Oleh : dr. Tjahjono kunjoro, MPH, DrPH
Hari kedua, Morning Plenary dibuka dengan tema Quality and Efficiency of the Electronic Medical Record System in Hongkong and Taiwan (NT. Cheung & Jack Li). Terkait dengan penggunaan electronic medical records system (EMRs) dijelaskan adanya 3 kunci sukses, yaitu: clinical, sustainability, dan governance. Dari kunci sukses klinis: 1). EMRs merupakan clinical tools: raise of case, enhance patient safety and greater efficiency, 2). Menunjukkan workflow yang terintegrasi, dan bermanfaat untuk mengetahui potensi terjadinya clinical harm.
Dengan adanya EMRs diharapkan akan meningkatkan mutu, mengurangi terjadinya error, meningkatkan efisiensi dan meningkatkan service management. Dalam EMRs perlu diperhatikan juga unexpected consequenses akibat dari penggunaan EMRs, seperti information system error, sistem informasi yang mendadak mati, dsb, tentunya hal-hal tersebut perlu diperhatikan agar sistem informasi tersebut sustainable dengan memperhatikan misalnya bandwidth yang dibutuhkan, sumber daya manusai, keahlian dalam information tehnologi dan keterbatasan budget dari rumah sakit. Penerapan EMRs perlu adanya governance, stakeholders mempunyai komitmen dan engage dengan EMRs.
Pengalaman di Hongkong membangun Clinical management System suatu EMRs yang komprehensif yang digunakan di 41 rumah sakit dan 120 klinik. Langkah yang dikembangkan adalah: siklus yang dimulai dengan budgeting/implementing, acculturating, realizing benefit, and strategizing. Diberikan contoh penerapan dalam medication management baik dalam pelayanan rawat inap maupun rawat jalan: standardisasi order, standardisasi formularium, full medical history, reduce transcription, logistic obat, dan electronic prescribing.
Pengalaman dari Taiwan: data yang ada di rumahsakit merupakan "Big Data" : a collection of data set that is to large and complex that difficult to process using on hand, sehingga perlu dikelola dengan baik. Big data tersebut mempunyai beberapa elemen, yaitu kompleksitas, nilai yang diturunkan dari tehnik yang inovatif dibandingkan tehnik tradisional, dan penggunaan informasi longitudinal yang mendukung analisis. Dalam pelayanan klinis dikemukakan data interaction model yang terdiri dari elemen data: patient profile, laboratory anda examination data, medication, terapi, diagnosis dan problem list. Pengalaman di Taiwan menunjukkan 96 % akurasi dalam prescription dengan sensitivity 75,9 % dan specificity 89,5 %.
Sesion pagi yang kami ikuti adalah Integrating Proactive Risk Assessment and Quality Management System (Patricia Gray, Paul Huntly, Karen Timmons, Deborah Weller). Disampaikan suatu alternative akreditasi dengan DNV Health Care yang mengadopsi standar sistem manajemen mutu ISO yang diterapkan di Scottsdale Healthcare. Prinsip dalam mengelola risiko adalah: collaborative, not confrontational, engaging staff, dayly feedback, no surprise dan no magic number. Contoh penerapan manajemen risiko infeksi dilakukan dalam wujud tindak korektif (corrective action) dimana ada tanggung jawab dari team leader, penerapan pendekatan sistem dan penggunaan A3 tool, dengan langkah: Problem identification, setting aims, doing RCA, doing PDSA, penghitungan cost and benefit, follow up, dan results (hasil).
Mengacu pada ISO 31000 Risk Management: Principles and Guidelines, ada 18 elemen standar yang diacu dalam mengelala risiko: infection risk management system, risk assessment, microbial surveillance, antimicrobial use and surveillance, emergency outbreak and contingency planning, accident/incident investigation, personeel and competency, human factor, occupational health, health care facility managemen and layout, health care environment, eguipment and maintenance, cleaning, decontamination, disinfection and sterilization, patient care, hand hygine, etc.
