pada level institusi, organisasi harus memiliki koordiansi dan kerja sama yang baik, regulasi yang jelas, "soft laws", etika di lapangan, keselarasan berbagai standar, dan sistem operasional yang berfungsi dengan baik serta dukungan dari masyarakat dan keluarga pasien.

Di Inggris sendiri evaluasi berbagai upaya peningkatan mutu juga masih menjadi kendala, Dixon memberikan berbagai contoh misalnya program pencegahan infeksi dan penggunaan antibiotik MRSA, meski diklaim telah berhasil namun sangat sedikit evaluasi (penelitian) yang membuktikan hal tersebut secara sistematis.

Penyebab evaluasi tersebut lemah antara lain karena kurangnya data (detail), tidak tersedianya baseline data, dan sering berubahnya sampel penelitian. Informasi lain mengenai fenomena ini dapat dibaca pada artikel Dixon: Does quality improvement improve quality?

Marry kemudian menegaskan bahwa untuk meningkatkan mutu perlu memperhatikan infrastruktur institusi, tidak mencari "magic bullet" (tidak ada satu intervensi mutu yang dapat mengatasi semua masalah mutu), memperhatikan perbedaan infrastruktur bila akan mengadopsi teknik mutu dari industri lain ke industri kesehatan, perlu ada koordinasi dan juga struktur institusi yang dapat berfungsi dengan baik untuk mendesain upaya peningkatan mutu, melakukan uji coba dan meluaskan skala intervensi setelah terbukti berhasil.

delegasiindoPada konteks Indonesia, evaluasi berbagai intervensi mutu juga masih sangat terbatas, kerjasama antara PKMK FK UGM (Hanevi Djasri) dan WHO Indonesia (Charles Shaw) pada tahun 2013 untuk mengidentifikasi berbagai upaya peningkatan mutu sebenarnya dapat menjadi titik awal untuk melakuan evaluasi secara nasional. Lebih lanjut evaluasi mutu ini dapat dilakukan dengan koordinasi dari Kemenkes, terutama pada saat ini dimana telah ada Direktorat Mutu dan Akreditasi Pelayanan Kesehatan.

Evaluasi berbagai upaya mutu ini mendesak dilakukan karena pada saat ini cukup banyak internvensi mutu baik dalam layanan kesehatan dasar dan lanjut, termasuk di dalamnya terkait dengan sistem akreditasi, penerapan program keselamatan pasien, kendali mutu dan kendali biaya dari JKN, pelayanan prima, penerapan LEAN dan sebagainya.

Dengan adanya evaluasi ini maka diharapkan para pengelola fasilitas pelayanan kesehatan dan regulator dapat memilih intervensi mutu yang paling efektif dan efisien.

Usulan lebih luas adalah agar setiap regulator/ institusi peningkatan mutu seperti Kemenkes, KARS, Komisi Akreditasi Pelayanan Primer, Organisasi Profesi dan BPJS dapat menyusun sistem evaluasi dan pelaporan dari upaya peningkatan mutu yang mereka kerjakan.

Cost of Quality at the System Level: Quality and Safety of Obstetrics in Canada

materialAdalah satu-satunya sesi yang dibawakan terutama oleh para klinisi, yaitu para ahli kebidanan dan kandungan. Sesi membahas mengenai cost of quality pada pelayanan kebidanan. Dibawakan oleh Joanne Noble, Malcolm Eade dan Leslee Thompson dari Kanada yang menyajikan analisa dari 4 laporan pada institusi yang berbeda, yaitu data pelayanan dari Accreditation Canada, data klaim dari the Healthcare Insurance Reciprocal of Canada (HIROC) dan the Canadian Medical Protective Association (CMPA) serta dari Salus Global Corp's Managing Obstetrical Risk Efficiently (MORE-OB) Program. Kerjasama dari ke-4 lembaga ini telah mengidentifikasi upaya perbaikan yang dapat dilakukan baik di proses dan sistem termasuk juga pembiayaan dalam pelayanan kebidanan.

HIROC (https://www.hiroc.com/News-Media/Publications.aspx) menunjukan data biaya persalinan yang berkisar USD 120-270 per-persalinan, termasuk juga menunjukkan data pembiayaan untuk level maternity yang berbeda-beda dimana level I jumlah kasusnya lebih tinggi namun dengan nilai klaim yang lebih rendah (USD 90) dari pada level II yang kasusnya lebih sedikit namun nilai klaimnya lebih besar (USD 200) dibanding level I. Risiko yang paling tinggi cost-nya antara lain kegagalan merespon kegawatdaruratn janin, mismanagement induction, serta hiperbiluribinemia.

Berdasarkan data tersebut, HIROC mengembangkan sistem RAC "Risk Assessment Checklist". Sistem ini memantau peningkatan jumlah kejadian risiko dan menyusun rencana perbaikan, termasuk membuat berbagai "Risk Notes" yang di-upload ke website. Notes ini umumnya terdiri dari 2 halaman yang menyedikan saran dan pertimbangan untuk mengelola risiko-risiko spesifik seperti: rencana pulang, pengobatan, aspirasi bayi, dan sebagainya.

Informasi dan laporan lengkap termasuk kegitan HIROC dapat dibaca pada link berikut klik disini

Salus Global bekerjasama dengan POGI-nya Kanada mengembangkan program "The More OB Effect" yang bertujuan untuk meneliti, mengembangkan dan menerapkan patient safety bagi para ahli kebidanan dan kandungan sejak 2001. Salus memiliki program peningkatan pengetahuan baik untuk spesialis obsgin, dokter, bidan, perawat. Lalu mengukur peningkatan pengetahun, keterampilan dan outcome baik untuk ibu dan bayi serta penurunan malpraktek. Pendekatan utama adalah dengan solusi sosial dan keterkaitan antar lembaga di samping aspek teknis.

Pelajaran yang dapat diambil dari sesi ini adalah keterlibatan organisasi profesi dalam kendali mutu dan biaya untuk meningkatkan mutu layanan klinis namun sekaligus juga mengendalikan biaya. Untuk itu, diperlukan kerjasama yang erat antara Kemenkes, organisasi profesi, fasyankes, BPJS, dan lembaga penelitian, namun inisiatif ini perlu diawali lebih dahulu oleh para klinisi.

External Evaluations Systems: Collaboration the ACCREDIT Research Program

davidSesi setelah lunch break ini menampilkan pembicara David Greenfield dan Virginia Mumford dari Australia. Australia pada tahun 2010-2015 menjalankan project ACCREDIT atau Accreditation Collaborative for the Conduct of Research, Evaluation and Designated Investigations through Teamwork. Kerjasama antara Kemenkes Australia, ACHS dan ACSQHC untuk mewujudkan sistem akreditasi yang lebih efektif.

Proyrk tersebut merupakan salah satu upaya Pemerintah Australia untuk meningkatkan perannya dalam akreditasi, termasuk dalam membangun lembaga komisi mutu (ACSQHC: Australian Commission on Safety and Quality in Health Care) hingga keterlibatan dalam penyusunan standar akreditasi. Tujuannya untuk meningkatkan keterlibatan adalah untuk menerapkan prinsip regulasi yang baik, yaitu: proporsional, jelas targetnya, akuntabel, transparan, konsisten, jelas pengukuran kinerjanya.

ACCREDIT bertujuan untuk: (i) mengevaluasi proses akreditasi saat ini; (ii) melakukan analisa cost-benefits dari akreditasi; (iii) meningkatkan efektivitas akreditasi melalui evidence; dan (iv) mengembangkan dan menerapkan standar baru terkait keterlibatan pelanggan dalam akreditasi

Sesi ini penting bagi Indonesia yang masih mengembangkan sistem dan proses serta standar akreditasi pelayanan kesehatan baik untuk RS maupun Puskesmas. Pembelajaran terkait dengan evaluasi, cost-benefit dan efektivitas bisa diterapkan di Indonesia. Direktorat Mutu dan Akreditasi Kemenkes dapat mengambil posisi sebagai pemimpin dalam kegiatan ini dan dapat bekerjasama dengan berbagai perguruan tinggi untuk pelaksanaan kegiatannya. KARS dan calon lembaga pengelola akreditasi Puskesmas dapat mengembangkan bagian penelitian dan pengembangan (Litbang) untuk melaksanakan kegiatan ini. Dengan adanya hasil evaluasi maka sistem akreditasi pelayanan kesehatan dapat terus menerus diperbaiki berdasarkan bukti ilmiah.