Prinsip risk assessment: what can go wrong (hazard identification), how often (frequency analysis), how big (consequence analysis), so what (risk assessment, dan what do I do (risk mitigation). Diperkenalkan juga dengan exercise penggunaan BOW-Tie Methodology untuk risk assessment: Hazard/error disisi kiri digambarkan sebagai upaya preventive dengan menganalisis penyebab dan bagaimana membuat barrier agar tidak terjadi hazard/error, sedang di sebelah kanan bersifat reaktif, dan bagaimana barrier dibuat dan bagaimana outcomenya.
Session siang: Lesson learned in accelerating patient safety across countries and cultures through WHO Change model (Benedetta Allegranzi, Sham Syed, Kadar Marikar, Edward Kelley, Piere Barker. Dijelaskan contoh penerapan hand hygiene dengan memperhatikan tema: leadership and evidence based, dan local adaptation dengan memperhatikan budaya dan sumber daya. Meskipun kampanye hand hygiene telah dilakukan di berbagai Negara, ternyata rerata pencapaian hanya 38,7 %, oleh karena itu dikembangkan model GPSC dengan tiga tujuan: awareness raising, mobilizing nations, and technical guidelines and tools (sebagai strategi implementasi). Agar kampanye berhasil maka perlu adanya country pledge (sebagai komitmen politik) yang diwujudkan dalam implementasi pada pemberi pelayanan. Strategi yang dikembangkan adalah: system change, training and education, evaluation and feedback, reminders in the workplace, dan institutionalisasi safety climate pada tiap level pelayanan. Barier dalam implementasi antara lain barrier agama terkait dengan penggunaan alcohol, dan ketidak tersediaan produk alcohol gel sehingga perlu dikembangkan produksi local. Tanggal 5 Mei 2014 akan ditetapkan sebagai Hand Hygiene Day.
Malaysia mengembangkan WHO Change model antara lain untuk: safe surgery safe lives, National Incident Reporting, Dental Service, Pharmacy Service, MSQH accreditation program yang mengadopsi standar patient and family rights, launching Malaysian patient safety goal pada Juni 2013, dan penerapan patient for patient safety Malaysis. Comliance hand hygiene di Malaysia mencapai > 75 %. Demikian juga model tersebut diterapkan di Afrika dalam bentuk APPS (African Partnership for Patient safety) yang mengikuti 12 langkah keselamat pasien dari WHO AFRO. Untuk menerapkan keselamatan pasien di Afrika dilakukan pendekatan hospital to hospital (seperti sister hospital antara rumahsakit di Eropa dan rumahsakit di Afrika) yang meliputi: partnership strength, patient safety improvement, dan national patient safety spread. Seven key lessons: 1). Keep it grounded and real, 2). Make the case for an alternative model, 3). Take leadership seriousely, 4). Focus on borderless capacity, 5). Embrace local innovation for local change, 6). Influence national policy linear to triangular, 7). Keep an eye on global innovation flow.
Pendekatan selain hospital to hospital, juga diperkenalkan pendekatan community to hospital sebagai suatu pendekatan/sudut pandang komprehensif terhadap safety, dengan dua konsep dasar: pendekatan terintegrasi, dan perhatian pada : "patient journey".
- Plenary session sore hari:
Sesi pleno sore hari adalah lecture dari Robert Brook: How we communicate and improve the value of quality movement, dengan pokok bahasan yang diangkat adalah
- Do we practice what we preach ?
- Preventable death vs non-preventable death: bagaimana batasannya ?
- Shared patient decision making and learning
- Major issues related to improving quality and safety: 1) limiting inappropriate surgical care, 2). What do the clinicians do in the ward, 3) Finance dalam pelayanan kesehatan
- Dalam pendidikan kedokteran tidak diajarkan konsep quality dan konsep cost, maka dokter perlu mempunyai pemahaman tentang quality dan cost
Sesi sore dilanjutkan dengan Hello healthcare oleh Beth Lilja dari Denmark yang menjelaskan pentingnya memberi kesempatan pada pasien untuk bertanya. Pasien diharapakn aktif dalam memperhatikan kesehatannya. Dua isus utama yang disampaikan adalah: 1). Apakah dokter memberi kesempatan pasien untuk bertanya, dan 2). Apakah visiting hour di rumah sakit masih relevan ? Untuk isu tentang apakah dokter memberi kesempatan pasien untuk bertanya dikembangkan program "Just Ask".