External Evaluations Systems: Reducing the Burden of Multiple Accreditation Systems.

timisquaSesi yang juga bagian dari external evaluation system ini disampaikan oleh Lena Low, Christine Dennis dan Christina Bolger dari Australia serta Triona Fortune dari ISQua. Sesi ini membahas mengenai perkembangan sistem, proses dan standar akreditasi untuk ketiga macam pelayanan kesehatan yaitu: acute care, aged care dan primary care.

Triona menjelaskan tentang peran ISQua sebagai "The Trigger for Change" untuk berbagai lembaga akreditasi (67 lembaga akreditasi dari 34 negara) yang kemudian berusaha untuk mengadopsi berbagai pengalaman terbaik dari satu negara untuk diterapkan di negara lain.

Chritine menjelaskan pengalaman Australia dalam Join Survey Assessment Process untuk akreditasi RS, acute care dan aged care service merupakan salah satu contohnya, mereka mengembangkan sistem dan prosedur agar fasyankes tersebut tidak mendapatkan duplikasi dalam regulasi dan standar akreditasi. Mereka melakukan hal tersebut dengan menggabungkan 3 macam standar: Nasional Standar, Aged Care Standar dan EQuip National dan dilanjutkan dengan pelatihan para surveyor.

Lena menyajikan hasil evaluasi dari pengembangan tersebut adalah dimana para pengelola Fasyankes dan surveyor setuju dengan penggabungan standar akreditasi tersebut. Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya saling keterkaitan pelayanan antara fasyankes, juga pentingnya para surveyor memahami berbagai jenis fasyankes serta banyaknya kesamaan antar standar akreditasi. Sebagai catatan masih banyak yang perlu dilakukan untuk menggabungkan standar akreditasi tersebut, termasuk kompetensi surveyor, penggabungan ACHS workbook, ACHS report dengan AACQA workbook dan QWCQA report serta aspek finansial (termasuk analisa cost efisiensi).

Dalam konteks Indonesia, sesi ini dapat menjadi bahan diskusi yang menarik, apakah standar akreditasi RS dan standar akreditasi Puskesmas dapat digabung atau diselaraskan? Atau minimal dibuat mekanisme keterkaitan antara standar ini. Lebih lanjut apakah surveyor antar kedua standar ini dapat digabung? Pada saat ini kebutuhan surveyor baik untuk akreditasi RS dan akreditasi Puskesmas memang masih sangat dibutuhkan, sehingga dengan penggabungan akan dapat meningkatkan efisiensi pengembangan dan pengelolaan surveyor.
Direktorat Mutu dan Akreditasi Kemenkes dan KARS dapat mengadakan pertemuan untuk membahas hal ini.

Hospital Experiences: Health, Spirituality, and Life: A Patient's Point of View

yushiSesi ini merupakan sesi penutup untuk pertemuan hari I. Penutup dibawakan oleh Prof. Yushi Nomura dari Jepang, yang pernah dirawat di rumah sakit untuk tranplantasi hati sebanyak 2 kali. Sesi ini merupakan contoh nyata bagaimana menggali pengalaman pasien dapat lebih bermanfaat dari sekedar melakukan pengukuran kepuasan pasien. Nomura dengan gaya penuturan yang ringan dan humoris menyajikan persamaan antara RS dengan penjara, juga antara RS dengan hotel lalu menjelaskan arti sehat. Health merupakan kesatuan dari spirit, mind dan body (whole, holistic), ini juga telah diadopsi oleh WHO, keseimbangan antar mental, fisik dan sosial, tidak hanya ketiadaan penyakit.

Dari sisi nyeri, Nomura mengingatkan tidak hanya nyeri fisik namun juga ada nyeri spiritual (dia bertanya-tanya, apakah dia akan meninggal? Kenapa dia yang sakit? dan sebagainya). Nyeri spiritual  juga akan mempengaruhi keluarga, bahkan juga para klinisi juga sering merasa nyeri spiritual juga melihat kondisi pasien. Nyeri spiritual ini hanya dapat diatasi oleh yang bersangkutan, yang dapat dilakukan oleh orang lain hanyalah tetap bersamanya, mempelajari spiritual joy, menghadapi nyeri fisik serta dukungan spiritual.

Prof. Namuna mendapatkan standing applause pada saat mengakhiri presentasinya, rasa haru menyeruak diantara para peserta setelah pada kata terakhirnya Prof Namura memohon doa baginya karena ternyata pada hari Rabu esok bertepatan dengan hari terakhir penyelenggaraan konferensi ISQua beliau akan menjalani pembedahaan terkait dengan penyakit lain yang ia derita (semoga cepat pulih Prof, amin).


Konferensi hari I ditutup tepat pada pukul 16.45 waktu setempat.

Oleh : dr. Tjahjono kunjoro, MPH, DrPH

h2isquaHari kedua, Morning Plenary dibuka dengan tema Quality and Efficiency of the Electronic Medical Record System in Hongkong and Taiwan (NT. Cheung & Jack Li). Terkait dengan penggunaan electronic medical records system (EMRs) dijelaskan adanya 3 kunci sukses, yaitu: clinical, sustainability, dan governance. Dari kunci sukses klinis: 1). EMRs merupakan clinical tools: raise of case, enhance patient safety and greater efficiency, 2). Menunjukkan workflow yang terintegrasi, dan bermanfaat untuk mengetahui potensi terjadinya clinical harm.

Dengan adanya EMRs diharapkan akan meningkatkan mutu, mengurangi terjadinya error, meningkatkan efisiensi dan meningkatkan service management. Dalam EMRs perlu diperhatikan juga unexpected consequenses akibat dari penggunaan EMRs, seperti information system error, sistem informasi yang mendadak mati, dsb, tentunya hal-hal tersebut perlu diperhatikan agar sistem informasi tersebut sustainable dengan memperhatikan misalnya bandwidth yang dibutuhkan, sumber daya manusai, keahlian dalam information tehnologi dan keterbatasan budget dari rumah sakit. Penerapan EMRs perlu adanya governance, stakeholders mempunyai komitmen dan engage dengan EMRs.

Pengalaman di Hongkong membangun Clinical management System suatu EMRs yang komprehensif yang digunakan di 41 rumah sakit dan 120 klinik. Langkah yang dikembangkan adalah: siklus yang dimulai dengan budgeting/implementing, acculturating, realizing benefit, and strategizing. Diberikan contoh penerapan dalam medication management baik dalam pelayanan rawat inap maupun rawat jalan: standardisasi order, standardisasi formularium, full medical history, reduce transcription, logistic obat, dan electronic prescribing.

Pengalaman dari Taiwan: data yang ada di rumahsakit merupakan "Big Data" : a collection of data set that is to large and complex that difficult to process using on hand, sehingga perlu dikelola dengan baik. Big data tersebut mempunyai beberapa elemen, yaitu kompleksitas, nilai yang diturunkan dari tehnik yang inovatif dibandingkan tehnik tradisional, dan penggunaan informasi longitudinal yang mendukung analisis. Dalam pelayanan klinis dikemukakan data interaction model yang terdiri dari elemen data: patient profile, laboratory anda examination data, medication, terapi, diagnosis dan problem list. Pengalaman di Taiwan menunjukkan 96 % akurasi dalam prescription dengan sensitivity 75,9 % dan specificity 89,5 %.

Sesion pagi yang kami ikuti adalah Integrating Proactive Risk Assessment and Quality Management System (Patricia Gray, Paul Huntly, Karen Timmons, Deborah Weller). Disampaikan suatu alternative akreditasi dengan DNV Health Care yang mengadopsi standar sistem manajemen mutu ISO yang diterapkan di Scottsdale Healthcare. Prinsip dalam mengelola risiko adalah: collaborative, not confrontational, engaging staff, dayly feedback, no surprise dan no magic number. Contoh penerapan manajemen risiko infeksi dilakukan dalam wujud tindak korektif (corrective action) dimana ada tanggung jawab dari team leader, penerapan pendekatan sistem dan penggunaan A3 tool, dengan langkah: Problem identification, setting aims, doing RCA, doing PDSA, penghitungan cost and benefit, follow up, dan results (hasil).

Mengacu pada ISO 31000 Risk Management: Principles and Guidelines, ada 18 elemen standar yang diacu dalam mengelala risiko: infection risk management system, risk assessment, microbial surveillance, antimicrobial use and surveillance, emergency outbreak and contingency planning, accident/incident investigation, personeel and competency, human factor, occupational health, health care facility managemen and layout, health care environment, eguipment and maintenance, cleaning, decontamination, disinfection and sterilization, patient care, hand hygine, etc.

Prinsip risk assessment: what can go wrong (hazard identification), how often (frequency analysis), how big (consequence analysis), so what (risk assessment, dan what do I do (risk mitigation). Diperkenalkan juga dengan exercise penggunaan BOW-Tie Methodology untuk risk assessment: Hazard/error disisi kiri digambarkan sebagai upaya preventive dengan menganalisis penyebab dan bagaimana membuat barrier agar tidak terjadi hazard/error, sedang di sebelah kanan bersifat reaktif, dan bagaimana barrier dibuat dan bagaimana outcomenya.

Session siang: Lesson learned in accelerating patient safety across countries and cultures through WHO Change model (Benedetta Allegranzi, Sham Syed, Kadar Marikar, Edward Kelley, Piere Barker. Dijelaskan contoh penerapan hand hygiene dengan memperhatikan tema: leadership and evidence based, dan local adaptation dengan memperhatikan budaya dan sumber daya. Meskipun kampanye hand hygiene telah dilakukan di berbagai Negara, ternyata rerata pencapaian hanya 38,7 %, oleh karena itu dikembangkan model GPSC dengan tiga tujuan: awareness raising, mobilizing nations, and technical guidelines and tools (sebagai strategi implementasi). Agar kampanye berhasil maka perlu adanya country pledge (sebagai komitmen politik) yang diwujudkan dalam implementasi pada pemberi pelayanan. Strategi yang dikembangkan adalah: system change, training and education, evaluation and feedback, reminders in the workplace, dan institutionalisasi safety climate pada tiap level pelayanan. Barier dalam implementasi antara lain barrier agama terkait dengan penggunaan alcohol, dan ketidak tersediaan produk alcohol gel sehingga perlu dikembangkan produksi local. Tanggal 5 Mei 2014 akan ditetapkan sebagai Hand Hygiene Day.

Malaysia mengembangkan WHO Change model antara lain untuk: safe surgery safe lives, National Incident Reporting, Dental Service, Pharmacy Service, MSQH accreditation program yang mengadopsi standar patient and family rights, launching Malaysian patient safety goal pada Juni 2013, dan penerapan patient for patient safety Malaysis. Comliance hand hygiene di Malaysia mencapai > 75 %. Demikian juga model tersebut diterapkan di Afrika dalam bentuk APPS (African Partnership for Patient safety) yang mengikuti 12 langkah keselamat pasien dari WHO AFRO. Untuk menerapkan keselamatan pasien di Afrika dilakukan pendekatan hospital to hospital (seperti sister hospital antara rumahsakit di Eropa dan rumahsakit di Afrika) yang meliputi: partnership strength, patient safety improvement, dan national patient safety spread. Seven key lessons: 1). Keep it grounded and real, 2). Make the case for an alternative model, 3). Take leadership seriousely, 4). Focus on borderless capacity, 5). Embrace local innovation for local change, 6). Influence national policy linear to triangular, 7). Keep an eye on global innovation flow.

Pendekatan selain hospital to hospital, juga diperkenalkan pendekatan community to hospital sebagai suatu pendekatan/sudut pandang komprehensif terhadap safety, dengan dua konsep dasar: pendekatan terintegrasi, dan perhatian pada : "patient journey".

  1. Plenary session sore hari:
    Sesi pleno sore hari adalah lecture dari Robert Brook: How we communicate and improve the value of quality movement, dengan pokok bahasan yang diangkat adalah
    • Do we practice what we preach ?
    • Preventable death vs non-preventable death: bagaimana batasannya ?
    • Shared patient decision making and learning
    • Major issues related to improving quality and safety: 1) limiting inappropriate surgical care, 2). What do the clinicians do in the ward, 3) Finance dalam pelayanan kesehatan
    • Dalam pendidikan kedokteran tidak diajarkan konsep quality dan konsep cost, maka dokter perlu mempunyai pemahaman tentang quality dan cost

Sesi sore dilanjutkan dengan Hello healthcare oleh Beth Lilja dari Denmark yang menjelaskan pentingnya memberi kesempatan pada pasien untuk bertanya. Pasien diharapakn aktif dalam memperhatikan kesehatannya. Dua isus utama yang disampaikan adalah: 1). Apakah dokter memberi kesempatan pasien untuk bertanya, dan 2). Apakah visiting hour di rumah sakit masih relevan ? Untuk isu tentang apakah dokter memberi kesempatan pasien untuk bertanya dikembangkan program "Just Ask".